ayah kandung dan ibu tirinya, partisipan belum memiliki adik tiri. Partisipan mengaku bahwa selama ini, hubungannya
dengan ibu tiri kurang berjalan baik sehingga membuat partisipan jarang menemui ayahnya yang menetap di
Majakerta. Ketidakharmonisan dengan ibu tiri partisipan berawal dari masalah keuangan. Ibu tiri partisipan tidak suka
jika suaminya mengeluarkan uang terlalu banyak untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sampai saat penelitian
dilakukan, partisipan mengaku masih enggan bila harus berkunjung ke rumah ayah kandungnya.
Partisipan yang juga seorang buruh tani harus menanggung kehidupan adik-adik serta neneknya. Sang nenek
yang saat ini berusia kurang lebih 70 tahun sudah sakit sejak tiga tahun yang lalu. Menurut diagnosis dokter, sang nenek
menderita kanker rahim. Melihat sang nenek kesakitan, partisipan berusaha untuk mengobati dengan membawanya
berobat ke berbagai rumah sakit namun tak kunjung sembuh. Sekarang partisipan hanya mampu merawat nenek di rumah.
Partisipan mengaku sudah tidak tega karena neneknya selalu merintih kesakitan.
b. Laporan observasi
Secara fisik, partisipan merupakan wanita berkulit sawo matang dengan tinggi kurang lebih 160 cm. Dengan
tubuh yang agak gemuk maka partisipan terkesan lebih pendek dari tinggi sebenarnya. Setiap bertemu dengan
partisipan, partisipan selalu mengikat rambut panjang bergelombangnya.
Pada pertemuan pertama, ketika penulis datang ke rumah saudara partisipan, partisipan mengenakan pakaian
tidur dengan rambut yang diikat ke belakang dan sedang duduk di depan rumah bersama
lilike
paman atau bibi, penj., sepupu serta anaknya. Pertama berbincang, penulis merasa
bahwa partisipan merupakan orang yang supel. Hal ini tampak ketika penulis memperkenalkan diri, partisipan tidak sungkan
bertanya tentang penelitian yang akan dilakukan serta meminta penulis berbicara dengan bahasa Jawa
ngoko
saja, bukan bahasa Jawa krama alus. Alasan partisipan adalah agar
lebih mudah berkomunikasi. Di awal wawancara dilakukan, partisipan seringkali
tidak melihat mata penulis secara langsung saat menjawab pertanyaan. Saat partisipan merasa ragu dalam memberikan
jawaban, mata partisipan tidak mengarah pada penulis tetapi melihat ke luar rumah. Selama wawancara berlangsung,
partisipan terlihat santai dalam menjawab setiap pertanyaan. Tidak jarang pula partisipan seperti
ceplas-ceplos
ketika menjawab. Selama wawancara, suara partisipan terdengar
nyaring dan cepat dalam berbicara. Ketika penulis bertanya mengenai aspek aktivitas
waktu luang dengan item pertanyaan waktu bersama pasangan, partisipan spontan tertawa dan tersipu malu saat
memberikan jawaban. Wawancara sempat terhenti sejenak karena anak partisipan mulai merajuk. Agar tidak
mengganggu jalannya wawancara maka partisipan berinisiatif mengantarkan anaknya ke
papine
. Setelah mengantarkan
anaknya, wawancara kembali berjalan lancar. Selama wawancara, tidak jarang partisipan tertawa ketika menjawab
pertanyaan. Ketika ditanya mengenai hubungan suami istri,
pertama-tama partisipan terlihat sedikit malu namun akhirnya menjawab pertanyaan yang diajukan dengan lancar. Saat
bercerita tentang masa sebelum menikah dengan suami, raut wajah partisipan terlihat bahagia. Pada pertanyaan ini,
partisipan sering tersenyum ketika bercerita. Sebelum wawancara berakhir, partisipan sempat
bertanya kepada sepupunya dimana salah satu anak kembar sepupunya. Ketika wawancara berakhir, partisipan bercerita
bahwa sepupunya memiliki anak perempuan kembar yang saat ini berusia tiga bulan. Saat anak kembar sepupunya
datang digendong ibunya, partisipan mengambil alih gendongan. Partisipan tampak luwes ketika menimang salah
satu bayi kembar tersebut. Partisipan juga sempat memberitahu penulis bahwa kata “
mantuk
” di daerahnya merupakan kata yang tergolong kasar. Partisipan yang tahu
perbedaan arti kata tersebut tidak tersinggung atau marah pada penulis.
Pada pertemuan kedua, ketika bertemu dengan penulis di rumah partisipan, partisipan masih mengenakan baju tidur
berwarna coklat dengan rambut diikat ke belakang. Saat penulis datang, partisipan sedang duduk mengobrol di teras
rumah
lilike
yang berada di sebelah kiri rumahnya. Partisipan
kembali menyapa ramah penulis dan mempersilakan penulis masuk ke rumahnya.
Rumah partisipan tergolong sangat sederhana. Bangunan rumah terbuat dari kayu dengan lantai yang masih
dalam bentuk tanah. Dalam rumah tersebut terdapat satu kamar tidur besar dengan sekat terbuat dari kayu. Ruang tamu
rumah partisipan hanya tampak dua kursi panjang yang ditempatkan saling berhadapan dan mengapit sebuah meja
panjang. Dalam rumah terdapat tiga buah jendela. Sebuah jendela berkaca menghadap depan rumah serta dua buah
jendela yang ditutup dengan anyaman bambu dan kain berwarna biru berada di samping kanan kiri.
Wawancara yang dilakukan di ruang tamu membuat penulis dapat melihat kondisi nenek partisipan yang sedang
sakit. Meskipun dalam kondisi sakit, nenek selalu duduk meringkuk menghadap tembok kayu rumah. Selama proses
pengambilan data berlangsung, terdengar suara rintih kesakitan nenek partisipan.
Sebelum penulis menanyakan beberapa pertanyaan terkait wawancara sebelumnya, penulis menanyakan beberapa
hal mengenai kehidupan keluarganya. Ketika partisipan bercerita tentang kondisi neneknya sambil menatap tempat
tidur sang nenek yang berada tidak jauh dari tempat wawancara berlangsung, raut wajah partisipan terlihat sedih.
Berbeda halnya saat partisipan bercerita tentang keadaan orang tuanya, raut wajah partisipan terlihat biasa. Pada
pertemuan ini, partisipan yang duduk berhadapan dengan
penulis sudah lebih sering menatap langsung mata penulis ketika bercerita.
Selesai menanyakan tentang keluarga partisipan, wawancara
segera dimulai.
Pertanyaan pada
aspek komunikasi, dapat dijawab partisipan dengan lancar,
partisipan sempat memberi penekanan pada kata “
aku percaya dia, dia percaya aku
” Ketika pertanyaan mengenai aspek hubungan seksual diajukan, partisipan menjawab dengan
wajah tersipu malu sambil tertawa. Partisipan juga sempat menimpali ucapan teman penulis meski partisipan baru
pertama kali bertemu dengan teman penulis. Ketika penulis bertanya mengapa partisipan lebih
nyaman bercerita pada
lilike
daripada
mamane
, suara partisipan terdengar sedikit melemah namun tetap dapat
terdengar jelas. Pertanyaan seputar penyesuaian diri partisipan dalam keluarga pasangan membuat wajah partisipan terlihat
lebih senang dan selalu tersenyum ketika bercerita. Saat penulis menanyakan pernyataan partisipan puas
tidak puas pada aspek kondisi keuangan, wawancara sempat terhenti karena partisipan menghampiri neneknya yang
merintih kesakitan di tempat tidur beliau. Dari tempat penulis duduk, terdengar bahwa partisipan mengatakan pada
neneknya untuk tidak merintih terlalu keras karena ada temannya datang.
Saat ditanya tentang pengaruh kelahiran anak dalam hubungan suami dan partisipan, wawancara sempat terhenti
sejenak karena anak partisipan minta dibuatkan minuman.
Wawancara kembali berjalan. Ketika penulis menanyakan tentang peran suami dalam pekerjaan rumah tangga, partisipan
menjawab dengan memberikan penekanan pada kata “
rewang-rewang apa, tanpa disuruh
” diikuti posisi badan yang sedikit maju ke depan. Pada pertemuan kali ini,
partisipan jarang tertawa ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penulis. Selama pertemuan kedua, partisipan
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan suara nyaring namun sempat melemah pada saat pertanyaan tertentu
diajukan seperti ketika membahas kondisi neneknya. Saat melakukan
member check
pada pertemuan berikutnya, penulis datang lebih awal ke rumah partisipan.
Sesampainya penulis di rumah partisipan, penulis tidak langsung menjumpai partisipan karena partisipan sedang
berbelanja di pasar. Suasana rumah agak ramai karena keluarga partisipan berkumpul. Untuk pertama kalinya penulis
bertemu dengan paman, bibi serta adik-adik partisipan. Kali ini penulis bertemu kembali dengan suami serta anak
partisipan. Penulis juga bertemu dengan nenek partisipan dengan kondisi yang tidak begitu sehat. Kondisi nenek yang
tidak begitu sehat dibenarkan oleh adik partisipan yang menemani penulis di ruang tamu menunggu kedatangan
partisipan. Beberapa hari sebelumnya, kondisi nenek menurun hingga menyebabkan partisipan menghubungi keluarga yang
lain, termasuk adiknya yang sedang bekerja di Bintaro, Tangerang.
Selama berada di rumah partisipan, penulis melihat bahwa anak partisipan sangat dekat dengan ayahnya. Ini
terlihat dari sikap anak yang tidak mau berpisah dari ayahnya. Saat sang ayah hendak pergi menjemput partisipan, anak
partisipan bergelayut di sekitar ayahnya sambil terus merengek ingin ikut. Akhirnya, sang ayah mengizinkan
anaknya untuk ikut dan mengambilkan sandal anaknya di dalam rumah.
Ketika bertemu di rumah, partisipan menggunakan celana panjang dan kaos lengan pendek berwarna abu-abu.
Saat membaca transkrip sambil mendengarkan rekaman wawancara, beberapa kali partisipan tersenyum dan memberi
koreksi pada transkrip wawancara. Koreksi sempat terhenti sejenak karena nenek partisipan yang merintih merasa
kepanasan. Dari dua transkrip wawancara yang diberikan penulis, partisipan memberi sekitar lima atau enam koreksian
pada transkrip. Transkrip yang sudah selesai di koreksi oleh partisipan
dikembalikan sesaat sebelum ibu kandung, ayah tiri serta adik tiri partisipan datang untuk menjenguk nenek partisipan.
Setelah berbincang sejenak dengan ibu partisipan, penulis meminta izin untuk pulang.
Penulis kembali bertemu dengan partisipan pada tanggal 13 November 2013 untuk mendalami pernyataan
partisipan pada dua wawancara sebelumnya. Penulis berangkat dari rumah sekitar pukul 09.15 WIB naik kendaraan
umum. Sesampai penulis di rumah partisipan, partisipan
sedang sibuk memasak di dapur. Partisipan yang mengenakan kaos lengan pendek warna hijau dipadu celana pendek selutut
segera mempersilakan penulis
masuk ke rumahnya. Wawancara dilakukan di rumah bibi partisipan yang terletak
di sebelah kiri rumah partisipan. Pemilihan rumah bibi partisipan sebagai tempat wawancara lantaran rumah
partisipan yang
sedang direnovasi
sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan wawancara di rumah partisipan. Wawancara dilakukan tepatnya di ruang tamu
rumah bibi partisipan dengan posisi duduk penulis dan partisipan yang saling berhadapan. Partisipan yang berada di
depan penulis, duduk di kursi kayu panjang yang menghadap pintu masuk.
Untuk menghemat waktu, setelah bertukar kabar, penulis mulai mengajukan pertanyaan kepada partisipan.
Seperti pertemuan-pertemuan
sebelumnya, partisipan
menjawab pertanyaan penulis dengan suara nyaring. Sejak awal wawancara, saat menjawab maupun mendengarkan
pertanyaan yang diajukan, partisipan sudah menatap langsung mata penulis. Selama proses wawancara, partisipan tidak
mengalami kendala dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Hal ini ditunjukkan dengan kelancaran partisipan
saat menjawab pertanyaan. Partisipan sempat berhenti sebentar untuk mengingat kebiasaan pasangan yang ditiru
oleh partisipan. Saat menjawab pertanyaan, partisipan terlihat santai, tak jarang partisipan tertawa ketika memberikan
jawaban.
Setelah dirasa cukup, penulis mengakhiri wawancara dengan partisipan. Sebelum pamit pulang, partisipan kembali
berbincang sejenak dengan partisipan. Partisipan bercerita bahwa empat hari setelah pertemuan terakhir dengan penulis
di bulan Agustus, nenek partisipan meninggal dunia. Dari cerita partisipan tentang neneknya, nampak partisipan sangat
kehilangan sosok nenek yang sudah merawatnya sejak masih bayi. Partisipan sudah menganggap neneknya sebagai ibu
kandung yang sudah membesarkannya sejak bayi. Saat bercerita tentang neneknya, suara partisipan terdengar lirih
dengan wajah agak sedih. Mimik wajah serta volume suara ini sangat berbeda ketika proses wawancara berlangsung. Meski
merasa kehilangan, partisipan mengaku cukup puas karena semasa neneknya masih hidup, partisipan sudah menjaga serta
merawat neneknya sebaik mungkin. Pertemuan selanjutnya pada tanggal 18 November
2013 berlangsung singkat karena partisipan sedang sibuk mengurus rumah dan tukang yang merenovasi rumah
partisipan. Partisipan menyempatkan bertemu penulis pagi hari sekitar pukul 08.45 WIB. Sesampainya di rumah
partisipan, partisipan yang masih mengenakan baju tidur segera mempersilakan penulis masuk ke rumahnya terlebih
dahulu. Disana penulis bertemu dengan ibu kandung serta suami partisipan. Setelah berbincang sejenak, partisipan
mengajak penulis pindah ke rumah bibinya yang berada di sebelah rumah partisipan.
Di rumah bibi partisipan, penulis duduk berhadap- hadapan dengan partisipan. Ada pun posisi duduk partisipan
menghadap pintu masuk dan penulis membelakangi pintu masuk. Rumah bibi partisipan hanya terdiri dari dua ruang,
satu ruang tamu yang letaknya bersebelahan dengan ruang tidur. Kedua ruang ini hanya disekat oleh papan kayu
sedangkan antara kamar tidur dengan dapur disekat oleh tembok permanen. Dari ruang tamu, penulis tidak melihat
perabot rumah tangga selain meja dan kursi kayu yang digunakan untuk menerima tamu.
Selama partisipan menunggu penulis menyiapkan perlengkapan wawancara, partisipan duduk tegak dengan
kedua tangan berada di atas meja. Melihat sang anak mendatangi partisipan dan penulis, partisipan segera
menyuruhnya agar bermain di luar bersama temannya dan tidak mengganggu proses wawancara. Setelah perlengkapan
siap, wawancara pun segera dimulai. Saat penulis mengajukan pertanyaan mengenai alasan suami mengajak partisipan
tinggal bersama keluarga suami, partisipan menyimak sambil menganggukkan kepala. Dengan suara nyaring, partisipan
menjawab pertanyaan yang penulis ajukan. Pertanyaan tentang hubungan partisipan dengan
keluarga suami disimak partisipan dengan sungguh-sungguh hingga
kening partisipan
berkerut. Pada
pertanyaan selanjutnya tentang rencana kelahiran anak setelah menikah,
partisipan menjawab pertanyaan sambil menahan anaknya yang mau naik ke atas meja. Tak berapa lama kemudian, sang
anak berteriak minta jajan ketika melihat sepupu partisipan keluar
rumah. Partisipan
memarahi anaknya
dan menyuruhnya keluar menyusul jajan. Setelah anaknya keluar,
partisipan kembali melanjutkan jawabannya dengan suara nyaring.
Pertanyaan mengenai kapan mulai menggunakan alat kontrasepsi membuat partisipan menjawab sambil mengingat-
ingat. Hal ini nampak dari jawaban partisipan yang sedikit mengambang ketika bercerita. Masih dalam topik tentang
rencana memiliki anak kedua, sambil tertawa partisipan mengatakan dengan tegas belum ada rencana untuk hamil
lagi. Kening partisipan kembali berkerut saat penulis
menanyakan tentang perubahan dalam diri partisipan maupun pasangan setelah kelahiran anak. Jawaban partisipan diberikan
sambil mengingat-ingat kembali. Menjelang akhir wawancara, tepatnya saat penulis mengajukan pertanyaan tentang
hubungan suami istri, partisipan dipanggil ibunya karena ada telpon. Wawancara sempat terhenti sejenak dan dimulai lagi
setelah partisipan kembali. Penulis mengulang kembali pertanyaan tentang
pengaruh ketidakteraturan hubungan suami istri terhadap hubungan pernikahan partisipan. Dengan mantap partisipan
menjawab tidak ada pengaruh dari hal tersebut. Setelah menerima telpon, wajah partisipan berubah sedikit muram dan
suara partisipan juga melemah, tidak seceria sebelumnya.
Ketika membaca kembali transkrip wawancara, partisipan menyimak sungguh-sungguh rekaman yang penulis
putar melalui laptop. Selama partisipan membaca transkrip, partisipan tidak banyak memberi koreksi pada transkrip. Saat
penulis menanyakan tentang kalimat yang penulis ketik dengan ragu-ragu, partisipan membenarkan bahwa kalimat itu
sudah benar. Dirasa sudah sesuai antara rekaman dengan transkrip wawancara, partisipan menyerahkan kembali
transkrip kepada penulis.
c. Analisis verbatim