Menurut Krebs 1985, keanekaragaman rendah bila 0 H’ 2,30, keanekaragaman sedang bila 2,302 H’ 6,907 keanekaragaman tinggi bila H’ 6,907,
dapat disimpulkan bahwa perairan Pulau Sembilan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Menurut Begon et al., 1986, nilai diversitas berdasarkan indeks
Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila nilai H’1 tercemar berat, apabila nilai 1H3 tercemar sedang dan apabila nilai H’3 tidak
tercemarbersih.
Indeks keseragaman pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 0.82- 0.96 berarti penyebaran individu cukup merata. Apabila indeks keseragaman mendekati 0
maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut.
Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi plankton menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata, dari ketiga stasiun penelitian di kategorikan
penyebaran merata dan keseragaman rendah.
3.4 Indeks Similaritas
Dari hasil analisis data diperoleh nilai indeks similaritas antara stasiun pengamatan cukup
bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 3.4
Tabel 3.4 Nilai Indeks Similaritas IS IS
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 1
- 65.71
55.88
Stasiun 2 -
- 76.92
Stasiun 3 -
- -
Dari Tabel 3.4 di atas dapat dilihat bahwa nilai Indeks Similaritas IS yang
dikategorikan sangat mirip diperoleh antara stasiun 2 dengan stasiun 3 76,92, sedangkan antara stasiun 1 dengan stasiun 2, dan antara stasiun 1 dengan stasiun 3
tergolong mirip 55,88 dan 65,71. Hal ini disebabkan karena kondisi beberapa faktor
Universitas Sumatera Utara
fisik kimia Tabel 3.5 antara stasiun-stasiun penelitian tersebut cukup mirip dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda.
Menurut Krebs 1985, hlm: 525, Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan plankton yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila
semakin besar Indeks Similaritasnya, maka jenis plankton yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan plankton antara dua
lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor fisik-kimia dan biologi lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.
3.5 Faktor Fisik Kimia Perairan
Hasil pengukuran dan analisis laboratorium terhadap faktor fisik-kimia perairan yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan seperti pada Tabel 3.5
Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian No.
Parameter Satuan
Stasiun 1
2 3
1. Suhu
°C 28
29 30
2. pH
- 7,3
7,5 7,8
3. Salinitas
00
27 27,5
28 4.
Intensitas Cahaya Candela
473 562
497 5.
Penetrasi Cahaya M
2,51 1,96
2,64 6.
DO Mgl
5,7 4,6
4,2 7.
BOD
5
Mgl 2,7
3,1 3,3
8. Kejenuhan O
2
73,54 60,20
55,77 9.
Amoniak Mgl
0,428 0,432
0,508 10. Phosphat
Mgl 0,026
0,030 0,032
Keterangan: a. Stasiun 1
: Kontrol b. Stasiun 2
: Pertambakan Ikan c. Stasiun 3
: pemukiman penduduk
Universitas Sumatera Utara
3.5.1 Suhu
Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 28-29
o
C, dengan suhu tertinggi pada stasiun 3 yaitu 30
o
C daerah pemukiman penduduk dan terendah pada stasiun 1 yaitu 28
o
C daerah kontrol. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Efendi 2003 dalam Yuliana 2007 bahwa kisaran suhu yang optimum untuk
pertumbuhan plankton di perairan adalah 20-30
o
C.
Menurut Subarijanti 1990, suhu ini memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas
cahaya yang masuk kedalam air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur- unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus
secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton.
3.5.2 pH
Dari penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH derajat keasaman yang tertinggi sebesar 7,8 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar
7,3. Tingginya pH pada daerah ini disebabkan oleh adanya berbagai macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang selanjutnya akan
mengalami penguraian. Namun secara keseluruhan pH pada stasiun penelitian masih tergolong normal yang berkisar antara 7,3-7,8.
Menurut Kristanto 2002, hlm: 73-74, niali pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah buangan berbeda-
beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi
asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO
2
jika mengalami proses penguraian.
Universitas Sumatera Utara
3.5.3 Salinitas
Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 27-28
00
. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 28
00
, sedangkan nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 1 sebesar 27
00
. Hal ini disebabkan karena banyaknya limbah pemukiman masyarakat yang dapat meningkatkan kadar garam tersebut.
Menurut Barus 2004, hlm: 73 Secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui
aktivitas respirasi pada hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut
meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Proses penguraian bahan organik dalam
air, yang berasal dari pembuangan limbah cair misalnya, melalui proses biodegredasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis
alga dan fitoplankton lain. Hal ini akan menyebabkan kadar garam terlarut terlarut dalam air akan mengalami fluktuasi sesuai dengan fluktuasi dari populasi fitoplankton dan
fluktuasi dari jumlah bahan organik yang ada dalam air. Toleransi dari organisma air terhadap kadar salinitas dapat dibedakan antara stenohalin, yaitu organisme yang
mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi salinitas, sedangkan euryhalin adalah organisme yang mempunyai air yang mempunyai toleransi yang
luasbesar terhadap fluktuasi salinitas air.
3.5.4 Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terhadap di stasiun 2 keramba ikan yaitu 562 Candela. Pengukuran
dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi olah awan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suin 2002, prinsip penentuan kecerahan air dengan menggunakan keping sechii adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih
yang berada dalam air. Semakin keruh suatu perairan, akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih, akan jauh batas pandangan tersebut.
tarumingkeng, 2001 antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi
cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan. Ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman.
3.5.5 Penetrasi Cahaya
Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 1,96-2,64 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 3 daerah pemukiman penduduk sebesar
2,64 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 daerah pertambakan ikan sebesar 1,96 m.
Menurut Sastrawijaya 1991, hlm: 99, padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan dan
limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air.
Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar 2007, hlm: 16, padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.
3.5.6 DO Disolved Oxygen
Dari Hasil pengukuran dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 4,2-5,7 mgl pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada stasiun 1 sebesar 5,7
mgl. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai
Universitas Sumatera Utara
oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen yang
terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 4,2 mgl. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan organik yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa
ini dan tingginya suhu serata rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.
Menurut Sastrawijaya 1991, hlm: 85, oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada
kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat
oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air
berbau busuk.
3.5.7 BOD
5
Biological Oxygen Demand
BOD
5
Biological Oxygen Demand yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa BOD yang tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 3,3 mgl. Hal ini disebabkan karena
banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. BOD terendah terdapat pada stasiun 1
daerah kontrol yaitu 2,2 mgl.
Menurut Kristanto 2002, hlm: 87 BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-
bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan
yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar 2007, hlm: 22, bahan- bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan
mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber
Universitas Sumatera Utara
seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.
3.5.8 Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 sebesar 73,54 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 55,77. Hal ini menunjukkan bahwa pada
stasiun 1 memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dan respirasi meningkat dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat
pencemaran yang lebih rendah.
Menurut Barus 2004, hlm: 60, Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mgL, diperlukan
pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan
berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam
suatu contoh air yang diukur.
3.5.9 Amoniak
Dari data pada tabel 3.5 menunjukan bahwa hasil pengukuran amoniak berkisar antara 0,428-0,508 mgl. Nilai kandungan amoniak tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar
0,0508 mgl. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk kebadan perairan banyak mengandung senyawa anorganik dibandingkan senyawa
organik. Sedangkan kandungan amoniak terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,428 mgl. Banyaknya senyawa organik dapat dilihat dari nilai BOD.
Universitas Sumatera Utara
Menurut barus 2004, hlm: 69, nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh
tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang bisa mematikan organisme air.
3.5.10 Kadar Phosfat
Dari tabel 3.5 diperoleh hasil pengukuran phosfat berkisar antara 0,026-0,032 mgl. Dari data tersebut diperoleh nilai phosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,032 mgl.
Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 merupakan lokasi pembuangan limbah domestik. Sedangkan nilai phosfat terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,026 mgl. Hal ini
karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol tanpa aktivitas sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang dapat mempengaruhi kandungan phosfat pada stasiun ini.
3.6 Analisis Korelasi