faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007. 6. Sarcoidosis
Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal
yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi
jaringan yang terlibat oleh sarcoid May 2000; Tiemstra dkk, 2007. 7. Melkerson Rosenthal Syndrome MRS
Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua
plicata fissured tongue. Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing-
masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade
kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan May 2000.
II.1.9. Perbaikan Klinis
Pasien BelIs palsy umumnya memilki prognosis yang baik. Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan
klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan
Universitas Sumatera Utara
klinis dimulai dalam 1 minggu, 88 akan memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 dan dalam 3 minggu, kesembuhan
terjadi sekitar 61 Teixeira dkk, 2012. Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah
dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf
fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan
membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann HB grading system, Sunnybrook
scale, dan Yanagihara grading system Kanerva 2008. Dari ketiga sistem ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian,
terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan. Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor I-Vl yang memberikan evaluasi
dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele tabel 2 Berg 2009.
Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot
fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal 4, paralisis ringan 3,
paralisis sedang 2, paralisis berat 1, dan paralisis total 0. Sistem
Universitas Sumatera Utara
skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi
saraf fasial pada Bell’s palsy, herpes zoster oticus, dan follow up pembedahan neuroma akustikus tabel 3 Berg 2009.
Tabel 2. House Brackmann Facial grading system
Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.
Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem
regional berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris
Universitas Sumatera Utara
saat gerakan volunter, dan efek sekunder sinkinesia untuk menghasilkan skor gabungan maksimal 100 tabel 4 Kanerva 2008.
Tabel 3. Yanagihara facial grading system
Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations
from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Tabel 4. Sunnybrook facial grading system
Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations
from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Universitas Sumatera Utara
II.1.10.PENGOBATAN
Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s
palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema
dan kompresi saraf Axelsson 2013. II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA
Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah kortikosteroid dan atau antivirus. Jenis
kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bell’s palsy adalah golongan prednisolon.
II.1.10.1.1. Anti Virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus VZV merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy.
Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah
digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari.
Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan
menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan
konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF Marsk, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus pada Bell’s palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang
mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan
dengan plasebo pada pengobatan Bell’s palsy. Empat studi tidak menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan
dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon – asiklovir valasiklovir. Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan
manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovirvalasiklovir
dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind Marsk, 2012.
II.1.10.1.2 Metil Prednisolon
Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama
seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya Katzung 2003.
II.1.10.1.2.1. Farmakokinetik Steroid secara farmasi disintesis dari cholic acid yang diperoleh
dari sapi atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae.
Metil prednisolon memiliki nama kimia pregna -1,4-diene-3,20-dione,
Universitas Sumatera Utara
11,17,21-trihydroxy-6-methyl- 6α,11β dan berat molekul 374,48. Secara
struktural digambarkan dalam gambar 7.
Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon Dikutip dari :
http:www.rxlist.commedrol-drug.htm Metil prednisolon bersama dengan steroid sintetik lainnya
diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila diberikan melalui mulut. Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang
sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap dijumpai. Perubahan pada molekul glukokortikoid mempengaruhi
aktivitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. Seperti aktivitasnya dalam mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan ekskresinya, dan
produk metaboliknya. Halogenasi pada posisi 9, lepasnya ikatan 1-2 dari cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang waktu paruh
lebih dari 50. Gabungan α1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada beberapa kasus, obat diberikan adalah prodrug. Contohnya prednison,
yang dengan cepat dikonversi menjadi produk aktif prednisolon di dalam tubuh Katzung 2003.
Universitas Sumatera Utara
II.1.10.1.2.2. Farmakodinamik A.
Mekanisme kerja Kerja steroid sintetik sama dengan steroid alami kortisol, yang
diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein- protein ini merupakan anggota dari superfamily reseptor inti termasuk
steroid, sterol vitamin D, tiroid, retinoic acid, dan banyak reseptor lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui orphan
receptor. Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil, termasuk dua molekul heat shock protein Hsp90. Kompleks reseptor ini
dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin CBG, namun
memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang
tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas. Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan
glucocorticoid response element GRE pada promoter gen. Glucocorticoid response element GRE dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat
receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur transkripsi oleh Ribonucleic acid RNA polymerase dan faktor- faktor
lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger m RNA yang dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein
gambar 8 Katzung 2003; Lullman dkk, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8. Mekanisme kerja steroid
Dikutip dari: Katzung, B.G. 2003. Clinical Pharmaacology. 9th edition. Mc Graw Hill Companies, Inc.
B. Efek anti inflamasi dan imunosupresif
Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui
pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan
chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada
jaringan yang terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara molekul adhesi lekosit dengan molekul- molekul pada sel
endotel dan dihambat oleh glukokortikoid Lullman dkk, 2000. Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen
presenting cells APCs lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk
Universitas Sumatera Utara
merespon antigen dan mitogen dikurangi. Efek pada makrofag terutama bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan
membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis factor α TNF-α, interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen
activator. Makrofag dan limfosit manghasilkan interleukin-12 dan interferon yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T helper 1 dan lmunitas
selluler Lullman dkk, 2000. . Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi
respon inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan sintesa dari platelet activating factor yarg merupakan hasil dari
pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah
enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin gambar 9 Lullman dkk, 2000
C. Efek Samping dan Kontraindikasi
Pada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek samping, bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada
penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat menyebabkan tanda dan gejala cushings syndrome akibat produksi berlebihan dari kortisol.
Akibat kerja anti inflamasi, dapat menyebabkan menurunnya resistensi terhadap
infeksi, lambatnya penyembuhan luka, memperburuk penyembuhan ulkus
peptik. Akibat
kerja glukokortikoid terjadi glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta
Universitas Sumatera Utara
katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis, retardasi pertumbuhan pada bayi, atrofi
kulit. Akibat kerja
mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan hipertensi, edema dan kehilangan KCI dengan hipokalemia Lullman H
dkk, 2000. Kontraindikasi bila dijumpai tanda- tanda infeksi, kehamilan, ulkus peptikum, dan hipertensi berat Gomella dkk, 2008; Lagalla dkk,
2002.
Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi
Dikutip dari: Kumar, V.,Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Professional Edition. 8th ed. Saunders. Elsivier, lnc
D. Prednisolon pada Bell’s palsy
Pengobatan dengan kortikosteroid kortison, prednison atau prednisolon pada Bell’s palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang
salah dari saraf fasialis Kanerva 2008. Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam
pengobatan BeII’s palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Engstrom dkk 2008 menggunakan dosis prednisolon oral 60 mghari
selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah
onset Bell’s palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis
menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann HB grading system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik
kejadian sinkinesia yang lebih sedikit dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk
2007 yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset.
Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon
memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75
pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon Marsk 2012.
Universitas Sumatera Utara
Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk 2010 dan Gronseth dkk 2012 menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian
kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dan tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi
kortikosteroid tersebut Marsk 2012. II.1.10.2. BEDAH
Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy dimulai pada tahun 1930. Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk
mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya resiko komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran,
dizziness, dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan pentingnya dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari
saraf, dan menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome. Sementara May menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan
pada pasien- pasien yang diobati secara bedah yang menggunakan pendekatan transmastoid Axelsson 2013.
Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji dengan 69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled
trials tidak cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah. Pengobatan ini tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih
dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Swiss Axelsson 2013.
Universitas Sumatera Utara
II.1.10.3. REHABILITASI FISIK KABAT A.
Prinsip Rehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya proprioceptive
neuromuscular facilitation PNF adalah suatu pendekatan latihan terapi yang mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan
teknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah
secara luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan 1950 oleh Kabat, Knott dan Voss Keisner dkk, 2007.
Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular
dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan
rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan teknik neuromuskular cocok hingga ke fase akhir rehabilitasi gerakan diagonal
dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal. Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan
petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok
otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF
rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan stabilitas dinamik Keisner dkk, 2007.
B. Teknik
Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan gangguan muskoloskletal ekstremitas, leher, tubuh dan wajah. Pada
wajah, secara rasional teknik ini dapat digunakan karena serabut- serabut ototnya paling banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu
penyebaran yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini, terdapat tiga fulcra yang
diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah. Fulcra atas dahi dan mata dihubungkan melalui suatu aksis vertikal menuju fulcra pertengahan
hidung, sedangkan fulcra yang lebih bawah mulut untuk mengunyah dan artikulasi terletak disepanjang aksis horizontal. Karenanya, kerja
fulcra atas wajah juga melibatkan 2 fulcra lainnya Barbara dkk, 2010. Selama rehabilitasi, terapis memfasilitasi kontraksi neuromuskular
dari otot yang terganggu dengan menerapkan suatu regangan yang global kemudian tahanan pada keseluruhan atot dan memotivasi kerja dengan
input verbal dan kontak manual. Pada fulcra atas, pengaktifan dari otot frontal, corrugators dan orbicularis oculi dilakukan dengan traksi keatas
atau ke bawah, yang selalu berada pada bidang vertikal tergantung pada fungsi khusus yang harus diaktifkan. Pada fulcra tengah, pengaktifan dari
otot elevator communis dari ala nasi dan bagian atas bibir juga dikerjakan dengan gerakan traksi, mengikuti garis vertikal. Untuk fulcra bawah,
Universitas Sumatera Utara
manuver dikerjakan pada m. orbicularis oris dan risorium pada bidang horizontal dan m. mentalis pada bidang vertikal Barbara dkk, 2010.
Secara sistematis, teknik rehabilitasi kabat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut gambar 10:
1. Melatih m. orbicularis oris Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan pada
sudut mulut kirikanan A. Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan menarik
sudut mulut ke arah samping kiri kanan B. Pasien disuruh mencucu sambil diberi tahanan oleh terapis dan
ditahan selama 8 kali hitungan 2. Melatih m. zygomaticus mayor dan levator labii
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari telinga tengah diletakkan pada sudut mulut kiri kanan
A. Dilakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m. levator labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial.
B. Pasien disuruh untuk menarik sudut mulut ke arah luar sambil diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan
Universitas Sumatera Utara
A B
A B
1
2
3
4 5
6
7
8
Gambar 10. Teknik Rehabilitasi Kabat
Dikutip dari: Al- mohana, A., Al-Ramezi, K., Abdulkareem,L., Al-Jwer,N., Al-Ajmi, M., Mohammed,S. 2007. Physical therapy management for facial nerve paralysis. Committee of Physical Therapy Protocols. Office of Physical Therapy Affairs. Ministry of
Health – Kuwait
Universitas Sumatera Utara
3. Melatih m. dilator nares dan nasalis Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan pada kedua ala nasi
cuping hidung A. Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung ke arah kaudal
B. Pasien disuruh mengembangkan cuping hidung sambil diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan
4. Melatih m. procerus Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan di batang hidung
pada kedua sisi A. Dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian bawah
B. Pasien disuruh dengan menaikkan lipatan nasolabial ke arah atas sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan
5. Melatih m. orbicularis oculi Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di
sudut mata pasien A. Dilakukan peregangan dengan menarik sudut mata ke rah lateral.
B. Pasien disuruh mengerutkan kelopak mata sambil menutup mata dengan kuat dan diberi tahanan selama 8 kali hitungan
6. Melatih m. corrugators supercelli Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di atas
alis mata A. Dilakukan peregangan dan menarik sudut alis ke arah lateral
Universitas Sumatera Utara
B. Pasien disuruh mengerutkan sudut alis ke arah medial sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan
7. Melatih m. frontalis Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas alis
mata A. Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis
mata ke arah kaudal bawah B. Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan selama 8
kali hitungan 8. Melatih m. mentalis
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada dagu A. Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral
B. Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8 kali hitungan Al-mohana dkk, 2007; Keisner dkk, 2007
C. Rehabilitasi kabat pada BeIIs palsy
Rehabilitasi fisik kabat adalah salah satu bentuk latihan terapi yang telah digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bell’s palsy. Satu
penelitian yang dilakukan Barbara dkk 2010 terhadap 20 orang penderita Bell’s palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama 9 orang
diberi terapi medikamentosa kombinasi steroid dan antivirus dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua 11 orang hanya diberi
medikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan PNF. Rehabilitasi dimulai pada
Universitas Sumatera Utara
hari ke- 4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari selama 15 hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai
tingkat perbaikannya berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih
cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.
Universitas Sumatera Utara
II.2. KERANGKA TEORI
BELL’S PALSY
KOMPRESI KERUSAKAN SARAF
EDEMA PENJEPITAN
INFLAMASI ISKEMIA
GENETIK VASKULAR
INFEKSI VIRUS
AUTOIMUN
Miehlke dkk. 1986: spasme vaskular menyebabkan
pembengkakan saraf di kanal fasialis,
yang kemudian menyebabkan edema
kompresi.
Kanerva, 2008:
iskemia saraf fasialis menyebabkan edema dan
penjepitan saraf disepanjang perjalanannya di kanal temporal
Linder dkk, 2005: dijumpainya HSV DNA didalam ganglion
genikulatum tidak menjelaskan suatu kaitan langsung dgn BP
Garg dkk, 2012: kasus Bell’s palsy terkait genetik
rekurensi ipsilateral atau kontralateral
.
Mayoritas adalah
autosomal dominant inheritance
Hughes dkk, 1986: menemukan adanya
transformasi abnormal limfosit . BP hasil dari
imunitas sel melawan antigen saraf perifer
Kanerva, 2008: inflamasi saraf fasialis menyebabkan edema dan
penjepitan saraf disepanjang perjalanannya di kanal temporal
Murakami dkk, 1996: HSV-1 DNA dideteksi
pada 86 dan VZV DNA pada 43 di
ganglion genikulatum pada pasien BP
Kanerva, 2008: edema dan penjepitan saraf menghasilkan kompresi dan
kerusakan langsung saraf fasialis Berg, 2009: edema dan penjepitan yang
akhirnya menyebabkan kompresi dan kerusakan saraf fasialis, merupakan
komponen penting pada patogenesis BP
Universitas Sumatera Utara
II.3. KERANGKA KONSEP
BELL’S PALSY
METIL PREDNISOLON
METIL PREDNISOLON + REHABILITASI KABAT
PERBAIKAN KLINIS PERBAIKAN KLINIS
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN