52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
1. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia Bank syariahdi Indonesia baru dilakukan pada tahu 1990. Majelis
Ulama Indonesia
MUI pada tanggal
19-20 Agustus
1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid
Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
37
Bank Muamlat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditanda
tangani pada 1 November 1991. Dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal tersebut pada tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di
Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan, dan Makasar. Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai
dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam undang- undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha
37
Muhammad Syafi‟i. “Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek”, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h.25.
53
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tesebut juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk
membuka cabang
syariah atau
bahkan mengkonversikan diri secara total menjadi bank syariah.
Bank Syariah Mandiri BSM merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara
struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti BSB, sebagai salah satu anak perusahaan lingkup Bank Mandiri, yang kemudian dikonversikan
menjadi bank syariah secara penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerjasama dengan Tazkia
Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.
2. Perkembangan Non Performing Financing NPF Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 924DPbs tahun
2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah, Non Performing Financing adalah Pembiayaan yang terjadi
ketika pihak debitur mudharib karena berbagai sebab, tidak dapat memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana pembiayaan
pinjaman. Besarnya NPF yang diperbolehkan Bank Indonesia adalah
maksimal 5, jika melenihi 5 akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank yang bersangkutan yaitu akan mengurangi nilai skor
yang diperoleh.
54
Perkembangan Non Performing Financing NPF sektor konstruksi periode 2012-2015 dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 4.1 Perkembangan
Non Performing Finance NPF Periode Januari 2012
– Desember 2015
Sumber: Data Olahan dari Bank Indonesia Perkembangan pola NPF sektor Konstruksi periode 2012-2015
berfluktuasi cenderung tinggi, diawali dari bulan Januari 2012 NPF berada 0,083 atau sebesar 8,3 lebih dari 5, keadaan ini memiliki risiko tinggi
untuk tidak kembali. Hanya pada bulan Juni 2014 keadaan NPF sektor konstruksi ini kurang dari 5 yang berada pada angka 0,0459 atau sebesar
4,59 . Fluktuasi NPF sektor konstruksi tertinggi terjadi pada bulan April 2012 yaitu sebesar 0,0908 atau sebesar 9,08. Hal ini disebabkan karena
perbankan syariah kurang berhati-hati dalam menempatkan dananya pada
2 4
6 8
10
Jan -12
Ma y
-1 2
Se p
-12 Jan
-13 Ma
y -1
3 Se
p -13
Jan -14
Ma y
-1 4
Se p
-14 Jan
-15 Ma
y -1
5 Se
p -15
NPF Sektor Konstruksi
NPF Sektor Konstruksi
55
sektror riil, sehingga mengakibatkan pengembaliannya yang tidak lancar atau kredit macet.
3. Perkembangan Financing to Deposit Ratio FDR FDR menunjukkan pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan oleh
bank syariah dengan mempertimbangkan dana pihak ketiga yang dihimpun, dengan adanya penyaluran pembiayaan maka akan
menimbulkan pembiayaan bermasalah apabila tidak dilakukan dengan tepat.
Dalam penelitian ini, data mengenai FDR diperoleh dari Statistik Perbankan Syariah yang disajikan oleh Bank Indonesia. Dapat dilihat
dalam gambar grafik dibawah ini :
Gambar 4.2 Perkembangan
Financing to Deposit Ratio FDR
Sumber: Data Olahan dari Bank Indonesia
20 40
60 80
100 120
Jan -12
Apr- 12
Ju l-
12 Oct-
12 Jan
-13 Ap
r- 13
Ju l-
13 Oct-
13 Jan
-14 Ap
r- 14
Ju l-
14 Oct-
14 Jan
-15 Ap
r- 15
Ju l-
15 Oct-
15
FDR
FDR
56
Dari grafik diatas dapat dilihat besarnya FDR periode 2012-2015 pada bulan Juli 2013 sebesar 1,0483 atau sebesar 104,83, sedangkan
yang terendah memiliki angka 0,8727 atau 87,27. 4. Perkembangan Capital Adequacy Ratio CAR
Capital Adequacy Ratio CAR adalah rasio kinerja bank unuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva
yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan.
CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian
bank yang disebabkan oleh aktiva yang beresiko, yang dapat diketahui melalui perbandingan antara modal ATMR. Berikut ini gambar grafik
perkembangan Capital Adequacy Ratio CAR periode 2012-2015 :
Gambar 4.3 Perkembangan Capital Adequacy Ratio CAR
Sumber: Data Olahan dari Bank Indonesia
5 10
15 20
Jan -12
Ap r-
12 Ju
l- 12
Oct- 12
Jan -13
Ap r-
13 Ju
l- 13
Oct- 13
Jan -14
Ap r-
14 Ju
l- 14
Oct- 14
Jan -15
Ap r-
15 Ju
l- 15
Oct- 15
CAR
CAR
57
Perkembangan pola CAR periode 2012 sampai 2015 berfluktuasi dengan angka tertinggi 16,85 pada bulan Mei 2014 hingga angka
terendah 12,23 pada bulan November 2013. Ratio CAR mengalami penurunan pada periode Januari 2012 yaitu sebesar 16,27 sampai Mei
2012 sebesar 13,4, setelah mengalami penurunan CAR terus bergerak naik hingga mencapai 16,85 periode Mei 2014. Memang berdasarkan
ketentuan PBI No. 1026PBI2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, minimum CAR bagi bank umum adalah
sebesar 8. CAR menunjukkan seberapa besar modal bank untuk menunjang kebutuhannya dan semakin besar CAR maka akan semakin
besar daya tahan bank yang bersangkutan dan menunjukkan semakin sehat bank tersebut.
5. Perkembangan Biaya Operasional Pendapatan Operasional BOPO Rasio BOPO sering disebut rasio efisiensi digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasioanl terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini
berarti semakin efisien biaya operasioanl yang dikeluarkan bank yang bersangkutan, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah semakin kecil. Bank yang sehat ketentuan dari Bank Indonesia yaitu harus memiliki BOPO 85. Jika sebuah bank memiliki
BOPO lebih dari ketentuan BI maka bank tersebut kategori tidak sehat dan tidak efisien. Dibawah ini adalah gambar grafik perkembangan
BOPO periode 2012 sampai 2015.
58
Gambar 4.4 Perkembangan Biaya Operasional Pendapatan Operasional BOPO
Sumber: Data Olahan dari Bank Indonesia Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa BOPO yang melebihi
angka 85 terjadi pada periode Januari 2012 dimana angka rasio BOPO mencapai 86,22, kemudian pada periode selanjutnya rasio BOPO
kembali pada angka dibawah 85 dengan pergerakan yang berfluktuasi disekitar angka 70,43 sampai 83,77. Dan pada periode Januari 2015
sampai Desember 2015 BOPO mengalami ketidak sehatan yang berada pada angka 94,8 hingga 97,01.
B. Hasil Analisis dan Pembahasan