4.2.3 Teknologi penanaman pada tiga agroekologi lahan
Usaha tani kedelai dilakukan satu kali musim tanam selama empat bulan. Pola tanam kedelai pada tiga agroekologi lahan
berbeda. Pada Gambar 4 dilahan pasang surut penanaman kedelai dilakukan dua kali musim tanam yaitu musim tanam pertama pada
bulan Desember sampai Maret dan musim tanam kedua pada Bulan April sampai Juli. Pada lahan sawah irigasi penanaman dilakukan
satu kali tanam yaitu pada Bulan Juli sampai Oktober. Sedangkan pada lahan kering penanaman bisa dilakukan tiga kali dalam setahun
yaitu musim tanam pertama Bulan Januari sampai April, musim tanam kedua Bulan Mei sampai Agustus, dan musim tanam ketiga
Bulan September sampai Desember.
Agroekologi Bulan
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
L. Pasang Surut L. Sawah Irigasi
L. Kering
Keterangan :
Musim Tanam Pertama Musim Tanam Kedua
Musim Tanam Ketiga
Gambar 4 Pola tanam dalam 1 tahun pada tiga agroekologi lahan. Pada lahan pasang surut dan sawah irigasi sangat memperhatikan
pola tanam dibanding di lahan kering. Waktu tanam di lahan sawah sebaiknya dilakukan pada bulan April sampai Juli MK I, awal musim
kemarau atau Juli sampai Oktober MK II, akhir musim kemarau. Waktu tanam di lahan kering pada akhir musim hujan MH II yakni
antara bulan Februari sampai Mei. Waktu tanam di lahan pasang surut dilakukan pada akhir musim hujan MH II yakni antara bulan Februari
sampai Mei Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997. Waktu tanam dapat disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Curah
hujan yang cukup selama pertumbuhan dan berkurang saat pembungaan dan menjelang pemasakan biji akan meningkatkan hasil kedelai.
Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase petani penangkar dalam melakukan penanaman selalu menggunakan jarak tanam, di lahan pasang
surut sebesar 90, lahan sawah irigasi sebesar 88 dan lahan kering sebesar 92. Tidak semua petani penangkar menggunakan jarak tanam
sesuai rekomendasi, di lahan pasang surut masuk dalam kategori sering melakukan yaitu sebesar 78, lahan sawah irigasi dan lahan kering masuk
dalam kategori cukup yaitu masing masing sebesar 54 dan 52. Pada umumnya petani masih menyamakan produksi untuk konsumsi dengan
produksi benih. Di tingkat petani populasi tanaman per hektar untuk produksi benih masih diatas 500.000 tanamanha. Secara teknis untuk
perbanyakan benih kedelai populasi berkisar dari 300.000-500.000 tanamanha Darman 2007.
Gambar 5 Persentase petani yang melakukan jarak tanam pada tiga agroekologi lahan.
Cara penanaman benih, baik di lahan sawah maupun di lahan kering secara tugal dengan jarak tanam teratur. Di lahan sawah bekas panen padi
tanpa pengolahan tanah, penugalan dapat dilakukan di samping tunggul jerami padi mengikuti jarak tanam padi 20 x 20 cm atau di tengah antara
tunggul jerami padi. Jarak tanam anjuran: 1. 40 x 10 cm 2 biji per lubang dengan populasi 500.000 tanamha; 2 40 x 15 cm 2 biji per
lubang dengan populasi 300.000 tanamha; dan 50 x 10 cm 2 biji per
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Jarak tanam ditentukan Jarak tanam sesuai
rekomendasi
P e
r se
n ta
se
Jarak tanam
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
lubang dengan populasi 400.000 tanamha Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997.
4.2.4 Teknologi pemupukan pada tiga agroekologi lahan
Penggunaan pupuk baik cara ataupun dosis yang dilakukan petani juga belum efektif dan efisien untuk menghasilkan benih yang bermutu.
Di daerah lahan pasang surut dan sawah irigasi dilakukan pemupukan meskipun takarannya ada yang melebihi dosis ataupun kurang dari dosis
rekomendasi, sedangkan di daerah lahan kering masih sangat minim pemberian pupuknya.
Gambar 6 Persentase petani yang melakukan pemupukan pada tiga agroekologi lahan.
Pada Gambar 5 persentase petani yang menggunakan pupuk pada lahan pasang surut dan lahan sawah irigasi tergolong selalu 90,
sedangkan di lahan kering tergolong cukup 42. Persentase petani penangkar yang menggunakan pupuk sesuai rekomendasi di lahan pasang
surut termasuk dalam kategori sering 68, lahan sawah irigasi dalam kategori sering 66 dan lahan kering dalam kategori rendah 26.
Persentase petani penangkar yang menggunakan pupuk sesuai analisa tanah pada tiga agroekologi lahan termasuk dalam kriteria rendah, di lahan
pasang surut sebesar 24, lahan sawah irigasi dan lahan kering sebesar
28.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Menggunakan pupuk
Sesuai rekomendasi
analisa tanah
P e
r se
n ta
se
Pemupukan
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
Penggunaan pupuk di lahan pasang surut rata rata dalam 1 hektar yaitu: 90,5 kg urea + 75 kg SP-36 + 60 kg KCl + PONSKA 80 kg + Pukan
875 kg + pupuk cair 2,1 liter + kapur 410 kg. Rekomendasi pemupukan dalam 1 hektar pada lahan ini adalah 150 kg PONSKA + 50 kg SP 36 atau
50-75 kg urea + 100 kg SP 36 + 50-100 kg KCl BALITKABI 2008. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada daerah tersebut belum
sesuai dengan anjuran rekomendasi. Penggunaan pupuk pada daerah sawah irigasi rata-rata dalam 1
hektar yaitu : 110 kg Urea + 110 kg SP-36 + 10 kg KCl + Pukan 685 kg + Pupuk cair 0,8 lt + Kapur 410 kg. Rekomendasi pemupukan dalam 1
hektar pada lahan ini adalah tanpa pupuk kandang dan jerami yaitu 50-75 kg urea + 75-100 kg SP-36 dan 100 kg KCl BALITKABI 2008.
Takaran pupuk petani di daerah lahan kering rata-rata dalam 1 hektar yaitu : 4 kg Urea + 4 kg SP-36 + 3,5 kg KCl per hektar + PONSKA 5
kgha + Pukan 490 kgha + Pupuk cair 1,9 ltha. Rekomendasi pemupukan dalam 1 hektar pada lahan ini adalah 75 kg urea + 100 kg SP 36 dan 100
kg KCl BALITKABI 2008. 4.2.5
Teknologi pengendalian hama dan penyakit pada tiga agroekologi lahan Hasil pengamatan pada tiga agroekologi lahan teryata gangguan
hama dan penyakit tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai. Hal ini disebabkan sudah adanya usaha preventif, sehingga
pengendalian hama dilakukan berdasarkan pemantauan. Pengendalian secara kultur teknis antara lain pergiliran tanaman dan tanam serentak
dalam satu hamparan. Jika populasi hama tinggi atau kerusakan daun 12,5 dan kerusakan polong 2,5, tanaman disemprot dengan
insektisida efektif. Persentase petani penangkar yang melakukan tindakan pencegahan
terhadap serangan hama dan penyakit dapat dilihat di Gambar 7. Di lahan pasang surut sebesar 66 kategori sering lahan sawah irigasi 88
kategori selalu, dan lahan kering 60 kategori cukup. Persentase yang melakukan pengendalian hama secara terpadu di lahan kering termasuk
dalam kategori cukup dengan nilai persentase sebesar 40, di lahan
pasang surut dan lahan sawah termasuk dalam kategori sering dengan persentase masing masing sebesar 80 dan 72.
Gambar 7 Persentase petani yang melakukan pengendalian hama dan penyakit pada tiga agroekologi lahan.
Organisme Penganggu Tanaman OPT merupakan salah satu resiko yang harus dipertimbangkan dalam budidaya tanaman berdasarkan
pengamatan OPT di wilayah penelitian, OPT utama yang perlu diwaspadai adalah ulat grayak Spodoptera litura F.. Ulat grayak mulai muncul pada
fase vegetatif 11 hari setelah tanam sampai dengan fase generatif pada saat pertumbuhan polong dan biji 51-70 hari setelah tanam. Serangan
membahayakan bisa terjadi pada fase generatif sebab kondisi tanaman tidak mampu lagi menggantikan daun yang telah dirusak oleh ulat grayak
dengan tumbuhnya daun baru. Selain itu serangan pada fase generatif akan sangat menurunkan kemampuan tanaman waktu pengisian polong atau
biji. Tingkat serangan ulat grayak rata-rata relatif rendah, di bawah
ambang batas pengendalian 25 - kerusakan daun proses ini berjalan sampai dengan + 40 hari setelah tanam, sehingga pengendalian yang
dianjurkan adalah pengendalian secara mekanis, yaitu dengan cara mengumpulkan ulat dan telur yang masih mengelompok dan sudah
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Ada usaha pencegahan Melakukan PHT
P e
r se
n ta
se
Pengendalaian Hama dan Penyakit
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
tersebar, kemudian dimusnahkan. Berkaitan dengan faktor ketahanan terhadap serangan hama ulat grayak, varietas Anjasmoro tergolong toleran
terhadap serangan ulat grayak. Tingkat serangan ulat grayak selalu di bawah ambang batas pengendalian AP sampai dengan akhir stadia
generatif. 4.2.6
Teknologi roguingseleksi pada tiga agroekologi lahan Seleksi adalah tahapan kegiatan dalam produksi benih yang sangat
penting untuk menjaga kemurnian varietas yang akan dihasilkan. Roguing pada fase vegetatif pada tiga agroekologi lahan selalu dilakukan dengan
persentase dilahan pasang surut sebesar 92, lahan kering 98, lahan sawah irigasi 86 Gambar 8. Roguing pada fase generatif pada tiga
agroekologi lahan selalu dilakukan dengan persentase di lahan pasang surut sebesar 86, lahan kering 84, lahan sawah irigasi 96
Gambar 8.
Gambar 8 Persentase petani yang melakukan rougingseleksi pada tiga agroekologi lahan.
Hasil pengamatan di lapangan meskipun dilakukan roguing teryata masih belum maksimal, karena pengetahuan tentang deskripsi varietas
masih rendah dan waktu pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi. Roguing fase vegetatif dilakukan pada 7-15 hari setelah tanam HST.
Caranya adalah dengan membuang tanaman yang berbeda warna
75.00 80.00
85.00 90.00
95.00 100.00
Roguing pada fase vegetatif
Roguing pada fase generatif
P e
r se
n ta
se
RoguingSeleksi
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
hipokotilnya. Roguing fase generatif dilakukan terhadap seleksi warna bunga dan seleksi bulu. Seleksi warna bunga setiap hari dari mulai keluar
bunga sampai berbunga penuh 100. Roguing bulu, dilakukan pada waktu 1-3 hari pada saat warna bulu sudah jelas benar menjelang tanaman
mencapai matang 90 atau menjelang panen. Roguing bentuk daun dilakukan selama pertumbuhan tanaman kedelai. Roguing tipe tanaman
dilakukan selama pertumbuhan tanaman, yang diutamakan menjelang matang fisiologis 90 BALITKABI 2008.
4.2.7 Teknologi pasca panen pada tiga agroekologi lahan
Penanganan pascapanen untuk perbenihan kedelai mulai dari pe- ngeringan brangkasan, pembijian, pengeringan biji, pembersihan dan
sortasi, pengemasan benih, serta penyimpanan benih. Pada Gambar 9 dapat diketahui bahwa tahapan pasca panen dalam memproduksi benih
dilaksanakan semua pada tiga agroekologi lahan.
Gambar 9 Persentase petani yang melakukan teknologi pasca panen pada tiga agroekologi lahan.
Persentase yang melakukan pengeringan brangkasan setelah panen di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu dilakukan, dengan
persentase di lahan pasang surut dan sawah irigasi masing masing sebesar 96 dan dilahan kering sebesar 94. Persentase pembijian dengan mesin
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Pengeringan brangkasan
setelah panen Pembijian
dengan mesin Pembersihan dan
sortasi biji Pengemasan
benih Penyimpanan
benih
P e
r se
n ta
se
Teknologi pasca panen
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
dilahan pasang surut sebesar 88 selalu, lahan irigasi dan lahan kering termasuk kategori cukup yaitu masing masing 78 dan 76. Persentase
kegiatan pembersihan dan sortasi biji selalu dilakukan di tiga agroekologi lahan. Di lahan pasang surut sebesar 90, lahan sawah irigasi 94 dan
lahan kering 96. Persentase kegiatan pengemasan benih termasuk dalam kategori selalu dilakukan, dilahan pasang surut sebesar 90, di
lahan sawah irigasi sebesar 94 dan lahan kering 92. Persentase penyimpanan termasuk dalam kategori selalu dilakukan, dilahan pasang
surut sebesar 84 , lahan sawah irigasi 80 dan lahan kering sebesar 82.
Brangkasan tanaman dijemur dengan beralaskan terpal plastik, untuk memudahkan perontokan biji. Brangkasan tanaman yang tidak langsung
dijemur dan dibiarkan lama disimpan akan menurunkan mutu dan daya simpan benih. Penjemuran brangkasan dilakukan hingga kadar air biji
kedelai telah menurun sekitar 13-15. Pembijian kedelai dilakukan dengan menggunakan mesin perontok
thresher, dengan cara memisahkan biji hasil perontokan dari brangkasannya. Biji kedelai hasil perontokan disimpan untuk langsung
dijemur. Pembersihan dan sortasi biji dilakukan setelah pengeringan, atau dilaksanakan sambil melakukan pengeringan. Biji kedelai ditampi atau
diayak untuk memisahkan biji bernas dengan ukuran seragam dari kotoran termasuk biji yang kecil, jelek dan keriput atau potongan biji.
Seleksi warna polong dilakukan pada saat tanaman menjelang panen sudah kering panen, dengan cara membuang tanaman yang berbeda
warna polong matangnya. Seleksi biji dilakukan pada saat sortasi biji dengan cara membuang biji-biji yang menyimpang berbeda warna biji,
warna hilum dan permukaan biji. Benih disimpan dalam karung plastik dengan kemasan 40-50 kg. Pengemasan benih dilakukan setelah keluar
label sertifikat hasil uji yang dikeluarkan oleh BPSB. Identitas mutu benih ditandai dengan label sertifikasi dari BPSB. Penyimpanan dilakukan
menggunakan kemasan dengan sistem rapat udara dan kemasan tidak menempel di dinding.
4.2.8 Teknologi pengujian mutu benih pada tiga agroekologi lahan
Dalam kegiatan produksi benih, pengujian mutu benih memegang peranan yang sangat penting, dimana benih yang akan dihasilkan harus
diuji mutunya dari fase vegetatif sampai fase generatifnya. Pengujian mutu standar dilakukan melalui pemeriksaan lapang yang dilakukan oleh
penangkar sendiri dan petugas Balai Pengujian Sertifikasi Benih. Hasil panen yang dilakukan kemudian dilakukan pengujian mutu di laboratorium
yang meliputi kadar air, benih murni, kotoran benih, varietas lain, daya tumbuh dan benih warna lain.
Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa kegiatan pengujian mutu dilakukan di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu
dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas BPSB di tiga agroekologi lahan termasuk dalam kategori selalu dilakukan. Di lahan
pasang surut sebesar 92, lahan sawah irigasi dan lahan kering sebesar 96. Pengujian laboratorium di tiga agroekologi lahan termasuk dalam
kategori selalu dilakukan. Persentase kegiatan pengujian laboratorium di lahan pasang surut dan lahan sawah irigasi sebesar 94 dan di lahan
kering sebesar 96.
Gambar 10 Persentase pengujian mutu pada lahan petani penangkar pada
tiga agroekologi lahan.
90.00 91.00
92.00 93.00
94.00 95.00
96.00 97.00
Pemeriksaan BPSB Uji laboratorium
P e
r se
n ta
se
Pengujian Mutu
L. Pasang Surut L. Sawah irigasi
L. Kering
Benih bermutu dan bersertifikat, diperlukan sertifikasi yang mencakup pemeliharaan di lapang dan laboratorium. Persyaratan secara
umum adalah sebagai berikut: 1. Produksi benih bersertifikat harus terdaftar di Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih BPSB 2. Sertifikasi lapang di mulai pada saat penentuan lokasi fase vegetatif,
fase generatif dan panen 3. Petani bukan penangkar benih, dapat memproduksi benih bersertifikat
melalui kerjasama dengan penangkar benih, seperti melalui sistem operasi lapangan Oplap.
4. Sertifikasi lapangan dilakukan oleh BPSB
4.3 Analisa Usahatani Produksi Benih Kedelai