Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi

Benih kedelai akan memiliki daya berkecambah dan vigor tinggi apabila dipanen tepat pada saat matang fisiologis. Oleh sebab itu benih kedelai dipanen tidak pada saat matang fisiologis karena akan menyulitkan dalam pengeringan, akibatnya daya berkecambah benih pun menurun Sumarno Harnoto 1995. Benih bermutu dihasilkan melalui prosedur produksi benih yang berawal dari persiapan lahan yang bebas dari kontaminasi genetik, penyediaan benih yang terjamin sumber mutunya, pengolahan benih setelah panen dan penanganannya sampai ke konsumen. Pengadaan benih kedelai yang bermutu masih sulit karena benih kedelai yang beredar pada umumnya benih label merah jambu yang mutunya rendah. Benih kedelai yang di perjualbelikan harus melalui tahapan sertifikasi benih, yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih tersebut, seperti: kadar air maksimum 11, daya berkecambah lebih dari 80, memiliki kemurnian minimal 97, kotoran benih maksimal 3, benih varietas lain maksimal 0.5 - 0.7, memiliki sifat yang unggul dan seragam, memiliki vigor tinggi, sehat tidak terinfeksi cendawan dan tidak terinfeksi virus. Menurut Wirawan Wahyuni 2002, permasalahan pengadaan benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1. Produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usaha tani kurang menguntungkan. 2. Harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya. 3. Masa edar waktu pemasaran benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat singkat. 4. Harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin mengecilkan minat petani dan penangkar benih kedelai.

2.3. Agroekologi Lahan di Provinsi Jambi

Pertanaman kedelai di Indonesia dibudidayakan pada lahan sawah, lahan pasang surut dan lahan kering. Luas lahan kering untuk pertanian di Indonesia diperkirakan mencapai 55,6 juta ha Hidayat Mulyani 2002. Sebaran lahan kering tersebut meliputi 41 di Sumatera, 28 di Kalimantan, dan 24 di Sulawesi dan Jawa, dan kira-kira 24,3 lahan kering tersebut didominasi oleh podsolik merah kuning ultisol. Di Sumatera, luas lahan kering sekitar 5 juta hektar dan lahan terlantar sekitar 2,5 juta hektar Atman 2006. Lahan merupakan lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Sifat lahan menunjukkan bagaimana kemungkinan penampilan lahan jika digunakan untuk penggunaan lahan. Sifat lahan akan mempengaruhi keadaan yaitu bagaimana ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akan kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara, dan sebagainya. Perilaku lahan yang menentukan pertumbuhan tersebut disebut kualitas lahan Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan berbagai komoditi utama andalan maka Pemerintah Provinsi Jambi memandang perlu menyusun rencana pengembangan kawasan sentra produksi P-KSP guna meningkatkan pemerataan pembangunan dan sebagai acuan lokasi investasi bagi pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi, efektifitas dan nilai tambah dari investasi di bidang pertanian BAPPEDA 2000. Pengembangan KSP merupakan suatu pola pembangunan dengan pendekatan wilayah terpadu, secara menyeluruh dan komprehensif menganut aspek tata ruang, mekanisme perencananan dan pola koordinasi pembangunan. KSP merupakan wadah yang menampung berbagai program kegiatan pengembangan sektor, pengembangan komoditi unggulan, kawasan strategis dan pengembangan sistem prasarana pendukungnya. Pengembangan KSP dilakukan atas dasar upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan wilayah. Dalam jangka pendek, upaya ini diharapkan dapat mendorong pemanfaatan sumberdaya pertanian dan pengembangan infrastruktur penunjang komoditas pangan dan perikanan secara optimal melalui usaha intensifikasi, rehabilitasi, diversifikasi, dan peningkatan produksi hasil pertanian. Dalam jangka panjang diharapkan dapat mendorong perkembangan wilayah dan mempercepat pemulihan perekonomian nasional BAPPEDA JAMBI 2000. Dalam rangka mendukung rencana P-KSP Provinsi Jambi, maka sangat diperlukan data dan informasi sumberdaya lahan dan sosial ekonomi yang handal dan akurat, sehingga dapat disusun perencanaan pembangunan pertanian daerah yang rasional Soeharno et al. 1998. Menurut Rencana Induk Pemerintah daerah Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari, Muara Jambi, Bungo dan Tebo merupakan salah satu wilayah KSP Provinsi Jambi Bagian Tengah. Potensi sumberdaya pertanian meliputi ereal 379.078 ha, terdiri dari 329.676 ha lahan kering dan 49.402 ha lahan basah. Jenis tanah terdiri dari Podsolik Merah Kuning, Gley humus, Aluvial dan Hidromofik Kelabu BAPPEDA Jambi 2000. Dari luas lahan potensial tersebut, yang sudah dimanfaatkan mencapai 235.542 ha atau 62,14. Sisanya 143.536 ha belum dimanfaatkan dan masih merupakan lahan perladangan dan semak belukar. Dari luas wilayah yang ada 84 adalah dataran rendah 0-100 m dpl dan hanya 4,5 yang lahannya terletak antara 110-500 m dpl. Beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang potensial menjadi unggulan antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan kolam dan tambak, serta ternak sapi, kerbau, domba, kambing, dan unggas BAPPEDA Jambi 2000. Lahan rawa pada umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan rapuh, namun lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan. Menurut Widjaya Adhi et al. 1992 bahwa lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu : 1 pasang surut payausalin zone I, 2 pasang surut air tawar zone II dan 3 non pasang surutlebak zone III. Selanjutnya Djafar 1992 mengatakan bahwa lahan pasang surut adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pantai. Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat tipe yang membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah rawa yang selalu terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah lahan yang hanya terluapioleh pasang besar. Tipe C merupakan lahan yang tidak terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil tetapikedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya. Menurut Marschner 1995 dan Hidayat Mulyani 2002 tanah podsolik merah kuning ultisol mempunyai tingkat kemasaman tinggi, kandungan hara makro dan mikro rendah. Selain itu sering terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau yang menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan. Keadaan ini akan mempengaruhi perkembangan morfologi dan proses fisiologi tanaman kedelai sehingga menyebabkan rendahnya hasil. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan melakukan berbagai usaha antara lain, dengan cara budidaya dan mengadakan seleksi terhadap genotip kedelai untuk tanah masam dan tahan kondisi kering. Menurut Zaini 2005, pengembangan pertanaman kedelai dapat diarahkan pada tiga agroekologi utama yaitu lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering. Luas lahan kering yang diusahakan di Indonesia dalam bentuk tegalan, kebun, ladang atau huma sekitar 10 juta hektar DEPTAN 2005. Permasalahan lahan kering ini didominasi oleh tanah masam. Distribusi perakaran tanaman relatif dangkal, sehingga tanaman kurang tahan terhadap kekeringan dan banyak terjadi pencucian hara ke lapisan bawah Hairiah et al. 2005. Menurut Hilman 2005, pada lahan kering masam, masalah ketersediaan fosfor P menjadi kendala utama dalam meningkatkan hasil. Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman, yaitu akar tanaman kurang berkembang sehingga tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Daun tua pada kedelai yang kahat P sering menampakkan warna ungu karena terjadinya akumulasi antosianin pigmen ungu. Kelarutan almunium meningkat pada tanah bereaksi masam. Kelarutan almunium yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Toksisitas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya terganggunya sistem perakaran. Sumarno 2005 menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah masam menderita akibat cekaman abiotik dan biotik, seperti: a pertumbuhan vegetatif terhambat sebagai akibat kekurangan hara makro dan mikro; b keracunan Al atau Mn; c pembentukan nodul terhambat; d tanaman mudah mendapat cekaman kekeringan; dan e pertumbuhan akarnya terhambat. Gejala yang sangat jelas adalah pertumbuhan yang sangat kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, pertumbuhan akar sangat terbatas, bunga yang terbentuk minimal dan jumlah polong juga minimal, produktivitas sangat rendah atau bahkan gagal menghasilkan biji. Gejala tersebut sering terlihat pada pertanaman kedelai di daerah transmigrasi di Sumatera Barat Kabupaten Dharmasraya dan Jambi yang tanahnya tidak dikapur dan kandungan organik tanahnya rendah. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun Hidayat et al. 2000. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan dan upaya lainnya dengan pembukaan lahan. Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunanperkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan tidak masam. Lahan kering tergolong masam bila tanahnya memiliki pH 5 dan kejenuhan basa 50. Di Indonesia, penyebaran lahan kering masam cukup luas, terutama pada wilayah beriklim basah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 terbitan Puslitbangtanak tahun 2000, dari sekitar 148 juta ha lahan kering di Indonesia, 102,8 juta ha 69,4 berupa tanah masam. Lahan kering masam umumnya memiliki pH rendah 5,5 yang berkaitan dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni, peka erosi, dan miskin elemen biotic Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001. Kendala teknis tersebut relatif mudah diatasi yaitu dengan pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik. Kendala teknis lainnya adalah ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering lebih rendah daripada di lahan sawah. Upaya untuk menyediakan air pada musim kemarau dengan memanfaatkan air permukaan atau air tanah pompanisasi belum banyak dilakukan sehingga lahan dibiarkan bera. Upaya petani untuk menerapkan teknologi budidaya pemupukan, konservasi tanah dan air, serta pengairan terbentur pada modal khususnya untuk usaha tani tanaman palawija, sayuran dan buah-buahan semusim. Lahan kering pada umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60 dalam waktu 10 tahun Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002. Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si Suriadikarta et al. 2002. Teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting salah satunya adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. 1995 menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun Santoso dan Sofyan 2005. Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium Al. Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005. Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat diperlukan, meliputi teknik panen hujan water harvesting, irigasi suplemen, prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman Subagyono et al. 2004. Tanaman kedelai dapat diusahakan di lahan pasang surut. Hasilnya cukup memadai, namun cara mengusahakannya berbeda daripada di lahan sawah irigasi dan lahan kering. Tanaman ini tidak tahan genangan. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan menanam kedelai di lahan pasang surut yang bertipe luapan air A yang selalu terluapi baik saat pasang besar maupun pasang kecil. Luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak yang sesuai untuk pertanian diperkirakan 5,6 – 9,9 juta hektar, dan dari luas tersebut sekitar 0,9 juta ha berada di Sumatera. Provinsi Jambi merupakan salah satu sasaran kawasan pengembangan kedelai nasional. Sentra pertanaman kedelai di Jambi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tebo, dengan luas areal masing-masing adalah 1.187 ha dan 490 ha atau 54 dan 22 dari luas kedelai di Provinsi Jambi tahun 2005 dengan produktivitas 1,0– 1,3 tonha. Hasil survei kegiatan di Kecamatan Rantau Rasau dan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2007 yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian BALITKABI menunjukkan bahwa produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah, yaitu antara 0,7-1,3 tha. Rendahnya produktivitas kedelai di lahan pasang surut di Jambi disebabkan oleh banyak hal, yaitu tata air, kualitas benih, pengendalian hama-penyakit, pemupukan, pasca panen, dan harga Taufiq et al. 2007. Penanaman kedelai di lahan sawah dilaksanakan pada musim kemarau setelah tanaman padi pada bulan MeiJuni dan panen pada bulan AgustusSeptember. Pada musim kemarau tahun 2009 penanaman kedelai dilaksanakan pada bulan JuniJuli dan panen dilakukan pada bulan OktoberNopember. Varietas Unggul Baru VUB yang dikembangkan di lahan sawah adalah Anjasmoro. Realisasi Penanaman kedelai pada musim kemarau tahun 2009 dilakukan pada areal seluas 20 ha yang merupakan program Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikulura Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Produktivitas kedelai pada musim kemarau tahun 2009 dengan varietas Anjasmoro adalah 1,5 tha. Dengan penggunanan varietas unggul baru yang adaptif dan teknologi yang tepat diantaranya pemupukan, ameliorasi, dan penggunaan pupuk kandang produktivitas kedelai di lahan sawah dapat mencapai lebih dari 2,0 tonha BALITKABI 2007.

III. METODOLOGI PENELITIAN