5.1.2. Pembobotan Faktor Indeks Bahaya Kekeringan
Penentuan tingkat bahaya kekeringan dilakukan pembobotan dari semua parameter yang digunakan. Dasar pembobotan dilakukan berdasarkan urutan
kepentingan, yaitu semua parameter yang digunakan diberikan bobot berdasarkan pengaruhnya, semakin besar pengaruhnya maka bobot yang diberikan juga
semakin besar dan begitu seterusnya. Konsep pemilihan penentuan faktor parameter dan urutan pengaruhnya
dalam rumusan indeks bahaya kekeringan adalah sebagai berikut : kurangnya curah hujan menjadi indikator awal suatu wilayah rawan kekeringan sehingga
parameter ini diputuskan menempati bobot utama. Air tanah secara langsung berpengaruh bila curah hujan kurang yang sifatnya menampung air hujan dan
mengalirkannya ke sungai, sehingga bobot air tanah lebih tinggi dari bobot sungai. Semakin dalam air tanah dan jauh dari sumber air menggambarkan rawan
kekeringan. Tekstur tanah mengurangi dan meningkatkan efek kekeringan karena perbedaan dalam daya mengikat air dan menyalurkannya. Selanjutnya vegetasi
tergantung pada tekstur tanah memenuhi kebutuhan tanaman. Berdasarkan dari ulasan tersebut, maka parameter yang terpilih diurut
berdasarkan kepentingan dan bobotnya sehingga diperoleh bobot normalisasi dengan
menggunakan metode
rasional. Pembobotan
parameter yang
mempengaruhi kekeringan disajikan pada Table 13 berikut. Tabel 13. Bobot Parameter Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi
Parameter Urutan
Urutan Bobot
Kepentingan Bobot
Normalisasi Curah Hujan CH
1 5
0.33
Kedalaman Air Tanah KAT 2
4 0.27
Sumber air SA 3
3 0.20
Tekstur Tanah T 4
2 0.13
Water Supplying Vegetation Index WSVI 5
1 0.07
5.1.3. Rumusan dan Implementasi Indeks Bahaya Kekeringan
Perumusan indeks bahaya kekeringan dilakukan secara sederhana dengan melakukan penggabungan dari beberapa parameter. Dari hasil pembobotan yang
dinormalkan untuk dimasukkan dalam perumusan indeks. Gabungan dari beberapa parameter dan tingkat pengaruhnya akan menggambarkan sebaran nilai
tertentu di lokasi tertentu. Rumusan persamaan yang digunakan pada indeks bahaya kekeringan agro-hidrologi adalah sebagai berikut:
Ibk = 0.33CH + 0.27KAT + 0.20SA + 0.13T + 0.06WSVI
….. 11 Dimana : Ibk
= Indeks Bahaya Kekeringan CH
= Skor curah hujan KAT
= Skor kedalaman air tanah SA
= Skor sumber air T
= Skor tekstur tanah WSVI
= Skor Indeks ketersediaan air tanaman Water Supplying Vegetation Index
Untuk menentukan nilai kelas bahaya, skor dari kelima parameter yang dikalikan dengan bobot normalisasi dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan
natural breaks yaitu tidak kering, rendah, sedang dan tinggi. Pembuatan
peta bahaya
kekeringan dilakukan
dengan cara
menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang tindih peta tematik penyebab kekeringan yang disusun. Semua parameter yang
digunakan telah distandarisasi dengan ukuran piksel yang sama 30 x 30 mengikuti ukuran piksel citra Landsat sehingga skala peta yang dihasilkan dari analisis
indeks bahaya kekeringan agro-hidrologi tersebut menghasilkan skala peta 60.000.
Validasi model kekeringan yang dibuat dengan kekeringan aktual di lokasi penelitian sangat akurat dari tolak ukur titik validasi lapangan 96, dimana dari
53 titik validasi lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara kelompok tani dan masyarakat terdapat 51 titik yang sesuai dan yang tidak sesuai error ada 2 titik
yaitu titik yang mengalami kekeringan dan tidak kering. Sebaran kekeringan di DAS Kariango disajikan pada gambar 14.
Gambar 14. Peta Bahaya Kekeringan dan Validasi Titik Lapangan 2 titik tidak sesuai dari 53
titik validasi lapangan 40
Gambar 15. Korelasi Luasan Data Puso dan Luasan Model Kekeringan
y = 1.542x + 61.83 R² = 0.505
200 400
600 800
50 100
150 200
250 300
350
M odel
K ek
er ing
a n
ha
Puso ha
Puso Model Kekeringan Rendah
y = 0.235x + 156.8 R² = 0.033
100 200
300 400
500
50 100
150 200
250 300
350
M od
e l K
e k
e ri
ng a
n ha
Puso ha
Puso Model Kekeringan Sedang
y = 0.286x + 0.266 R² = 0.313
0.00 50.00
100.00 150.00
200.00
50 100
150 200
250 300
350
M od
e l K
e k
e ri
ng a
n ha
Puso ha
Puso Model Kekeringan Tinggi
y = 3.063x + 218.9 R² = 0.671
200 400
600 800
1000 1200
1400
100 200
300 400
M od
e l K
e k
e ri
ng a
n ha
Puso ha
Puso Model Rendah, Sedang, Tinggi Kekeringan
Gambar 15 menunjukkan korelasi yang rendah antara luasan puso dan luasan model yang mengalami kekeringan. Sejauh ini belum ada standarisasi yang
dapat digunakan acuan untuk mengukur keakuratan tingkat kekeringan di lapangan dan tingkat kekeringan di model kekeringan. Hal ini dikarenakan belum
ada persepsi petani dan pemerintah yang sama mengenai tingkat kekeringan di lapangan dan bencana kekeringan tidak seperti bencana lain sepeti longsor dan
banjir yang meninggalkan jejak akibat bencana. Terkait dengan data puso tidak bisa digunakan dalam membandingkan tingkat kekeringan karena klasifikasi puso
sendiri juga belum ada persepsi yang sama antara petani dan pemerintah. Selain itu, data puso Lampiran 8 di lapangan hanya sebagian yang dapat diperoleh
langsung dari Badan Penyuluh Kecamatan di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan data puso sangat dirahasiakan berhubung temuan di lapangan
fenomena adanya bantuan puso membuat oknum tertentu melakukan rekayasa data puso yang terkait dengan adanya bantuan puso uang tunai dan juga bantuan
puso yang tidak terealisasidisalurkan ke petani yang tepat maupun tidak merata. Dari informasi petani yang diwawancari banyak lahan sawah mereka yang
mengalami gagal panen tidak ikut terdata dan mendapatkan bantuan. Hasil validasi titik menunjukkan bahwa perumusan indeks dan pemetaan
bahaya kekeringan dalam kajian ini mampu menggambarkan karakteristik sebaran kekeringan yang ril dimusim kering Juli, Agustus, September 2011. Terkait
dengan luasan kekeringan, perumusan indeks pemetaan bahaya kekeringan belum dapat menggambarkan sebaran kekeringan yang ril.
Analisis tumpang tindih yang dilakukan menghasilkan wilayah-wilayah yang menggambarkan kondisi kekeringan di wilayah tersebut. Wilayah bahaya
kekeringan dapat diartikan sebagai daerah terancampeluang terjadinya kekeringan cukup tinggi karena curah hujan rendah dan sumber air tanah terbatas,
atau daerah yang mempunyai faktor fisik lahantanah yang dapat mempercepat timbulnya kekeringan. Nilai bahaya kekeringan Tabel 14 menunjukkan dari total
luasan kajian kekeringan hanya terdapat 21.64 atau seluas 13.792,69 ha tidak mengalami kekeringan yang berada tidak jauh dari jarak sumber air. Hal ini
menunjukkan lokasi kajian sangat rawan bencana kekeringan. 42
Luasan hasil analisis bahaya tidak sesuai dengan luasan DAS, akibat adanya konversi data raster ke vektor. Luasan yang hilang
sebesar 20,66 ha. Tabel 14. Kelas Bahaya Kekeringan beserta luasannya di lokasi penelitian
Nilai Interval Kelas Bahaya
Luas ha
1.12 - 2.02 Aman
13.792,69 21.64
2.02 - 2.52 Rendah
24.215,79 37.99
2.52 - 3.01 Sedang
18.958,32 29.74
3.01 - 3.96 Tinggi
6.781,84 10.64
Jumlah 63.748,64
100.00 5.2.
Analisis Kerentanan Kekeringan
Kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang meningkatkan
kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana. Dalam analisis ini digunakan pendekatan penggabungan kerentanan penduduk, eksposur
masyarakat dan kemampuan masyarakat di wilayah masih-masing. Kerentanan penduduk dan eksposur masyarakat, semakin tinggi jumlahnya maka kerawanan
suatu wilayah terhadap bahaya juga meningkat. Sebaliknya, kemampuan masyarakat yang rendah di wilayah tersebut meningkatkan risiko kekeringan
wilayah yang bahaya tinggi.
5.2.1 Kerentanan Penduduk