Pengempaan Pengembangan agroindustri Gambir di kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

57 a Bootch b Lumpang c Koin d Wafer Block e Cube gambir Gambar 18. Bentuk-bentuk Produk Gambir Di samping teknologi proses yang dilakukan masyarakat tersebut, terdapat teknologi mekanis yang digunakan di pabrik pengolahan bantuan pemerintah maupun milik perusahaan PMA yang menggunakan mesin-mesin bertenaga listrik. Pabrik pengolahan gambir bantuan pemerintah terdapat di nagari Lubuk Alai Kabupaten Lima Puluh Kota dan nagari Siguntur Muda Kecamatan XI Koto Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, serta di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Tahapan proses di pabrik-pabrik bantuan pemerintah tersebut sama dengan yang digunakan masyarakat. Kenyataannya sejak awal didirikan, pabrik tersebut tidak lama beroperasi akibat perolehan gambirnya lebih rendah dari produksi masyarakat sehingga dinilai tidak menguntungkan dan masyarakat tidak bersedia mengirim daun gambir dan pabrik kekurangan bahan baku. Pabrik pengolahan milik PT X, berlokasi di nagari Pilubang Kecamatan Arau dan Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX serta di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Berbeda dengan teknologi proses yang digunakan masyarakat, di pabrik-pabrik tersebut, daun gambir dikeringkan menggunakan kayu bakar dan batu bara sebagai sumber panas dan digiling sampai berbentuk bubuk. Pabrik ini berkapasitas 750 kg daun basahjam, dan ditargetkan beroperasi setiap hari selama 16 jamhari. Karena terbatasnya pasokan daun basah, maka target produksi tersebut tidak tercapai. Dari 100 kg daun basah akan diperoleh + 35 kg bubuk daun gambir yang selanjutnya dikirim ke pabrik pengolahan di Medan. 58 Tahapan proses yang dilakukan di Medan belum diketahui, namun diduga dilakukan ektraksi dengan menggunakan pelarut. Dari Medan, setelah menjalani pengolahan lanjut, produk gambir diekspor ke India Wawancara dengan staf PT X, Juli 2009.

4.4 Gambaran Mutu Produk Gambir Masyarakat

Kondisi rumah kempa, teknologi sederhana sera peralatan yang digunakan dalam aktivitas produksi menyebabkan gambir produksi masyarakat bermutu rendah dan sangat bervariasi. Kondisi tersebut diperparah oleh adanya masyarakat yang mencampurkan berbagai bahan seperti pupuk, tanah, tepung, garam dan sebagainya ke dalam produk gambir. Dalam jumlah terbatas biasanya sebanyak 5 kg per minggu dinilai normal pupuk SP36 biasa digunakan masyarakat Kecamatan Kapur IX untuk memberikan warna gambir yang cerah. Gambir yang tidak diberi pupuk akan berwarna hitam selama penjemuran. Selain itu, masyarakat biasa menggunakan air sisa penirisan dalam perbebusan daun gambir sebelum ekstraksi yang menyebabkan gambir berwarna lebih gelap dan lebih berat meskipun proses pengeringan lebih lambat. Pengembangan industri gambir masyarakat menuntut pengembangan pasar produk gambir maupun produk turunannya untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Untuk itu, permasalahan variasi mutu gambir rakyat merupakan permasalahan mendesak yang harus ditangani secara cermat. Tanpa perbaikan mutu, maka eksportir Indonesia akan sangat tergantung pada negara tujuan ekspor yang telah ada seperti India dan Singapura. Di antara persyaratan mutu gambir yang sangat mudah untuk memperlihatkan variasi produk adalah bentuk, ukuran dan warna. Hasil survei yang telah dilakukan pada bulan Agustus 2009 di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan menunjukkan bahwa gambir asalan dari berbagai lokasi memiliki bentuk, ukuran dan warna yang sangat beragam. Bahkan, dalam satu butir gambir asalan, ukuran untuk suatu dimensi tertentu seperti tinggi dan diameter antar berbagai lokasi pengukuran juga sangat berbeda. Hal ini terjadi karena setelah pengeringan, bentuk gambir asalan menjadi tidak beraturan.