33
4.4 SEBARAN AKUIFER
Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten secara administratif berlitologi pasir lempungan, pasir tufan, dan pasir konglomeratan dan dapat dibedakan berdasarkan
kedalamannya menjadi akuifer dangkal dan akuifer dalam. Akuifer dangkal dibatasi hanya untuk akuifer-akuifer yang terdapat hingga kedalaman sampai 50 m di bawah permukaan tanah bmt, dan
akuifer dalam adalah akuifer yang terdapat pada kedalaman lebih dari 50 m bmt. Ketebalan akuifer dangkal pada kedalaman 50 m di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m, hingga ketebalan 75 m untuk akuifer dalam pada kedalaman 50 m. Akuifer dangkal pada kedalaman 50 m adalah akuifer tak tertekan dan
pada tempat yang semakin dalam berubah menjadi akuifer semitertekan. Sedangkan akuifer dalam pada kedalaman 50 m merupakan akuifer tertekan yang dibatasi oleh dua lapisan kedap air
impermeable layer pada bagian atas dan bawahnya. Potongan melintang pada Gambar 14 dan Gambar 15 merupakan suatu contoh sebaran dalam kaitannya dengan sifat dan ketebalan akuifer di
Kota Tanggerang Selatan, Provinsi banten. Sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten diduga dengan memetakan hasil
pengukuran pada peta topografi Gambar 9 sehingga didapatkan potongan melintang akuifer menurut arah Selatan-Utara dan Barat-Timur. Dimana akuifer bebas dari arah selatan ke utara semakin
dangkal. Hal ini disebabkan keadaan topografi Kota Tangerang yang semakin rendah ke bagian utara.
Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik
37 Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan
Jarak km Elevasi m dpl
38 Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata
Jarak km Elevasi m dpl
36
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh rangkaian penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Litologi batuan penyusun terbentuk oleh dua formasi batuan geologi yaitu batuan aluvium yang
terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir lempungan, lanau, kerikil, keraka, dan batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuff,
pasir tuffan dan pasir konglomeratan. 2.
Lapisan akuifer dangkal berada pada kedalaman 3-44,73 m di bawah permukaan tanah bmt dengan ketebalan beragam mulai dari 2-12 m. litologi yang berkembang pada lapisan tersebut
didominisasi oleh pasir lempungan dan pasir tufaan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 2- 10 ohm meter. Sedangkan lapisan akuifer dalam berada pada kedalaman 80-130 m di bawah
permukaan tanah bmt dengan ketebalan 75 m. Litologi yang berkembang pada lapisan tersebut berupa pasir tufaan dan pasir konglomeratan dengan nilai tahanan jenis 10 ohm meter.
3. Sebaran akuifer di wilayah studi merupakan akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan,
dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir. Aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara
dimana sebaran akuifer bebas semakin ke utara semakin dangkal. Pada akuifer dalam sebarannya relatif merata dengan ketebalan 75 meter sehingga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan.
5.2 SARAN
1. Sebelum pengukuran, sebaiknya dilakukan survei lapangan untuk menentukan lokasi-lokasi
pengukuran geolistrik sehingga dapat menghemat waktu pelaksanaan pengukuran di lapangan.
2. Pengukuran geolistrik pada dua lokasi per kecamatan tidak cukup untuk menggambarkan
sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang luasnya 14.719 ha sehingga hasil pendugaan sebaran akuifer kurang teliti.
3. Perlu adanya data hasil pengeboran daerah sekitar titik pengukuran geolistrik sehingga dapat
diketahui seberapa besar akurasi dari alat geolistrik atau metode tahanan jenis yang telah dilakukan.