Tujuan Penelitian Study of Processing and Shelf Life Determination of Parboiled Rice in Plastic Film Packaging

Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14. Pengeringan pertama pada suhu 100 o C sampai kadar air 20, pengeringan kedua pada suhu 60 o C sampai kadar air 14. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi bisa mencapai 100 o C karena kadar air gabah yang tinggi dapat mencapai 45, dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan De Datta, 1981. Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14, karena kadar air 14 merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling. Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir Garibaldi, 1974. Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak cracking. Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit brown rice, dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang Nurhaeni, 1980.

F. Indeks Glikemik

Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah Rimbawan Siagian 2004. Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan Rimbawan Siagian 2004. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik pangan lain Rimbawan Siagian 2004. Berikut merupakan kategori pangan menurut rentang indeks glikemik. Tabel 5 kategori pangan menurut indeks glikemik Kategori pangan Rentang indeks glikemik Indeks glikemik rendah 55 Indeks glikemik sedang 55-70 Indeks glikemik tinggi 70 Sumber: Miller et al. 1996 dalam Rimbawan Siagian 2004 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain: cara pengolahan tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel, perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Berbagai faktor dapat menyebabkan indeks glikemik pangan yang satu berbeda dengan pangan yang lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang berbeda dapat memiliki indeks glikemik yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pada indeks glikemik Rimbawan Siagian 2004.