Ekstrak Protein Sarkoplasama dan Miofibril

yang tidak bersifat antigenik, sehingga tidak akan bereaksi dengan antibodi IgE. Selain itu untuk menghindari terjadinya reaksi non spesifik lainnya dapat dilakukan dengan mencuci setiap kali satu tahapan ELISA selesai dilakukan Ashorn dan Krohn 1986. Sumber antibodi primer yang digunakan adalah IgE dalam serum subyek alergi. Dimana sebelumnya perlu dilakukan tahapan penentuan total IgE dari masing-masing subyek alergi, untuk mengetahui kandungan IgE yang dapat menunjukkan status alergi subyek yang bersangkutan Hamada et al. 2003. Selanjutnya untuk mengetahui adanya ikatan antara protein sampel dengan IgE serum ditambahkan suatu antibodi pendeteksi yaitu anti IgE manusia konjugat HRP. Reaksi pengikatan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna melalui penambahan subtrat TMB 3,3ยด-diaminobenzidine tetrahydrochloride Afolabi dan Thottappilly 2008.

4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi

Penentuan IgE total dalam serum subyek dilakukan untuk mengetahui status alergi dari masing-masing subyek tersebut. Pada metode ini serum subyek yang mengandung IgE dilapiskan pada lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum dideteksi dengan anti-IgE manusia berkonjugasi enzim. Serum yang diuji berasal dari darah subyek yang mempunyai riwayat menderita alergi. Darah penderita alergi diinkubasi selama 30 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit. Inkubasi bertujuan untuk memisahkan serum secara maksimal dari plasma darah. Kemudian serum yang diperoleh dilakukan pengenceran 1:5 dan 1:10. Pengenceran yang dilakukan ini merupakan pengenceran terendah, karena kandungan IgE dalam serum sangat rendah. Menurut Roitt dan Delves 2001, kandungan IgE normal dalam serum manusia berkisar antara 17-450 ngml. Penelitian sebelumnya Yuliarni 1998 juga menggunakan serum pengenceran 1:5 dan 1:10 untuk menentukan kandungan IgE total dalam serum subyek alergi dan melaporkan bahwa serum pengenceran 1:5 memberikan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Walaupun serum pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan yang lebih tinggi. Serum yang sudah diencerkan dilapiskan pada lempeng mikrotiter dan selanjutnya ditambahkan anti IgE manusia berlabel enzim HRP untuk mendeteksi 44 IgE dalam serum subyek. Hasil deteksi ini diketahui dengan menambahkan substrat enzim HRP dan dibaca dengan ELISA reader. Selain itu, juga dilakukan pembuatan kontrol negatif yang digunakan untuk perbandingan nilai absorbansi serum yang diperoleh. Kontrol negatif menggunakan serum yang berasal dari subyek normal, yang secara medis tidak memiliki riwayat alergi. Hasil pengukuran IgE ini bersifat kualitatif, dimana subyek dapat digolongkan positif alergi jika kandungan total IgE dalam bentuk nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai absorbansi kontrol negatif ditambah dengan 2 kali standar deviasinya Kumar et al. 2010. Hasil uji ELISA terhadap 20 serum subyek penderita alergi dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Hasil uji ELISA terhadap serum pengenceran 1:5 dan 1:10 dibandingkan dengan kontrol negatifnya rata + 2SD : A Subyek A-J, B Subyek K-T Hasil uji ELISA Gambar 10 memperlihatkan bahwa 20 subyek positif menderita alergi karena memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol negatif rata-rata + 2SD, baik pengenceran 1:5 maupun 1:10. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh serum yang diuji sesuai dengan sejarah medisnya sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas pengikatan IgE terhadap protein sampel. Adanya IgE merupakan indikasi terjadinya alergi dalam tubuh ke- 20 serum subyek. IgE merupakan antibodi yang dalam keadaan normal jumlahnya sangat kecil. Pada subyek yang atopik terdapat kecinderungan menghasilkan IgE dalam jumlah yang lebih tinggi dari kondisi normal dan mengakibatkan individu yang bersangkutan mudah menderita alergi Zakaria et al. 1992; Roitt dan Delves 2001. Kandungan IgE total seluruh serum pada pengenceran 1:10 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran 1:5. Walaupun serum dengan pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan IgE yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa pada pengenceran yang lebih tinggi 1:5, jumlah IgE yang dapat berikatan dengan antigen lebih sedikit. Hal ini disebabkan dengan kerapatan pengikatan yang tinggi, konformasi IgE berubah dan dapat terjadi kekurangan tempat pengikatan spesifik ke antigen karena susunannya sangat rapat dan kadang-kadang berlapis.Konsentrasi IgE yang tinggi menyebabkan interaksi pengikatan tidak stabil dapat dapat terlepas selama pengujian. Oleh karena itu peningkatan jumlah antibodi yang terikat tidak selalu berarti peningkatan sensitivitas uji Cantarero et al. 1980. Penggunaan serum dengan pengenceran 1:10 juga dilakukan dalam penelitian Kumar et al. 2010. Sehingga berdasarkan hal tersebut, serum dengan pengenceran 1:10 digunakan dalam uji alergenisitas ekstrak sampel selanjutnya.

4.3.2. Alergenisitas Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril

Pengujian ini bertujuan untuk menguji kelayakan ekstrak protein sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau sebagai isolat protein alergen yang dapat digunakan untuk uji diagnosis alergi. Isolat alergen yang dapat digunakan untuk diagnosis alergi adalah isolat protein yang memiliki sensitivitas yang tinggi, yang mampu berikatan dengan IgE serum subyek alergi. Pengujian dilakukan dengan metode ELISA tidak langsung, dimana terjadi interaksi antara antigen ekstrak protein dengan antibodi primer dari serum subyek alergi serta antibodi sekunder yang berlabel enzim. Penggunaan antibodi sekunder anti IgE berlabel 46 enzim HRP berguna untuk mendeteksi interaksi spesifik antara antigen ekstrak protein dengan antibodi serum alergi IgE. Hasil yang diperoleh berupa munculnya warna setelah pemberian subtrat TMB yang sesuai dengan konjugat enzimnya, dan dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Dimana kemudian hasil positif ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang lebih besar daripada nilai kontrol negatif. Kontrol negatif yang digunakan sebagai dasar pembacaan merupakan rata-rata nilai absorbansi kontrol negatif ditambah dengan 2 kali standar deviasinya. Kontrol negatif dibuat dengan menginkubasi sampel dengan serum subyek normal yang tidak menderita alergi berdasarkan sejarah medisnya. Pengujian ELISA dilakukan terhadap 20 serum responden yang berdasarkan wawancara memiliki sejarah medis alergi makanan. Selain itu berdasarkan pengujian total IgE sebelumnya, ke-20 serum tersebut dipastikan memang positif menderita alergi. Rekaman sejarah alergi yang diderita masing-masing responden dan hasil pengujian ELISA masing-masing ekstrak protein terhadap 20 serum dapat dilihat pada Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan rekaman jenis alergi yang diderita responden dilakukan dengan skoring. Responden mengaku positif menderita alergi dan hasil uji ELISA juga menunjukkan positif maka diberi skor 1. Responden mengaku positif menderita alergi dan hasil uji ELISA menunjukkan negatif maka diberi skor 0. Responden mengaku negatif menderita alergi dan hasil uji ELISA menunjukkan positif diberikan skor 0. Responden mengaku negatif menderita alergi dan hasil uji menunjukkan negatif diberikan skor 1. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hasil uji ELISA secara keseluruhan menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak protein sampel baik fraksi sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung mampu mendeteksi IgE spesifik pada serum penderita alergi makanan laut. Sifat alergenisitas ekstrak protein memberikan hasil yang berbeda pada serum subyek yang berbeda. Perbedaan alergenisitas ini disebabkan oleh sifat dari antibodi IgE masing-masing subyek. Bagian molekul antigen yang bereaksi dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit T disebut epitop dan yang menentukan spesifitas reaksi antigen-antibodi. Jumlah epitop pada satu molekul antigen