PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA

Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan khususnya di Makassar, Medan dan Surabaya dapat dilihat bahwa perdagangan B2 belum dilaksanakan sesuai dengan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Pengamatan terkait pelaksanaan kebijakan perdagangan B2 di lapangan melihat dari tiga aspek yaitu aspek pengadaan, aspek distribusi dan aspek pengawasan yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksaaan Permendag tersebut.

4.1. Aspek Pengadaan

Pengadaan B2 dapat dilakukan melalui dua cara yaitu produksi dalam negeri dan importasi. B2 yang diproduksi di dalam negeri dilakukan oleh perusahaan di dalam negeri yang mempunyai Izin Usaha Industri dari Instansi yang berwenang. Sedangkan importasi dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) B2 yang ditetapkan dalam Permendag yaitu PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) (pasal 4 ayat 1) dan Produsen B2 yang mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen B2 dari Menteri Perdagangan dalam hal ini Dirjen Perdagangan Luar Negeri (pasal 3 ayat 1). Bahan Berbahaya yang diimpor oleh Importir Produsen (IP) B2 hanya untuk kebutuhan proses produksi dan dilarang diperjualbelikan atau diperdagangkan maupun dipindahtangankan ke orang lain (pasal 3 ayat 4).

PT. PPI yang ditunjuk pemerintah sebagai IT belum mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer. Selama ini PT. PPI melalui Kantor Cabang PPI di daerah lebih banyak menjual B2 langsung kepada pengguna akhir. Sebagai contoh adalah B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki yang dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Selain itu PT.PPI sangat membatasi dan selektif dalam mendistribusikan B2 terutama B2 yang rentan untuk dapat disalahgunakan penggunaannya. Kondisi ini cenderung merugikan pelaku usaha seperti distributor dan pengecer padahal idealnya PT. PPI sebagai satu-satunya importir yang memiliki kewenangan dalam pengadaan B2 seharusnya dapat menyediakan kebutuhan B2 dalam negeri.

Pengadaan B2 oleh perusahaan dalam negeri hanya untuk jenis formalin saja. Selama ini belum ditemukan permasalahan dalam pengadaan karena umumnya produksi formalin lebih banyak digunakan oleh industri hilir perusahaan itu sendiri seperti industri kayu lapis dan cat, hanya sebagian kecil saja yang didistribusikan kepada distributor untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit, Laboratorium Kimia, dan Peternakan. Namun yang perlu dicermati adalah peningkatan kapasitas produksi formalin dalam negeri. Penyalahgunaan formalin yang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan terjadi di tingkat pengecer ke pengguna akhir. Penyalahgunaan itu dilakukan oleh pengecer yang tidak memilki SIUP-B2 dengan cara merubah kemasan menjadi kemasan kecil. Hal ini bertentangan dengan pasal 9 ayat (3) bahwa yang berhak melakukan pengemasan ulang (repacking) adalah IT dan Distributor B2 yang memiliki SIUP- B2 baik untuk B2 produksi dalam negeri maupun impor.

Kegiatan usaha perdagangan khusus B2 harus dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan B2 (SIUP B2) sebagaimana diatur dalam pasal 10, 11, dan 12. Namun sampai saat ini masih banyak pelaku usaha yang menganggap SIUP umum sudah cukup untuk berdagang B2. Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2. Kendala lain yang dihadapi untuk memperoleh SIUP B2 karena belum terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Untuk memperoleh SIUP B2 baik pengecer maupun distributor harus melalui pemeriksaan fisik sarana seperti tempat penyimpanan, fasilitas pengemasan ulang, dan alat transportasi yang memenuhi K3L yang dilakukan oleh Tim Terpadu Tingkat Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi (pasal 11 ayat (1) dan (2))

Dalam pasal 13 ayat (2), IT B2 dan IP B2 wajib melaporkan realisasi impor kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM paling lambat 15 hari kalender terhitung sejak tanggal B2 tiba di pelabuhan bongkar. IP B2 wajib melaporkan realisasi penggunaan kepada Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dengan tembusan kepada Dirjen PDN dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Sedangkan IT B2 wajib melaporkan realisasi distribusi ke distributor, pengecer dan penggunan akhir kepada Dirjen PDN dengan tembusan kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia

Kementerian Perindustrian dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Penyampaian laporan oleh IT B2 dilaksanakan setiap 3 bulan terhitung sejak ditebitkannya penetapan sebagai IT B2 (pasal 13 ayat (6)).

Distributor B2, Pengecer B2 dan Pengguna Akhir wajib melaporkan data perolehan dari IT B2 atau Produsen B2 serta pendistribusiannya kepada Dirjen PDN dengan tembusan Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM dan Kepala Dinas Provinsi setiap triwulan tahun kalender berjalan (pasal 14 ayat (1), (3), (5) dan (7)). Pelaporan dari pelaku usaha belum berjalan dengan baik khususnya dari Pengecer B2 dan Pengguna Akhir. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 juga perlu penyempurnaan seperti laporan tersebut ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di daerah. Kebutuhan dan peruntukan B2 di daerah tidak diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini disebabkan laporan dari pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah.

4.2. Aspek Distribusi

Pendistribusian B2 adalah penyaluran atau peredaran dan penjualan B2 dari IT B2 dan/atau Produsen B2 kepada Distributor Terdaftar B2, dari Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2, dari Pengecer Terdaftar B2 kepada Pengguna Akhir B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung kepada Pengecer Terdaftar B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2. Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2 atau Distributor Terdaftar B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2 (pasal 7 ayat (20)). Hal ini menyebabkan sulit untuk melakukan pengawasan B2 terutama di tingkat pengecer ke pengguna akhir karena individu/industri yang tidak memiliki ijin dapat membeli dengan bebas, padahal dalam peraturan diatur bahwa pengguna B2 harus memiliki ijin.

Pengaturan wilayah distribusi diperlukan untuk mempermudah pengawasan terhadap distribusi B2. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan

Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar BPOM di Tingkat Provinsi, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B dan „bleng‟ (garam mengandung pengawet) yang digunakan sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah. Selain itu juga ada beberapa industri rumah tangga yang mengetahui bahaya penggunaan B2 namun tetap saja menggunakan sebagai bahan tambahan pada makanan.

4.3. Aspek Pengawasan

Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan Bahan Berbahaya dan PA-B2 dalam menggunakan/memanfaatkan Bahan Berbahaya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan berkoordinasi dengan Kementerian/ Instansi Teknis terkait. IP-B2, IT-B2, P-B2, DT-B2, PT-B2, dan PA- B2 wajib memberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya mengenai kebenaran pendistribusian B2 kepada Pejabat/Pegawai yang melakukan pengawasan. Pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan B2 meliputi: aspek perizinan/legalitas perusahaan; pendistribusian B2 (jenis, realisasi distribusi, dan stok B2); sarana distribusi untuk kelancaran pelaksanaan distribusi B2; peralatan Sistem Tanggap Darurat dan Tenaga Ahli di bidang pengelolaan B2; pelaporan pendistribusian B2; label dan kemasan B2; dan Lembar Data Keamanan (LDK)/Safety Data Sheet (SDS) yang juga meliputi aspek pemanfaatan/penggunaan B2 sesuai dengan peruntukannya.

Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan pengawasan termasuk B2. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan- pertimbangan hukum. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena

4.4. Hasil Survey Di Daerah Penelitian

4.4.1 Makassar Aspek Pengadaan

a. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 belum berjalan baik. Di dalam Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 diatur bahwa pelaporan dilakukan per triwulan. Namun sampai saat ini Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Selatan belum pernah menerima laporan dari pelaku usaha B2 termasuk kantor Cabang PPI Makassar. Saat ini hanya ada satu Pengecer B2 yang memiliki SIUP B2 yaitu CV Duta Gemini tetapi pelaporannya tidak rutin per triwulan. CV Duta Gemini memperoleh SIUP B2 sebelum diterbitkannya Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009. Secara umum kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha B2 di Sulawesi Selatan dalam pengajuan SIUP B2 karena belum terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat Kab/Kota yang memberikan rekomendasi kepada Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Berdasakan informasi dari Dinas Perindag provinsi Sulawesi Selatan ada beberapa pelaku usaha B2 dari Kota Makassar dan Kab Pare-Pare yang mengajukan ijin SIUP B2 namun belum bisa diterbitkan karena kendala tersebut.

b. Pelaku usaha “menganggap” SIUP umum sudah cukup untuk menjual B2. Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2 karena menganggap SIUP umum saja sudah cukup untuk menjual B2.

c. Mekanisme pengadaan B2 oleh Kantor Cabang PPI Makassar. Kantor Cabang PPI Makassar menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks pentahidrat yang dilakukan Kantor Cabang PPI Makassar sebesar 2-3 ton per bulan. Kantor Cabang PPI pernah memberikan rekomendasi ke pengecer B2 yang ada di kota Makassar untuk memperoleh SIUP B2.

d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Sulawesi Selatan tidak diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan belum adanya laporan dari pelaku usaha B2.

Aspek Distribusi

a. Pengaturan wilayah distribusi yang tidak diatur. Berdasarkan hasil diskusi diperlukan pengaturan wilayah distribusi untuk mempermudah pengawasan terhadap distribusi B2.

b. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Makassar menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus menjual kepada pengguna akhir yang memiliki ijin sebagaimana diatur dalam Permendag 44 dengan alasan kesulitan menjual B2.

c. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar BPOM di Provinsi Sulawesi Selatan, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B yang dikenal dengan n ama daerah „kasumba lango-lanngo” dan “bleng (garam mengandung pengawet)” digunakan turun temurun sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah.

Importir/Produsen (Surabaya)

Distributor (Surabaya)

Pengecer

(Makassar)

Pengguna Akhir: Perkebunan, Apotik,

Laboratorium, Toko Kimia,

Perorangan

Gambar 4.1. Rantai pemasaran B2 di Makassar

Sumber: Hasil Survey, 2013

Aspek Pengawasan

a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan pengawasan termasuk B2.

b. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Propinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

a. Jika Tim Terpadu di tingkat Kab/Kota belum terbentuk perlu diatur di dalam Permendag tentang pelimpahan wewenang kepada Tim Terpadu Provinsi guna menindaklanjuti pengajuan ijin dari pelaku usaha B2.

b. Pelaku usaha yang belum memiliki ijin sebaiknya melaporkan perdagangan B2-nya.

c. Regulasi yang lebih detail untuk pengguna akhir perorangan (diperlukan identitas lengkap) di dalam Permendag agar penjualan di hilir dapat diperketat.

d. Pengguna akhir juga harus memberikan laporan penggunaan B2.

e. Pengaturan wilayah diperlukan dengan pertimbangan untuk pengawasan pengadaan dan distribusi.

f. Pelaporan dilakukan secara on-line untuk mencegah penyalahgunaan B2 di masyarakat.

g. Peningkatan kesejahteraan bagi penyidik B2.

h. Perlu penerapan sanksi bagi yang tidak melaporkan seperti tidak diberikan SIUP.

i. Laporan sebaiknya dilakukan per-bulan tidak per triwulan sebagaimana diatur dalam Permendag 44 dengan pertimbangan B2 merupakan produk yang memiliki dampak berbahaya bagi masyarakat.

j. Importir/Distributor jangan langsung mendistribusikan B2 ke pengguna akhir tetapi sebaiknya melalui pengecer B2.

4.4.2 Medan Aspek Pengadaan

a. Dalam survey, aspek pengadaan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah mekanisme impor B2 oleh Importir Terdaftar (IT-B2) dan produksi B2 oleh Produsen Terdaftar (P-B2). Beberapa catatan antara lain:

b. Kantor Cabang PPI Medan menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Boraks Dekahidrat yang diimpor dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks yang dilakukan Kantor Cabang PPI Medan hanya sebesar 30.000 liter per bulan.

c. Berdasarkan hasil wawancara, PPI Medan merupakan DT-B2 karena kewenangan mengimpor hanya dilakuka oleh PPI Pusat. Oleh karena itu, Pengecer Terdaftar (PT-B2) seperti perusahaan pupuk dapat membeli produk B2 (boraks) secara langsung ke PPI Medan dengan melampirkan jumlah dan peruntukannya.

d. Pengadaan formalin dilakukan oleh Distributor Terdaftar (DT-B2) karena tidak terdapat produsen B2 (P-B2) di Sumatera Utara. Pada umumnya, formalin didatangkan dari Jakarta yang merupakan lokasi perusahaan induk (Head Office) DT-B2 di Medan. Sebagai contoh, PT Brataco yang merupakan DT-B2 di Propinsi Sumatera Utara membeli formalin dari PT Dover yang merupakan produsen formalin di Jakarta. Kebutuhan pengadaan formalin didasarkan pada permintaan dari Pengecer Terdaftar (PT-B2) yang umumnya Rumah Sakit, Laboraturium Kimia, dan Industri Peternakan.

Aspek Distribusi

a. Aspek distribusi yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah penyaluran B2 oleh DT-B2 dan PT-B2 serta cakupan wilayah distribusi B2. Beberapa catatan antara lain:

b. Pengaturan wilayah distribusi tidak diatur, sehingga DT-B2 dapat menyalurkan produknya ke luar wilayah Sumatera Utara. Sebagai contoh, PT Brataco (DT- B2) dan PT Meroke (PT-B2) dapat menyalurkan produk formalin dan boraks ke wilayah Sumatera Barat.

c. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terbatas, pola distribusi B2 di Sumatera Utara tidak berjenjang. Dalam hal ini, PA-B2 dapat membeli B2

Importir/Produsen (Jakarta)

Distributor (Medan)

Pengecer (Medan)

Pengguna Akhir: Perkebunan, Rumah

Sakit, Apotek, Laboratorium, Toko

Kimia, Perorangan

Gambar 4.2. Rantai pemasaran B2 di Medan

Sumber: Hasil Survey, 2013

Aspek Pengawasan

a. Aspek pengawasan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah mekanisme pelaporan, penerapan sanksi, nama dagang B2 di Sumatera Utara, serta pemahaman pelaku usaha dan konsumen terhadap B2. Beberapa catatan antara lain:

b. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Dinas Perindag menilai koordinasi antara Dinas Perindag, Balai POM, dan Dinas Kesehatan masih lemah. Saat ini, pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindag hanya terbatas pada produk-produk yang tidak sesuai dengan SNI dan peraturan label berbahasa Indonesia. Sedangkan untuk produk pangan, baik terkait dengan B2 atau bukan B2, masih menjadi wilayah BPOM dan Dinas Kesehatan. Selain itu, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana dinilai menjadi masalah utama. Sebagai contoh, Petugas Pengawas dari Dinas Perindag tidak mengetahui bentuk fisik produk B2 yang berpotensi disalahgunakan dan beredar di pasaran. Hal ini berbeda dengan produk ber- SNI yang dijelaskan

c. Mekanisme pelaporan oleh PT-B2 kepada Dinas Perindag Propinsi belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Permendag. Berdasarkan hasil wawancara, Dinas Perindag sulit menerapkan sanksi administrasi bagi PT-B2 yang tidak melaksanakan mekanisme pelaporan sesuai dengan ketentuan. Hal ini dikarenakan proses pemberian sanksi dilakukan berjenjang, seperti pemberian Surat Peringatan (SP) hingga pencabutan SIUP. Dalam pelaksanaanya, PT-B2 dapat melaporkan mekanisme tataniaga B2 setelah mendapatkan SP ke-2, sehingga SIUP tidak jadi dicabut.

d. Pengawasan relatif sulit dilakukan karena B2 yang beredar di pasaran menggunakan nama dagang. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat produk pengawet sayuran berupa “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” yang menurut Balai POM merupakan produk mengandung boraks.

e. Pengawasan yang dilakukan oleh DT-B2 kepada PT-B2, atau PT-B2 kepada PA-B2 juga sulit dilakukan. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-B2) sulit mengawasi penggunaan B2 oleh Rumah Sakit/Apotek (PA-B2) walaupun jumlah penjualan didasarkan pada kebutuhan. PA-B2 umumnya membeli formalin dari DT-B2 dalam bentuk eceran sebanyak 10 - 30 liter/bulan, padahal penggunaan formalin untuk Rumah Sakit diasumsikan hanya berkisar

4 – 10 liter/bulan untuk keperluan pengawetan jenazah dan perawatan medis lainnya. Hal serupa juga dialami oleh PPI Medan yang menjual B2 kepada PA-B2 yang umumnya perusahaan perkebunan.

f. Tingkat pemahaman konsumen dan pelaku usaha terhadap dampak negatif penyalahgunaan B2 dinilai sudah baik. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat di Sumatera Utara yang sudah mengenal formalin sebagai bahan kimia pengawet jenazah sehingga tidak boleh digunakan untuk produk pangan. Namun, kesadaran masyarakat menjadi rendah ketika penyalahgunaan B2 dilakukan dengan menggunakan nama dagang.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Medan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

b. Pengenaan pajak impor B2 perlu dipertimbangkan karena belum tentu menyelesaikan masalah penyalahgunaan B2, mengingat sebagian besar penyalahgunaan B2 terjadi di sektor distribusi.

c. Dinas Perindag mengusulkan agar sistem monopoli impor tidak diterapkan karena PT PPI sebagai IT-B2 dinilai belum memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan impor bagi DT-B2 sekaligus IP-B2. Selain itu, monopoli impor B2 akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan B2 di tingkat produsen (IP-B2) dan distributor (DT-B2).

d. Usulan terkait pengaturan wilayah distribusi ditanggapi beragam. Sebagian stakeholder seperti Dinas Perindag, DT-B2, dan PT-B2 menilai pembatasan wilayah distribusi akan sulit dilakukan karena ada beberapa wilayah tertentu yang tidak memiliki DT-B2. Sedangkan menurut PPI, peran PPI Cabang dapat dimaksimalkan sebagai DT-B2 (produk boraks) sehingga pengawasan distribusi bisa lebih optimal.

e. Pengaturan distribusi harus diperketat dengan ketentuan bahwa PA-B2 hanya dapat membeli B2 dari PT-B2 dan PT-B2 hanya dapat membeli B2 dari DT-

B2.

f. Perlu dibentuk Tim Pengawas B2 yang berada di tingkat Propinsi dan diatur dalam Peraturan Gubernur. Tim Pengawas terdiri dari PPNS Dinas Perindag, Dinas Kesehatan, dan Balai POM. Tim Pengawas perlu didukung pendanaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

g. Perlu dilakukan sosialisasi terkait mekanisme pelaporan B2 kepada PA-B2, PT-B2, dan DT-B2 kepada aparat pemerintah dan pelaku usaha.Selain itu, Juknis Pengawasan B2 harus memuat informasi yang jelas bagi petugas pengawas B2 di daerah.

h. Perlu sosialisasi terkait bahaya B2 yang disalahgunakan dan yang beredar di pasaran. Masyarakat dan pelaku usaha perlu dibina bahwa pengawet makanan mengandung B2 yang selama ini beredar dengan nama “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” adalah produk berbahaya yang dilarang beredar di pasar. Pelaksanaan pengawasan harus

i. Perlu pembentukan Asosiasi pelaku usaha impor/produsen/distributor B2 untuk membantu mengidentifikasi besaran kebutuhan dan peruntukan B2. j. Perlu penerapan sanksi yang lebih tegas dan harus mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kemendag harus dapat berkoordinasi dengan pihak berwajib seperti kepolisian sehingga pelaksanaan pengawasan di daerah dapat lebih efektif.

4.4.3 Surabaya Aspek Pengadaan

a. PT. PPI sebagai IT yang ditunjuk pemerintah mengimpor B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Sodium Sianida. Jumlah yang diimpor oleh PT. PPI belum mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer karena PT. PPI juga menjual langsung kepada pengguna akhir.

b. Produsen B2 (formalin) menjual formalin hanya kepada distributor atau pengecer yang memiliki SIUP-B2. Jumlah penyalurannya dilaporkan per triwulan kepada Kementerian Perindustrian.

c. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 (pengecer) sudah berjalan dengan baik namun perlu penyempurnaan seperti laporan tersebut ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di daerah.

d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Jawa Timur tidak diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini dise babkan laporan dari pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah

Aspek Distribusi

a. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Suarabaya menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut.

Importir/Produsen

Distributor

Pengecer

Pengguna Akhir: Perkebunan, Apotik,

Laboratorium, Toko Kimia,

Perorangan

Gambar 4.3. Rantai pemasaran B2 di Surabaya

Sumber: Hasil Survey, 2013

Aspek Pengawasan

a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal.

b. Masih lemahnya penerapan sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 tanpa SIUP B2. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak memiliki SIUP B2 mendapat perlakuan yang sama dalam memperdagangkan B2 sehingga akan mendorong pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa

SIUP B2 dengan pertimbangan pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang tinggi.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Propinsi Jawa Timur terkait dengan pengawasan distribusi distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

a. Laporan dari pelaku usaha (PT-B2) ke Dinas Perindag Provinsi ditembuskan ke Instansi terkait di daerah seperti Balai/Balai Besar POM setempat (penambahan poin (e) pada pasal 14 ayat (4)).

b. Perlu review Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya terkait Pengecer tidak boleh beli langsung ke Produsen (Pasal 7).

c. Penyalahgunaan ukuran kemasan B2 tidak sesuai Permendag Nomor: 44/M- DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya

d. Pengaturan ukuran kemasan B2 dalam Permendag Nomor: 44/M- DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu diatur secara detail baik untuk IT/DT/PT.

e. Sosialisasi intensif harus dilakukan secara rutin terkait untuk meminimalkan penyalahgunaan B2 untuk pangan .

f. Laporan PA-B2 masih minim.

g. Pengaturan wilayah distribusi tidak tepat diterapkan untuk B2.

h. Edukasi pelaku usaha dan konsumen diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan B2.

i. Peraturan sebaiknya tidak mengatur perdagangan B2 secara general, hanya mengatur hal-hal yang cenderung menimbulkan penyalahgunaan B2 untuk makanan saja.