Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi Kerugian Dalam E-Commerce

C. Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi Kerugian Dalam E-Commerce

Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu masalah hukum. Dalam E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :

1. Upaya hukum preventif

Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak

a. Pembinaan Konsumen Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana disebutkan bahwa: “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk :

1) Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen.

2) Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.

3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi cybercrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam edukasi terhadap konsumen adalah :

1) hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)

2) Pentingnya menjaga keamanan password seperti misalnya :

a) merahasiakan dan tidak memberitahukan PIN/Password kepada siapapun termasuk kepada petugas penyelenggara

b) Menggunakan Pin/Password yang tidak mudah ditebak

c) melakukan perubahan PIN/Password secara berkala

d) tidak mencatat PIN/Password dalam bentuk fisik

e) Pin untuk satu produk hendaknya berbeda dengan produk lainnya.

3) Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang 3) Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang

b. Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun Badan Yang Terkait.

Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1, dimana dalam Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam :

1) Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten internet yang mengandung unsur pornografi dan konten yang berbau SARA

(implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE). 60

60 Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh pemerintah adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir website-website yang

menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut mengandung muatan SARA.

2) Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5 UU ITE).

Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta

penerapan ketentuan peraturan Perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.

Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.

2. Upaya hukum represif

Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (UUPK Pasal 4 huruf e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bias menimbulkan suatu sengketa Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (UUPK Pasal 4 huruf e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bias menimbulkan suatu sengketa

Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce yang bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab ini dibagi menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara internasional dan transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.

3. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional

Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e- commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan

mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa. 61 Dalam UU ITE, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat

dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) UU ITE para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apa bila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan

61 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : aspek hukum teknologi informasi,Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.

pilihan hukum, ada batasanbatasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut : 62

a. Partijautonomie Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, Negara-negara asia afrika, termasuk Indonesia.

b. Bonafide Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.

c. Real Connection Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

d. Larangan Penyelundupan Hukum Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenangwenangan demi keuntungan sendiri.

62 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hal.70-71.

e. Ketertiban Umum Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu

kontrak internasional, teori tersebut adalah : 63

a. Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana lainnya. Alternatif yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu

63 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8), Alumni, Bandung, 1998,h. 8-16.

memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran.

b. Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di Negara berbeda, dan dengan system hukum yang berbeda pula.

c. Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.

d. Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.

Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga dapat secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga dapat secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce

budaya dan bahasa. 64 Dasar hukum ADR di Indonesia adalah Undang-undang No.

30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan e-commerce sepenuhnya bersifat online oleh karena itu sudah sewajarnya apabila penyelesaian sengketanyapun dilakukan secara online, mengingat bahwa para pihak berkedudukan dinegara yang berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa dilakukan dengan pertemuan secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang banyak. Di Amerika bermunculan situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan ecommerce secara online seperti Cybersettle.com, E-Resolutions.com,

iCourthouse, dan Online Mediators. 65 Pelaksanaan penyelesaian sengketa e- commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase

memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No.30 tahun 1999 yakni “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring dari penulis). Dengan diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk menyelesaikan sengketa,

64 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, opcit, Hal. 177. 65 Edmon Makarim, op.cit, h. 180.

maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.

4. Upaya hukum bagi transaksi e-commerce yang terjadi di Indonesia

a. Non Litigasi Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan di selenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 UUPK). Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur non litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 UUPK disebutkan bahwa “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag,

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha sendiri. 66 Masing-masing badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam

menyelesaikan perkara yang ada. YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen (UUPK Pasal 44 ayat 1 dan 2). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan

66 Edmon Makarim, op . cit , h. 404.

dari empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email. 67 Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem

full up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up.

Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian. Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan

67 http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.

izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata

disediakan oleh Disperindag. 68 BPSK merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah

melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-

belit. 69 Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak

yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh BPSK adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 UUPK) dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut.

Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer

68 Edmon Makarim, Op . cit , h. 405. 69 Happy Susanto, op . cit , h. 78.

service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak dapat memuaskan konsumen.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya, dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-haknya.

b. Litigasi Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE dan Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE disebutkan bahwa:

“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan berupa gugatan perdata (Pasal 39 ayat 1).

Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa: “Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.

Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE maka alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :

1) Bukti transfer atau bukti pembayaran.

2) SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan pembelian.

3) Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha. Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam sengketa konsumen menurut pasal 46 UUPK adalah :

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya

2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama

3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk kepentingan konsumen.

4) Pemerintah atau instansi terkait Yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengajukan gugatan ke pengadilan dalam sengketa konsumen adalah :

1) Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan ke pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian yang diderita,

hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal berikut : 70 (1) Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur

semata-mata dari nilai uang kerugiannya,

70 Janus Sidubalok, op . cit , h.148.

(2) Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan (3) Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan. (4) bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, hal ini karena UUPK menganut asas pertanggungan jawab produk (product liability) sebagaimana diatur

dalam Pasal 19 juncto Pasal 28 UUPK. 71 Ini berbeda dengan teori beban pembuktian pada acara biasa, dimana beban pembuktian merupakan

tanggung jawab penggugat (konsumen) untuk membuktikan adanya unsur kesalahan. Dengan adanya prinsip product liability ini, maka konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku usaha cukup menunjukkan bahwa produk yang diterima dari pelaku usaha telah mengalami kerusakan pada saat diserahkan oleh pelaku usaha dan kerusakan tersebut menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si

konsumen. 72 Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan

suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal

19 ayat 2 UUPK meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau

71 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-dewi-5881- e- commerce&q=Usaha, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.

72 N.H.T Siahaan, op . cit , h, 17.

jasa sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Berdasakan uraian diatas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi tidak serumit yang dibayangkan oleh konsumen pada umumnya. Karena dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, pihak yang dibebani untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.