Hubungan nilai Body Mass Index dengan Infertilitas

B. Hubungan nilai Body Mass Index dengan Infertilitas

Hasil analisis chi square mengenai hubungan antara nilai Body Mass Index (BMI) dengan Fertilitas ditampilkan pada tabel 4.8. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai BMI tidak berpengaruh signifikan pada fertilitas (p= 0,160). Nilai p untuk hubungan antara nilai BMI dan infertilitas adalah p = 0.160. Artinya, probabilitas untuk membuat kesimpulan yang salah bahwa perempuan dengan nilai BMI Lebih berisiko lebih besar untuk mengalami infertil dibandingkan dengan perempuan dengan nilai BMI Normal adalah 16 dari 100 kali kesempatan. Jadi, probabilitas membuat kesimpulan salah tersebut cukup besar (maksimal lima kali), dengan kata lain hubungan antara BMI dan infertilitas ini secara statistik kurang bermakna.

dengan kelebihan berat badan sering memiliki masalah fertilitas (Jensen, 1999; Bolumar, 2000; Rich-Edwards, 2002; Pasquali, 2006; Gesink, 2007). Grodstein (1993) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara berat badan dan ketidakteraturan menstruasi, serta usaha untuk menurunkan berat badan pada wanita obes yang tidak mengalami ovulasi akan mengembalikan fertilitasnya.

Dalam penelitiannya yang lain (1994), Grodstein menguji hubungan antara body mass index dan infertilitas dengan melihat perbandingan BMI antara 597 perempuan yang didiagnosis infertil karena gangguan ovulasi pada

7 klinik infertil di United States dan Canada dengan 1.695 kontrol primipara yang baru melahirkan. Perempuan Obes (BMI > 27) yang memiliki hubungan dengan risiko ovulasi infertil memiliki nilai 3.1 [95% confidence interval (CI) = 2.2-4.4], dibandingkan dengan perempuan dengan berat badan yang lebih rendah (BMI 20-24.9). Ditemukan efek yang kecil pada perempuan dengan BMI 25-26.9 atau di bawah 17 [relative risk (RR) = 1.2, 95% CI = 0.8-1.9; dan RR = 1.6, 95% CI = 0.7-3.9, berturut-turut). Sehingga disimpulkan bahwa risiko infertil akibat gangguan ovulasi terbesar adalah pada wanita obes, dan sedikit meningkat pada wanita overweight sedang dan underweight (Grodstein, 1994). Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan karena jumlah sampel yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan penelitian di atas, terutama sampel infertil yang tidak memenuhi kriteria minimal sampel.

hubungan antara status gizi dan infertilitas secara jelas. Namun, berdasarkan teori yang dikumpulkan melalui metode studi pustaka yang dilakukan peneliti, hubungan antara keduanya diperkirakan karena nilai status gizi yang diukur dengan nilai BMI ini erat kaitannya dengan kadar lemak di dalam tubuh. Kadar lemak di dalam tubuh selanjutnya akan menjelaskan mekanismenya dalam mempengaruhi keteraturan siklus haid.

Lemak tubuh mengandung enzim aromatase, enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi hormon estrogen. Hormon estrogen, adalah hormon penyimpan lemak. Estrogen merupakan salah satu hormon yang dapat larut dalam lemak termasuk steroid, yaitu zat lemak yang merupakan derivat dari kolesterol , sehingga dapat menembus membran sel dengan bebas (Murray, et al, 2003)

Hormon dikatakan seimbang bila pengeluaran hormon dari otak sesuai dengan hormon dari indung telur yaitu estrogen dan progesteron. Bila hormon indung telur rendah, hormon otak akan merangsang, dan sebaliknya bila tinggi, maka hormon otak akan berhenti merangsang. Bila mekanisme ini terjadi terus menerus, datang bulan jadi teratur (Simanjuntak, 2007; Ganong, 2002)

Melalui proses tersebut di atas, seseorang dengan kadar lemak berlebihan akan menyebabkan peningkatan hormon estrogen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan kadar estrogen dalam tubuh ini selanjutnya akan menyebabkan feedback negatif ke jalur hipotalamus Melalui proses tersebut di atas, seseorang dengan kadar lemak berlebihan akan menyebabkan peningkatan hormon estrogen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan kadar estrogen dalam tubuh ini selanjutnya akan menyebabkan feedback negatif ke jalur hipotalamus

Banyaknya lemak akan meningkatkan produksi hormon laki-laki (testosteron) yang menghambat pertumbuhan sel telur di indung telur sehingga hormon wanita yang diproduksi pun terganggu. Siklus datang bulan jadi tak teratur. Penurunan berat badan sebesar 5% disertai olah raga dapat membuat siklus datang bulan menjadi normal (Hestiantoro, 2009).