Munculnya Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900
A. Munculnya Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900
Perjanjian Gianti pada tahun 1755 telah membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu kerajaan Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dan pada tahun 1757 setelah perjanjian Salatiga, kedua kerajaan tersebut dibagi lagi. Kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran sedangkan kerajaan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu Kasultanan dan Pakualaman (H.C Ricklefs, 1974: 108-142).
Kerajaan Kasunanan Surakarta semakin terikat oleh pemerintah kolonial Belanda, sedangkan kerajaan Mangkunegaran lebih banyak mendapatkan kebebasan terutama dalam bidang perekonomian. Surakarta merupakan wilayah
bagian dari Vorstenlanden dengan luas wilayah 6.215 km 2 . Pada tahun 1838
penduduknya berjumlah 358.230 orang. Salah satu daerah Surakarta yang paling padat penduduknya adalah Klaten. Daerah Klaten mempunyai lingkungan alam yang menguntungkan bagi perluasan perusahaan perkebunan. Sejak dilakukannya perluasan perkebunan pada awal abad XIX, keresidenan Surakarta telah mengkordinasikan seluruh kegiatannya yang meliputi Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri (Suhartono, 1991: 23).
Pada tahun 1873 wilayah Surakarta terbagi menjadi empat Afdeeling, yaitu Sragen, Klaten, Wonogiri, dan Boyolali. Sebagian besar wilayah Afdeeling Klaten merupakan daerah milik Sunan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kartasura, Klaten dan Larangan. Kabupaten Klaten terdiri dari enam distrik meliputi Klaten, Sepuluh, Prambanan, Gesikari, Gedongan dan Kalisaga. Konsentrasi perusahaan perkebunan lebih diutamakan di distrik Klaten karena merupakan daerah yang sangat subur (Wasino, 2008: 19). Dengan luasnya perkebunan di daerah Klaten maka menggeser kegiatan pertanian masyarakat sekitar. Kegiatan pertanian yang tadinya berjalan dengan baik harus terganggu dengan adanya kegiatan dari perkebunan. Pada awalnya penanaman tanaman Pada tahun 1873 wilayah Surakarta terbagi menjadi empat Afdeeling, yaitu Sragen, Klaten, Wonogiri, dan Boyolali. Sebagian besar wilayah Afdeeling Klaten merupakan daerah milik Sunan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kartasura, Klaten dan Larangan. Kabupaten Klaten terdiri dari enam distrik meliputi Klaten, Sepuluh, Prambanan, Gesikari, Gedongan dan Kalisaga. Konsentrasi perusahaan perkebunan lebih diutamakan di distrik Klaten karena merupakan daerah yang sangat subur (Wasino, 2008: 19). Dengan luasnya perkebunan di daerah Klaten maka menggeser kegiatan pertanian masyarakat sekitar. Kegiatan pertanian yang tadinya berjalan dengan baik harus terganggu dengan adanya kegiatan dari perkebunan. Pada awalnya penanaman tanaman
Masyarakat yang merasa dirugikan oleh kegiatan perkebunan kemudian melakukan tindakan-tindakan destruktif dalam bentuk kriminalitas melalui tindakan perbanditan. Perbanditan merupakan salah satu tindak kriminalitas yang banyak terjadi di daerah Klaten pada tahun 1870-1900. Munculnya perbanditan erat hubungannya dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda yang dijalankan di Indonesia.
1. Identifikasi Bandit Sosial
Perbanditan merupakan satu tindakan kriminalitas yang berkembang di wilayah Agraris. Istilah perbanditan dipandang sangat subyektif berdasarkan sudut pandang masing-masing. Menurut Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Kerajaan perbanditan hanya dianggap sebagai kriminalitas biasa sebagai mana lazimnya tindakan-tindakan kriminal lainnya, akan tetapi masyarakat pribumi memandang perbanditan sebagai suatu bentuk protes sosial terhadap Pemerintah Kolonial dan perkebunan yang telah merugikan petani. Fenomena perbanditan merupakan bagian dari protes sosial terhadap Pemerintahan dan perkebunan yang merugikan arus bawah. Para tokoh perbanditan sering dianggap sebagai pahlawan atau “jagoan” oleh petani karena musuh para petani sama dengan musuh para bandit.
Menurut Hobsbawm dalam Suhartono (1995: 93), bandit dapat dibedakan menjadi dua yaitu bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (sosial bandit). Bandit merupakan istilah untuk menyebut individu atau kelompok yang menentang hukum. Secara lebih rinci pengertian bandit dibedakan menjadi empat, yaitu: a. perampok kawanan, b. seorang yang mencuri, c. membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu (gangster), d. seorang yang mendapatkan keuntungan dengan tidak wajar, e. musuh.
pelaku perbanditan adalah orang-orang yang putus asa dan tidak beruntung, yang saling bekerja sama dalam jarak yang saling berjauhan dan menggunakan alat transportasi modern termasuk kereta api. Alasan para bandit melakukan perbaditan adalah adanya desakan ekonomi. Perbanditan yang banyak dilakukan oleh para petani sering disebut sebagai bandit sosial, yaitu suatu bentuk perbanditan yang dilakukan untuk mendapatkan harta rampokan kemudian hasilnya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Para bandit sosial biasanya muncul apabila terjadi penindasan terhadap para petani pedesaan. Dalam dunia perbanditan terdapat pemimpin dan anggota, struktur organisasi serta sasaran dan latar belakang dilakukannya perbanditan tersebut. Hal-hal tersebut tidak dapat dijumpai dalam kejahatan lain yang lebih menekankan pada suatu bentuk kriminalitas murni yang memang berasal dari nafsu jahat pelaku tanpa adanya dorongan yang berlandaskan sosial atau ketidakpuasan terhadap penguasa.
Perbanditan sosial dapat dijelaskan kaitannya dengan perubahan pola kejahatan yang berhubungan dengan bentuk ekonomi politik dan artikulasi kedalam ekonomi dunia. Secara spasial, skala operasional perbanditan lebih bersifat terbatas dan lokal, dan tidak tampak adanya jaringan, sedangkan perbanditan sosial sudah meningkat ke tingkat regional, tetapi tetap belum terbentuk jaringan diantara mereka secara nyata. Perbanditan yang berkembang di Klaten pada tahun 1870-1900 merupakan pemberontakan terhadap situasi dan bukan merupakan kegiatan kriminalitas murni yang berasal dari nafsu jahat pelaku tanpa adanya dorongan yang berlandaskan sosial atau ketidakpuasan terhadap penguasa. Dasar ideologi perbanditan sosial adalah anti pengaruh luar yang diwujudkan dalam tindakan perampokan, perampasan maupun pencurian (Suhartono, 1991: 154).
Perbanditan yang terjadi di pedesaan dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Perbuatan para bandit ditujukan pada individu maupun lembaga kolonial yang merugikan kehidupan masyarakat pedesaan. Dalam laporan kolonial digunakan istilah bendewezen, roofpartij, roverbende, roverij
orang bersenjata yang meminta dengan paksa harta korban pada malam hari dan tidak jarang disertai tindakan nekad dengan menyiksa atau membunuh korbannya. Sartono Kartodirdjo dalam Suhartono (1991: 153) mengatakan bahwa kecu merupakan perbanditan sosial dalam pergerakan sosial. Sedangkan menurut pemerintah kolonial, kegiatan kecu bertentangan dengan tata-tertib masyarakat yang diklasifikasikan sebagai gerakan antiketertiban dan juga dipandang sebagai gerakan bawah tanah di pedesaan. Gerakan bawah tanah atau rural underworld identik dengan alam peteng. Pendukung dunia peteng menganggap ketentuan dan aturan dalam alam peteng bertentangan dengan yang berlaku di alam padhang. Adanya perbedaan kepentingan antara pendukung alam peteng dan alam padhang maka para pendukung alam peteng dianggap sebagai golongan antiketertiban (Suhartono, 1995: 98).
Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, sedangkan koyok adalah kawanan yang lebih dari 5 orang, dan culeng lebih dari 3 orang. Sedangkan maling pada umumya dilakukan oleh kawanan penjahat dalam jumlah yang tidak terlampau banyak (satu atau dua orang) untuk mengabil harta penduduk baik di siang hari maupun malam hari. Sedangkan Begal adalah perampokan yang dilakukan oleh penjahat dengan jalan menghadang korban di tengah jalan (Wasino, 2008: 324).
2. Latar Belakang Munculnya Perbanditan
Munculnya perbanditan di Klaten di latar belakangi oleh adanya kebijakan pemerintah kolonial Belanda, perubahan status sosial di Surakarta dan keadaan ekonomi Surakarta yang semakin terpuruk.
a. Kebijakan Politik Pemerintah Kolonial Belanda Kebijakan politik kolonial liberal yang dibuat oleh belanda antara lain: kebijakan sistem tanam paksa, kebijakan politik kolonial Liberal serta adanya perluasan perkebunan.
1) Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memusatkan 1) Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memusatkan
Pergantian politik pemerintahan VOC ke pemerintahan Hindia Belanda ditandai dengan adanya kebangkrutan VOC yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecurangan pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah dalam sistem monopoli serta sistem paksaan yang membawa kemerosotan moral bagi para penguasa dan mengakibatkan penderitaan penduduk. Pada masa yang sama VOC juga mengalami dampak buruk dari perang menghadapi Inggris dalam memperebutkan penguasaan perdagangan dan Belanda sendiri masih berada dibawah kekuasaan Perancis (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 41).
Sejak tahun 1800 pemerintah kolonial mengubah cara eksploitasi terhadap Indonesia terutama kepada para petani. Adanya perang Diponegoro yang menghabiskan banyak biaya serta pemasukan pajak yang belum berjalan lancar maka pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk memulihkan keuangan dengan cara melakukan sistem tanam paksa (Sartono Kartodirdjo, 1992: 305). Pemerintah kolonial mulai meninggalkan eksploitasi cara lama yaitu memusatkan pada perdagangan yang dikelola oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menjadi eksploitasi yang dikelola oleh pemerintah atau pengusaha swasta (Suhartono, 1995: 1). Eksploitasi ini dipusatkan pada pemanfaatan faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan tersedianya faktor produksi ini maka pemerintah menggantikan tanaman tradisional dengan tanaman komersial.
Politik kolonial di Indonesia mengalami perubahan pada waktu Inggris berhasil menduduki Indonesia tahun 1811-1816 di bawah Thomas Stamford Raffles. Raffles ingin menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan kerja rodi selama jaman VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda yang selalu Politik kolonial di Indonesia mengalami perubahan pada waktu Inggris berhasil menduduki Indonesia tahun 1811-1816 di bawah Thomas Stamford Raffles. Raffles ingin menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan kerja rodi selama jaman VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda yang selalu
Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang nantinya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada awalnya dapat dibayar dengan menggunakan uang atau barang, tetapi pada perkembangannya lebih berupa pembayaran dalam bentuk uang. Besarnya sewa berdasarkan atas jenis tanah dan perkiraan produktivitas tanah dalam menghasilkan komoditi perdagangan terutama beras (Robert Van Niel, 2003: 3).
Sistem sewa tanah oleh Sir Thomas Stamford Raffles berpatokan pada tiga asas. Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun kerja rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan pada rakyat. Kedua, peranan Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya dijadikan bagian yang integral dari sitem pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai asas-asas pemerintahan modern. Ketiga, berdasar anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa. Sistem sewa tanah inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar penentu kebijakan ekonomi pemerintah kolonial Inggris dibawah Raffles dan kemudian ditiru dan masih digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda hingga tahun 1830 (Cahyo Budi Utomo, 1995:6).
Pemerintah Kolonial Belanda telah mengalami kerugian besar untuk biaya perang menghadapi perlawanan pribumi maupun perang di Eropa. Oleh karena itu pada tahun 1839 pemerintah mengeluarkan peraturan sewa tanah yang mengatur perkebunan dan petani (Suhartono, 1995: 67). Dalam menghadapi kebangkrutan yang dialami pemerintah kolonial Belanda maka Van Den Bosch mempunyai rencana untuk melaksanakan ekonomi politik di Jawa yang akan Pemerintah Kolonial Belanda telah mengalami kerugian besar untuk biaya perang menghadapi perlawanan pribumi maupun perang di Eropa. Oleh karena itu pada tahun 1839 pemerintah mengeluarkan peraturan sewa tanah yang mengatur perkebunan dan petani (Suhartono, 1995: 67). Dalam menghadapi kebangkrutan yang dialami pemerintah kolonial Belanda maka Van Den Bosch mempunyai rencana untuk melaksanakan ekonomi politik di Jawa yang akan
Van Den Bosch yakin bahwa Indonesia sebagai tanah jajahan yang merupakan sumber kekayaan negara induk Belanda. Petani diwajibkan menanam tanaman seperti nila, tebu, kopi, dan tembakau yang kemudian diperdagangkan oleh pemerintah kolonial Belanda di bawah pengawasan pemerintah sendiri (Cahyo Budi Utomo, 1995: 8). Serikat Dagang Belanda yang disebut Neerlandsche Handelmaatschappi (NHC) merupakan serikat dagang tunggal yang berhak mengekspor hasil bumi yang diperoleh dari tanam paksa untuk deperdagangkan di pasaran Eropa.
Pemikiran Van den Bosch mengenai sistem tanam paksa tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, tetapi sistem ini hanya dirumuskan pada satu prinsip umum yang sederhana. Desa-desa di Jawa menghutang pajak tanah kepada pemerintah yang biasanya diperhitungkan sebesar 40 persen dari hasil panen utama desa itu (biasanya beras). Dalam kenyataannya taksiran yang sesungguhnya dibawah angka ini dan pemungutan pajak tersebut (sebagian besar dibayar dengan uang tunai) sering kali sulit untuk dilaksanakana karena kurangnya tenaga ahli dalam administrasi dan adanya kekurangan mata uang. Rencana Van den Bosch ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami tanaman ekspor (khususnya kopi, tebu dan nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang pasti. Dengan demikian maka desa mampu melunasi hutang pajak tanah. Apabila pendapatan desa dari penjualan panennya lebih banyak daripada pajak tanah yang harus dibayarkan maka desa akan mendapat kelebihannya, apabila kurang maka desa tersebut masih harus tetap membayar kekurangannya dari sumber-sumber lain. Van den Bosch beranggapan bahwa komoditas ekspor sebagai suatu yang lebih menguntungkan bagi desa daripada menanam padi (H.C Ricklefs, 1992: 183-184).
Dalam pelaksanan sistem tanam paksa van den Bosch menghendaki Dalam pelaksanan sistem tanam paksa van den Bosch menghendaki
Sistem Tanam Paksa mempunyai tujuan utama merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku terjual di pasar dunia. Pemerintah memberi pinjaman melalui perjanjian kontrak kepada orang-orang yang bersedia membangun pabrik untuk mengolah hasil-hasil bumi yang diserahkan oleh penduduk desa. Perjanjian kontrak semacam ini dicobakan pada berbagai jenis tanaman dagang, tetapi hanya di daerah penghasil gula perjanjian-perjanjian ini terbukti menjadi faktor yang sigifikan dalam usaha menghasilkan pertambahan modal. Sistem Tanam Paksa melalui suntikan modal pemerintah dan perluasan penanaman tanaman dagang untuk pasar dunia mendorong pembentukan modal swasta yang ditanam dalam jumlah besar dibidang ekspansi sektor pertanian ekspor (Robert van Niel, 2003: 40).
Sistem tanam paksa akan memberikan keuntungan kepada semua pihak karena desa masih memiliki tanah cukup luas selain untuk kegunaannya sendiri, petani akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Dalam pelaksanaan tanam paksa di Jawa terdapat banyak variasi (H.C Ricklefs, 1992: 184). Konsep tentang perolehan keuntungan kepada semua pihak berubah menjadi salah satu kisah-kisah pemerasan yang lebih besar di dalam sejarah penjajahan. Para pejabat lokal baik yang berkebangsaaan Belanda maupun Indonesia telah menetapkan taksiran besarnya pajak tanah dan banyaknya komoditi ekspor bagi setiap desa.
memanfaatkannya untuk menaikkan taksiran pajak tanah sehingga sebagian besar kelebihan pembayaran komoditi tersebut kembali kepada pemerintah.
Penanaman tebu dimasukkan dalam Sistem Tanam Paksa berdasarkan resolusi gubernur jenderal tanggal 13 Agustus 1830. Penyelenggaraan penanaman tebu dibawah peraturan pemerintah setelah 1830 dipusatkan pada perjanjian- perjanjian kontrak. Perjanjian kontrak dilakukan untuk dua aspek produksi gula yang berbeda. Kontrak tahap pertama dibuat oleh pemerintah lokal dengan desa yang bertujuan mengatur penanaman tebu dibagian tertentu tanah desa, memelihara serta menebang tebu dan awalnya mengangkut tebu ke pabrik. Tahapan kontrak lainnya terjadi antara pemerintah lokal yang diwakili pejabat Belanda dengan operator (pengusaha) yang dengan peminjaman uang membangun pabrik, pengolah tebu, dan menyerahkan gula kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. Kontrak dengan desa diatur dengan pemerintahan pribumi dengan administrator Eropa (Robert Van Niel, 2003: 40).
Pasca tahun 1830, struktur administrasi sistem tanam paksa sesuai dengan konservatisme kebijakan Belanda yang baru. Desa menjadi unit dasar pemerintahan dan percobaan-percobaan terdahulu dalam menghubungi para petani secara langsung ditinggalkan (H.C Ricklefs, 1992: 185). Kepala desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatannya hingga mencapai puncak pada bupati (yang disebut regent oleh orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintahan bangsa Eropa, tetapi para pejabat bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Para pejabat baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia disuruh melaksanakan rencana baru tersebut dengan pembayaran berupa presentase terhadap hasil penyerahan-penyerahan komoditi pertanian. Hal tersebut merupakan sumber korupsi yang subur dan pendorong bagi tuntutan- tuntutan yang bersifat memeras terhadap desa-desa. Hasil-hasil bumi ditaksir terlalu kecil, perdagangan swasta dibidang komoditi pertanian pemerintah semakin meningkat, dan transaksi-transaksi yang curang berkembang di kalangan
pemilikan tanah sehingga memunculkan tanah-tanah komunal. Sebelum tanam paksa, raja merupakan pemilik mutlak atas tanah, bukan dalam arti umum melainkan dalam arti perdata. Dalam penguasaannya tidak semua tanah dikuasai oleh raja secara langsung. Tanah yang dikuasai oleh raja secara langsung disebut siti pemajekan dalem atau siti daleman. Tanah ini disebut juga sebagai bumi narawita , yaitu tanah yang secara khusus disediakan untuk mencukupi kebutuhan raja dan keluarganya. Selain tanah yang dikuasai secara langsung, terdapat tanah- tanah yang disediakan sebagai tanah gaji bagi pejabat dan keluarga bangsawan yang disebut sebagai tanah lungguh atau apanage. Pada prinsipnya pejabat atau bangsawan yang memperoleh tanah lungguh berhak mengambil seluruh hasil bumi yang ditanam sekaligus penduduk yang bekerja diatas tanah tersebut. Di luar itu terdapat tanah Mancanegara, yaitu tanah-tanah di perbatasan yang lokasinya di luar tanah Negara Agung. Tanah-tanah ini berada di bawah kekuasaan para bupati, yaitu para bangsawan bebas yang semakin jauh jaraknya dari kraton. Dalam tanah Mancanegara tidak terdapat tanah apanage milik bangsawan, yang ada hanya siti majegan, yaitu tanah yang dikenai pajak (Wasino, 2008: 22-23).
Tanah-tanah pedesaan yang yang menyediakan bahan-bahan mentah bagi para kontraktor pada umumnya terletak di daerah bekas tanah-tanah terlantar yang dulu dimanfaatkan oleh pengusaha perkebunan swasta yang menyewa tanah pemerintah sebelum tahun 1830 (Robert van Niel, 2003: 268). Banyaknya tekanan dari luar dapat diselesaikan di dalam desa dengan bentuk organisasinya yang dapat memberikan peranan desa sebagai penyambung antara sistem tanam paksa dan rakyat sebagai penanamnya. Peranan desa sebagai penyambung ini mengakibatkan: pertama, proses mengarahkan desa keluar dan modernisasi desa menjadi terlambat. Banyaknya surplus yang mengalir keluar tanpa ada investasi kembali ke tempat penghasil sendiri. Kedua, sistem tanam paksa lebih memperkuat perkembangan desa yang mengarah ke dalam karena dengan demikian merupakan dapat berfungsi sebagai alat produksi yang efektif. Ketiga, peranan kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai
Belanda maupun pribumi (Sartono Kartodirdjo, 1992: 311). Dampak sistem tanam paksa terhadap orang-orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beraneka ragam. Bagi kalangan elite bangsawaan di seluruh Jawa sistem ini merupakan masa yang sangat menguntungkan. Kedudukan para elit bangsawan lebih aman dan penggantian secara turun-temurun untuk jabatan- jabatan resmi menjadi norma, terutama setelah dikeluarkannya Ketentuan Konstitusi (Regeringsreglement) tahun 1854. Para bangsawan sering memperoleh keuntungan yang besar dari pembayaran presentase atas penyerahan hasil bumi dari para petani. Para bangsawan tergantung secara langsung kepada kekuasaan Belanda untuk kedudukan dan penghasilannya serta harus melakukan pemaksaan. Para bangsawan menjadi sasaran pengawasan dan campur tangan para pejabat Belanda. Tujuan utama pemerintah Belanda adalah memanfaatkan prestise tradisional kaum bangsawan supaya mendapatkan tenaga administrasi murah (H.C Ricklefs, 1992: 186-187).
Bagi sebagian besar penduduk, sistem tanam paksa hanya memberi sedikit keuntungan. Van Niel menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1831-1851 banyak terjadi perpindahan penduduk ketika penduduk desa berusaha mengelakkan beban kerja dan tidak diperbolehkannya keuntungan dengan jalan pindah dari kawasan pertanian ke kota-kota dan meninggalkan wilayah pedalaman menuju ke daerah pantai. Akan tetapi, kejadian ini memberi keuntungan kepada orang-orang yang tetap tinggal di wilayah itu, pemilikan tanah menjadi lebih luas dan memiliki lebih banyak ternak. Pihak yang paling beruntung dengan adanya sistem tanam paksa adalah para pengusaha Cina, para administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima presentase namun juga memiliki tanah jabatan (tanah lungguh).
Dampak sistem tanam paksa bagi pihak Belanda adalah keuntungan yang besar dan ajek. Sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial Belanda sudah seimbang dan hutang-hutang VOC terlunasi. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 Belanda menerima 832 juta gulden. Sebelum tahun 1850 kiriman uang ke Negeri Dampak sistem tanam paksa bagi pihak Belanda adalah keuntungan yang besar dan ajek. Sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial Belanda sudah seimbang dan hutang-hutang VOC terlunasi. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 Belanda menerima 832 juta gulden. Sebelum tahun 1850 kiriman uang ke Negeri
2) Pelaksanaan Politik Kolonial Liberal Pada tahun 1840 sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan bagi
penduduk terutama di daerah-daerah perkebunan tebu. Tebu di tanam di lahan penanaman padi, sebagai akibatnya terjadi kesulitan penggiliran yang konstan antara kedua komoditi tersebut karena perbedaan masa tanam padi dan tebu. Pabrik-pabrik gula bersaing dengan pertanian padi untuk mendapatkan jatah air sehinga terjadi paceklik dan kenaikan harga yang tajam. Pada tahun 1843 timbul kelaparan di Cirebon. Keadaan diperparah dengan wabah penyakit yang menjangkit pada tahun 1846-1849 dan kelaparan meluas hingga ke Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menaikkan pajak tanah dan pajak- pajak lainnya secara drastis. Kepergian penduduk-penduduk dari desa mengakibatkan turunnya hasil pertanian padi. Krisis-krisis keuangan juga terjadi di Perusahaan Dagang Belanda (Neerlandsche Handel Maatschappi) maupun pada anggaran Belanja pemerintah kolonial di Jawa. Pada tahun 1845-1850 ekspor kopi, gula, dan nilai merosot. Akan tetapi keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari kopi dan gula meningkat lagi setelah tahun 1850, yaitu ketika harga pasaran dunia untuk komoditi-komoditi tersebut mengalami kenaikan.
Pada tahun 1851-1870 perbendaharaan Belanda menerima kiriman uang sejumlah dua kali lipat dari yang telah diterima pada tahun 1831-1850. Akan tetapi, meningkatnya pengeluaran militer secara drastis mengakibatkan munculnya defisit sejak tahun 1858 dalam anggaran keuangan kolonial yang hanya dapat diperbaiki dengan keuntungan-keuntungan dari sistem tanam paksa (H.C Ricklefs, 1992: 188-189). Setelah tahun 1859 terjadi pembangunan besar- besaran dalam penanaman tebu swasta di Vorstenlanden, dan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46 pabrik penggilingan gula, diantaranya digerakkan dengan tenaga uap, tenaga air, tenaga kerbau (Vincent J.H. Houben, 2002: 586).
Luas (bau)
Jumlah pekerja
Produksi (pikul)
Sumber: Vincent J.H. Houben. 2002. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870 . Yogyakarta: Bentang Budaya: 587.
Dari tabel di atas diketahui bahwa perkebunan tebu lebih terkonsentrasi di daerah Klaten dan Sragen (masing-masing di sebelah Selatan Gunung Merapi dan dibagian timur laut karesidenan itu). Pada tabel berikut ditunjukkan nama- nama perusahaan Gula yang ada di Surakarta. Tabel 4.2. Nama-Nama Perusahaan Gula di Wilayah Surakarta Perdistrik
Tahun 1863
Wilayah
Perusahaan Gula
Kartasura Kartasura, Jetis Kunden, Temulus, dan Kali Pusur (Jumlah 4) Klaten
Jugkare, Gondang Winangun, Gondang Wedi, Ceper, Kapitu, Kemuda, Delanggu, Junggrangan, dan Sepuluh (Jumlah 9)
Boyolali Drana, Katitang, Pandanan, Manjung, Tulung, Wanasari, Brajan, Duwet, Bangak, Tambak, dan Krecek (Jumlah 11)
Sragen Masaran, Karanganyar, Melangten, Surung, Ambak, Kabeluan, Canden, Kakum, Temanggung, Tundungan, Kaban, Bracak, Wilatung, Trayon, Kewiri, Jetis, Wonolopo, Kebon Rama, Larangan, Pangajak, Kaponan, Bangkal Benda, dan Dongeng (Jumlah 22).
Sumber: Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran . Yogyakarta: LKIS: 35.
Perkembangan perusahaan perkebunan swasta di Surakarta merupakan suatu bentuk tindak lanjut dari adanya sistem tanam paksa. Pelaksanan sistem tanam paksa mendapat kritik dari kaum liberal meskipun hanya bersifat taktis saja. Kaun liberal beranggapan bahwa tanaman wajib merupakan pemerasan resmi pemerintah terhadap tanah jajahan, akan tetapi hal yang dikritik oleh kaum liberal Perkembangan perusahaan perkebunan swasta di Surakarta merupakan suatu bentuk tindak lanjut dari adanya sistem tanam paksa. Pelaksanan sistem tanam paksa mendapat kritik dari kaum liberal meskipun hanya bersifat taktis saja. Kaun liberal beranggapan bahwa tanaman wajib merupakan pemerasan resmi pemerintah terhadap tanah jajahan, akan tetapi hal yang dikritik oleh kaum liberal
Perkembangan bahan mentah daerah tropis dalam pasaran dunia mendorong tekanan-tekanan yang kuat untuk mengganti sistem tanam paksa menjadi bentuk kolonisasi Jawa oleh perusahaan swasta, yaitu dengan menempatkan perkebunan-perkebunan swasta sebagai inti pengelolaan pulau Jawa. Perkembangan ini menimbulkan pertentangan antara kaum konservatif yang tetap mempertahankan sistem tanam paksa dengan kaum liberal yang lebih menyukai perusahaan-perusahaan swasta. Akan tetapi, baik partai liberal maupun konservatif sepakat bahwa daerah jajahan harus membantu negara induk dalam mencapai kesejahteraan.
Adanya penghapusan sistem tanam paksa tidak berarti penderitaan rakyat berakhir. Hal ini dikarenakan penarikan modal pemerintah diganti dengan pemasukan modal swasta. Sistem ekonomi kolonial yang menganut paham liberalisme dimulai pada tahun 1870 hingga 1900. Sistem ekonomi liberal memberikan kebebasan bagi pemilik modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, yaitu mendirikan perkebunan-perkebunan besar antara lain menanam
kopi, teh, tebu, dan kina. Pemasukan modal-modal swasta tidak hanya terbatas
pada perkebunan-perkebunan saja tetapi juga perusahaan seperti pengangkutan, pertambangan, dan perkapalan. Penanaman modal asing dijamin oleh pemerintah kolonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Berlakunya Undang- Undang Agraria tahun 1870 dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia Belanda (Cahyo Budi Utomo, 1995: 11).
Kaum liberal menuntut dua hal pokok dan resmi agar para pengusaha perkebuan swasta diberi keleluasaan dalam menggunakan tanah. Hal pokok tersebut adalah: a) Mengakui hak milik mutlak (eigendom) orang Indonesia atas Kaum liberal menuntut dua hal pokok dan resmi agar para pengusaha perkebuan swasta diberi keleluasaan dalam menggunakan tanah. Hal pokok tersebut adalah: a) Mengakui hak milik mutlak (eigendom) orang Indonesia atas
“erfpacht”. Undang-Undang Agraria tahun 1870 juga merupakan awal pembukaan
Jawa bagi perusahaan swasta. Undang-Undang ini menjamin kebebasan dan keamanan bagi pengusaha. Pemilik tanah hanyalah orang Indonesia tetapi orang- orang asing diperkenankan menyewa dari pemerintah sampai tujuh puluh lima tahun atau dari pemilik pribumi untuk masa paling lama antara lima hingga dua puluh tahun (tergantung dari persyaratan hak pemilik tanah). Dengan adanya pembukaan terusan Sues semakin mendorong perkembangan perusahaan perkebunan swasta di Jawa. Pada tahun 1860, ekspor swasta dan pemerintah dari seluruh Indonesia kira-kira nilainya sama. Pada tahun 1885 ekspor swasta mencapai sepuluh kali lipat dari ekspor pemerintah. Periode liberal merupakan zaman makin hebatnya eksploitasi terhadap pertanian-pertanian Jawa maupun di daerah luar Jawa (H.C Ricklefs, 1992: 190).
Dalam Undang-Undang Agraria 1870 semua tanah yang bukan milik pribumi dinyatakan sebagai tanah domein (domein van de Staat) atau disebut dengan tanah bebas. Dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa penyewa adalah warga negara Belanda yang tinggal di Nederland atau Hindia Belanda, atau kepada perusahaan yang terdaftar di Hindia Belanda. Areal yang dapat disewa maksimum 500 bahu dengan sewa antara f1 sampai f6. Tanah pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum adat hanya dapat disewa selama lima tahun, sedangkan tanah milik pribumi sendiri dapat disewa selama dua puluh tahun (Sartono Kartodirdjo, 1992: 331).
Periode liberal bagi masyaralat agraris justru merupakan suatu masa penderitaan yang semakin berat. Jumlah penduduk semakin bertambah sehingga memperbesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan, tanah yang terbaik sudah digunakan untuk perkebunan sehingga tanaman padi hanya diperluas ke Periode liberal bagi masyaralat agraris justru merupakan suatu masa penderitaan yang semakin berat. Jumlah penduduk semakin bertambah sehingga memperbesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan, tanah yang terbaik sudah digunakan untuk perkebunan sehingga tanaman padi hanya diperluas ke
3) Perluasan Perkebunan ke Pedesaan Peralihan politik pemerintahan VOC ke Pemerintahan Hindia Belanda
abad ke-18 hingga abad ke-19, memberikan latar perkembangan perkebunan di Indonesia abad ke-19 (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 41). Pada pertengahan abad ke-19 pertumbuhan ekonomi Belanda menginjak proses industrialisasi bersamaan dengan formasi modal di satu pihak dan munculnya kelas menengah di pihak lain. Proses ini melatarbelakangi munculnya liberalisme sebagai ideologi yang dominan di negeri Belanda. Pada tahun 1870 ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria merupakan satu titik yang menunjukkan berakhirnya sistem tanam paksa. Dengan berakhirnya sistem tanam paksa maka pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru yang berasal dari desakan kaum liberal. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan pemerintah liberal. Kebijakan liberal ditandai dengan semakin berkembangnya perusahaan- perusahaan perkebunan milik swasta di Jawa.
Pertumbuhan kapitalisme dan indusrialisme di Belanda secara wajar mendorong ekspansi ke daerah jajahan lebih berupa kapitalisme finansial. Maka sejak tahun 1870 kebutuhan investasi modal mencari penyaluran ke perusahaan swasta (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 80). Undang-Undang Agraria tahun 1870 menetapkan peraturan tata guna tanah sebagai berikut: a) Tanah milik rakyat tidak dapat dijualbelikan kepada non-pribumi, b)Selain itu Pertumbuhan kapitalisme dan indusrialisme di Belanda secara wajar mendorong ekspansi ke daerah jajahan lebih berupa kapitalisme finansial. Maka sejak tahun 1870 kebutuhan investasi modal mencari penyaluran ke perusahaan swasta (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 80). Undang-Undang Agraria tahun 1870 menetapkan peraturan tata guna tanah sebagai berikut: a) Tanah milik rakyat tidak dapat dijualbelikan kepada non-pribumi, b)Selain itu
Undang-Undang Agraria didasarkan atas kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing yang dijamin oleh Pemerintah Kolonial seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Dari isi Undang- Undang Agraria, kedua hal tersebut merupakan suatu peraturan yang dianggap sebagai titik dimulainya politik kolonial liberal di Hindia Belanda. Peraturan dalam Undang-Undang Agraria tahun 1870 pada pokoknya berisi antara lain: pertama, menurut ketentuan yang telah ditetapkan dengan ordonansi, maka tanah- tanah diberikan dengan erfpacht untuk jangka waktu tidak lebih dari 75 tahun. Kedua, Gubernur Jenderal harus menjaga supaya jangan sampai setiap pemberian tanah tersebut melanggar hak-hak bangsa Indonesia. Ketiga, tanah-tanah yang dibuka oleh bangsa Indonesia untuk digunakan sendiri atau sebagai tempat untuk penggembalaan umum atau karena salah satu sebab termasuk tanah desa, tidak dikuasai Gubernur Jenderal kecuali untuk kepentingan umum dan untuk tanaman- tanaman yang diperintahkan oleh penguasa menurut peraturan yang bersangkutan dengan ganti rugi yang pantas. Keempat, tanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan hak pakai perseorangan turun-temurun (erfelijk individueel gebruik ), diberikan atas permintaan pemilik yang berhak dengan eigendom kepadanya dengan pembatasan-pembatasan yang perlu ditetapkan dengan ordonansi dan dinyatakan di dalam surat eigendom terhadap kewajiban terhadap Pemerintah Desa dan wewenang menjual kepada bukan bangsa Indonesia. Kelima, penyewa atau permintaan memakai tanah oleh bangsa Indonesia kepada bukan bangsa Indonesia berlangsung menurut ketentuan yang ditetapkan oleh
ordonansi. Dengan adanya Undang-Undang Agraria maka perusahaan swasta
mendapat banyak kesempatan untuk berkembang karena diberi hak –hak menyewa tanah di Jawa dari pemerintah untuk periode 75 tahun dan dari pemilik tanah pribumi untuk periode yang lebih singkat (Staatsblad tahun 1870 no. 55).
bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada perusahaan swasta untuk menanamkan modalnya, dan sejak tahun 1830 di Vorstenlanden sudah mulai berkembang perusahaan perkebunan (Onderneming) milik Pemerintah Kolonial. Konsep kepemilikan tanah di Vorstenlanden terpengaruh dari Hindu yang menyatakan bahwa pemilik tanah adalah Raja (Vorstendomein). Raja merupakan pemilik tanah seluruh kerajaan seperti yang telah disebutkan dalam peribahasa jawa ”Sakurebing langit Salumahing bumi” yang artinya adalah semua yang ada di bawah langit dan di atas bumi. Dalam pemerintahan Raja dibantu oleh keluarga dan birokrat kerajaan, maka sebagai imbalannya mereka diberi sebidang tanah oleh Raja sebagai gaji yang disebut apanage atau lungguh (Sugiharti, 2004: 43).
Tanah apanage merupakan tanah luas dan subur yang sangat diperlukan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan tanam paksa dan pendirian perusahaan-perusahaan perkebunan. Tanah apanage dieksploitasi untuk menghasilkan pajak yang berupa uang, barang dan tenaga kerja. Oleh karena itu diperlukan kepemimpinan seorang bekel bagi kehidupan sosial di tanah apanage (Suhartono, 1991: 1). Tumbuh dan berkembangnya sistem ekonomi liberal tidak mampu diikuti oleh keraton Kasunanan. Raja tidak mampu memberdayakan dan merubah lahan-lahan pertanian menjadi industri perkebunan ekspor serta industri turunannya. Maka dari itu raja lebih memilih untuk tetap bertahan pada sistem lama, yaitu sewa-menyewa tanah lungguh (Hermanu Joebagio, 2010: 57).
Berkembangnya perusahaan perkebunan (Onderneming) menuntut adanya perluasan areal perkebunan yang secara langsung menyebabkan masuknya pengaruh barat ke pedesaan semakin intensif. Dampak dari perluasan perkebunan tersebut adalah semakin banyaknya tanah apanage yang disewa oleh Pemerintah Kolonial dari para Patuh atau pemegang tanah apanage (Apanage Houder). Di dalam masyarakat tradisional, Patuh menguasai tenaga kerja di tanah apanage miliknya. Tanah apanage merupakan hak yang hanya dimiliki oleh pejabat atau bangsawan, sedangkan rakyat hanya sebagai penggarap untuk kepentingan Raja dan para Patuh. Setelah tanah apanage banyak disewa oleh pemerintah maka Berkembangnya perusahaan perkebunan (Onderneming) menuntut adanya perluasan areal perkebunan yang secara langsung menyebabkan masuknya pengaruh barat ke pedesaan semakin intensif. Dampak dari perluasan perkebunan tersebut adalah semakin banyaknya tanah apanage yang disewa oleh Pemerintah Kolonial dari para Patuh atau pemegang tanah apanage (Apanage Houder). Di dalam masyarakat tradisional, Patuh menguasai tenaga kerja di tanah apanage miliknya. Tanah apanage merupakan hak yang hanya dimiliki oleh pejabat atau bangsawan, sedangkan rakyat hanya sebagai penggarap untuk kepentingan Raja dan para Patuh. Setelah tanah apanage banyak disewa oleh pemerintah maka
Penyewaan tanah apanage oleh perusahaan perkebunan berdampak kepada semakin menyusutnya lahan pertanian masyarakat petani. Penyusutan areal pertanian mengakibatkan semakin berkurangnya pemenuhan bahan pokok pangan sehingga terjadi kelaparan di kawasan pedesaan. Penyewaan tanah oleh pemilik modal ternyata justru membawa dampak negatif bagi masyarakat terutama dalam masalah ekonomi. Dapat dikatakan bahwa penyewaan tanah merupakan salah satu faktor pendorong meningkatnya jumlah penduduk miskin di pedesaan (Djoko Suryo, 1990: 51-54). Untuk mengintensifkan perkembangan perusahaan perkebunan maka Pemerintah Kolonial memaksakan berbagai perubahan. Perubahan tersebut antara lain adalah perjanjian sewa tanah, uang sewa tanah, upah kerja, dan lain-lain. Perubahan-perubahan tersebut diatur oleh Pemerintah Kolonial sehingga masyarakat desa semakin tergantung pada perusahaan perkebunan. Kondisi ini diperparah dengan upah yang diterima sebagai buruh di perkebunan tidak sesuai dengan beratnya beban pekerjaan. Biaya kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan juga beban pajak yang cukup tinggi semakin membuat kehidupan masyarakat desa menjadi lebih terpuruk.
Akibat perkembangan pesat dari perkebunan-perkebunan tersebut maka mata pencaharian petani tradisional semakin tergeser dan memaksa petani untuk mencari pekerjaan pada perusahaan-perusahaan perkebunan. Masa-masa sebelum datangnya perkebunan di pedesaan, kehidupan para petani relatif lebih baik. Akan tetapi dengan masuk dan berkembangnya perkebunan maka petani semakin berkurang hak dan kemerdekaannya. Para petani harus bekerja di perkebunan Akibat perkembangan pesat dari perkebunan-perkebunan tersebut maka mata pencaharian petani tradisional semakin tergeser dan memaksa petani untuk mencari pekerjaan pada perusahaan-perusahaan perkebunan. Masa-masa sebelum datangnya perkebunan di pedesaan, kehidupan para petani relatif lebih baik. Akan tetapi dengan masuk dan berkembangnya perkebunan maka petani semakin berkurang hak dan kemerdekaannya. Para petani harus bekerja di perkebunan
Praktek perkebunan memang tidak memberi hak hidup pada petani. Perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerja petani, hingga petani tidak kebagian hajat hidup yang mengakibatkan penderitaan petani semakin parah. Sebagai konsekuensinya maka petani melakukan tindakan kasar seperti yang tercermin dalam budaya pedesaan. Jalan keluar yang diambil petani yaitu dengan melakukan perampokan atau perbanditan.
b. Perubahan Status Sosial di Surakarta Masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial besar, yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi sedangkan golongan bawah terdiri dari para petani, buruh tani, tukang, pedagang, perajin, dan lain-lain. Bangsawan merupakan golongan sosial atas yang mempunyai genealogi dengan raja. Para bangsawan terdiri dari sentana atau keluarga raja dan priyayi yang merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja. Golongan bawah yang terdiri dari para petani, pedagang dan tukang disebut wong cilik (Suhartono, 1991: 32-33).
Dua golongan sosial yang ada telah menempatkan pada wadah yang berbeda. Status golongan sosial yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari sistem apanage . Tanah apanage diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai gaji yang diberikan oleh raja. Tanah apanage telah menghasilkan banyak kekayaan bagi para pemegangnya. Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan perkebunan pada pertengahan adab XIX, status golongan birokrat semakin kuat untuk mendukung pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam pemerintahan kolonial yang diisi oleh priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak, kasir, hingga para pengawas yang diberi gelar mantri. Dengan hal ini maka Dua golongan sosial yang ada telah menempatkan pada wadah yang berbeda. Status golongan sosial yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari sistem apanage . Tanah apanage diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai gaji yang diberikan oleh raja. Tanah apanage telah menghasilkan banyak kekayaan bagi para pemegangnya. Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan perkebunan pada pertengahan adab XIX, status golongan birokrat semakin kuat untuk mendukung pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam pemerintahan kolonial yang diisi oleh priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak, kasir, hingga para pengawas yang diberi gelar mantri. Dengan hal ini maka
Muncul dan berkembangnya perkebunan swasta di Surakarta menjadikan para pemilik modal swasta sangat kaya bahkan kekayaan yang dimilikinya lebih besar dari pada kekayaan yang dimiliki para pejabat kerajaan di Kraton. Hal ini menjadikan status sosia pengusaha swasta naik di atas bangsawan. Para pemilik perusahaan perkebunan di Surakarta telah mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kolonial dan diberi kemudahan dengan dilakukannya reorganisasi tanah apanage yang cenderung menguntungkan bagi pemilik modal. Kebijakan yang dikeluarkannya tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Kolonial telah berkuasa melebihi raja yang menjadi pemimpin tradisional di Surakarta. Secara otomatis kondisi tersebut membuat kedudukan Pemerintah Kolonial dan pemilik perkebunan sebagai golongan tertinggi dan menggeser kedudukan para bangsawan. Raja bukan lagi sebagai penguasa tunggal di Surakarta. Adaya pergeseran kekuasaan dari raja ke pemerintah kolonial maka setiap pengambilan keputusan mengenai suatu kebijakan harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Kolonial terlebih dahulu (Soekandar Wiriatmadja, 1973: 68).
Perubahan status sosial di Surakarta menciptakan suatu penguasa baru di pedesaan. Kedudukan raja telah digantikan oleh penyewa tanah (dalam hal ini para pengusaha perkebunan). Penyewa tanah berhak memungut hasil dan tenaga kerja dari rakyat melalui kontrak yang ada di tanah sewaan. Dalam upaya mendapatkan tenaga kerja rakyat, paraturan kebijakan disertai dengan sanksi sehingga rakyat tidak dapat mengelak dari kebijakan peraturan-peratuaran yang telah mendapat izin dari pemerintah Kolonial (Van Wijk, 1914: 72-75).
mengalami perubahan sejalan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah Kolonial tentang penghapusan sistem apanage. Dengan adanya penghapusan sistem apanage maka proses transformasi politik berjalan semakin cepat. Di satu pihak Pemerintah Kolonial semakin kuat sedangkan kekuasaan Pemerintah Kerajaan semakin berkurang. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya lembaga kebekelan yang berada pada struktur birokrasi pemerintah kerajaan dan diganti dengan pemerintah desa oleh Pemerintah Kolonial. Struktur di atas pemerintah desa antara lain: onder distrik, distrik, dan kabupaten. Penghapusan lembaga kabekelan telah menunjukkan pelaksanaan penetrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial terhadap kekuasaan kerajaan (Sartono Kartodirdjo, 1989: 138).
Pelaksanaan sistem pengawasan baru terhadap petani diawali dengan pembentukan pemerintah desa dan pengangkatan kepala desa. Kepala desa berfungsi sebagai kepala administrasi pemerintah di tingkat desa dan sebagai petugas keamanan di tingkat pedesaan. Peran ganda seorang kepala desa diharapkan mampu membantu petugas keamanan dalam menjaga keamanan desa. Sebelum adanya penghapusan kabekelan, para bekel hanya berfungsi sebagai pengakomodir tenaga kerja petani untuk kepentingan bangsawan pemegang lungguh atau apanage (Suhartono, 1991: 168).
Penghapusan sistem apanage berarti menghapus lembaga kabekelan dan merupakan pelepasan hubungan antara petani dengan bangsawan. Para bangsawan juga mendapatkan ganti rugi atas penghapusan sistem apanage. Pemberian ganti rugi kepada para bangsawan menandakan adanya perubahan pemegang kekuasaan dari bangsawan kepada pemerintah kolonial. Ganti rugi dari adanya penghapusan sistem apanage berupa pemberian gaji kepada bangasawan yang justru lebih melemahkan kedudukan politik para bangsawan (Solewijkn Gelpke, 1918: 93).
c. Keadaan Ekonomi Surakarta Tahun 1870-1900 Munculnya perbanditan secara tidak langsung dipengaruhi oleh adanya perluasan perkebunan ke pedesaan. Masa-masa sebelum datangnya perkebunan kehidupan petani pedesaan relatif lebih baik, tetapi dengan adanya perkebunan c. Keadaan Ekonomi Surakarta Tahun 1870-1900 Munculnya perbanditan secara tidak langsung dipengaruhi oleh adanya perluasan perkebunan ke pedesaan. Masa-masa sebelum datangnya perkebunan kehidupan petani pedesaan relatif lebih baik, tetapi dengan adanya perkebunan
Daerah Surakarta yang merupakan daerah agraris menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya hidup dari hasil pertanian. Daerah Surakarta adalah daerah pedalaman yang sangat subur. Kehidupan dan kesejahteraan petani sangat tergantung dari sistem apanage yang berlaku di daerah itu. Kehidupan sosial ekonomi petani di Surakarta dapat ditunjukkan melalui hasil panen yang berupa: padi, palawija, kelapa dan tembakau. Hasil dari pertanian tersebut digunakan untuk pemenuhan hidup para petani yang meliputi: pangan, sandang, papan dan pembayaran pajak. Tingkat kemakmuran seorang petani ditunjukkan dengan luas tanah yang dikuasai oleh petani.
Masuknya perkebunan ke pedalaman Jawa terutama di wilayah Surakarta telah menciptakan dua penguasaan atas tanah, yaitu tanah di bawah kekuasaan penyewa, dan tanah raja yang hak pajaknya berada di tangan pangeran atau bangsawan. Pada tanah tipe pertama terdapat tiga model eksploitasi, yaitu: sistem glebagan , sistem bengkok, dan sistem glidig. Pada tanah tipe kedua terdapat dua jenis model eksploitasi, yaitu: sistem pajek dan sistem maron.
Dalam sistem glebagan, para penyewa tanah para penyewa tanah menghasilkan tanaman perkebunan seperti tebu, indigo, atau tembakau. Lahan yang disediakan oleh petani bebas dari pajak dan dibagi dalam andil yang sama. Penyewa tanah memiliki hak 1/3 sampai ½ dari tanaman tergantung dari kualitas tanah. Pada sistem bengkok, sebagai ganti dari pajak tradisional, penyewa tanah berhak untuk menuntut tenaga kerja wajib. Proses produksi hasil pertanian diserahkan kepada bekel dengan sistem bagi hasil, yaitu 1/5 untuk bekel, 2/5 untuk Dalam sistem glebagan, para penyewa tanah para penyewa tanah menghasilkan tanaman perkebunan seperti tebu, indigo, atau tembakau. Lahan yang disediakan oleh petani bebas dari pajak dan dibagi dalam andil yang sama. Penyewa tanah memiliki hak 1/3 sampai ½ dari tanaman tergantung dari kualitas tanah. Pada sistem bengkok, sebagai ganti dari pajak tradisional, penyewa tanah berhak untuk menuntut tenaga kerja wajib. Proses produksi hasil pertanian diserahkan kepada bekel dengan sistem bagi hasil, yaitu 1/5 untuk bekel, 2/5 untuk
Adanya pembagian hasil panen yang tidak sesuai dengan kerja keras petani mengakibatkan para petani mengalami defisit dan masuk dalam jurang kemiskinan. Kerugian yang dialami oleh petani mulai dari segi ekonomi hingga fisik. Masyarakat di paksa mencurahkan tenaganya untuk bekerja di perkebunan milik Pemerintah kolonial maupun pihak swasta dengan upah yang kecil dan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Penghasilan masyarakat yang bekerja di perkebunan swasta asing tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka para petani menjual tanaman hasil dari pekarangan seperti pisang dan sayur-sayuran.
Adanya ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi antara buruh atau petani dengan priyayi maupun dengan pejabat pemerintah Kolonial juga merupakan salah satu penyebab munculnya perbanditan. Ketimpangan terjadi atas dasar masalah upah atau gaji yang diterima oleh kedua belah pihak. Pada tahun 1831 gaji seorang Residen mencapai f24.000. Pasca-1831 para residen mendapatkan tanbahan gaji sebesar f2.700 guna menutup berbagai upacara dan pesta-pesta. Pada akhir tahun 1862 gaji residen dinaikkan menjadi f4.000, bahkan di tempat lain di Jawa para Residen menerima f15.000 per tahun dan berhak mendapatkan bagian dari hasil panen tanaman-tanaman wajib di Karesidenan masing-masing (Vincent J.H. Houben, 2002: 178).
Zuidhollander dalam Vincent J.H. Houben (2002: 662), menyatakan pemegang tanah lungguh yang menyewakan tanah-tanahnya kepada pengusaha- pengusaha Eropa mendapatkan penghasilan yang lebih besar dibanding pada waktu sebelumnya. Sekitar tahun 1850 seorang penyewa tanah mengeluarkan
Pada tahun 1862 di Solo pada waktu itu terdapat 27.264 orang buruh tani yang merupakan penduduk permanen di tanah-tanah perkebunan dan 4.408 pengindhung (pekerja-pekerja cadangan) di tanah-tanah sewa. Dengan rata-rata 150 hari pertahun, para pengusaha mengeluarkan uang sebesar f1.500.000.
Masuknya perkebunan ke wilayah Surakarta mengakibatkan hilangnya otonomi milik petani. Para petani menjadi sangat tergantung kepada pihak perkebunan yang mau tak mau dunia petani di pedesaan mulai tergeser oleh perkebunan. Para petani berani menyatakan bahwa perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerjanya, sehingga petani tidak mendapat hajat hidup yang layak dan mengakibatkan penderitaan petani semakin parah. Keadaan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong munculnya perasaan tidak puas petani. Perasaan tidak puas petani semakin lama semakin terakumulasi menjadi sebuah protes yang diwujudkan secara sembunyi-sembunyi melalui suatu kegiatan dalam bentuk perbanditan yang pada prinsipnya merupakan balance of power atau imbangan kekuatan (Suhartono, 1995: 4-130).
d. Keadaan Politik Surakarta Faktor lain yang merupakan penyebab munculnya perbanditan berasal dari faktor politik. Para bangsawan keraton yang melakukan perbanditan merupakan suatu akibat dari kerugian yang ditanggung oleh para bangsawan karena Pemerintah Kolonial telah ikut campur dalam permasalahan pemerintahan dan kedudukan kaum bangsawan di istana. Selain itu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam penghapusan sistem apanage membawa dampak buruk terhadap perekonomian kaum bangsawan. Kaum bangsawan tidak lagi sebagai pemegang kekuasaan atas tanah. Bangsawan tidak lagi berperan sebagai penerima pajak penghasilan dari rakyat akan tetapi kaum bangsawan bergeser kedudukannya sebagai tangan panjang Pemerintah Kolonial dalam menerima pajak. Bangsawan menerima gaji sebagai upahnya. Kondisi tersebut membuat perekonomian kaum bangsawan semakin merosot. Untuk menambah penghasilan, banyak bangsawan yang berdagang batik, di samping itu ada bangsawan yang mencukupi kebutuhan d. Keadaan Politik Surakarta Faktor lain yang merupakan penyebab munculnya perbanditan berasal dari faktor politik. Para bangsawan keraton yang melakukan perbanditan merupakan suatu akibat dari kerugian yang ditanggung oleh para bangsawan karena Pemerintah Kolonial telah ikut campur dalam permasalahan pemerintahan dan kedudukan kaum bangsawan di istana. Selain itu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam penghapusan sistem apanage membawa dampak buruk terhadap perekonomian kaum bangsawan. Kaum bangsawan tidak lagi sebagai pemegang kekuasaan atas tanah. Bangsawan tidak lagi berperan sebagai penerima pajak penghasilan dari rakyat akan tetapi kaum bangsawan bergeser kedudukannya sebagai tangan panjang Pemerintah Kolonial dalam menerima pajak. Bangsawan menerima gaji sebagai upahnya. Kondisi tersebut membuat perekonomian kaum bangsawan semakin merosot. Untuk menambah penghasilan, banyak bangsawan yang berdagang batik, di samping itu ada bangsawan yang mencukupi kebutuhan
3. Proses Munculnya Perbanditan Sosial Pada dasarnya daerah operasi perbanditan sosial adalah pedesaan karena sering terjadi ketidakadilan. Susunan organisasi, pengerahan anggota dan gambaran ideologi peranditan sosial jelas menunjukkan refleksi situasi pedesaan. Dengan kata lain perbanditan sosial disebut juga sebagai perbanditan agraris yang menuntut pulihnya kepincangan sosial. Perbanditan berusaha untuk mewujudkan kebebasan terhadap kungkungan situasi yang melilitnya. Dalam dunia perbanditan, antara pimpinan dan anggotanya berlaku hubungan seperti guru- murid serta adanya loyalitas tinggi terhadap pimpinan. Adanya perubahan zaman akibat ekspansi Barat ke pedesaan telah mengakibatkan perubahan pada tatanan sosial masyarakat. Hal ini meresahkan para elite kultural dan merasa terpanggil untuk menegakkan kembali orde sosial. Satu model penegakkan orde sosial diwujudkan dalam perbanditan. Perubahan yang terjadi menyebabkan terganggunya keseimbangan tatanan yang telah ada. Perbanditan pedesaan tidak lain merupakan etos kultural pedesaan yang dinyatakan dalam tradisi masyarakat. Tradisionalisme dalam masyarakat mempunyai fungsi yang sangat penting yang menjiwai setiap gerakan perlawanan terhadap perkebunan dan pabrik ekstratif dan sangat merugikan masyarakat (Suhartono, 1995: 105-107).
Perbanditan merupakan manifestasi protes sosial yang terjadi di tanah partikelir, tanah kerajaan, dan tanah gubernemen maupun tanah yang disewa. Perbanditan tidak dapat dilepaskan dari perasaan tidak puas dan gambaran masyarakat yang masih primitif. Memang sukar untuk dapat membedakan perbanditan dengan gerakan sosial. Para tokoh perbanditan tersebut sering dianggap sebagai pahlawan oleh petani karena musuh para bandit sama dengan musuh para petani (Nurdiyanto, 2004: 6). Di setiap tanah yang disewa oleh perkebunan timbul perbanditan dengan istilah yang berbeda-beda.
Perbanditan yang terjadi di pedesaan dapat digolongkan sebagai gerakan sekuler karena merupakan gerakan antiekstorsi, antipemerasan oleh tuan tanah Perbanditan yang terjadi di pedesaan dapat digolongkan sebagai gerakan sekuler karena merupakan gerakan antiekstorsi, antipemerasan oleh tuan tanah
Para bandit mempunyai kedudukan yang istimewa di masyarakat baik karena kebaikannya maupun kejahatannya, suatu campuran antara pemenuhan kewajiban kesejahteraan sosial dan religio-mistisnya dengan perampokan dan pemerasan yang mereka lakukan. Bandit dianggap mempunyai derajat tertentu di mata penduduk setempat karena tingkat pengetahuan (ngelmu) yang hanya dikuasai oleh orang-orang terbatas saja atau kanuragan dan kekuatan magis (kasekten) yang diberikan oleh ngelmu itu. Melalui hal-hal inilah para bandit bisa mencapai berbagai tingkat kekebalan dan semacam kesucian. Bandit adalah orang yang kuat fisik dan punya ilmu-ilmu (ngelmu) dalam, untuk para bandit dibutuhkan waktu lama belajar sifat dan ilmu-ilmu dalam. Melalui hal-hal inilah para bandit bisa mencapai berbagai tingkat kekebalan dan semacam kesucian (Nurdiyanto,dkk, 2004: 42). Dalam dunia perbanditan, pemimpin mempunyai ilmu kebal dan ia harus memahami primbon yang memuat petungan dan naga dina , yaitu perhitungan tentang saat yang tepat untuk menjalankan perbanditan agar selamat dalam menjalankan tugasnya.
Peranan pemimpin dalam perbanditan sangatlah penting, pemimpin perbanditan merupakan orang yang mempunyai wibawa dan kharisma tersendiri. Pemimpin perbanditan adalah orang yang mempunyai kesaktian atau wisik. Perekrutan pengikut perbanditan didasarkan pada loyalitas terhadap pemimpin sehingga para pengikut perbanditan dapat dimobilisasi untuk tujuan tertentu, yaitu melawan penguasa. Para pengikut perbanditan mempunyai comitment tanpa reserve terhadap pimpinan maka tercipta solidaritas kelompok yang makin kuat dan tidak diragukan lagi keberadaannya.
Pelaku perbanditan kebanyakan berasal dari para petani yang mengalami tekanan-tekanan dari kebijakan pemerintah kolonial. Kebijakan yang paling berat
Tekanan yang dialami petani tidak hanya datang dari penguasa Kolonial saja tetapi juga dari penguasa pribumi yaitu para pemegang tanah apanage, dan kepala-kepala rendahan lainnya yang telah sering melanggar hak-hak rakyat (Sayogya dan Pudjiwati Sayogya, 1984: 39-47). Sebagai kelompok yang terdesak, petani mengisolasikan diri dan membentuk kelompok untuk mempertahankan hidupnya. Tidak tersedianya jalan untuk mengadukan nasibnya maka para petani menempuh jalan pintas, yaitu bergerak melalui kekerasan dan kekuatan untuk mendapatkan haknya yang telah diambil oleh pemerintah kolonial Belanda (Suhartono, 1991: 152-154). Pelaku perbanditan tidak hanya berasal dari para petani yang mengalami beberapa tekanan tetapi juga berasal dari para bangsawan.
Pemerintah kolonial menganggap bandit sebagai gerombolan pelanggar hukum serta pengacau yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (Sartono Kartodirdjo, 1989: 74-94). Akan tetapi masyarakat pribumi menganggap bandit sebagai pahlawan yang dapat dikatakan sebagai pembela masyarakat pribumi dari tekanan pemerintah kolonial. Para bandit menempatkan para penguasa sebagai musuh bersama dengan masyarakat pribumi.
Perbanditan yang banyak terjadi di Klaten mempunyai struktur organisasi yang jelas. Dalam kelompok bandit terdapat jabatan-jabatan yang telah terbagi secara hierarki dari atas ke bawah. Jabatan-jabatan dalam kelompok bandit antara lain:
a. Benggol
Jabatan tertinggi dalam organisasi perbanditan di duduki oleh seorang benggol . Benggol merupakan orang yang mempunyai kesaktian karena telah menerima wisik. Ia sangat ramah terhadap masyarakat dan membawakan atau membuat suasana persuasif diantara anggotanya. Benggol suka memberikan pertolongan kepada masyarakat sekitar untuk mendapatkan simpati. Seorang benggol juga harus mempunyai ilmu kasepuhan dan harus memahami primbon yang memuat petungan dan naga dina serta mempunyai ilmu kebal. Selain itu Benggol juga mengunakan jimat sebagai penolak bala (Suhartono, 1995: 102).
sehingga menjadikan kelompok bandit tersebut semakin kuat dalam melindungi diri dari musuh. Ilmu-ilmu yang dijarkan oleh benggol juga digunakan untuk melawan musuh. Selain ilmu para bandit juga mempelajari ilmu kebal yang digunakan untuk melarikan diri dari kejaran, kepungan dan siksaan dari musuh. Ilmu kebal tersebut misalnya: aji-aji welut putih, saput angin dan sirep bagandha. Untuk mendapatkan ilmu-ilmu (ngelmu) tersebut tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya serta diperlukan kedisiplinan tinggi (Anton E Lucas, 1989: 32-33).
b. Wakil Benggol
Jabatan penting dibawah benngol adalah wakil benggol. Jabatan sebagai wakil benggol merupakan jabatan yang membutuhkan kepercayaan tinggi maka wakil benggol dipilih diantara para senior atau anak-anak benggol sendiri (Suhartono, 1995: 108).
c. Pemegang Harta Rampokan
Jabatan di bawah wakil Benggol adalah pemegang harta rampokan, tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keselamatan harta rampokan termasuk mendistribusikan harta rampokan ke anggota-anggota maupun rakyat yang membutuhkan. Jabatan ini juga harus dipegang oleh orang yang bertanggungjawab penuh, memiliki loyalitas tinggi serta dapat dipercaya.
d. Telik Sandi
Jabatan di bawah pemegang harta rampokan adalah telik sandi mempunyai tugas memata-matai keadaan dan lingkungan sekitar rumah korban atau daerah yang akan dirampok.
e. Cunguk
Jabatan dibawah telik sandi adalah cunguk yang bertugas mengawasi keadaan sekitar pada waktu terjadinya perampokan, juga yang memberikan aba- aba kapan mulai dan kapan berakhirnya perbanditan.
f. Bala-Bala
Anggota dalam organisasi perbanditan yang paling bawah adalah bala- Anggota dalam organisasi perbanditan yang paling bawah adalah bala-
Sistem komunikasi dengan dunia luar yang digunakan oleh para bandit dilakukan dengan berbuat bohong, mengibul, dan mengatakan yang tidak benar. Hanya kepada orang-orang tertentu saja para bandit mau memberikan keterangan yang benar. Selanjutnya untuk menjaga rahasia kelompoknya, hubungan dengan dunia luar dilakukan dengan sistem topeng, artinya komunikasi timbal balik tidak akan terjadi. Secara sepihak para bandit telah mengetahui tentang kelemahan korbannya diperoleh dari mata-mata yang telah diturunkan terlebih dahulu (Suhartono, 1991: 154-155).