Dampak Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900

C. Dampak Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900

Tindakan perbanditan sosial yang banyak terjadi di Klaten telah membawa berbagai dampak, baik dalam bidang sosial maupun ekonomi. Untuk mengetahui dampak dari perbanditan sosial dapat dilihat dari kasus-kasus perbanditan yang terjadi. Banyaknya kasus-kasus perbanditan yang terjadi mengakibatkan pemerintah kolonial menciptakan beberapa kebijakan untuk dapat menekan tindakan perbanditan.

1. Dampak Perbanditan Sosial Secara Umum

Munculnya perbanditan dapat berlangsung sepanjang bulan dalam siklus satu tahun. Dapat dikatakan bahwa motif perbanditan adalah motif ekonomi.

telah menimbulkan keresahan masyarakat (Wasino, 2008: 326).

2. Dampak Perbanditan dalam bidang Sosial dan Ekonomi

a) Dampak Dalam Bidang Sosial Dalam bidang sosial, tindakan perbanditan sangat mengganggu stabilitas keamanan daerah Klaten. Golongan yang paling merasa resah akan tindakan perbanditan adalah Pemerintah Kolonial Belanda dan pemilik perusahaan perkebunan swasta. Keresahan yang muncul dan berkembang di masyarakat mempengaruhi kinerja produksi perkebunan. Ditambah lagi lokasi sasaran perbanditan biasanya di sekitar perkebunan menyebabkan rendahnya pertumbuhan penduduk di daerah perkebunan. Tindakan perbanditan atau perampokan yang sering terjadi mengakibatkan kematian baik pada diri perampok maupun penduduk desa (Wasino, 2008: 190). Menurut pemerintah kolonial Belanda, perbanditan dipandang sebagai satu bentuk tindakan kriminal yang telah menggangu stabilitas keamanan suatu daerah serta telah menimbulkan keresahan bagi para pengusaha perkebunan swasta dan penguasa pribumi yang pro dengan Belanda. Akan tetapi bagi masyarakat luas, bandit dipandang sebagai seorang pahlawan atau pembela masyarakat yang mengalami berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, penguasa pribumi maupun pengusaha perkebunan swasta. Perbanditan tersebut dilakukan untuk menghilangkan ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi maka dapat dikatakan bahwa perbanditan sosial merupakan satu jenis pemberontakan terhadap situasi.

Perbandiatan telah menjadi satu bagian integaral dari kehidupan masyarakat Klaten. Petani dan bandit hidup dalam satu lingkungan sosial- ekonomi yang sama. Oleh karena itu wajar apabila bandit harus membantu petani sebagai pemilik lingkungan dan yang memberi hak serta kehidupan kepada para bandit. Hubungan antara masyarakat dan bandit berjalan dengan baik. Masyarakat telah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh para bandit tetapi masyarakat justru mendukung kegiatan perbanditan tersebut karena musuh dari masyarakat dan musuh dari para bandit adalah sama, yaitu semua pihak yang Perbandiatan telah menjadi satu bagian integaral dari kehidupan masyarakat Klaten. Petani dan bandit hidup dalam satu lingkungan sosial- ekonomi yang sama. Oleh karena itu wajar apabila bandit harus membantu petani sebagai pemilik lingkungan dan yang memberi hak serta kehidupan kepada para bandit. Hubungan antara masyarakat dan bandit berjalan dengan baik. Masyarakat telah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh para bandit tetapi masyarakat justru mendukung kegiatan perbanditan tersebut karena musuh dari masyarakat dan musuh dari para bandit adalah sama, yaitu semua pihak yang

b) Dampak Dalam Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi, tindakan perbanditan sosial dapat dipandang dari dua sisi. Dari sisi yang dirugikan yaitu pemerintah kolonial Belanda, pengusaha perkebunan swasta serta para birokrat yang merugikan petani dan dari sisi yang diuntungkan yaitu para penduduk miskin terutama para petani. Bagi pemerintah kolonial Belanda, pengusaha perkebunan swasta dan para kepala desa yang merugikan petani, tindakan perbanditan sosial merugikan secara finansial. Banyak uang maupun barang-barang berharga miliknya yang diambil oleh para bandit. Berlawanan dengan hal tersebut, tindakan perbanditan bagi penduduk miskin dan para petani telah memberikan dampak yang baik. Dengan adanya tindakan perbanditan ini maka para penduduk miskin dan para petani dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dikarenakan apabila para bandit menjalankan aksinya, hasil dari tindakan perbanditan tidak digunakan sepenuhnya oleh para bandit melainkan sebagian dibagi kepada penduduk miskin dan para petani yang telah tergeser oleh penguasa perkebunan swasta. Setelah melakukan aksinya, para bandit bersembunyi dan mencari perlindungan di hutan-hutan, di daerah-daerah terpencil dan terasing untuk menghindari pengejaran, bahkan mungkin para bandit menyamar dan membentuk organisasi-organisasi desa bersama dengan sesama penjahat (Soemarsaid Moertono, 1985: 99-100).

3. Upaya Penekanan Perbanditan

Sebelum tahun 1870 di Surakarta sudah banyak kasus-kasus mengenai perbanditan pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana III (tahun 1749-1788) dan pada masa-masa sebelumnya, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kitab hukum tentang pencurian yang dijadikan sebagai pedoman yaitu adalah Serat Jugul Muda dan Serat Sultan Surya Ngalam dalam Sugiarti (2004: 69), berbunyi: Maninge Ki Prayitneki, kapandungan tur kelangan, kencana wrat lan sakatine. Ki Sebelum tahun 1870 di Surakarta sudah banyak kasus-kasus mengenai perbanditan pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana III (tahun 1749-1788) dan pada masa-masa sebelumnya, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kitab hukum tentang pencurian yang dijadikan sebagai pedoman yaitu adalah Serat Jugul Muda dan Serat Sultan Surya Ngalam dalam Sugiarti (2004: 69), berbunyi: Maninge Ki Prayitneki, kapandungan tur kelangan, kencana wrat lan sakatine. Ki

Kutipan di atas menjelaskan bahwa seseorang yang didakwa mencuri barang, diputuskan oleh pengadilan untuk menemukan pencurinya dan apabila tidak dapat menemukan pencurinya maka harus mengganti dengan sejumlah barang. Perkara tersebut diputuskan oleh Patih Jugul Muda.

Semakin maraknya perbanditan dan terhadapat hukuman yang dinilai terlalu kejam maka dalam perkembangannya kitab-kitab hukum atau undang- undang yang lama digantikan dengan undang-undang yang baru oleh Pemerintah Kolonial. Hukuman yang dinilai terlalu kejam ialah hukuman potong anggota badan yang nantinya dapat mengakibatkan cacat. Dengan undang-undang baru yang telah disempurnakan maka hukuman yang paling berat adalah hukuman mati dan hukuman lainnya berupa penjara, bayar denda serta hukuman buang keluar Vorstenlanden (Staatsblad tahun 1847 No. 30 Pasal 10: 3). Dengan hukuman tersebut diharapkan dapat menekan jumlah perbanditan di Surakarta terutama di daerah Klaten yang paling banyak terjadi tindak perbanditan.

Angger-angger Gunung yang berisikan undang-undang tentang kriminalitas menyatakan bahwa apabila pelaku pengkecuan tertangkap maka dengan seizin kepala desa untuk dibawa ke hadapan Residen Surakarta untuk kemudian dibawa ke Pengadilan Pradoto (Angger Gunung pasal 68: 110-111). Dalam Staatsblad tahun 1848 no. 9 menetapkan dasar-dasar dan peraturan- peraturan tentang pelaksanaan pengadilan dan kepolisian di wilayah Pangeran Adipati Haryo Mangkunegoro yaitu Mangkunegaran. Untuk wilayah Kasunanan undang-undang yang mengatur adalah Staatsblad tahun 1847 no. 30. Dalam Staatsblad tersebut diatur mengenai dasar-dasar dan ketetapan mengenai pengadilan dan kepolisian di wilayah kedua kerajaan.

Semakin meningkatnya perbanditan di pedesaan, pemerintah berusaha Semakin meningkatnya perbanditan di pedesaan, pemerintah berusaha

Pelaksanaan kehakiman di wilayah Mangkunegaran diserahkan kepada badan-badan pengadilan yang bernama Pradoto dan Surambi, sehingga di wilayah Mangkunegaran terdapat dua badan pengadilan yang tugas dan fungsinya berbeda (Staatsblad tahun 1848 no. 9: 1-2). Sedangkan pelaksanaan kehakiman di wilayah Kasunanan diserahkan kepada Kadipaten, Surambi dan Pradoto (Staatsblad Tahun 1847 No. 30, Pasal 2: 2).

Untuk wilayah Kasunanan dalam rangka penyeragaman sistem pengadilan di kasunanan Surakarta, maka Gupermen dengan seizin dari Sunan akan mengadakan reorganisasi dibidang pengadilan dan kepolisian. Dalam reorganisasi tersebut menetapkan bahwa di Kasunanan terdapat tiga lembaga pengadilan yaitu pengadilan surambi, pengadilan pradoto dan pengadilan pradoto gedhe. Pengadilan surambi Kasunanan merupakan pengadilan yang tertua di kasunanan yang dipimpin oleh seorang pengulu dengan dibantu empat orang ulama dan delapan orang khatib. Pengadilan ini berpedoman kepada kitab alquran, al hadist dan kitab-kitab islam lainnya. Pengadilan ini berhak memutuskan perkara seperti: pembunuhan, pencurian dan perampokan, serta hutang piutang dan gadai. Perbanditan masuk dalam peraturan sesuai yang tercantum dalam Staatsblad no.

30 tahun 1847 pasal 16, yaitu semua keluhan mengenai perselisihan tentang milik, hak milik dan penagihan hutang, mengenai pencurian, perampokan, pembakaran rumah, pembunuhan dan lain –lain. Demikian pula semua perkara yang harus diselesaikan oleh Surambi, harus diberitahukan kepada Kepala Desa dan Gunung tanpa menarik bayaran dan dalih apapun dan kemudian mereka itu harus meneruskan perkara itu agar diketahui oleh Bupati dari daerah tempat 30 tahun 1847 pasal 16, yaitu semua keluhan mengenai perselisihan tentang milik, hak milik dan penagihan hutang, mengenai pencurian, perampokan, pembakaran rumah, pembunuhan dan lain –lain. Demikian pula semua perkara yang harus diselesaikan oleh Surambi, harus diberitahukan kepada Kepala Desa dan Gunung tanpa menarik bayaran dan dalih apapun dan kemudian mereka itu harus meneruskan perkara itu agar diketahui oleh Bupati dari daerah tempat

Tujuan dari suatu penghukuman adalah untuk menuju kearah kebaikan dan perbaikan. Bagi pelaku, hukuman bisa sangat merugikan. Sedangkan menurut warga masyarakat dan pemerintah adanya penghukuman memberikan manfaat yang berarti. Manfaat yang dapat dicapai dengan adanya sistem penghukuman adalah tercipta atau pulihnya suasana aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat serta terpeliharanya suasana kehidupan yang mencerminkan dan membuktikan terjaminnya keadilan dan kedamaian. Sedangkan manfaat bagi pemerintah adalah terjaminnya ketinggian wibawa dan martabat pemerintah di hadapan masyarakat (A. Ridwan Hakim, S.H., 1986: 244-245).

Usaha yang dilakukan Pemerintah Kerajaan dan Pemerintah Kolonial Belanda untuk meminimalisir tindak perbanditan adalah dengan cara memperbaiki kepolisian di Mangkunegaran dan Kasunanan serta pembentukan kelompok reserse langsung yang berada dibawah Asisten Residen dan Komisaris Polisi (Solewijn Gelpke, 1918: 74). Perbaikan kepolisian dilakukan dengan membentuk suatu lembaga yang bertugas membantu kepolisian dalam melaksanakan tugasnya. Untuk wilayah Kasunanan lembaga tersebut bernama “Djogowesti” yang memiliki formasi: 13 langsir, 24 reksopidono, 12 kadjineman, 84 djogowesti, 144 djogolastris dan 5 mantri polisi kabupaten patuh, sehingga totalnya adalah 282 pegawai (Rijksblad Soerakarta No 25 tahun 1915: 217).

Dalam melaksanakan tugasnya baik Reksapraja maupun Djogowesti memiliki tugas yang sama yaitu membantu polisi dalam menjaga keamanan dan Dalam melaksanakan tugasnya baik Reksapraja maupun Djogowesti memiliki tugas yang sama yaitu membantu polisi dalam menjaga keamanan dan

Anggota Reksapraja dan Djogowesti membawa senjata yang disediakan oleh Pemerintah masing-masing, senjata tersebut antara lain berupa: pedang, gembel kayu atau karet, peluit dan borgol dalam bertugas. Bagi pegawai Reksapraja dan Djogowesti yang bukan bangsa Jawa atau pribumi disediakan senjata yang berupa pistol (revolver), gembel karet serta pedang. Senjata-senjata tersebut sangat berguna untuk melawan, melumpuhkan para bandit dan juga digunakan untuk melindungi diri dari serangan pihak lawan. Selain itu senjata- senjata tersebut juga berguna untuk menakuti para penjahat karena mengetahui bahwa para penjaga keamanan telah bersenjata lengkap.

Tugas Reksapraja dan Djogowesti antara lain yaitu: menjaga pos yang terdapat di tempat-tempat ramai, pasar, stasuin, halte trem, perempatan jalan dan pos-pos yang telah disediakan. Dalam menjaga tempat-tempat tersebut diperlukan adanya pengawasan terhadap orang-orang yang lewat. Adapun petugas jaga yang bergiliran siang dan malam dalam melaksanakan tugasnya, dalam setiap pos jaga ditempati oleh tiga orang yang setiap orang bergiliran jaga masing-masing selama delapan jam sehari dan di dalam pos jaga dilengkapi dengan bendhe dan kenthongan .

Sebagai sarana komunikasi tradisional kenthongan sangat efektif untuk mengurangi perbanditan di Surakarta, karena kenthongan dapat digunakan sebagai “tengara” atau pertanda terjadinya perbanditan, karena dengan kenthongan dapat diketahui bahwa pada suatu daerah sedang terjadi perbanditan dengan mendengar banyaknya pukulan pada kenthongan tersebut. Sehingga penduduk lain yang mendengar bunyi kenthongan dapat memberikan pertolongan atau mengejar dan Sebagai sarana komunikasi tradisional kenthongan sangat efektif untuk mengurangi perbanditan di Surakarta, karena kenthongan dapat digunakan sebagai “tengara” atau pertanda terjadinya perbanditan, karena dengan kenthongan dapat diketahui bahwa pada suatu daerah sedang terjadi perbanditan dengan mendengar banyaknya pukulan pada kenthongan tersebut. Sehingga penduduk lain yang mendengar bunyi kenthongan dapat memberikan pertolongan atau mengejar dan

Sebagai tengara, kentongan mempunyai lima tanda ketukan untuk membedakan perintah dan tanda bahaya (Suhartono, 1995: 115). Perbedaan jenis pukulan tersebut antara lain: a. Kenthog loro (pukulan dua kali) yang berarti pencurian, b. Kenthong telu (pukulan tiga kali) yang berarti kebakaran, c. Kenthong papat (pukulan empat kali) yang berarti banjir, d. Kenthog lima (pukulan lima kali) yang berarti pencurian hewan ternak, dan e. Kentthong titir atau gobyok (pukulan terus-menerus) yang berarti pembunuhan, amok, begal dan kecu .

Penduduk yang mendengar suara kenthongan diwajibkan untuk turut serta membunyikan kenthongan miliknya, apabila bunyi kenthongan tersebut sebagai pertanda adanya perbanditan (kenthongan titir) maka penduduk yang mendengar diwajibkan untuk mendatangi rumah korban dan memberikan pertolongan dengan membawa senjata kemudian melakukan pengejaran terhadap pelaku perbanditan. Apabila ada yang tidak bersedia memberikan pertolongan maka akan dikenakan denda 25 reyal. Dalam memburu pelaku perbanditan penduduk pedesaan Surakarta mengunakan cara tradisional yaitu “nyegat”. Nyegat adalah suatu cara yang dilakukan dengan cara menunggu dan bersembunyi di tempat-tempat tertentu atau perempatan jalan yang sekiranya dilewati oleh pelaku perbanditan dan kemudian meringkusnya untuk diserahkan kepada polisi, tetapi apabila penduduk merasa tidak mampu untuk menangkap pelaku karena jumlah pelaku perbanditan yang lebih banyak maka cukup dikawal ke arah yang diinginkan pelaku tersebut untuk kemudian melaporkannya kepada Penggedhe bumi desa dan polisi yang membawahinya (Angger Gunung pasal 70: 73-111).

Perlawanan yang dilakukan oleh petani terhadap penguasa berkaitan dengan masalah ekonomi maupun politik. Tinggiya frekuensi perbanditan sangat tergantung dari krisis-krisis ekonomi petani yang tiba pada masa paceklik dengan Perlawanan yang dilakukan oleh petani terhadap penguasa berkaitan dengan masalah ekonomi maupun politik. Tinggiya frekuensi perbanditan sangat tergantung dari krisis-krisis ekonomi petani yang tiba pada masa paceklik dengan

Adanya perubahan-perubahan yang dilakukan untuk menanggulangi perbanditan di Klaten, tidak menjadikan jumlah perbanditan dan pencurian ternak menurun. Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dan pemerintah kedua Kerajaan sifatnya hanyalah mengurangi dan menekan jumlah perbanditan di Klaten.

Tindakan perbanditan selalu muncul sebagai manifestasi protes terhadap terhadap ketidakadilan sosial. Protes tersebut diarahkan kepada pemerintah maupun pihak lain yang dianggap telah menekan dan merugikan masyarakat secara ekonomi maupun kultural. Perbanditan masih akan tetap muncul selama masih terjadi eksploitasi yang merugikan petani. Masih maraknya perbanditan merupakan satu bentuk ketidakmampuan elit penguasa untuk mengetahui sebab- sebab utama keluhan para petani dan bagaimana cara untuk mewujudkan keinginan para petani. Perbanditan yang dilakukan oleh para bangsawan lebih menekankan pada satu bentuk protes terhadap pemerintah kolonial yang terlalu jauh mencampuri urusan intern kerajaan.

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN