PERBANDITAN SOSIAL DI KLATEN TAHUN 1870-1900

SKRIPSI

Oleh: ARI KURNIA K4408002 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Oleh: ARI KURNIA K4408002

Sripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Kamis Tanggal

: 20 September 2012

Tim Penguji Skripsi

Ari Kurnia. PERBANDITAN SOSIAL DI KLATEN TAHUN 1870-1900, Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, September 2012

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) faktor munculnya perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900. (2) aktivitas perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900. (3) dampak adanya perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis), yaitu prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Munculnya perbanditan sosial di Klaten secara tidak langsung dipengaruhi oleh adanya perluasan perkebunan ke pedesaan. Masuknya perkebunan ke wilayah Surakarta mengakibatkan hilangnya otonomi milik petani. Beban petani semakin bertambah dengan adanya kerja wajib dan penyerahan wajib yang diatur menurut kepentingan perkebunan. (2) Perbanditan yang banyak terjadi di Klaten merupakan suatu bentuk perbanditan sosial karena harta hasil rampokan sebagian diberikan kepada penduduk miskin ataupun petani yang membutuhkan. Perbanditan berusaha untuk mewujudkan kebebasan terhadap kungkungan situasi yang melilitnya. Dalam perbanditan sosial terdapat pemimpin dan anggota, struktur organisasi serta sasaran dari perbanditan. (3) Perbanditan yang banyak terjadi di daerah Klaten telah membuat kerajaan menjadi tidak stabil, tidak aman, serta menimbulkan keresahan masyarakat.

Ari Kurnia.THE SOCIAL BANDITRY IN KLATEN IN 1870-1900. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, September, 2012.

The purposes of this research are to know: (1) the causes of social banditry in Klaten in 1870-1900, (3) the activities that happened at the time and (3) the effects of it.

The research used historical method. Historical method is a based-sign of the past technique which use by the historians to write histories in the form of accounts the past. The procedures in this technique were heuristic, critical, interpretation, and historiography. The data were collected using literature study technique. The source of data used in this research are written source. According to the kind of this research, it used historical analysis technique to analyze the data. Historical analysis is a data analytical technique prioritizing the sharpness of the history interpretation.

Based on the research done, it can be conclude that: (1) the cause of social bandit that happened in Klaten were indirectly influenced by farm expansion through village area. The farm expansion in Surakarta made the farmer lost their autonomy. The farmers’ charge increased by worked on duty ang gave

the corp to the colonial goverment according to the farm rules. The farmer done the banditry in order to fulfill their daily life necessary. (2) the banditry in Klaten were social banditry because the amount result of doing this given to the poor society or poor farmer. The banditry were an effort trought freedom from the enslave condition. In the social banditry consisted from leader, member, organizational structure, and target. (3) The banditry in Klaten caused Surakarta Hadiningrat kingdom have instability condition and unsecure feeling in the society.

Manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsunan hidup, membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah

(Imam Soetiknjo)

Jika seseorang belum menemukan sesuatu untuk diperjuangkan hingga akhir hayatnya, maka kehidupannya tidak akan berharga

(Martin Luther King Jr.)

Sripsi ini saya persembahkan untuk:

 Bapak Yantoharsana dan Ibu Dayani, Almarhum Ayah dan ibuku yang senantiasa menjadi sumber kekuatanku

 Delapan kakakku: Buk Sisri, Mak Iyur, Mak Lis, Buk Endang, Mbak Tik,

Mbak Kris, Mas Heri, Mama Retno Terimakasih Semangat dari kalian membuatku dapat menyelesaikan skripsi ini

 Keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu

 Sahabat “abal-abal”

 Teman-teman sejarah ‘08

 Almamater

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

4. Sri Wahyuning S, M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd., selaku pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan motivasinya kepada penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

8. Ibu, ayah, kakak-kakak, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.

doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.

10. Kawan “abal-abal” terbaik: Cesilia, Dwiari, Eni, Doni, Suyono, Titis, Tri Pujianto, dan Tea Limostin yang telah memberi motivasi dalam penulisan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, September 2012

Penulis

c. Dampak Dalam Bidang Budaya ................................................ 83

3. Upaya Penekanan Perbanditan ....................................................... 83

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ................................... 90

A. Simpulan ......................................................................................... 90

B. Implikasi ......................................................................................... 92

C. Saran ............................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 95 LAMPIRAN ............................................................................................. 103

Tabel

3.1. Kegiatan penelitian ................................................................................ 35

4.1. Distribusi Geografis Perusahaan-Perusahaan Gula di Solo Tahun 1863 .. 60

4.2. Nama-Nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik Tahun 1863 ......... 60

4.3. Pengkecuan pada tahun 1885-1900 ........................................................ 81

Gambar

2.1. Kerangka Berpikir .................................................................................... 31

3.2 Prosedur Penelitian .................................................................................. 42

Lampiran

1. Angger Nawala Pradata tahun 1844. ...................................................... 103

2. Angger Gunung tahun 1844. .................................................................... 126

3. Staatsblad tahun 1847 No. 30. ................................................................. 136

4. Arsip Pranatan Kasunanan 1870. ............................................................ 141

5. Staatsblad tahun 1848 No. 9.................................................................... 171

6. Staatsblad tahun 1874 No. 211. ............................................................... 176

7. Rijksblad Mangkunagaran tahun 1917 No. 12. ........................................ 183

8. Rijksblad Mangkunagaran tahun 1918 No. 8. .......................................... 190

9. Surat Permohonan Izin Menyusun Skripsi ............................................... 198

10. Surat Kaputusan Dekan FKIP.................................................................. 199

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memusatkan perekonnomian dalam bidang pertanian. Burger dalam Suhartono (1995: 1) mengatakan bahwa sejak tahun 1800 pemerintah kolonial mengubah cara eksploitasinya terhadap Indonesia terutama petani. Pemerintah kolonial mulai meninggalkan eksploitasi cara lama yaitu memusatkan pada perdagangan yang dikelola oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menjadi eksploitasi yang dikelola oleh pemerintah Kolonial atau pengusaha swasta. Eksploitasi ini dipusatkan pada pemanfaatan faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan tersedianya faktor produksi ini maka pemerintah menggantikan tanaman tradisional dengan tanaman komersial.

Pada tahun 1839 pemerintah mengeluarkan peraturan sewa tanah yang mengatur perkebunan dan petani. Sistem sewa tanah ternyata tidak mampu untuk memulihkan keuangan Belanda. Oleh karena itu pemerintah kolonial kemudian berusaha untuk dapat meningkatkan keuangannya dengan cara eksploitasi tanah dan tenaga kerja. Pemanfaatan tanah ini dilakukan oleh pemerintah dengan jalan memungut pajak tanah dari para petani serta melakukan sistem sewa tanah kepada swasta Belanda. Akan tetapi cara ini belum mampu untuk mengisi kas Belanda yang kosong terutama setelah perang Diponegoro (1825-1830). Cara lain yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial yaitu dengan sistem Tanam Paksa yang mampu mengisi kas Belanda dan mampu memberikan keuntungan yang besar. Ciri pokok tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang yaitu berupa hasil pertanian mereka, bukan dalam bentuk uang (Noer Fauzi, 1999: 29).

Sistem tanam paksa yang diterapkan pada dasarnya adalah suatu penghidupan kembali sistem eksploitasi dari zaman VOC yang berupa sistem Sistem tanam paksa yang diterapkan pada dasarnya adalah suatu penghidupan kembali sistem eksploitasi dari zaman VOC yang berupa sistem

1. Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa;

2. Tanah yang disediakan untuk penanaman tanaman perdagangan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi;

4. Bagian tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;

5. Hasil tanaman perdagangan yang berasal dari tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, apabila nilai hasil tanaman perdagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat;

6. Kegagalan panen tanaman perdagangan harus dibebankan kepada pemerintah, terutama apabila kegagalannya bukan disebabkan oleh kelalaian penduduk;

7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala mereka, dan pegawai-pegawai Eropa membatasi pengawasannya pada segi-segi teknis ketepatan waktu dalam pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan. (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 56).

Pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan karena dilakukan dengan cara paksaan bukan dengan persetujuan sukarela. Bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 Pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan karena dilakukan dengan cara paksaan bukan dengan persetujuan sukarela. Bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5

Sistem tanam paksa telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor dan mengirimkannya ke negara Belanda yang kemudian dijual ke pasar dunia dengan keuntungan yang besar (H.C Ricklefs, 1992: 184) . Dengan cara ini maka hutang Belanda dapat dilunasi serta menjadikan kota Amsterdam sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis. Sistem tanam paksa ini menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan pedesaan di Pulau Jawa yang menyangkut masalah tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa awalnya mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah untuk penataan pembagian kewajiban penyediaan tanah dan kerja kepada pemerintah.

Dalam sistem tanam paksa ada kecenderungan tanah petani yang tadinya luas menjadi terpilah-pilah semakin kecil serta adanya kecenderungan tanah perorangan menjadi tanah komunal (Noer Fauzi, 1999: 32). Sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar untuk penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, dan lain-lain yang dilakukan dengan sistem kerja paksa. Sistem kerja paksa ini sangat meberatkan penduduk karena selain tidak diberi upah, penduduk juga harus mengerjakan pekerjaan secara fisik dengan berat. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mengenalkan sistem uang kepada kehidupan pedesaan agraris. Kehidupan desa yang semula tradisional dan subsisten berangsur-angsur berkembang dengan ekonomi uang melalui pembayaran upah tanaman kepada petani dan pembayaran insentif kepada para pejabat.

Penguasaan tanah yang semula berada di tangan pemerintah atau kerajaan berpindah ke tangan swasta sehingga menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Pada masyarakat agraris seperti Indonesia, tanah merupakan simbol status dan membawa prestise bagi pemiliknya. Status dan prestise yang Penguasaan tanah yang semula berada di tangan pemerintah atau kerajaan berpindah ke tangan swasta sehingga menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Pada masyarakat agraris seperti Indonesia, tanah merupakan simbol status dan membawa prestise bagi pemiliknya. Status dan prestise yang

Pemerintah Hindia Belanda, memandang dirinya sebagai pengganti raja- raja Jawa dan menuntut segala hak yang selama itu selalu diberikan kepada pejabat-pejabat tinggi Jawa. Termasuk didalamnya hak-hak atas pelayanan kerja yang digunakan untuk membangun prasarana jalan-jalan, perbentengan, saluran air, proyek irigasi, dan bangunan-bangunan umum yang ditanggung pemerintah dengan biaya serendah mungkin (Robert Van Niel, 2003: 207).

Pada tahun 1860-an dan 1870-an para pengusaha perkebunan swasta mulai mengadakan perjanjian kontrak kerja serta perjanjian sewa tanah dengan pihak perorangan dan desa. Sistem tanam paksa tidak mampu berbuat banyak dalam mempersiapkan pembentukan pasar tenaga kerja bebas dan sukarela. Sebaliknya sistem tanam paksa telah menyertakan penilaian negatif pada tenaga kerja karena memberikan kompensasi atau ganti-rugi serendah mungkin sambil terus menggunakan pola-pola kekuasaan tradisional. Sistem tanam paksa juga menciptakan kebutuhan akan tambahan penghasilan di desa-desa tempat budidaya tanaman dagang ekspor dikembangkan. Bagi pengusaha swasta, sistem tanam paksa membawa keuntungan sekaligus kerugian. Keuntungannya terletak pada kenyataan akan rendahnya tingkat upah yang diberlakukan. Dengan demikian maka para pengusaha swasta dapat terus bersaing di pasar dunia. Sedangkan kerugiannya terletak pada bagaimana cara menarik dan mempertahankan tenaga kerja (Robert Van Niel, 2003: 273).

Hindu yang mengatakan bahwa raja adalah pemilik tanah di seluruh kerajaan (Noer Fauzi, 1999: 15). Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh keluarga dan birokrat yang kemudian diberi imbalan berupa sebidang tanah disebut apanage atau lungguh. Selain pejabat kerajaan juga terdapat jabatan diluar kerajaan yang mengawasi petani dalam mengerjakan tanah lungguh.

Tanah lungguh ini merupakan tanah persawahan di luar pusat pemerintahan. Daerah Klaten merupakan tanah lungguh dari Kasunanan sedangkan derah Kulonprogo untuk Kasultanan. Tanah Kerajaan dipilih tanah yang paling subur dibandingkan dengan tanah-tanah lungguh yang kemudian dijadikan perkebunan. Untuk Kasunanan, pusat perkebunan terletak di Klaten, Sukoharjo, sebagian Boyolali, dan Sragen (Suhartono, 1995: 37) .

Daerah kekuasaan kerajaan Mataram memang merupakan daerah pedalaman yang subur. Pada tahun 1873 wilayah kota Surakarta terbagi dalam empat afdeeling, yaitu Sragen, Klaten, Wonogiri dan Boyolali. Afdeeling Sragen terdiri dari tujuh distrik, lima diantaranya merupakan wilayah Sunan, yaitu Sragen, Grompol, Sambung Macan, Majenang, dan Karang Duren. Dua distrik selebihnya Karanganyar dan Karang Pandan merupakan wilayah enclave milik Mangkunegaran. Sebagian besar wilayah di Afdeeling Klaten milik Sunan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Klaten, Kartasura dan Larangan. Kabupaten Klaten terdiri dari enam distrik, yaitu Klaten, Sepuluh, Prambanan, Gesik Ari, Gedongan, dan Kalisaga. Kabupaten Kartasura terdiri dari lima distrik, yaitu Kartasura, Ketitang, Benda, Taraman, dan Jenon. Yang termasuk dalam wilayah Onderregentschap Larangan adalah Distrik Sukarja, Uter, Tawangsari, dan Masaran (Wasino, 2008: 19).

Salah satu daerah pusat penanaman tebu adalah Klaten. Penyelenggaraan penanaman tebu di bawah peraturan pemerintah setelah 1830 dipusatkan pada perjanjian-perjanjian kontrak. Perjanjian kontrak dilakukan pada dua tahapan untuk dua aspek produksi gula yang terpisah. Kontrak tahap pertama dibuat oleh pemerintah lokal dengan desa dan tujuannya adalah mengatur penanaman tebu di Salah satu daerah pusat penanaman tebu adalah Klaten. Penyelenggaraan penanaman tebu di bawah peraturan pemerintah setelah 1830 dipusatkan pada perjanjian-perjanjian kontrak. Perjanjian kontrak dilakukan pada dua tahapan untuk dua aspek produksi gula yang terpisah. Kontrak tahap pertama dibuat oleh pemerintah lokal dengan desa dan tujuannya adalah mengatur penanaman tebu di

Perkebunan tebu berkembang pesat di wilayah Surakarta baru setelah pertengahan abad XIX yang terlihat dari angka-angka produksinya. Pada tahun 1850 jumlah produksi gula di wilayah Surakarta mencapai 18.600 pikul, masih dibawah produksi kopi yang mencapai 44.782 pikul. Akan tetapi, pada tahun 1859 jumlah produksi gula melebihi produksi kopi, yaitu 44,054 pikul gula per bahu dibanding 43,009 pikul kopi per bahu. Industri gula swasta baru berkembang secara luas di Surakarta setelah tahun 1859. Liberalisasi atau perizinan terhadap orang-orang Eropa untuk menanamkan modalnya di wilayah Surakarta serta prospek menguntungkan dalam usaha perkebunan mendorong perkembangan industri ini. Perkembangan perkebunan tebu lebih terkonsentrasi di wilayah Klaten dan Sragen (Wasino, 2008: 34).

Kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat, baik dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi. Secara topografis, perkebuanan sering dibangun di daerah yang subur, baik yang ada di dataran rendah maupun yang ada di dataran tinggi. Tanaman yang dibudidayakan lebih bersifat homogen (komoditi ekspor), berbeda dengan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian pula sistem organisasi dan sistem kerja, serta proses produksinya. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkebunan seolah-olah terpisah dari lingkungan agraris setempat. Perkebunan telah memiliki teknologi yang maju, oleh karena itu perbedaan dengan lingungan sekitar menjadi semakin menonjol (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 7).

mengatur kehidupan masyarakat mulai terdesak (Suhartono, 1995: 3). Dominasi perkebunan bukan hanya berdampak monodimensi tetapi multidimensi. Dominasi politik yang mempunyai implikasi sosial-ekonomi merambah ke pedesaan juga mendominasi kultural lama. Dengan kata lain kekuatan kultural eksternal mampu mendisorganisasikan lembaga masyarakat yang telah ada.

Kehadiran sistem perkebunan dilingkungan masyarakat agraris tradisional di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economic) yang bersifat

“dualistik” (“dualistic” economy). Kehadiran perkebunan digambarkan telah menciptakan komunitas sektor perekonomian “modern”, yang berorientasi ekspor dan pasar dunia, ditengah- tengah lingkungan komunitas sektor “tradisional” atau “subsisten”. Hubungan kedua sektor modern dan tradisional dalam perekonomian di negara-negara kolonial atau berkembang sering digambarkan sebagai hubungan

perekonomian “dualistik” atau ganda. Dalam sistem dualistik, perkebunan memiliki peran penting dalam eksploitasi dan ekstarsi kolonial. Sistem dualistis merupakan alat yang tepat untuk mempertahankan kondisi dan kebijkan kolonial. Pendirian perkebunan sering diikuti dengan pengambilalihan tanah-tanah milik penduduk pribumi, dan perubahan basis ekologi pertanian subsisten yang ada sebelumnya. Maka dari itu pembukaan perkebunan dapat membawa dampak negatif terhadap pertanian subsisten beserta kehidupan penduduk yang tergantung pada pertanian (SartonoKartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 7-8).

Ciri perkebunan kolonial adalah adanya upah kerja yang rendah dan fasilitas kehidupan yang terbatas. Namun ada pula perkebunan yang memberikan fasilitas tempat tinggal bagi para pekerjanya, misalnya dalam bentuk barak-barak atau rumah-rumah tinggal sementara yang dibangun di tanah perkebuanan. Keadaan tempat tinggal itu biasanya jelek. Hal ini berlaku apabila tenaga pekerja itu didatangkan dari tempat yang jauh atau karena lokasi perkebunan jauh dari perkampungan penduduk setempat. Perbedaaan sosial ekomomi yang besar antara kedua golongan itu sering menimbulkan situasi konflik di tanah perkebunan.

oleh maskapai asing dan berorientasi kepada kepentingan negara-negara besar yang menjadi tempat pemasaran barang produksinya. Perkebunan tidak hanya menempati kedudukan penting dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam bidang politik. Perkebunan di tanah jajahan mencerminkan suatu situasi dualistis yang berakar pada deskriminasi ras (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 9). Secara struktural di perkebunan terdapat dua lapisan sosial, yaitu lapisan asing dan lapisan pribumi. Golongan pertama menempati jabatan teras dengan pendapatan tinggi, seperti jabatan pimpinan, staf pengelola, administrator, dan tenaga spesialis. Golongan kedua menempati kedudukan sebagai pekerja kasar atau buruh, dengan upah rendah. Hanya sedikit golongan pribumi yang menempati lapisan menengah.

Praktek perkebunan memang tidak memberi hak hidup pada petani (Suhartono, 1995: 4). Eksploitasi perkebunan terus berlangsung selama terjadinya fluktuasi ekonomi dunia. Perpindahan penguasaan tanah ke tangan pihak swasta yang semula dari pemerintah atau kerajaan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Dalam daerah atau kerajaan agraris, baik kedudukan dan peranannya sangat ditentukan oleh luas-sempitnya kepemilikan tanah. Bertolak dari tanah garapan itu pemilik sawah sebagai penanggung beban kepada pemerintah kolonial mempunyai tugas berat yaitu membayar pajak natura, innatura dan uang.

Adanya desakan dari perkebunan serta banyaknya beban yang ditanggung oleh petani maka memunculkan suatu gerakan destruktif dari masyarakat khususnya petani. Gerakan destruktif oleh petani yang dimaksud adalah perbanditan. Perbanditan merupakan suatu bentuk protes sosial dari petani terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda berupa perluasan areal perkebunan yang menggeser kehidupan pertanian. Adanya gerakan destruktif yang berasal dari para petani mengilhami untuk melakukan penelitian tentang

Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Mengapa muncul perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900?

2. Bagaimana aktivitas perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900?

3. Bagaimana dampak perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui latar belakang munculnya perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

2. Mengetahui aktivitas perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

3. Mengetahui dampak perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

a. Dengan penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

b. Memberikan pengetahuan umumnya yang berkaitan dengan perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

2. Praktis

a. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara mendalam.

b. Dapat menambah koleksi di perpustakaan khususnya mengenai perbanditan sosial di Klaten tahun 1870-1900.

c. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial prodi Sejarah.

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Kolonialisme

Kolonialisme bangsa Belanda di Indonesia telah mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi Rakyat Indonesia. Menjelang akhir abad XIX, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar- besarnya oleh penjajah. Masyarakat pribumi dijadikan obyek pengurasan bahan dasar bagi kolonialis dan daerah koloni dijadikan tempat pemasaran barang- barang hasil industri (Suhartono, 1994: 7). Berbagai cara telah ditempuh untuk mengusir kaum penjajah, namun sejak awal tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya adalah karena bangsa Indonesia belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan.

Poerwadharminto (1976: 516) menyatakan: “Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya

daerah jajahan, daerah jajahan menempatkan penduduk atau kelompok orang yang bermukim di daerah baru yaitu daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asalnya”.

Kolonialisme merupakan nafsu untuk menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah yang dikuasai (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 77). Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain, baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi dalam bidang kebudayaan.

Soekarno (1947: 28) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan suatu nafsu sistem yang merajai atau yang mengendalikan ekonomi atas negeri Soekarno (1947: 28) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan suatu nafsu sistem yang merajai atau yang mengendalikan ekonomi atas negeri

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kolonialisme di suatu daerah atau negara jajahan akan berlainan dikarenakan faktor obyektif dari negara jajahan yaitu berdasarkan perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang. Dengan demikian dapat dimaklumi apabila corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya.

Munculnya kolonialisme berhubungan erat dengan adanya nasionalisme Eropa yang pada waktu itu dipengaruhi oleh persaingan besar dari liberalisme. Liberalisme yang berkembang dalam masyarakat industri kapitalis tumbuh menjadi aliran yang penuh dengan emosi dan sentimen. Orang Eropa sering merendahkan bangsa lain, maka dari itu nasionalisme Eropa berhasil melahirkan kolonialisme (kuno) dengan tujuan untuk mengejar kejayaan (glory), kekayaan (gold) dan misi keagamaan (gospel). Namun pada sistem kolonialis kapitalis, kolonialisme bertujuan pada pengambilalihan sumber daya jajahan, penyediaan buruh murah pada perkebunan dan sebagai pasar hasil produksi kaum kapitalis. Kolonialisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu cara berekonomi yang ditandai oleh: a. kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi oleh pemilik modal, b. adanya hubungan antara majikan dan buruh yang digaji dengan uang, c. produksi ditujukan untuk mancari keuntungan dan pelipatgandaan modal (Noer Fauzi, 1999: 19).

Pemerintahan Belanda di Indonesia telah menerapkan sebuah dominasi, eksploitasi maupun diskriminasi. Hal ini menyebabkan adanya jurang perbedaan Pemerintahan Belanda di Indonesia telah menerapkan sebuah dominasi, eksploitasi maupun diskriminasi. Hal ini menyebabkan adanya jurang perbedaan

Belanda melancarkan ekspansi kekuasaan di Jawa pada abad ke-19. Ekspansi kekuasaan oleh Belanda merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di negara-negara yang mengalami penjajahan. Penetrasi Belanda ini telah mengakibatkan transformasi struktural dari politik dan ekonomi tradisional ke arah yang lebih modern (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 5).

Menurut Kansil dan Julianto (1983: 23), kolonialisme Belanda di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. membeda-bedakan warna kulit,

b. menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk, c. perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan d. jarak yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

Menurut Moedjanto (1988: 44), tujuan Belanda melakukan kolonialisme ke dunia Timur (termasuk Indonesia) dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaan Pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara menyatukan seluruh wilayah kekuasaan daerah jajahan di bawah Kerajaan Belanda atau Pax Neerlandica (Perdamaian Nerlandika) yang mengandung arti penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica ini diciptakan oleh Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz (1904-1909), seorang penakluk Aceh.

Kolonialisme Belanda pada kenyataannya telah mengakibatkan merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk yang hampir tak tertanggulangi. Hal ini dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing yang sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran kepada masyarakat untuk mencari jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoto Hardjosatoto, 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi, kemiskinan dan kemelaratan sehingga semakin memperbesar kesenjangan sosial antara bangsa penjajah dengan bangsa yang terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat Kolonialisme Belanda pada kenyataannya telah mengakibatkan merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk yang hampir tak tertanggulangi. Hal ini dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing yang sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran kepada masyarakat untuk mencari jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoto Hardjosatoto, 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi, kemiskinan dan kemelaratan sehingga semakin memperbesar kesenjangan sosial antara bangsa penjajah dengan bangsa yang terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat

pendapat Raymond Kennedy dalam Moedjanto (1988: 20-21) bahwa ciri-ciri

masyarakat kolonial adalah: a. diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah), b. subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara jajahan, c. ekonomi yang tergantung kepada penjajah, d. kurangnya kontak sosial antara golongan rakyat dan penguasa, serta e. kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial.

Sebagai suatu usaha untuk menguasai suatu wilayah, maka dalam kolonialisme terdapat pihak-pihak yang terkait dalam mewujudkan cita-cita menguasai wilayah itu. Menurut Soehardjo Hatmosoepraba (1995: 55), pihak yang terkait dalam kolonialisme terdiri dari pihak kolonialis dan penguasa lokal. Lebih lanjut dikatakan bahwa politik kolonial Belanda sampai kurang lebih tahun 1870 konsisten dengan anggapan umum di negeri Belanda bahwa tanah koloni, khususnya Jawa, adalah produsen komoditi agraris untuk ekspor. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita menguasai Jawa, maka pihak kolonialis mengadakan pendekatan dengan penguasa lokal, dalam hal ini bupati, untuk membantu usaha itu. Tentu saja dengan satu kompensasi bahwa kekuasaan Belanda akan lebih aman.

Adanya ikatan desa dan ikatan feodal yang kuat antara rakyat dengan penguasa merupakan akibat dari penetrasi yang dilakukan Belanda. Belanda telah menegakkan hegemoni politik terhadap penguasa lokal dalam menerapkan sistem kolonialismenya. Dalam konteks ini, kolonialisme Belanda adalah hegemoni politik terhadap bangsa Indonesia yang masih menerapkan pemerintahan sederhana dengan menempatkan penguasa tradisional sebagai pepimpin.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonialisme di Indonesia merupakan sebuah hegemoni dari bangsa kolonial (Belanda) sebagai bangsa yang dominan terhadap bangsa yang berkembang (Indonesia) sebagai bangsa kelas bawah khususnya di bidang politik terhadap penguasa tradisional Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonialisme di Indonesia merupakan sebuah hegemoni dari bangsa kolonial (Belanda) sebagai bangsa yang dominan terhadap bangsa yang berkembang (Indonesia) sebagai bangsa kelas bawah khususnya di bidang politik terhadap penguasa tradisional

Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik, dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut lebih banyak kekayaan dari bumi Indonesia ke negerinya demi kemakmuran para kaum kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya. Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga merugikan kehidupan budaya bangsa setempat. Sedangkan di bidang sosial, bangsa penjajah menciptakan diskriminasi sosial yang menempatkan penjajah pada kedudukan lebih tinggi sedangkan bangsa terjajah dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo Budi Utomo, 1995: 21).

Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial justru yang ada hanyalah kontak fisik yang mencolok antara orang-orang Belanda dan penduduk pribumi. Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan maupun memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan adanya diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan untuk dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

Kolonialisme merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menaklukkan daerah koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam politik, sosial-ekonomi maupun kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Hal tersebut menyulut konflik bagi bangsa terjajah sehingga menimbulkan reaksi untuk berusaha melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan.

penjajahan dengan cara mengadakan perlawanan. Perlawanan dari bangsa Indonesia yang sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda adalah perang Diponegoro (1825-1830). Selain perlawanan terhadap Indonesia, Belanda juga terlibat perang melawan Belgia tahun 1831 (Cahyo Budi Utomo, 1995: 8). Faktor lain yang mengakibatkan pemerintah kolonial Belanda mengalami defisit keuangan antara lain kecurangan pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah dalam sistem monopoli serta sistem paksa yang membawa kemerosotan moral para penguasa dan penderitaan penduduk. Pada masa yang sama pemerintah Kolonial juga mengalami akibat buruk dari perang menghadapi Inggris dalam memperebutkan penguasaan perdagangan. Selain itu, negeri Belanda sendiri juga masih berada di bawah pengaruh kekuasaan Perancis oleh Napoleon Bonaparte (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 41).

Tahun 1830-an, Belanda yang dihadapkan pada situasi genting kemudian mencari cara yang dianggap tepat untuk menjamin kepentingan Belanda. Cara yang digunakan untuk memenuhi kas Belanda adalah dengan mengenalkan sistem yang lebih sesuai dengan kebiasaan tradisional yaitu sistem tanam paksa (cultuur stelsel ) (Cahyo Budi Utomo, 1995: 8). Pada tahun 1839 pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturan sewa tanah yang mengatur perkebunan dan petani (Suhartono, 1995: 67).

Pelaksanan sistem tanam paksa mendapat kritik dari kaum liberal, meskipun kritik itu hanya bersfat taktis saja. Kaum liberal menganggap bahwa tanaman wajib adalah pemerasan resmi pemerintah terhadap rakyat jajahan. Kritik terhadap sistem tanam paksa ini tidak ditujukan pada pemerasan melainkan keresmian sistem tersebut. Pihak swasta ingin mendapat giliran mengadakan eksploitasi. Kaum liberal mendesak tuntutan-tuntutannya melalui Dewan Perwakilan dan berhasil. Pada tahun 1870 sistem tanaman wajib dihapuskan. Sebagai ganti dari eksploitasi, pemerintahan akan menjalankan kebebasan berusaha dan kerja paksa diganti dengan kerja bebas. Akan tetapi baik partai Pelaksanan sistem tanam paksa mendapat kritik dari kaum liberal, meskipun kritik itu hanya bersfat taktis saja. Kaum liberal menganggap bahwa tanaman wajib adalah pemerasan resmi pemerintah terhadap rakyat jajahan. Kritik terhadap sistem tanam paksa ini tidak ditujukan pada pemerasan melainkan keresmian sistem tersebut. Pihak swasta ingin mendapat giliran mengadakan eksploitasi. Kaum liberal mendesak tuntutan-tuntutannya melalui Dewan Perwakilan dan berhasil. Pada tahun 1870 sistem tanaman wajib dihapuskan. Sebagai ganti dari eksploitasi, pemerintahan akan menjalankan kebebasan berusaha dan kerja paksa diganti dengan kerja bebas. Akan tetapi baik partai

Kesepakatan yang dibuat oleh golongan liberal dan konservatif telah melahirkan kebijakan pemerintah kolonial liberal. Undang-Undang Agraria tahun 1870 menandakan berakhirnya sistem tanam paksa dan merupakan awal pembukaan Jawa bagi perusahaan swasta. Undang-Undang ini menjamin kebebasan dan keamanan bagi pengusaha swasta. Pemilik tanah hanyalah orang Indonesia, tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewa dari pemerintah sampai tujuh puluh lima tahun atau dari pemilik pribumi untuk masa paling lama antara lima dan dua puluh tahun (tergantung dari persyaratan hak pemilik tanah) (H.C Ricklefs, 1992: 190).

Kebijakan liberal ditandai dengan mulai masuknya perusahaan- perusahaan perkebunan swasta ke Indonesia. Politik liberal berpegangan pada kebebasan tenaga dan kultur. Adanya politik liberal menciptakan suasana kebebasan berusaha terutama dalam bidang perkebunan dan industri pertanian. Perluasaan perkebunan didelegasikan oleh keluarnya undang-undang persewaan tanah tahun 1839, 1857, dan 1884 (Suhartono, 1995: 68).

2. Petani

Undang-Undang Agraria yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial pada tahun 1870 bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada perusahaan swasta untuk menanamkan modalnya, dan sejak tahun 1830 di Vorstenlanden sudah mulai berkembang perusahaan perkebunan (Onderneming) milik Pemerintah Kolonial.

a. Pengertian Petani Di daerah pedesaan sebenarnya terdapat sumber daya manusia yang banyak dan tidak ternilai, wujudnya dapat berupa kepemimpinan, organisasi energi, keterampilan dan sebagainya. Semua harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengelola, memanfaatkan dan memelihara sumber daya-sumber daya lainnya yang terdapat di pedesaan, seperti kekayaan alam. Berbicara tentang pedesaan tidak dapat dipisahkan dari dunia pertanian. Dengan

(Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, 1987: 136). Pada umumnya, pekerjaan di desa masih banyak tergantung kepada alam dan tidak banyak bervariasi. Sebagian besar penduduk desa mempunyai pekerjaan di bidang pertanian (usaha tani, peternakan, perikanan). Sebagaimana

diungkapkan oleh Lynn Smith dalam Khairun Hidayat (1991: 6) bahwa pekerjaan

di desa mempunyai obyek tentang tanaman dan hewan. Masyarakat desa bekerja ditempat terbuka dan terik matahari, serta pekerjaannya sangat banyak dipengaruhi oleh alam.

Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Secara garis besar, pengertian pertanian dapat diringkas menjadi 1). proses produksi, 2). petani dan pengusaha, 3). tanah tempat usaha, 4). usaha pertanian (farm business) (Soetriono dkk, 2006: 1).

Potensi pertanian dapat dikembangkan dengan cara peningkatan kesuburan alam, meningkatkan prasarana produksi, perhubungan dan pemasaran. Hal ini akan meningkatkan output desa ke tingkat yang tinggi. Swadaya gotong- royong dapat dikembangkan pada tingkat manifest, antara lain peningkatan peranan masyarakat desa di dalam partisipasi pembangunan desa (Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1984: 19). Pertanian tanpa tanah jelas tidak mungkin, maka dari itu kehidupan petani sangat tegantung pada tanah. Tanah yang dimiliki oleh seorang petani jelas akan mempengaruhi hasil yang diperolehnya, karena tanah merupakan tempat untuk berproduksi (Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, 1987: 142).

Faktor-faktor ekonomi dapat dipergunakan sebagai indikator perkembangan desa (output desa, pendapatan per kapita masyarakat desa dan standart of living ), sedangkan faktor dasar alam dan penduduk serta letak desa terhadap pusat fasilitas (kota-kota) adalah merupakan faktor-faktor pembatas dari Faktor-faktor ekonomi dapat dipergunakan sebagai indikator perkembangan desa (output desa, pendapatan per kapita masyarakat desa dan standart of living ), sedangkan faktor dasar alam dan penduduk serta letak desa terhadap pusat fasilitas (kota-kota) adalah merupakan faktor-faktor pembatas dari

Masyarakat desa terpaksa menjadi petani, karena rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki dan variasi lapangan kerja di pedesaan. Dalam bidang pertanian pada umumnya petani di Indonesia yang menjadi petani kebanyakan secara otodidak atau merupakan warisan dari orang tua para petani itu sendiri (Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad, 1987: 142).

Petani adalah seseorang yang mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang terikat oleh ikatan-ikatan tradisi sejak lama. Tanah dan dirinya adalah bagian dari satu hal dan merupakan suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama (Robert Redfield, 1982: 15). Disebutkan pula bahwa petani adalah orang yang mengerjakan sebidang tanah, baik tananhnya sendiri, sebagai penyewa maupun mengerjakan tanah orang lain dengan imbalan bagi hasil.

Menurut Eric R Wolf (1985: 19), petani bukan hanya sumber tenaga kerja dan barang melainkan juga sebagai pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumah tangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumah tangga. Dengan demikian maka unit petani pedesaan (peasent unit) bukan sekedar sebuah organisasi produksi terdiri dari sekian banyak tangan yang siap untuk bekerja di ladang, petani juga merupakan sebuah unit konsumsi yang terdiri dari sekian banyak mulut sesuai banyaknya pekerja.

Ladang kecil biasanya terdiri dari sebidang tanah dan rumah petani. Keluarga petani menghabiskan sebagian usianya dan melaksanakan hampir semua pekerjaannya di dalam areal pertanian keluarga itu. Di dalam suatu keluarga petani terdiri dari petani, istri, dan anak-anaknya. Perbedaan-perbedaan dibuat di atas dasar kelamin dan umur. Perbedaan ini bukan hanya menentukan pembagian kerja tetapi seluruh kelakuan orang itu. Petani mengarahkan dasar pertanian, menyelenggarakan tugas-tugas bercocok tanam dan juga mengurus ternak. Apabila ada pekerjaan berat maka petanilah yang harus bertanggung jawab. Petani membeli dan menjual lembu, kambing dan babi serta menjual hasil pertanian, dan Ladang kecil biasanya terdiri dari sebidang tanah dan rumah petani. Keluarga petani menghabiskan sebagian usianya dan melaksanakan hampir semua pekerjaannya di dalam areal pertanian keluarga itu. Di dalam suatu keluarga petani terdiri dari petani, istri, dan anak-anaknya. Perbedaan-perbedaan dibuat di atas dasar kelamin dan umur. Perbedaan ini bukan hanya menentukan pembagian kerja tetapi seluruh kelakuan orang itu. Petani mengarahkan dasar pertanian, menyelenggarakan tugas-tugas bercocok tanam dan juga mengurus ternak. Apabila ada pekerjaan berat maka petanilah yang harus bertanggung jawab. Petani membeli dan menjual lembu, kambing dan babi serta menjual hasil pertanian, dan