Penerapan hadis Nabi SAW tentang etika bertetangga (studi kasus di desa ngadipurwo kec. Blora Kab. Blora Jawa Tengah)
KEC. BLORA KAB. BLORA JAWA TENGAH)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Latifani Wardah Shomita
NIM. 107034001732
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
PENERAPAN HADIS NABI SAW TENTANG ETIKA
BERTETANGGA (STUDI KASUS DI DESA NGADIPURWO
KEC. BLORA KAB.BLORA JAWA TENGAH)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Latifani Wardah Shomita
NIM. 107034001732
Pembimbing
Dr. Bustamin, M.Si
NIP. 19630701 199803 1 003
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
Bertetangga (Studi Kasus di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 juni 2011.Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 22 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Bustamin, M. SI Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP: 19630701 199803 1 003 NIP: 19711003 199903 2 001
Anggota,
Penguji I Penguji II
Drs. Harun Rasyid, MA Maulana, M. Ag
NIP: 19600902 198703 1 001 NIP: 19650207 199903 1 001
Pembimbing,
Dr. Bustamin, M. SI NIP: 19630701 199803 1 003
(4)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 21 Mei 2011
(5)
i
Latifani Wardah Shomita
Penerapan Hadis Nabi Saw tentang Etika Bertetangga (Studi Kasus di Desa Ngadipurwo Kec. Blora Kab. Blora Jawa Tengah)
Dalam bertetangga, umat Islam telah memiliki tuntunan tersendiri. Bertetangga artinya hidup bersama orang lain dalam suatu lingkungan tertentu yang dekat atau yang jauh, yang dimaksud tetangga yang dekat ada pendapat mengatakan adalah orang-orang yang tinggalnya di dekat rumah atau saudara dan keluarga sendiri, maupun sesama muslim. Adapun tetangga yang jauh adalah orang-orang lain atau mereka yang berbeda agama sekalipun rumahnya berdekatan.
Kadang-kadang dalam hidup bertetangga ternyata tidak sedikit masalah yang muncul, seperti persaingan-persaingan, ghibah, dan ketidakpedulian antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, etika bertetangga menjadi penting untuk hidup dan kehidupan manusia dalam pergaulan dengan sesamanya agar kehidupan bertetangga senantiasa benar-benar mampu mewujudkan suasana yang menyenangkan, membahagiakan, dan menyegarkan.
Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana penerapan hadis Nabi Saw tentang etika bertetangga di Desa Ngadipurwo Kec. Blora Kab. Blora Jawa Tengah yang mengacu pada salah satu hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh al-Baukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majjah. Dalam penyelesaiannya, penulis menggunakan dua metode, yaitu metode penelitian pustaka (Library Research) untuk memaparkan kajian yang menyangkut tema yang menjadi pembahasan utama, dan metode penelitian lapangan (Field Reserch)
untuk metode yang kedua ini ditempuh dengan beberapa langkah, yaitu mengadakan observasi terhadap sasaran penelitian, penyebaran angket bagi beberapa masyarakat sebagai sampel dan wawancara terhadap para tokoh masyarakat dan Kepala Desa.
Sedangkan metode pembahasannya adalah deskriptif kualitatif yang dikuantifikasikan, yaitu dengan mendiskripsikan data-data yang sudah terkumpul, kemudian menganalisanya secermat mungkin dengan menggunakan sedikit rumus matematika, dengan harapan tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang baik bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
(6)
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat, karunia, dan inayah-Nya kepada seluruh alam. Berkah rahmat dan pertolongan-Nya, serta ketulusan hati, keikhlasan niat dan motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul: Penerapan Hadis Nabi Saw Tentang Etika Bertetangga (Studi Kasus Di Desa Ngadipurwo Kec. Blora Kab. Blora Jawa Tengah). Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya, dan semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya.
Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada orang yang sangat istimewa dalam kehidupan penulis, yakni ayahanda Abdullah Choliq (Alm), ibunda tercinta dan terkasih Nur Hidayah,
nenek tercinta Rofi’ah, kakak tersayang Nur Roichana Zahra’ dan kakak ipar ku
mas sholeh, dan adik-adik terkasih dek eli, vella, chais, najwa, dan keponakanku qiqi atas cinta dan kasih sayangnya yang selalu memberikan dorongan, doa dan restunya kepada penulis.
(7)
iii Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
3. Bapak Dr. Bustamin, M. Si., selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis, sekaligus pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bantuan bimbingannya dan meluangkan waktunya hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sempurna.
4. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang dengan ketulusan hati dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani kuliah.
5. Kepada segenap karyawan/ i akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah membantu penulis selama kuliah di UIN.
6. Seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta tak lupa pula kepada karyawan Perpustakaan Islam Iman Jama’ dan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang rela dan bersedia memberikan layanan dengan baik bagi penulis selama menjalani perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai.
7. Keluarga Besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu (makasih buat doa kalian kepadaku).
8. The best friend of live lieha, teh isah, arma dan ayang jietnya kurnia, nyoun, nia sahabat senasib dan seperjuangan yang telah menjadi bagian keluarga
(8)
iv
penulis, serta banyak berkorban dan membantu penulis (makasih banyak
yaa…semoga Allah Swt membalas semua kebaikan kalian). Rt jiet makasih yak dah nemenin rw selama ngerjain skripsi dan makasih juga buat
laptopnya….mudah2an Allah membalas budi baikmu.
9. Temen-temen satu kostan (Arma, k’ nita, mie2l, k’ toton, the neny, nia wulandari, bunda, bu badriyah, feli, tami, darti, ka’ wawa, revi), makasih
yaa…udah mengisi dan menemani hari-hari dikostan dengan kebahagiaan. 10.Teman-teman tafsir hadis angkatan ’07 khususnya kelas A yang sama-sama
berjuang selama duduk di bangku kuliah (anak-anak mastha Hasyim, Uchil, Novi, Didi, Reza, Sandi, Bibah, Lubna, yang tidak bisa disebutin satu persatu, habis kuliah jangan lupa tetep saling kontak yaa…????).
11.Buat temen-temen KKS WDS ’10 (mas Fadlillah al-Islami (khadoet), Makin,
Faiz, Diki, Anwar, De’ul,Anita, Uchi, Arma Rt Jiet, Nisa’, Billy, Anggi, Aul,
Rizqi, Cobra, Arno, Farhan, Botex, mas Eko, kenangan kita selama KKS gak bakalan bisa dilupakan,,,).
12.Buat semua pihak yang sudah membantu penulis hingga skripsi ini selesai, yang tidak mungkin penulis sebutkan semuanya.
Akhirnya, penulis Cuma bisa berdo’a kepada Yang Maha Mengabulkan
doa semoga jasa-jasa saudara semua akan dibalas oleh-Nya dan menjadi amal kebaikan di akhirat nanti.
Jakarta, 21 Mei 2011
(9)
v
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
TRANSLITERASI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II GAMBARAN UMUM DESA NGADIPURWO DAN ETIKA BERTETANGGA DALAM ISLAM ... 12
A. Gambaran Umum Desa Ngadipurwo ... 12
1. Letak Geografis ... 12
2. Kependudukan... 14
3. Bidang Sosial, Pendidikan, Ekonomi, dan Agama ... 15
4. Bidang Ekonomi ... 19
(10)
vi
B. Etika Bertetangga Dalam Islam ... 21
1. Pengertian Etika ... 21
2. Pengertian tetangga ... 25
3. Klasifikasi tetangga ... 28
BAB III HADIS-HADIS TENTANG ETIKA BERTETANGGA ... 33
A. Hadis tentang berbuat baik kepada tetangga ... 33
B. Hadis tentang memuliakan tetangga ... 39
C. Hadis tentang menghargai perasaan tetangga ... 43
D. Hadis tentang hak tetangga ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 53
A. Deskripsi Penyajian Data ... 53
B. Data dan analisa Data ... 54
BAB V PENUTUP ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
(11)
vii
buku “pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development dan Assurance)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
ج j je
ح h h dengan garis bawah
kh ka dan ha
د d de
dz de dan zet
ر r er
z zet
س s es
ش sy es dan ye
ص s es dengan garis di bawah
d de dengan garis di bawah
t te dengan garis di bawah
ظ z zet dengan garis di bawah
ع „ koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha
ف f ef
(12)
viii
k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء ` apostrof
ي y ye
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u dammah
3. Vokal Rangkap
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
au a dan u
4. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
(13)
ix 5. Kata sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab di lambangkan dengan huruf, yaitu….لا , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-dîwân bukan ad-dîwân.
6. Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ﱢ-), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
رو لا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah.
7. Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ي ط tarîqah
2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah
(14)
x 8. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Abu Hâmid al-Ghazâlî bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad Palimbânî, Nuruddin Raniri, tidak Nûr Dîn al-Rânîrî.
9. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
د ْسأا ه Dzahaba al-ustâdzu
ْجأا ث Tsabata al-ajru
(15)
1
A. Latar Belakang Masalah
Islam telah menyediakan undang-undang dan nilai-nilai akhlak bagi setiap pemeluknya, di antaranya adalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial yang memberikan jaminan kebahagiaan kepada setiap kaum muslimin. Akan tetapi, sebagaimana yang kita amati, kaum muslimin sendiri lebih menjauhkan diri dari asas-asas yang telah ditetapkan oleh Islam.1
Di era globalisasi sekarang banyak orang yang tidak memperhatikan etika bertetangga padahal sebenarnya bertetangga itu mampunyai etika tersendiri. Sebagaimana Rasulullah Saw sering mengatakan bahwa tetangga itu wajib kita lindungi dan perhatikan (kita muliakan).
Dalam Islam tetangga itu sangat diperhatikan, bahkan mendapat kedudukan yang mulia, dan dapat disejajarkan kedudukannya dengan ikatan keluarga. Tetapi sejalan dengan kemajuan zaman, manusia telah mendapati suatu perkembangan. Namun perkembangan ini dalam dirinya sendiri membawa krisis kepercayaan dimana antara tetangga sudah tidak lagi saling percaya, sehingga menimbulkan kerenggangan antar tetangga.2
1
Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam. Penerjemah A. Ahmadi, dkk, (Jakarta: Amzah, 2001), cet ke-1, h. 326. (selanjutnya disebut Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam, Penerjemah: A. Ahmadi, dkk)
2
Ade Hayati Nufus, Konsepsi Etika Bertetangga menurut Islam (Kajian Hadis-hadis Rasulullah Saw dalam Kutub al-Sittah), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), h. 1.
(16)
2
Pandangan hidup dalam masyarakat sekarang ini tidak seorangpun manusia bisa hidup sendiri, sudah pasti membutuhkan satu sama lain. Itulah sebabnya maka hidup manusia sekarang ini tinggal berkelompok-kelompok, bertetangga satu terhadap yang lain untuk saling tolong-menolong. Cara hidup seperti itu bukan saja dalam masyarakat seperti sekarang ini tetapi bahkan sejak berabad-abad yang silam, sejak manusia mengenal apa yang disebut bermasyarakat.3 Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat atau hukum khas, dan hidup bersama.4
Unsur pertama yang harus dijunjung dalam masyarakat adalah tanggung jawab bersama. Hal ini harus dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian meluas kepada tetangga, penduduk kampung atau lingkungan sekitarnya, lalu sesama anggota masyarakat di dalam suatu Negara, dan akhirnya seluruh masyarakat di dunia.5
Prinsip bertetangga dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim baik terhadap sesama muslim maupun terhadap mereka yang non muslim. Prinsip bertetangga ini sangat erat kaitannya dengan iman. Prinsip jiwar (tetangga) ini berlaku tidak hanya bagi individu muslim, akan tetapi juga wajib diterapkan oleh negara dan pemerintahan Islam.6
3
Effendi Zarkasi, Islam Agama Untuk Hidup, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), h. 42.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet ke-4, h. 319.
5
Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam, Penerjemah: A. Ahmadi, dkk, h. 326.
6
Ade Hayati Nufus, Konsepsi Etika Bertetangga menurut Islam (Kajian Hadis-hadis Rasulullah Saw dalam Kutub al-Sittah), h. 2.
(17)
Setiap manusia harus saling tolong menolong, dengan demikian akan terpenuhi kebutuhan mereka dan akan terwujud sifat kekeluargaan. Imam ghazali di dalam kitabnya ihya‟ ulumuddin menegaskan, hak tetangga itu adalah seyogianya seseorang memberikan salam lebih dulu kepada tetangganya, menjenguknya ketika sakit, ikut berbelasungkawa ketika ditimpa musibah dan ikut menanggungnya, memberikan ucapan selamat di dalam kegembiraan dan ikut serta menikmatinya, memaafkan segala kesalahannya, tidak mengganggu anggota keluarganya, tidak menghalangi untuk berkunjung ke rumah, menutup aibnya, ikut menjaga rumahnya bila tidak ada di rumah. Dan tidak boleh mendengarkan kata-kata buruk tentang dirinya, berlemah lembut kepada anak-anaknya, mengajarkan kepadanya tentang masalah agama dan pengetahuan dunia yang diketahuinya.7
Imam Ghazali menegaskan, bahwa tetangga yang miskin akan berpaut leher tetangganya yang kaya di hari kiamat seraya berkata, “Tuhanku! Tanyailah orang ini mengapa dia enggan menolongku dan menutup pintu terhadapku, ketika dia kenyang, padahal aku selalu dalam keadaan lapar!”. Ajaran ini lahir dari anjuran yang begitu luas pengertiannya, yang telah dibentangkan di dalam al-Qur‟an dan diarahkan oleh Rasulullah Saw.8
Tidak salah lagi jika dalam beberapa hadis Nabi Saw sering berpesan kepada kita untuk selalu berbuat baik dan menghormati kepada tetangga. Karena tetanggalah yang paling dekat dengan kita disaat kita dalam kesusahan
7
Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam, Penerjemah: A. Ahmadi, dkk, h. 327.
8
Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam, Penerjemah: A. Ahmadi, dkk, h. 327.
(18)
4
dan kesulitan. Karena pentingnya menghormati tetangga itu Nabi Saw pernah mengatakan bahwa kualitas keimanan seseorang bisa dilihat sejauh mana dia mampu berbuat baik terhadap tetangganya, yaitu:
“Diceritakan kepada kami Qutaibah bin Said mengabarkan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abi Shalih dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat) maka hendaklah dia memuliakan tamunya, dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), maka hendaklah dia berkata baik atau diam saja.”
Begitu pentingnya peran tetangga sampai-sampai Rasulullah Saw bersabda seperti itu. Hal ini dimaksudkan supaya kita selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga kita. Hal ini seperti firman Allah Swt dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 36:
36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,10 dan teman sejawat, Ibnu sabil11 dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
9
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 4, h. 1903. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 6018) dan Muslim (hadis no. 48).
10
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
11
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
(19)
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.12
(Q.S. al-Nisa‟: 36)
Maksud “tetangga dekat” di sini adalah tetangga dari keluarga sendiri, sementara “tetangga jauh” adalah tetangga disebelah rumah atau di sebelah kebun yang tidak ada hubungan darah, dan “taman sejawat” adalah teman dalam perantauan, atau teman yang senantiasa di sisi kita.13
Sebagai urgensi dari penulisan skripsi ini penulis melihat adanya kesenjangan antara teori dengan praktek pelaksanaan hadis Nabi Saw. Dimana disatu sisi sebagai orang muslim wajib baginya untuk memuliakan tetangga, tetapi kenyataannya tidak demikian. Itu semua bisa dilihat dari sikap dan perilaku mereka yang bertetangga, terutama di desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah, maka dari itu penulis merasa penting melakukan penelitian ini untuk mengukur sejauh mana pelaksanaan ajaran Nabi Saw direalisasikan.
Setelah penulis teliti langsung kehidupan masyarakat di desa Ngadipurwo kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah dalam bertetangga masih belum sesuai dengan peraturan syari‟at Islam. Padahal hampir 100% beragama Islam.14 Padahal banyak hadis yang menjelaskan tentang etika bertetangga, salah satunya yaitu berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, menghargai perasaan tetangga, memenuhi hak-hak tetangga.
12
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2008), cet ke-10, h. 84.
13
Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam, Penerjemah: A. Ahmadi, dkk, h. 328.
14
(20)
6
Dengan banyaknya hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dalam penerapan etika bertetangga yang disebutkan di atas, maka dari itu penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian skripsi dengan tema:
PENERAPAN HADIS NABI SAW TENTANG ETIKA BERTETANGGA (Studi Kasus di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban menghormati dan berperilaku baik terhadap tetangga, sebagian besar sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat. Namun, tidak semuanya memahami landasan hukum dari etika bertetangga itu sendiri.
b. Sebagai besar komunitas muslim yang berada dilingkungan religius sudah memahami landasan hukum etika bertetangga. Namun, tidak semuanya sudah menerapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mungkin masyarakat pedesaan masih banyak memelihara hak tetangga, tetapi hak tetangga ini di kalangan masyarakat kota sudah hilang sama sekali, sehingga sering terjadi di antara mereka tidak mengenal tetangga masing-masing, dan tidak memenuhi haknya. Ini adalah suatu kemerosotan yang menimpa umat manusia, dengan dalih kemajuan dan peradaban.
(21)
2. Pembatasan Masalah
Supaya penelitian dapat terarah sesuai tujuan yang diharapkan, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada warga muslim di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah. Dalam pembatasan materinya terbatas pada landasan hadis Nabi Saw tentang etika bertetangga dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana penerapan hadis Nabi Saw tentang etika bertetangga di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mendekatkan akan hasil penelitian yang optimal, maka penulis terlebih dahulu mengembangkan tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian dari skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui etika bertetangga yang diterapkan di desa ngadipurwo, kecamatan blora, kabupaten blora, jawa tengah.
2. Untuk memenuhi tugas dan syarat kelulusan mencapai gelar sarjana strata satu (SI) pada jurusan Tafsir Hadis, fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(22)
8
3. Memperbanyak khazanah tentang kajian hadis dan ilmu ke Islaman dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khususnya, dan masyarakat luar umumnya.
D. Kajian Pustaka
Untuk mendapatkan bahan-bahan kepustakaan dalam kajian ini penulis menggunakan langkah-langkah penelitian kepustakaan (library research) diantaranya:
1. Mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan tentang etika bertetangga di kutub al-Sittah seperti shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al-Nasa‟I, dan Sunan al-Tirmidzi.
2. Mencari informasi yang terkait dengan latar belakang masalah seperti informasi yang terdapat dalam tulisan-tulisan atau artikel terkait yang terdapat dalam ensiklopedia, buku dan karya tulis.
3. Menggunakan katalog untuk mencari buku atau media informasi lainnya yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti.
4. Menggunakan search engines (mesin pencari) untuk menemukan informasi atau sumber-sumber data yang ada di dunia maya (internet).
5. Mengevaluasi semua informasi yang telah diperoleh dengan cara menganalisisnya secara kritis.15
15
Ubaidillah Akbar, Konsep Tauhid Menurut Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Studi Analisis Syarah ‘Aqidah ash-Shahihah), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), h. 12
(23)
E. Metodologi Penelitian
1. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data skripsi ini penulis menggunakan dua metode, yaitu penelitian kepustakaan (library Research)16 dan lapangan (Field Research).17 Dan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi (Pengamatan)
Yaitu suatu pengamatan dan pencatatan dengan sistematik dengan fenomena-fenomena yang diselidiki.18 Dengan kata lain penulis mengadakan pengamatan langsung pada subjek penelitian. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu melakukan pengamatan di desa ngadipurwo kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah yang ingin dijadikan tempat penelitian.
b. Interview (wawancara)
Wawancara adalah teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu yang sesuai dengan data.19 Data yang diperoleh dengan cara ini adalah dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat.
16
Data untuk penelitian kepustakaan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah kitab hadis al-kutub al-sittah. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang berhubungan dengan skripsi penulis.
17
Dalam penelitian lapangan penulis menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan bentuk survey.
18
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: YPFP UGM, 1994), h. 136
19
(24)
10
c. Angket
Adalah alat pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus diisi dan dijawab oleh responden, yaitu kepada sebagian masyarakat yang berada di desa ngadipurwo kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah.
2. Objek Penelitian
Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah masyarakat di desa ngadipurwo kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah.
3. Tehnik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh melalui angket, kemudian diolah melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Editing, yaitu memeriksa jawaban-jawaban responden untuk diteliti, ditelaah dan dirumuskan pengelompokannya untuk memperoleh data yang benar-benar sempurna.
b. Tabulating, yaitu memindahkan jawaban-jawaban responden dalam bentuk tabel, kemudian dicari prosentasi untuk dianalisa. Sedangkan wawancara diolah tanpa menggunakan tabel, namun data disusun secara logis dan jelas sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
c. Analisa, yaitu membunyikan data-data kuantitatif dalam bentuk verbal (kata-kata) sehingga kata-kata prosentasi menjadi bermakna.
(25)
4. Tehnik Penulisan
Adapun tehnik penulisan dan penyusunan skripsi ini di bawah panduan buku Pedoman Akademik 2007 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri dari sub-sub bab pembahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama pendahuluan, bab ini menguraikan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, bab ini menguraikan tentang gambaran umum di desa ngadipurwo, yang mencakup letak geografis, kependudukan, bidang sosial, pendidikan, ekonomi, dan Agama.
Bab ketiga berisikan hadis-hadis tentang etika bertetangga yang terdiri dari hadis-hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, menghargai perasaan tetangga, hak tetangga.
Bab keempat menguraikan hasil penelitian yang terdiri dari deskripsi penyajian data, data dan analisia data.
Bab kelima penutup, dimana penulis akan merumuskan kesimpulan-kesimpulan yang merupakan gambaran singkat skripsi ini, yang disertai dengan saran-saran.
(26)
12
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA NGADIPURWO DAN ETIKA BERTETANGGA DALAM ISLAM
A. Gambaran Umum Desa Ngadipurwo
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan objek kajian penelitian guna memberikan penjelasan awal mengenai objek kajian yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Baik itu berupa letak geografisnya maupun keadaan masyarakatnya.
1. Letak Geografis
Desa ngadipurwo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah yang mayoritas adalah daerah pertanian kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah. Bentangan wilayah yang terdapat di desa ngadipurwo hanya satu desa atau kelurahan pada aliran sungai dengan luas 1,10 Ha. Letak kelurahan kawasan perkantoran 0,400 Ha dengan jarak ke ibu kota kecamatan 12 Km, lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan kendaraan bermotor 15 menit, dan lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki atau kendaraan non motor selama 2 jam.
Jarak ke ibu kota kabupaten (kota) 12 Km dengan lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan kendaraan bermotor selama 15 menit, dan dengan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan non motor atau berjalan kaki selama 2 jam. Jarak ke ibu kota propinsi 130 Km dengan lama jarak tempuh ke ibu kota propinsi dengan kendaraan
(27)
bermotor selama 4 jam, dan lama perjalanan ke ibu kota propinsi dengan berjalan kaki atau non motor selama 2 hari.1
Desa merupakan unit administrasi pemerintahan yang paling bawah dimana secara geografis dan dermografis memiliki beberapa ketentuan. Demikian juga dengan desa Ngadipurwo yang memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. Luas Wilayah
Luas wilayah desa Ngadipurwo adalah 26,07 Ha, yang meliputi pesawahan seluas 14,03 Ha, pekarangan seluas 9,02 Ha, lain lain seluas 2,75 Ha. Batas wilayah desa Ngadipurwo, disebelah utara dan barat desa sendangharjo, sebelah selatan dan timur terdapat desa purwosari.2
b. Luas Wilayah Desa Ngadipurwo Berdasarkan Penggunaannya 1) Luas Pemukiman
Luas pemukiman desa ngadipurwo adalah 9,02 Ha, luas pesawahan 14,30 Ha, luas pekarangan 9,02 Ha, lain-lain 2,75 Ha, dan total keseluruhan adalah seluas 26,07 Ha.
2) Tanah Sawah
Tanah sawah desa ngadipurwo terdapat tanah irigasi seluas 2,5 Ha, dan tanah sawah tadah hujan luasnya 8,12 Ha, dan total luas tanah pesawahan adalah 8,37 Ha.
1
Sumber di dapat dari wawancara pribadi lewat sms dengan bapak Muhibbin, perangkat Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah pada hari kamis tanggal 17 maret 2011.
2
Diambil dari data profil Pemerintah Kabupaten Blora Kecamatan Blora Desa Ngadipurwo tahun 2011.
(28)
14
3) Tanah Kering
Tanah kering yang berada di desa ngadipurwo terdapat tanah pemukiman seluas 9,02 Ha, tanah sawah seluas 14,30 Ha, dan luas keseluruhan tanah kering yang terdapat di desa ngadipurwo adalah seluas 23,32 Ha.
c. Kondisi Demografis
Data yang diperoleh melalui kantor desa ngadipurwo, menunjukkan bahwa penduduk desa ngadipurwo pada tahun 2011 berjumlah 444 orang yang terdiri dari laki-laki berjumlah 232 orang, dan perempuan berjumlah 212 orang dengan jumlah kepala keluarga (KK) kurang lebih sebanyak 100.
2. Kependudukan
Desa ngadipurwo adalah desa yang terdiri 1 dusun yang terdapat 1 RW dan 2 RT, mengenai jumlah penduduk desa ngadipurwo menurut perhitungan RW dan jenis kelamin adalah 444 orang yang terdiri dari 232 laki-laki, dan 212 perempuan.3
Adapun jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur akan dibagi sesuai dengan umur yang terdapat dalam pendataan profil desa. Data tersebut akan ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
3
Diambil dari data profil Pemerintah Kabupaten Blora Kecamatan Blora Desa Ngadipurwo tahun 2011.
(29)
Table 1
Jumlah penduduk Desa Ngadipurwo berdasarkan Usia
No Usia jumlah
1 0-14 tahun 114
2 15-64 tahun 281
3 >65 tahun 36
jumlah 431
Sumber: laporan profil desa dan profil kelurahan tahun 20094
3. Bidang Sosial, Pendidikan, Ekonomi, dan Agama
a. Bidang sosial
Dalam bidang sosial tentunya tidak terlepas hubungannya dengan sebuah sistem yang berlaku dalam sebuah masyarakat, salah satunya yaitu yang menyangkut sistem kekerabatan. Adapun sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan berbagai variasi, yang menggambarkan bagaimana jaringan hubungan sosial yang lebih luas.
Sistem kekerabatan yang terjadi di desa ngadipurwo kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah. Dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu menjaga dan berusaha untuk berbuat baik kepada semua orang khususnya tetangga. Oleh karena itu penulis merasakan bahwa masyarakat di desa tersebut selalu ramah dan sopan.
4
Tabel didapat dari kantor desa Ngadipurwo dan dikirim ke jakarta pada tanggal 5maret 2011.
(30)
16
Masyarakat di desa ngadipurwo ini telah mengalami perkembangan gaya dan pola hidup yang cukup maju, baik dari segi pergaulan, pakaian, dan gaya bahasa yang mengikuti perkembangan zaman modern ini.
Mengenai fasilitas umum yang terdapat di desa ngadipurwo yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan bersosialisasi antara warga setempat, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2
Fasilitas Umum Desa Ngadipurwo
No Fasilitas umum Jumlah bangunan
1 Masjid 1
2 Mushala 3
3 Posyandu 1
Sumber: laporan profil desa dan profil kelurahan tahun 20095
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fasilitas di desa ngadipurwo belum cukup memadai baik dari segi peribadatan maupun kesehatan.
b. Bidang pendidikan
Pendidikan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal meliputi pendidikan yang umum dan resmi, yaitu TK, TPA, SD, MI, SLTP, dan SLTA. Pendidikan formal sangat penting di zaman modern saat ini untuk kelangsungan hidup agar tidak menjadi masyarakat yang terbelakang
5
Tabel didapat dari kantor desa Ngadipurwo, dan dikirim ke jakarta pada tanggal 5 maret 2011.
(31)
(bodoh). Sedangkan pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang diikuti dengan mengikuti kursus-kursus, pengajian, atau ceramah di masjid serta membaca buku pengetahuan. Pendidikan non formal sangat diperlukan guna untuk menambah kekurangan yang mereka dapatkan di bangku pendidikan formal. Misalnya saja menyangkut pengetahuan agama yang saat ini sangat kurang di lembaga-lembaga pendidikan umum, dengan istilah lain non pesantren.
Kondisi pendidikan masyarakat di desa ngadipurwo kecamatan blora kabupaten blora jawa tengah saat ini masih sangat memprihatinkan, masih banyak masyarakat yang tidak sekolah karena tidak mempunyai biaya, namun ada juga yang telah menamatkan SMU bahkan sampai ke perguruan tinggi. Hal ini dapat kita lihat dari tabel berikut:
Tabel 3
Populasi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No Jenis pendidikan Jumlah (jiwa)
1 Jumlah penduduk buta huruf 27
2 Jumlah penduduk tamat SD/sederajat 37
3 Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat 52
4 Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat 85
5 Jumlah penduduk tamat perguruan tinggi 24
6 Jumlah penduduk tamat D1, D2, D3 9
7 Jumlah penduduk tamat S1 15
Sumber: laporan profil desa dan profil kelurahan tahun 20096
6
Tabel didapat dari kantor desa Ngadipurwo, dan dikirim ke jakarta pada tanggal 5 maret 2011.
(32)
18
Pendidikan umum orang-orang dahulu sebagian besar hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) itupun bagi yang mampu untuk sekolah. Akan tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai biaya bisa dipastikan tidak belajar di pendidikan formal dan yang lebih memprihatinkan peristiwa ini tidak terjadi pada orang tua zaman dulu saja, saat ini juga banyak anak-anak yang hanya lulusan SD saja atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Hal itu terjadi mungkin saja karena tidak adanya biaya yang cukup untuk bersekolah.
Tidak heran dengan kenyataan pendidikan yang sangat tinggi saat ini, sekolah-sekolah tidak sepenuhnya lagi mendapatkan biaya dari pemerintah, sehingga akhirnya masalah perlengkapan sekolah diberatkan kepada murid. Mengenai lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora ini, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4 Sarana Pendidikan
Di Desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora Jawa Tengah
No Jenis Sarana Jumlah
1 Taman kanak-kanak/TK (Swasta) 1
2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1
3 SLTP (swasta) 1
4 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1
5 Madrasah Tsanawiyah (Mts) 1
6 Pondok pesantren 3
Sumber: laporan profil desa dan profil kelurahan tahun 20097
7
Tabel didapat dari kantor desa Ngadipurwo, dan dikirim ke jakarta pada tanggal 5 maret 2011.
(33)
Dengan melihat tabel di atas bahwa sarana pendidikan sudah cukup memadai mengigat bahwa desa Ngadipurwo adalah termasuk desa kecil. Di desa Ngadipurwo terdapat juga pondok pesantren yang menampung santriwan dan santriwati yang ingin mempelajari ilmu agama. Hal ini bisa membantu anak-anak untuk memberikan pemahaman tentang al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw.
4. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi penulis membatasi pada masalah mata pencaharian masyarakat desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah. Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan terhadap bidang ekonomi, mata pencaharian mereka sebagian besar adalah petani dan swasta. Hal ini dapat kita lihat data mata pencaharian masyarakat desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah pada tabel berikut ini:
Tabel 5
Mata Pencaharian Warga Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah
No Jenis pekerjaan Jumlah (jiwa)
1 Petani 310
2 Pns 10
3 Polri 1
4 Swasta 100
5 wiraswasta 8
(34)
20
5. Bidang agama
Definisi agama adalah seperangkat aturan atau undang-undang yang mengikat manusia sebagai pedoman hidupnya. Beragama merupakan suatu keniscayaan bagi setiap manusia karena agama akan mengatur setiap segi kehidupan kita agar menjadi teratur dan selaras, sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama Nabi kita Muhammad Saw yaitu agama Islam.
Kegiatan keagamaan di desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora Jawa Tengah sudah sangat memadai. Hal ini dikarenakan banyaknya pondok pesantren, masjid, dan mushala, yang mengatur jadwal pengajian untuk anak-anak santri dan orang tua khususnya perempuan. Sebagaimana kita ketahui pondok pesantren merupakan sarana untuk mempelajari ilmu agama dan sudah dapat di pastikan pengajian dan belajar agama diadakan hampir setiap hari.
Pondok pesantren, masjid, dan mushala merupakan sarana penting bagi masyarakat desa Ngadipurwo karena tempat-tempat tersebut dimanfaatkan sebagai tempat mereka untuk pengajian dan belajar agama. Untuk pondok pesantren diadakan secara rutin setiap hari untuk belajar agama, sedangkan untuk masjid dan mushala dalam seminggu hampir tiap hari diadakan pengajian.
Sedangkan untuk anak-anak, mereka belajar mengaji al-Qur‟an setiap sore di pondok pesantren dan ustadz/ustadzah setempat. Sarana yang sering digunakan adalah madrasah yang khusus dibangun untuk mereka belajar.
(35)
Dari sini dapat dilihat bahwa tingkat keagamaan di desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora Jawa Tengah tergolong sangat baik. Hal ini disebabkan karena banyaknya pondok pesantren dan kelompok-kelompok pengajian remaja dan ibu-ibu. Dari sini tampak bahwa masyarakat desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora sangat peduli terhadap pengetahuan agama Islam.
B. Etika Bertetangga Dalam Islam
1. Pengertian Etika
Secara etimologis, kata etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral, (2) kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.8 Apabila diambil pengertian bagian kedua, maka etika akan mengandung pengertian cara bertetangga yang sesuai dengan standar nilai akhlak.9
Istilah etika berasal dari kata latin : ethic (US), dalam bahasa gerik:
ethikos: a body of moral principles or values, “ethic” berarti kebiasaan, habit, custom. Jadi dalam pengertian aslinya, apa yang disebut baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (dewasa ini). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian sekarang: etika ialah suatu
8
Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, cet ke-3, 1990, h. 237.
9
Mafri Amir, M. Ag, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet ke-2, h. 33.
(36)
22
ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.10
Menurut sejarahnya, istilah etika itu mula-mula digunakan oleh montaigne (1533-1592), seorang penyair perancis dalam syair-syairnya yang terkenal pada tahun 1580. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.11
Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan niali-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lain dari etika, biasanya digunakan kata : moral, susila, budi pekerti, akhlak (arab: akhlaq). Kesemua istilah tersebut digunakan secara berganti-ganti dalam pengertian yang sama.
Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal fikiran atau dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik/ buruk karena akal memutuskannya buruk.12
Menurut olaf Schuman, “Etika adalah ekspresi atau pernyataan dari apa yang terpendam dalam hati atau dari seseorang dan sekaligus menentukan tingkah lakunya secara nyata terhadap sesama dan dunia”.13
10
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (membumikan tasawuf dalam dunia modern), (Malang: UIN Press, 2008), cet ke-1, h. 12.
11
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (membumikan tasawuf dalam dunia modern), h. 13.
12
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet ke-2, h. 7.
13
Olaf Schuman, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: PT. Grafindo, 1993), cet ke-1, h. 311.
(37)
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari arti baik atau buruk, benar atau salah dari perbuatan tingkah laku manusia dari lubuk hatinya yang terdalam berdasarkan akal fikiran yang sehat. Dengan demikian etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia untuk kemudian ditetapkan hukum baik atau buruknya perbuatan tersebut.
Adapun obyek dari etika adalah membahas perbuatan yang dilakukan manusia dengan sadar. Dilihat dari sumbernya, etika bersumber pada akal fikiran atau rasio. Kemudian dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai atau penentu terhadap suatu perbuatan yang dilakukan manusia dan juga dilihat dari sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Kata yang mempunyai pengertian sama dengan etika adalah moral dan akhlak. Menurut etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab (قاخأ) adalah bentuk jamak dari khulq14 yang biasa diartikan perangai, budi pekerti, kelakuan, tingkah laku, tabiat, bahkan agama.15
Menurut Ibnu Maskawaih, seperti yang dikutip oleh Humaidi Tatapangarsa dalam buku Pengantar Kuliah Akhlak bahwa akhlak adalah:
“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa melalui pertimbangan fikiran”.16
14
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 120.
15 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 253. 16
Humaidi Tatapangsara, Pengantar Kuliah Akhlak, (Jakarta: Bina Ilmu, 1979), cet ke-3, h. 8
(38)
24
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah:
.
“Akhlak adalah Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran dahulu”.17
Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai menilai perbuatan manusia, apakah itu baik atau buruk.18
Sedangkan akhlak dalam perspektif Islam adalah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang muncul secara spontan atau tidak dibuat-buat yang didasarkan pada al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw.19
Dengan demikian, istilah akhlak digunakan untuk menunjuk perilaku lahiriyah, tetapi ia dipahami sebagai sebab dan sekaligus sebagai buah dari sikap batin yang ada dalam jiwa. Pengetahuan, perbuatan dan wujud adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Adapun kata moral berasal dari bahasa latin “mores”. Mores
berasal dari kata “mos” yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia dari W. J. S. Poerwadarminta terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.20
17
Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam. Penerjemah A. Ahmadi, dkk, (Jakarta: Amzah, 2001), cet ke-1, h. 327dalam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin III, (Mesir: Maktabah al-„Ulum Al-Asriyah), h. 56.
18
Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 7.
19
Tim Dirasah Islamiyah, Universitas Islam Jakarta, Akhlak Ijtima’iyah, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet ke 10, h. 271.
20
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (membumikan tasawuf dalam dunia modern), h. 11.
(39)
Jadi moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, keinginan, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Adapun persamaan dari etika, akhlak, dan moral adalah dari segi fungsi dan perannya, yaitu sama-sama menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk menentukan baik buruknya.
Perbedaan antara etika, akhlak, dan moral adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan akal fikiran, dan pada moral berdasarkan keniasaan yang berlaku umum di masyrakat, maka pada akhlak patokan yang digunakan untuk menentukan baik buruknya perbuatan itu adalah pada al-Qur‟an dan al-Hadis.
2. Pengertian Tetangga
Agama adalah keserasian dan interaksi sosial yang baik, salah satu aspek hubungan sosial yang tidak boleh dipandang remeh oleh seorang muslim ialah hubungan bertetangga. Bahkan, menurut Islam baik buruknya agama seseorang diantaranya tergantung bagaimana hubungan orang tersebut dengan tetangga di sekitarnya.
Sebagaimana telah dibahas di atas tentang pengertian etika, selanjutnya akan dibahas pula tentang pengertian tetangga. Sampai manakah batasan tetangga itu sendiri, baik secara umum maupun menurut Islam.
(40)
26
a. Secara Umum
Pengertian tetangga secara umum ialah orang atau rumah yang rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah, orang setangga ialah orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) terletak berdekatan.21
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, tetangga adalah orang yang tinggal disebelah rumah kita, orang yang tinggal berdekatan rumah dengan kita, sedangkan bertetangga adalah hidup berdekatan karena bersebelahan rumah.22
b. Menurut Islam
Banyak sekali para ulama yang berbeda pendapat mengenai batasan atau pengertian tetangga itu sendiri. Dan di bawah ini akan dijelaskan tentang arti tentangga menurut sebagian ulama.
Adapun pengertian tetangga itu sendiri menurut Islam adalah sebagaimana pendapat Aisyah r.a, al-Auza‟i. dan Hasan al-Bisri, bahwa tetangga adalah empat puluh rumah dari setiap penjurunya (empat puluh dari barat rumah kita, empat puluh rumah dari timur rumah kita, empat puluh rumah dari utara rumah kita, empat puluh rumah dari selatan rumah kita).23
Seperti yang dikutip oleh Hassan Ayyub dalam bukunya Etika Islam, Ibnu Syihab mengemukakan bahwa empat puluh rumah itu dengan
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet ke-3, h. 941.
22
J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet ke-3, h. 1497.
23
Hassan Ayyub, Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, (Bandung: Trigenda Karya, 1994), cet ke-1, h. 380.
(41)
rincian, sepuluh rumah dari kanan, sepuluh rumah dari kiri, sepuluh rumah dari depan, dan sepuluh rumah lagi dari belakang rumah kita. Jadi, menurut rincian ini, tetangga adalah sepuluh orang dari setiap sudut atau penjuru (janib).24 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, tetangga adalah orang yang rumahnya sebelah menyebelah atau berdekatan dengan rumah orang lain.25
Jadi setelah dilihat dari berbagai definisi di atas ada yang mengartikan bahwa tetangga adalah orang atau rumah yang saling berdekatan dengan kita, dalam batas empat puluh rumah dari segala arah, baik kanan, kiri, depan, dan belakang. Dan ada juga yang mengartikan sepuluh rumah dari segala arah. Tetapi dengan adanya perkembangan zaman sekarang, seperti yang kita kenal dengan adanya flet (apartemen), pengertian tetangga itu bisa lebih luas lagi, maka dikatakan bahwa batasan tetangga itu dapat ditambah dengan empat puluh tingkat ke atas dan empat puluh tingkat ke bawah. Tetapi pada umumnya masyarakat sekarang tidak melihat dengan adanya batasan tetangga itu sendiri, melainkan dengan adat kebiasaan yang ada di lingkungan sekitarnya, karena dengan adanya perubahan kebudayaan dan sosialisasinya, yang membuat masyarakat tidak terlalu memperhatikan hal tersebut.
24
Hassan Ayyub, Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, h. 380.
25
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid ke-6, cet ke-1, h. 1823.
(42)
28
3. Klasifikasi Tetangga
Al-Qur‟an telah mengklasifikasi tetangga menjadi dua macam, tatangga dekat (al-jâr dzi al-qurba) dan tetangga jauh (al-jâr al-junûbi).26 Klasifikasi ini disebutkan di dalam surat An-Nisa‟:36, dimana Allah Swt berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,27 dan teman sejawat, Ibnu sabil28 dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (Q.S. al-Nisa‟: 36)
Menurut Imam Qurtubi yang dikutip oleh Abdurrahman al-Baghdadi dan Syamduddin Ramadhan dalam bukunya fikih bertetangga, yang dimaksud dengan “al-jâr dzi al-qurba” adalah tetangga dekat (al-qarîb). Sedangkan al-jâr al-junûbi adalah tetangga jauh (ghârib dan al-bu’d). makna semacam ini adalah makna literal dan pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan sejumlah para ulama.29
Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menyatakan yang dikutip oleh Abdurrahman al-Baghdadi dan Syamsuddin Ramadhan dalam
26
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet ke-1, h. 11
27
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
28
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
29
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12
(43)
bukunya Fikih Bertetangga, bahwa sebagian ulama menafsirkan tetangga dekat dengan tetangga yang memiliki kedekatan dari sisi nasab sedangkan tetangga jauh adalah kebalikannya, yakni tetangga yang tidak memiliki hubungan nasab.30
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tetangga dekat dan tetangga jauh. Menurut Ali bin Abi Thalhah dari sahabat Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang diantara anda dan dirinya terdapat hubungan kekerabatan dan kedekatan (qurabah). Sedangkan yang dimaksud dengan tetangga jauh adalah tetangga yang tidak ada hubungan kekerabatan dan kedekatan. Pendapat semacam ini juga dipegang oleh ikrimah, Mujahid, Maimun bin Mahraan, dan Adh-Dhahak, juga menurut Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayan, dan Qatadah.31
Menurut Abu Ishaq dari Nauf Al-Bakaali, yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah setiap orang muslim, sedangkan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani. Dengan kata lain, tetangga dekat kita adalah setiap muslim sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani.32 Pendapat semacam ini juga dipegang oleh Nauf Al-Syami. Beliau berkata, “Yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah muslim. Sedangkan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani.”33
30
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12
31
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Nisaa‟: 36.
32
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Nisaa‟:36.
33
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, surat Al-Nisaa‟:36.
(44)
30
Yang dikaitkan dengan tempat, artinya tentang dimana keberadaan tetangga itu. Keberadaannya bisa di dekat rumah, satu rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kompleks dan kampung.34 Namun yang dekat rumahpun jika harus memilih kepada tetangga mana yang harus didahulukan, maka menurut tuntunan Rasulullah Saw adalah mendahulukan yang dekat dengan pintu rumahnya. Hal ini sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Aisyah r.a, bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw:
“Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Lantas, mana yang harus saya beri terlebih dahulu?” Rasulullah menjawab, “Berikanlah kepada tetangga yang paling dekat (pintunya) dengan rumahmu.”36
(H.R. Al-Bukhari)
Sekelompok ulama mengganggap hadis ini sebagai tafsir atas firman Allah Swt, surah an-Nisaa‟: 36. Menurut mereka, yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang jarak rumahnya paling dekat. Sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang rumahnya paling jauh. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jaraknya.37
Menurut Al-Auza‟i yang dikutip oleh Abdurrahman al-Baghdadi dan Syamsuddin Ramadhan, tetangga dekat adalah tetangga yang jarak
34
Muhsin M.K, Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam, (Jakarta: Al-Qalam, 2004), cet ke-1, h. 5
35
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 4, h. 1904. Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 6020) dan Abu Daud (hadis no. 4488).
36
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13
37
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13
(45)
rumahnya kira-kira 40 rumah, dari arah depan, belakang, sisi kanan dan sisi kiri. Diriwayatkan dalam sebuah riwayat, ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, dan berkata, “Saya adalah laki-laki yang tinggal di sebuah kampung. Sedangkan tetanggaku yang paling dekat sering menyakitiku.” Rasulullah segera mengutus Abu Bakar, Umar, dan Ali untuk bersuara lantang di depan pintu-pintu masjid, “perhatikan, jarak 40 rumah adalah tetangga, dan tidak akan masuk surga siapa saja yang tetangganya tidak aman dari gangguannya. “Ali bin Abi Thalib r.a berkata, “siapa yang mendengar panggilan ini adalah tetangga.38
Beberapa ulama berbeda pendapat, bahwa siapa saja yang mendengar iqamah, maka ia adalah tetangga masjid tersebut. Sebagian lagi menyatakan, bahwa siapa saja yang tinggal sekampung atau sekota, maka ia adalah tetangga.39
Setelah di lihat dari pengertian di atas tentang klasifikasi tetangga atau macam-macam tetangga, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tetangga itu dibagi menjadi dua macam yaitu tetangga dekat (jâr dzi al-qurba) dan tetangga jauh (al-jâr al-junûbi). Pengertian ini mengacu kepada al-Qur‟an surat al-Nisaa‟ ayat 36. Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan dekat dan jauh. Ada yang mengartikan Tetangga dekat adalah yang memiliki hubungan nasab dan tetangga jauh adalah yang tidak memiliki hubungan nasab. Namun ada juga ulama yang mengartikan
38
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13-14
39
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h.14 dalam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, surat An-Nisaa‟: 36.
(46)
32
tetangga dekat adalah setiap orang muslim dan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani.
Kita sebagai manusia harus memenuhi hak-hak tetangga, baik itu terhadap sesama muslim maupun non muslim. Karena Islam sendiri menekankan bahwa dalam bertetangga tidak dilihat dari agamanya, artinya tidak ada perbedaan tentang etika bertetangga antar agama, selama tidak menyangkut masalah aqidah. Hal inilah yang harus diketahui oleh semua orang, karena dengan inilah akan tercipta suatu kebersamaan antar tetangga.
(47)
33
A. Hadis tentang Berbuat Baik Kepada Tetangga
Jika umat Islam mengkaji betul-betul agamanya, mereka akan menemukan betapa besar perhatian Islam terhadap hak-hak orang lain (tetangga). Baik dalam al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi Saw. Seumpamanya al-Qur‟an menerangkan, bahwa tetangga termasuk golongan manusia yang harus kita utamakan untuk kita pergauli dengan baik, disamping golongan-golongan yang lain seperti kedua orang tua kita, kerabat kita, anak-anak yatim ataupun orang-orang miskin, karena merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika membutuhkannya, jika tiba-tiba kita mendapatkan musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang dan membantu kita, dibandingkan dengan keluarga (family) yang rumahnya lebih jauh.
Setiap orang yang rumahnya bertetangga dengan kita, memiliki hak-hak sebagai seorang tetangga sekalipun tidak dihubungkan dengan ikatan keluarga atau agama. Berbuat baik kepada tetangga merupakan contoh toleransi yang ditekankan Islam.
Banyak hadis Nabi Saw yang memerintahkan berbuat baik kepada tetangga secara umum, tanpa memandang faktor kekeluargaan atau pun agama dan menegaskan pentingnya hubungan akrab dalam Islam.
(48)
34
Dengan sikap dan perbuatan yang baik, dengan menolong pada kesusahannya, dengan memberi makanan yang diperkirakan dia suka, dengan memberi oleh-oleh dari bepergian kalau ada, semuanya itu merupakan didikan kepada tetangga untuk berbuat sebagaimana yang diperbuat. Sekurang-kurangnya dengan sikap yang baik dan menghormati, maka tetangga pun akan bersikap baik dan menghormati. Dan di bawah ini akan disebutkan hadis-hadis yang berkenaan dengan hal tersebut, di antara perbuatan yang baik tehadap tetangga yaitu:
1. Dilarang menyakiti tetangga
Hadis no. 1
1
“Mengabarkan kepada kami „Ashim bin Ali, mengabarkan kepada kami Ibn Abi Dzi‟bin dari Said dari Abi Suraih, Nabi Saw bersabda: “Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!.” Dikatakan, “Siapa wahai Rasulullah?” beliau bersabda, “orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya/keburukannya.”
Hadis no. 2
2
1
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 4, h. 1904. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 6020).
2
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Fikr, tth), Juz. 3, h. 178. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 5186).
(49)
“Mengabarkan kepada kami Ishaq bin Nashr mengabarkan kepada kami Husain al-Ju‟fi dari Zaidah dari Maisarah dari Abi Hazim dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka dia tidak akan menyakiti tetangganya, dan wasiatkanlah para wanita akan kebaikan karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sepaling bengkok tulang rusuk adalah yang paling atas, jika engkau paksa meluruskannya, engkau telah mematahkannya, jika engkau tinggalkan dan membiarkannya bengkok, dia akan tetap bengkok, maka wasiatkanlah kepada wanita dengan kebaikan”.
Hadis no. 3
“Mengabarkan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Abdillah bin Numair semuanya dari Ibnu „Uyainah, berkata Ibnu Numair mengabarkan kepada kami sufyan dari „Amru, sesungguhnya ia mendengar dari Nafi‟ bin Jabir diberitakan dari Abu Syuraih al-Khaza‟I, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memperlakukan tetangganya dengan baik, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam”.
Hadis no. 4
“Mengabarkan kepada kami Yahya bin Ayub dan Qutaibah bin Sa‟id dan Ali bin Hujr semuanya dari Ismail bin Ja‟far, berkata Ibnu Ayub
3
'Abdul Husaini bin al-Ajjaj bin Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daar al-Hadis, 1994), cet ke-1, Juz. 1, h. 249. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Muslim dengan lafal bi al-lafdzi (hadis no. 49), diriwayatkan oleh al-bukhari dengan lafal bi al-makna, Juz. 20, h. 117, diriwayatkan oleh al-tirmidzi dengan lafal bi al-makna, Juz. 7, h. 231.
4
'Abdul Husaini bin al-Ajjaj bin Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daar al-Hadis, 1994), cet ke-1, Juz. 1, h. 293. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (hadis no. 46).
(50)
36
mengabarkan kepada kami Ismail berkata mengabarkan kepada saya al-„Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya”.
Hadis no. 5
“Mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Said, mengabarkan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abi Husyain dari Abi Shalih dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), maka hendaklah dia memuliakan tamunya, dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam saja”.
2. Berlindung dari keburukan tetangga
Hadis no. 6
“Mengabarkan kepada kami „Amru bin Ali berkata mengabarkan kepada kami Yahya berkata mengabarkan kepada kami Muhammad bin „Ajlan dari Sa‟id bin Abi Sa‟id al-Maqburi dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Berlindunglah kalian kepada Allah dari keburukan tetangga di lingkungan (desa), karena sesungguhnya tetangga yang menampakkan kejelekan akan berpaling darimu”.
5
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Fikr, tth), Juz. 4, h. 437. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dengan lafal bi makna Juz. 4 h. 438, 439. Diriwayatkan oleh Muslim dengan lafal bi al-lafdzi, Juz. 1, h. 163 dan bi al-makna, Juz. 9, h. 139. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafal bi al-lafdzi, Juz. 13, h. 367. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dengan lafal bi al-lafdzi, Juz. 9, h. 40.
6 Ahmad ibn Syu‟aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar (Abdurrahman al
-Nasa‟i), Sunan al-Nasa’I, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), Juz. 4, h. 287. Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh al-Nasa‟I (hadis no. 5512).
(51)
3. Tetangga yang baik dalam pandangan Allah Swt Hadis no. 7
“Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad mengabarkan kepada kami Abdullah bin al-Mubarak dari Haiwah bin Syuraih dari Syuraihbil bin Syarik dari Abi Abdirrahman al-Hubuliyyi dari Abdillah ibn „Amr, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baiknya sahabat disisi Allah adalah yang terbaik bagi sahabatnya dan sebaik-baiknya tetangga disisi Allah adalah yang terbaik bagi tetangganya”.
4. Mendahulukan tetangga yang dekat
Hadis no. 8
“Mengabarkan kepada kami Hajjaj bin Minhal mengabarkan kepada kami Syu‟bah berkata mengabarkan kepada saya Abu dan Imran berkata, saya mendengar Thalhah dari „Aisyah r.a, dia berkata: “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua tetangga, kepada siapa diantara keduanya yang aku berikan hadiah?” beliau bersabda, “kepada yang paling dekat pintunya kepadamu”.
7
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahak, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), Juz. 3, h. 397. Hadis Hasan, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (hadis no. 1951), beliau berkata bahwa hadis ini Hasan Gharib. Al-Bani dalam kitabnya Shahih al-Jami‟ al-Shagir (Fathul Kabir) menghukumi hadis ini Shahih.
8
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 4, h. 440. Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud dengan lafal bi al-makna, Juz. 13, h. 368.
(52)
38
Keterangan Hadis
Begitu banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang perlakuan baik terhadap tetangga, seperti hadis no. 1, 2, 3, 4, dan 5 yang menjelaskan tentang larangan menganggu tetangga, dan menerangkan tentang balasan bagi orang-orang yang menyakiti atau menganggu tetangganya di antaranya yaitu ia termasuk orang yang tidak beriman dan ia tidak akan masuk surga. Dengan demikian dapat diketahui hukumnya menyakiti tetangga, betapa buruk dampaknya, dan betapa besar kerugiannya. Begitu juga dengan hadis no 6 yang menerangkan bahwa hendaknya seorang muslim bersikap hati-hati, khususnya dalam kejahatan tetangganya, berlindung kepada Allah Swt agar menjauhkan kita dari tetangga yang jahat. Sedangkan dalam hadis no. 7 menjelaskan bahwa tetangga yang baik adalah tetangga yang terbaik bagi tetangganya, oleh karena itu dianjurkan bagi setiap orang khususnya seorang muslim untuk menjadi yang terbaik bagi tetangganya sehingga ia akan mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt.
Begitu juga dengan hadis no.8 yang mengutamakan untuk mendahulukan tetangga yang terdekat, tetapi itu bukan berarti bahwa seorang muslim harus mengabaikan tetangga yang rumahnya lebih jauh darinya. Hikmahnya adalah bahwa orang yang paling dekat pintunya dapat melihat hadiah atau lainnya yang masuk ke rumah tetangganya, berbeda dengan orang yang jauh pintunya. Disamping itu, orang yang dekat pintunya lebih cepat memberikan respon atas apa yang terjadi pada tetangganya, khususnya pada waktu-waktu sepi. Ibnu Abi Jumrah berkata, “Memberi hadiah kepada yang
(53)
dekat adalah disukai, karena pada dasarnya hadiah itu bukan wajib”. Dari hadis ini disimpulkan bahwa mengamalkan yang lebih utama adalah sikap yang sangat baik.9 Nabi Saw sangat menganjurkan agar memperhatikan tetangga yang paling dekat karena dengan merekalah sering terjadi kontak dan berinteraksi.
B. Hadis tentang Memuliakan Tetangga
Selain berbuat baik kepada tetangga, kita juga harus memuliakan tetangga. Sesungguhnya cara memuliakan tetangga tidak terbatas pada satu macam saja, sebab banyak cara memuliakan tetangga sesuai dengan keadaan tetangga yang bersangkutan, sebagaimana berbedanya keadaan yang memuliakan.
Ada yang kaya ada juga yang miskin, ada yang hidup penuh dengan kemudahan dan ada juga yang hidup susah, ada yang menjadi kerabat (dekat) ada juga yang bukan kerabat (tetangga jauh), dan seterusnya. Hanya yang mencakup semua antara lain ialah, menghendaki bagi setiap tetangga melakukan kebaikan apa saja sesuai dengan kemampuan dan mencegah supaya tidak menganggunya dengan gangguan apapun juga.
Memuliakan tetangga juga dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkannnya duduk di tempat yang baik.
9 Ahmad bin „Ali bin Hajar al
-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Juz. 29, cet ke-1, h. 160-161.
(54)
40
Menerima dan memuliakan tetangga tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah Saw mengaitkan sifat memuliakan tetangga itu dengan keimanan terhadap Allah dan hari akhir. Sebagaimana yang tertera dalam hadis-hadis Rasulullah Saw, yang berkenaan dengan hal memuliakan tetangga, diantaranya adalah:
Hadis no. 9
“Mengabarkan kepada kami Abu Kamil al-Jahdari dan Ishaq bin Ibrahim, Abdul Azizi bin Abd al-Shamad al-„Ammiyu mengabarkan kepada kami Abu Imran al-Jauni dari Abdillah bin al-Shamit dari Abu Dzar r.z, dia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Abu Dzar! Apabila engkau memasak kuah (sayur), maka perbanyaklah airnya kemudian berilah tetangga-tetanggamu.”
Hadis no. 10
“Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Minhal mengabarkan kepada kami Yazid bin Zurai‟ mengabarkan kepada kami „Umar bin Muhammad dari bapaknya dari Ibnu Umar r.a dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Selalu jibril
10
'Abdul Husaini bin al-Ajjaj bin Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daar al-Hadis, 1994), cet ke-1, Juz. 8, h. 425. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (hadis no. 2625).
11
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 4, h. 431. HadisShahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Isma‟il bin Abi Uwais dengan lafal bi al-lafdzi. Diriwayatkan oleh imam Muslim dengan lafal bi lafdzi, Juz. 13, h. 65. Diriwayatkan oleh sunan Abu Daud dengan lafal bi makna, Juz. 13, h. 365. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan lafal bi makna, Juz. 7, h. 191, al-Tirmidzi berkata bahwa hadis ini hasan shahih.
(55)
memesankan kapadaku (untuk berbuat baik) dengan tetangga, sampai-sampai aku menduga bahwa tetangga akan menerima warisan”.
Hadis no. 11
“Mengabarkan kepada kami „Usman bin Abi Syaibah mengabarkan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abi Wail dari „Amr bin Syarahbil dari Abdillah, katanya: “Saya bertanya kepada Nabi Saw, dosa manakah yang paling besar? “Beliau menjawab: “Jika engkau mengadakan sekutu bagi Tuhan, padahal ia -lah yang menciptakan engkau”. Saya berkata: “Sete-lah itu apa? “Beliau menjawab: “Jika engkau membunuh anak sendiri karena takut ia akan makan bersamamu. “Saya berkata: “Setelah itu apa? “Beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu”.
Hadis no. 12
“Mengabarkan kepada kami Zuhair bin Harb mengabarkan kepada kami Yahya bin Sa‟id dari Husain al-Mu‟alam dari Qatadah dari Anas dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak sempurna iman seorang hamba sampai dia benar-benar mencintai tetangganya (saudaranya) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.
12
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), Juz. 3, h. 179. Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan lafal bi al-makna, Juz. 3, h. 180. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafal bi al-makna, Juz. 1, h. 238. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafal bi al-makna, Juz. 6, h. 241.
13
'Abdul Husaini bin al-Ajjaj bin Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daar al-Hadis, 1994), Juz. 1, h. 292. Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Muslim dengan lafal bi al-makna, Juz. 1, h. 291. Diriwayatkan oleh Bukhari dengan lafal bi makna, Juz. 1, h. 21. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dengan lafal bi al-lafdzi, Juz. 9, h. 386. Diriwayatkan oleh sunan al-Nasa‟I dengan lafal bi al-makna, Juz. 15, h. 215.
(56)
42
Keterangan Hadis
Hadis-hadis di atas menganjurkan kepada setiap orang untuk memuliakan tetangganya, seperti yang dikatakan dalam hadis no. 9 yang menganjurkan untuk memberikan apa yang dimilikinya, misalnya seperti makanan, hendaknya berikan kepada tetangga yang mungkin terangsang oleh bau masakan yang dimasak. Sifat mudah memberi dan meringankan beban hidup tetangga, adalah salah satu bentuk memuliakan tetangga.
Begitu besarnya kedudukan tetangga dalam hadis, sampai-sampai dikatakan bahwa tetangga itu hampir menyamai kedudukan seperti keluarga, dan begitu mulianya tetangga sehingga orang yang berzina dengan istri tetangganya itu dianggap telah melakukan dosa yang paling besar seperti pada hadis no 10 dan 11. Begitu juga dengan hadis no 12 yang menganjurkan untuk mencintai tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
C. Hadis tentang Menghargai Perasaan Tetangga
Sebagai seorang muslim kita juga harus bisa menghargai perasaan tetangganya, janganlah kita menyakitinya atau menganggunya. Seorang muslim hendaklah memiliki kepedulian terhadap tetangganya, apalagi jika mereka termasuk orang yang kurang mampu.
Kesadaran seorang muslim tidak akan membiarkan dirinya mengabaikan kemiskinan dan kesulitan tetangganya sementara dia hidup mudah dan berlebihan. Seseorang yang memahami ajaran agamanya pasti tahu untuk memperlakukan tetangganya sebaik mungkin. Tak ada yang berarti jika
(1)
TABEL XV
Kesulitan Yang Dialami Masyarakat Terkait Dengan Pengamalan Hadis Tentang Etika Bertetangga
No Alternatif Jawaban RT. 01 RT. 02 F %
F % F %
a Budaya 1 4 3 12 4 8
b Lingkungan 5 20 8 32 13 26
c Keadaan Ekonomi 16 64 13 52 28 58
d Keluarga 3 12 1 4 4 8
Jumlah 25 100 25 100 50 100
Keterangan: 0-20 = Sangat Rendah, 21-40 = Rendah, 41-60 = Sedang, 61-80 = Tinggi, 81-100: Sangat Tinggi
Kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengamalkan hadis-hadis tentang etika bertetangga berbeda-beda. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, keluarga, budaya, dan lingkungan.
Dalam tabel XV di atas, terlihat bahwa kesulitan yang mereka alami sangat variatif. Sebagian besar dari mereka menjawab keadaan ekonomi dengan jumlah persentase tertinggi yaitu 58%. Kemudian ada yang menjawab lingkungan dengan jumlah persentase 26% dan ada juga yang menjawab leluarga dan budaya dengan jumlah persentase masing-masing 8%.
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah sebagian besar (70%) pernah menerapkan etika bertetangga. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka tentang etika bertetangga dan didukung dengan tradisi lingkungan setempat.
(2)
69
Jumlah masyarakat yang pernah menerapkan hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, dan memenuhi hak tetangga adalah 70%, yang sering menerapkan hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, dan memenuhi hak tetangga adalah 18%, yang jarang menerapkan hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, dan memenuhi hak tetangga adalah 8%, yang tidak pernah menerapkan hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, dan memenuhi hak tetangga adalah 4%. Berdasarkan hasil wawancara dari salah satu tokoh agama dan tokoh masyarakat, penerapan etika bertetangga sudah diperhatikan dengan alasan karena sebagian besar masyarakat sudah mengetahui dan menerapkan etika bertetangga, tapi ada juga satu atau dus yang belum mampu menerapkan dikarenakan keadaan ekonomi yang sulit.1
Pendapat Kepala Desa Ngadipurwo, penerapan etika bertetangga di Desa Ngadipurwo jelas sudah diterapkan walaupun tidak semua orang mengetahui arti hadis-hadis tentang etika bertetangga tapi hal itu terjadi karena sudah membudaya.2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan etika bertetangga di Desa Ngadipurwo yaitu sebagian besar sudah pernah menerapkan etika bertetangga sesuai dengan hadis-hadis tentang etika bertetangga.
1
(3)
70 A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan hadis Nabi Saw tentang etika bertetangga di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah yang meliputi hadis tentang berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tetangga, dan memenuhi hak tetangga menunjukkan 70 %.
Hal ini menjelaskan bahwa di Desa Ngadipurwo sudah menerapkan etika bertetangga sesuai dengan hadis Nabi Saw.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pemantauan penulis di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Jawa Tengah, ada beberapa hal yang penulis sarankan: 1. Kedudukan hadis Nabi Saw sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanpa adanya hadis Nabi saw umat Islam akan mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an. Sebab kehadiran keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Pengetahuan al-Qur’an dan hadis Nabi merupakan wawasan penting yang harus diketahui oleh umat Islam dalam menjalani hidupnya. Maka hendaknya para ulama, ustadz/ustadzah untuk lebih menekankan pada masalah ini disamping masalah yang lain.
(4)
71
2. Penelitian hadis etika bertetangga ini penulis anggap sebagai langkah awal untuk mengetahui keberadaan hadis di masyarakat, penulis mengharapkan kepada civitas akademika atau para adik-adik tingkat untuk meneliti lebih jauh realitas hadis yang ada di masyarakat, yaitu dalam hal pengaruh hadis bagi kehidupan masyarakat.
3. Agar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya jurusan tafsir hadis mengadakan kerjasama dengan masyarakat muslim sekitar maupun diluar kampus untuk mengadakan kajian-kajian keagamaan.
(5)
72
Akbar, Ubaidillah, Konsep Tauhid Menurut Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
(Studi Analisis Syarah ‘Aqidah ash-Shahihah), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009).
Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos, 1999).
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet ke-2.
Ayyub, Hassan, Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, (Bandung: Trigenda Karya, 1994).
Bachtiar, Wardi, Metodologi Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet ke-1. Badudu, J. S. dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet ke-3.
Bahgdadi, Al-Abdurrahman dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Bahgdadi, Al-Abdurrahman dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Bukhari, Al-Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr, tth).
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996).
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2008), cet ke-10.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet ke-3.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: YPFP UGM, 1994).
Hajar al-Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
Husaini bin al-Ajjaj bin Muslim, 'Abdul, Shahih Muslim, (Kairo: Daar al-Hadis, 1994).
Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, cet ke-3, 1990.
(6)
73
M. K, Muhsin, Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam, (Jakarta: al-Qalam, 2004).
Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991).
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi, ‘Abu Isa, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994).
Nufus, Ade Hayati, Konsepsi Etika Bertetangga menurut Islam (Kajian Hadis-hadis Rasulullah Saw dalam Kutub al-Sittah), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003).
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: PT. Grafindo, 1993).
Shalaby, Ahmad, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam. Penerjemah A. Ahmadi, dkk, (Jakarta: Amzah, 2001).
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), cet ke-4.
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994).
Suyuthi, Al-Jalaluddin, Sunan al-Nasa’I, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995).
Tatapangsara, Humaidi, Pengantar Kuliah Akhlak, (Jakarta: Bina Ilmu, 1979). Tim Dirasah Islamiyah, Universitas Islam Jakarta, Akhlak Ijtima’iyah, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), cet ke-10.
Toriquddin, Moh., Sekularitas Tasawuf (membumikan tasawuf dalam dunia modern), (Malang: UIN Press, 2008).
Wawancara pribadi dengan Kepala Desa Ngadipurwo. Blora, 29 maret 2011. Wawancara pribadi dengan Ust. Muhibbin. Blora, 29 maret 2011.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989). Zarkasi, Effendi, Islam Agama Untuk Hidup, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,