21
Dari sini dapat dilihat bahwa tingkat keagamaan di desa Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora Jawa Tengah tergolong sangat baik. Hal ini
disebabkan karena banyaknya pondok pesantren dan kelompok-kelompok pengajian remaja dan ibu-ibu. Dari sini tampak bahwa masyarakat desa
Ngadipurwo kecamatan Blora kabupaten Blora sangat peduli terhadap pengetahuan agama Islam.
B. Etika Bertetangga Dalam Islam
1. Pengertian Etika
Secara etimologis, kata etika diartikan sebagai 1 ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral, 2
kumpulan asasnilai yang berkenaan dengan akhlak, 3 nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
8
Apabila diambil pengertian bagian kedua, maka etika akan mengandung pengertian
cara bertetangga yang sesuai dengan standar nilai akhlak.
9
Istilah etika berasal dari kata latin : ethic US, dalam bahasa gerik: ethikos: a body of moral principles or values,
“ethic” berarti kebiasaan, habit, custom. Jadi dalam pengertian aslinya, apa yang disebut baik itu
ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat dewasa ini. Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian sekarang: etika ialah suatu
8
Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, cet ke-3, 1990, h. 237.
9
Mafri Amir, M. Ag, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, Jakarta: Logos, 1999, cet ke-2, h. 33.
22
ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.
10
Menurut sejarahnya, istilah etika itu mula-mula digunakan oleh montaigne 1533-1592, seorang penyair perancis dalam syair-syairnya
yang terkenal pada tahun 1580. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.
11
Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan niali-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah lain dari etika, biasanya digunakan kata : moral, susila, budi pekerti, akhlak arab: akhlaq. Kesemua istilah tersebut digunakan secara berganti-
ganti dalam pengertian yang sama. Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari
tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal fikiran atau
dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik buruk karena
akal memutuskannya buruk.
12
Menurut olaf Schuman, “Etika adalah ekspresi atau pernyataan dari apa yang terpendam dalam hati atau dari seseorang dan sekaligus
menent ukan tingkah lakunya secara nyata terhadap sesama dan dunia”.
13
10
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf membumikan tasawuf dalam dunia modern, Malang: UIN Press, 2008, cet ke-1, h. 12.
11
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf membumikan tasawuf dalam dunia modern, h. 13.
12
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, cet ke-2, h. 7.
13
Olaf Schuman, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: PT. Grafindo, 1993, cet ke-1, h. 311.
23
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari arti baik atau
buruk, benar atau salah dari perbuatan tingkah laku manusia dari lubuk hatinya yang terdalam berdasarkan akal fikiran yang sehat. Dengan
demikian etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia untuk kemudian ditetapkan hukum baik atau buruknya perbuatan tersebut.
Adapun obyek dari etika adalah membahas perbuatan yang dilakukan manusia dengan sadar. Dilihat dari sumbernya, etika bersumber
pada akal fikiran atau rasio. Kemudian dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai atau penentu terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan manusia dan juga dilihat dari sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Kata yang mempunyai pengertian sama dengan etika adalah moral dan akhlak. Menurut etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab
قاخأ adalah bentuk jamak dari khulq
14
yang biasa diartikan perangai, budi pekerti, kelakuan, tingkah laku, tabiat, bahkan agama.
15
Menurut Ibnu Maskawaih, seperti yang dikutip oleh Humaidi Tatapangarsa dalam buku Pengantar Kuliah Akhlak bahwa akhlak adalah:
“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa melalui pertimbangan fikiran”.
16
14
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989, h. 120.
15
Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 253.
16
Humaidi Tatapangsara, Pengantar Kuliah Akhlak, Jakarta: Bina Ilmu, 1979, cet ke-3, h. 8
24
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah:
.
“Akhlak adalah Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan
fikiran dahulu”.
17
Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai menilai perbuatan manusia, apakah itu baik atau buruk.
18
Sedangkan akhlak dalam perspektif Islam adalah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang muncul secara spontan atau tidak dibuat-
buat yang didasarkan pada al- Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw.
19
Dengan demikian, istilah akhlak digunakan untuk menunjuk perilaku lahiriyah, tetapi ia dipahami sebagai sebab dan sekaligus sebagai
buah dari sikap batin yang ada dalam jiwa. Pengetahuan, perbuatan dan wujud adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Adapun kata moral berasal dari bahasa latin “mores”. Mores berasal dari kata “mos” yang berarti kesusilaan, perasaan batin,
kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia dari W. J. S. Poerwadarminta terdapat keterangan
bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.
20
17
Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam pemikiran Islam. Penerjemah A. Ahmadi, dkk, Jakarta: Amzah, 2001, cet ke-1, h. 327dalam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin III, Mesir:
Maktabah al- „Ulum Al-Asriyah, h. 56.
18
Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991, h. 7.
19
Tim Dirasah Islamiyah, Universitas Islam Jakarta, Akhlak Ijtima’iyah, Jakarta: Balai
Pustaka, 1999, cet ke 10, h. 271.
20
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf membumikan tasawuf dalam dunia modern, h. 11.
25
Jadi moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, keinginan, pendapat, atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Adapun persamaan dari etika, akhlak, dan moral adalah dari segi
fungsi dan perannya, yaitu sama-sama menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk menentukan baik
buruknya. Perbedaan antara etika, akhlak, dan moral adalah terletak pada
sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan akal fikiran, dan pada moral
berdasarkan keniasaan yang berlaku umum di masyrakat, maka pada akhlak patokan yang digunakan untuk menentukan baik buruknya
perbuatan itu adalah pada al- Qur‟an dan al-Hadis.
2. Pengertian Tetangga
Agama adalah keserasian dan interaksi sosial yang baik, salah satu aspek hubungan sosial yang tidak boleh dipandang remeh oleh seorang
muslim ialah hubungan bertetangga. Bahkan, menurut Islam baik buruknya agama seseorang diantaranya tergantung bagaimana hubungan
orang tersebut dengan tetangga di sekitarnya. Sebagaimana telah dibahas di atas tentang pengertian etika,
selanjutnya akan dibahas pula tentang pengertian tetangga. Sampai manakah batasan tetangga itu sendiri, baik secara umum maupun menurut
Islam.
26
a. Secara Umum
Pengertian tetangga secara umum ialah orang atau rumah yang rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah, orang setangga ialah
orang yang tempat tinggalnya rumahnya terletak berdekatan.
21
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, tetangga adalah orang yang tinggal disebelah rumah kita, orang yang tinggal
berdekatan rumah dengan kita, sedangkan bertetangga adalah hidup berdekatan karena bersebelahan rumah.
22
b. Menurut Islam
Banyak sekali para ulama yang berbeda pendapat mengenai batasan atau pengertian tetangga itu sendiri. Dan di bawah ini akan
dijelaskan tentang arti tentangga menurut sebagian ulama. Adapun pengertian tetangga itu sendiri menurut Islam adalah
sebagaimana pendapat Aisyah r.a, al- Auza‟i. dan Hasan al-Bisri, bahwa
tetangga adalah empat puluh rumah dari setiap penjurunya empat puluh dari barat rumah kita, empat puluh rumah dari timur rumah kita, empat
puluh rumah dari utara rumah kita, empat puluh rumah dari selatan rumah kita.
23
Seperti yang dikutip oleh Hassan Ayyub dalam bukunya Etika Islam, Ibnu Syihab mengemukakan bahwa empat puluh rumah itu dengan
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, cet ke-3, h. 941.
22
J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, cet ke-3, h. 1497.
23
Hassan Ayyub, Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Bandung: Trigenda Karya, 1994, cet ke-1, h. 380.
27
rincian, sepuluh rumah dari kanan, sepuluh rumah dari kiri, sepuluh rumah dari depan, dan sepuluh rumah lagi dari belakang rumah kita. Jadi,
menurut rincian ini, tetangga adalah sepuluh orang dari setiap sudut atau penjuru janib.
24
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, tetangga adalah orang yang rumahnya sebelah menyebelah atau berdekatan dengan rumah orang
lain.
25
Jadi setelah dilihat dari berbagai definisi di atas ada yang mengartikan bahwa tetangga adalah orang atau rumah yang saling
berdekatan dengan kita, dalam batas empat puluh rumah dari segala arah, baik kanan, kiri, depan, dan belakang. Dan ada juga yang mengartikan
sepuluh rumah dari segala arah. Tetapi dengan adanya perkembangan zaman sekarang, seperti yang kita kenal dengan adanya flet apartemen,
pengertian tetangga itu bisa lebih luas lagi, maka dikatakan bahwa batasan tetangga itu dapat ditambah dengan empat puluh tingkat ke atas dan empat
puluh tingkat ke bawah. Tetapi pada umumnya masyarakat sekarang tidak melihat dengan adanya batasan tetangga itu sendiri, melainkan dengan
adat kebiasaan yang ada di lingkungan sekitarnya, karena dengan adanya perubahan kebudayaan dan sosialisasinya, yang membuat masyarakat
tidak terlalu memperhatikan hal tersebut.
24
Hassan Ayyub, Etika Islam: Menuju Kehidupan Yang Hakiki, h. 380.
25
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, jilid ke-6, cet ke-1, h. 1823.
28
3. Klasifikasi Tetangga
Al- Qur‟an telah mengklasifikasi tetangga menjadi dua macam,
tatangga dekat al-jâr dzi al-qurba dan tetangga jauh al-jâr al-junûbi.
26
Klasifikasi ini disebutkan di dalam surat An-Nis a‟:36, dimana Allah Swt
berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
27
dan teman sejawat, Ibnu sabil
28
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga- banggakan diri”. Q.S. al-Nisa‟: 36
Menurut Imam al-Qurtubi yang dikutip oleh Abdurrahman al- Baghdadi dan Syamduddin Ramadhan dalam bukunya fikih bertetangga,
yang dimaksud dengan “al-jâr dzi al-qurba” adalah tetangga dekat al-
qarîb. Sedangkan al-jâr al-junûbi adalah tetangga jauh al-ghârib dan al- bu’d. makna semacam ini adalah makna literal dan pendapat yang
dipegang oleh Ibnu Abbas dan sejumlah para ulama.
29
Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menyatakan yang dikutip oleh Abdurrahman al-Baghdadi dan Syamsuddin Ramadhan dalam
26
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet ke-1, h. 11
27
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
28
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan mashiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
29
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12
29
bukunya Fikih Bertetangga, bahwa sebagian ulama menafsirkan tetangga dekat dengan tetangga yang memiliki kedekatan dari sisi nasab sedangkan
tetangga jauh adalah kebalikannya, yakni tetangga yang tidak memiliki hubungan nasab.
30
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tetangga dekat dan tetangga jauh. Menurut Ali bin Abi Thalhah dari sahabat Ibnu Abbas,
yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang diantara anda dan dirinya terdapat hubungan kekerabatan dan kedekatan qurabah.
Sedangkan yang dimaksud dengan tetangga jauh adalah tetangga yang tidak ada hubungan kekerabatan dan kedekatan. Pendapat semacam ini
juga dipegang oleh ikrimah, Mujahid, Maimun bin Mahraan, dan Adh- Dhahak, juga menurut Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayan, dan Qatadah.
31
Menurut Abu Ishaq dari Nauf Al-Bakaali, yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah setiap orang muslim, sedangkan tetangga jauh
adalah Yahudi dan Nasrani. Dengan kata lain, tetangga dekat kita adalah setiap muslim sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang beragama
Yahudi dan Nasrani.
32
Pendapat semacam ini juga dipegang oleh Nauf Al- Syami. Beliau berkata, “Yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah
muslim. Sedangkan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani.”
33
30
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12
31
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat An-
Nisaa‟: 36.
32
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat An-
Nisaa‟:36.
33
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 12 dalam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, surat Al-
Nisaa‟:36.
30
Yang dikaitkan dengan tempat, artinya tentang dimana keberadaan tetangga itu. Keberadaannya bisa di dekat rumah, satu rukun tetangga
RT, rukun warga RW, kompleks dan kampung.
34
Namun yang dekat rumahpun jika harus memilih kepada tetangga mana yang harus
didahulukan, maka
menurut tuntunan
Rasulullah Saw
adalah mendahulukan yang dekat dengan pintu rumahnya. Hal ini sebagaimana
hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Aisyah r.a, bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw:
“Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Lantas, mana yang harus saya beri terlebih dahulu?” Rasulullah menjawab, “Berikanlah
kepada tetangga yang paling dekat pintunya dengan rumahmu.”
36
H.R. Al-Bukhari
Sekelompok ulama mengganggap hadis ini sebagai tafsir atas firman Allah Swt, surah an-
Nisaa‟: 36. Menurut mereka, yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang jarak rumahnya paling dekat.
Sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang rumahnya paling jauh. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jaraknya.
37
Menurut Al- Auza‟i yang dikutip oleh Abdurrahman al-Baghdadi
dan Syamsuddin Ramadhan, tetangga dekat adalah tetangga yang jarak
34
Muhsin M.K, Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam, Jakarta: Al-Qalam, 2004, cet ke-1, h. 5
35
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Daar al-Fikr, tth, Juz. 4, h. 1904. Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh
al-Bukhari hadis no. 6020 dan Abu Daud hadis no. 4488.
36
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13
37
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13
31
rumahnya kira-kira 40 rumah, dari arah depan, belakang, sisi kanan dan sisi kiri. Diriwayatkan dalam sebuah riwayat, ada seorang laki-laki
mendatangi Rasulullah Saw, dan berkata, “Saya adalah laki-laki yang tinggal di sebuah kampung. Sedangkan tetanggaku yang paling dekat
sering menyakitiku.” Rasulullah segera mengutus Abu Bakar, Umar, dan Ali untuk bersuara lantang di depan pintu-
pintu masjid, “perhatikan, jarak 40 rumah adalah tetangga, dan tidak akan masuk surga siapa saja yang
tetangganya tidak aman dari gangguannya. “Ali bin Abi Thalib r.a berkata, “siapa yang mendengar panggilan ini adalah tetangga.
38
Beberapa ulama berbeda pendapat, bahwa siapa saja yang mendengar iqamah, maka ia adalah tetangga masjid tersebut. Sebagian lagi
menyatakan, bahwa siapa saja yang tinggal sekampung atau sekota, maka ia adalah tetangga.
39
Setelah di lihat dari pengertian di atas tentang klasifikasi tetangga atau macam-macam tetangga, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tetangga itu dibagi menjadi dua macam yaitu tetangga dekat al-jâr dzi al- qurba dan tetangga jauh al-jâr al-junûbi. Pengertian ini mengacu
kepada al- Qur‟an surat al-Nisaa‟ ayat 36. Ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan dekat dan jauh. Ada yang mengartikan Tetangga dekat adalah yang memiliki hubungan nasab dan tetangga jauh adalah yang tidak
memiliki hubungan nasab. Namun ada juga ulama yang mengartikan
38
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h. 13-14
39
Abdurrahman Al-Bahgdadi dan Syamsuddin Ramadhan Al-Nawi, Fikih Bertetangga, h.14 dalam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, surat An-
Nisaa‟: 36.
32
tetangga dekat adalah setiap orang muslim dan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani.
Kita sebagai manusia harus memenuhi hak-hak tetangga, baik itu terhadap sesama muslim maupun non muslim. Karena Islam sendiri
menekankan bahwa dalam bertetangga tidak dilihat dari agamanya, artinya tidak ada perbedaan tentang etika bertetangga antar agama, selama tidak
menyangkut masalah aqidah. Hal inilah yang harus diketahui oleh semua orang, karena dengan inilah akan tercipta suatu kebersamaan antar
tetangga.
33
BAB III HADIS-HADIS TENTANG ETIKA BERTETANGGA
A. Hadis tentang Berbuat Baik Kepada Tetangga
Jika umat Islam mengkaji betul-betul agamanya, mereka akan menemukan betapa besar perhatian Islam terhadap hak-hak orang lain
tetangga. Baik dalam al- Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi Saw.
Seumpamanya al- Qur‟an menerangkan, bahwa tetangga termasuk golongan
manusia yang harus kita utamakan untuk kita pergauli dengan baik, disamping golongan-golongan yang lain seperti kedua orang tua kita, kerabat kita, anak-
anak yatim ataupun orang-orang miskin, karena merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika membutuhkannya, jika tiba-tiba kita
mendapatkan musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang dan membantu kita, dibandingkan dengan keluarga family yang
rumahnya lebih jauh. Setiap orang yang rumahnya bertetangga dengan kita, memiliki hak-
hak sebagai seorang tetangga sekalipun tidak dihubungkan dengan ikatan keluarga atau agama. Berbuat baik kepada tetangga merupakan contoh
toleransi yang ditekankan Islam. Banyak hadis Nabi Saw yang memerintahkan berbuat baik kepada
tetangga secara umum, tanpa memandang faktor kekeluargaan atau pun agama dan menegaskan pentingnya hubungan akrab dalam Islam.