Teh dan Kina yang merupakan pemegang mandat penelitian di bidang komoditi teh di Indonesia.
II. Pendahuluan
Teh merupakan salah satu komoditi perkebunan penghasil devisa bagi Indonesia dan meyerap tenaga kerja yang banyak karena bersifat padat karya. Saat
ini Indonesia menempati urutan ke-7 sebagai penghasil teh dunia, dengan produksi tahun 2010 mencapai 129,200,000 kg dan memiliki kontribusi 3.1 dari total
produksi teh dunia ITC,2011. Kekeringan merupakan masalah yang krusial bagi perkebunan teh, mulai dari
skala petani kecil hingga perkebunan besar. Kekeringan dapat meyebabkan penurunan produksi hingga lebih dari 50 Sukasman, 1990. Perubahan iklim
global akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya musim kemarau lebih keras dan lebih lama, hal ini menyebabkan kerusakan yang lebih parah di perkebunan teh, yang
mengakibatkan anjloknya produksi pucuk. Kemarau panjang dengan intensitas yang berat pernah terjadi pada tahun 1994 dan 1997 dimana hujan hampir tidak pernah
turun selama 6 bulan, hal ini menyebabkan kerusakan tanaman yang parah di perkebunan teh Jawa Barat Johan, 1999. Usaha untuk mengurangi dampak
kekeringan untuk saat ini adalah dengan memperbaiki sistem budidaya teh. Pada perkebunan teh dengan ketinggian 700 mdpl maka penanaman pohon pelindung
tetap merupakan suatu keharusan. Pohon pelindung tetap akan menjaga iklim mikro menjadi terjaga, hal ini sangat penting dikarenakan teh akan berhenti untuk
berfotosintesis pada suhu lebih dari 30
O
C. Alternatif lain untuk penanggulangan permasalahan kemarau adalah dengan melakukan irigasi, namun cara ini masih
jarang dilakukan dikarenakan instalasi irigasi yang cukup mahal dan tingkat keamanan peralatan irigasi di lapangan yang rawan pencurian. Hal yang perlu
diperhatikan pula sebagai upaya mengurangi dampak dari kekeringan adalah pemupukan yang teratur sesuai dengan dosis anjuran hasil dari analisis hara tanah
dan daun.
Ada peluang lain dalam mengurangi dampak dari kekeringan yaitu dengan memanfaatkan mikroba yang ada di dalam tanah. Telah diketahui beberapa peranan
Vasikular Arbuskular Mikoriza VAM dalam membantu tanaman terhadap cekaman air, selain itu juga VAM diketahui membantu ketersediaan hara P. Akan tetapi belum
ada VAM yang memiliki spesifikasi untuk pertanaman teh. Areal pertanaman teh mempunyai beberapa sifat spesifik, diantaranya pH asam, ketinggian di atas 700 m
dpl, dan didominasi oleh tanah Andisols. Penginfeksian VAM pada bibit tanaman diindikasikan dapat membantu peranannya menjadi lebih optimal.
Penanggulangan kekeringan dapat pula dilakukan dengan menanam klon teh yang tahan kekeringan. Namun sangat disayangkan hingga saat ini belum ada klon
yang tahan akan kekeringan sebagai akibat perubahan iklim global saat ini. Klon unggul seri GMB yang dilepas pada tahun 1989 dan 1999 sebenarnya cukup kuat
dalam menghadapi cekaman kekeringan pada masanya, namun pada saat ini berdasarkan laporan dari beberapa perkebunan, klon seri GMB menunjukan gejala
yang tidak tahan terhadap kekeringan dikarenakan musim kemarau yang terjadi akhir-akhir ini menjadi lebih keras dan interval waktu yang lebih lama. Perakitan
klon unggul baru yang memiliki ketahanan terhadap kekeringan mutlak diperlukan sebagai salah satu solusi atas masalah kekeringan ini. Perakitan klon teh unggul
baru memerlukan waktu yang lama mengingat teh merupakan tanaman tahunan. Metode konvensional pemuliaan teh yang umum dilakukan adalah seleksi pohon
induk seleksi massa, seleksi galur, dan persilangan buatan Astika, 1991. Dengan menggunakan seleksi pohon induk dan seleksi galur dibutuhkan waktu sekitar 12 –
15 tahun Wellensiek, 1938 dalam Astika, 1991. Sedangkan menurut Bezbaruah 1984 dalam Astika 1991 dengan metode pemuliaan yang telah disederhanakan,
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan klon-klon unggul baru dapat dipersingkat 4 tahun dari versi Wellensiek. Dengan perkembangan teknologi
bioteknologi khususnya biomolekuler diharapkan siklus pemuliaan teh dapat lebih dipersingkat dengan mengkombinasikan antara sistem konvensional dan
bioteknologi. Cara lebih singkat untuk menghasilkan klon yang tahan kekeringan adalah dengan melakukan
grafting antara klon yang memiliki ketahanan terhadap kekeringan sebagai batang bawah dengan klon yang berproduktivitas baik. Di India
hal ini telah dilakukan, sebagai contoh adalah dilakukannya grafting antara klon Cr-
6017 dengan klon UPASI-9 yang tahan akan kekeringan Balasubramanian., et al.
2010 dan di Indonesia hal tersebut belum dilakukan. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, diharapkan dalam waktu dekat
ini dapat diketahui cara yang efektif untuk mengurangi dampak kekeringan di perkebunan teh melalui pemanfaatan bioorganisme tanah dan penggunaan klon
yang tahan kekeringan melalui proses grafting. Tujuan jangka panjang adalah menghasilkan klon unggul baru yang memiliki ketahanan terhadap kekeringan
tanpa melalui grafting sebagai bagian dari paket teknologi untuk menanggulangi masalah kekeringan di perkebunan teh di Indonesia.
III. Studi Literatur