364 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
bahan pertimbangan dalam menetapkan jar- ingan trayek adalah sebagai berikut.
1 Pola tata guna tanah.
Pelayanan angkutan umum diusahakan mampu menyediakan aksesbilitas
yang baik. Untuk memenuhi hal itu, lintasan trayek angkutan umum
diusahakan melewati
tata guna
lahan dengan potensi permintaan yang tinggi. Demikian juga lokasi-
lokasi yang potensial menjadi tujuan bepergian
diusahakan menjadi
prioritas pelayanan.
2 Pola
pergerakan penumpang
angkutan umum.
Rute angkutan umum yang baik ada- lah arah yang mengikuti pola pergera-
kan penumpang angkutan sehingga tercipta pergerakan yang lebih effe-
sien. Trayek angkutan umum harus dirancang sesuai dengan pola perge-
rakan penduduk yang terjadi, seh- ingga transfer moda yang terjadi pada
saat penumpang mengadakan per- jalanan dengan angkutan umum dapat
diminimumkan.
3 Kepadatan penduduk.
Salah satu faktor menjadi prioritas angkutan umum adalah wilayah ke-
padatan penduduk yang tinggi, yang pada umumnya merupakan wilayah
yang mempunyai potensi permintaan yang tinggi. Trayek angkutan umum
yang ada diusahakan sedekat mung- kin menjangkau wilayah itu.
4 Daerah pelayanan.
Pelayanan angkutan umum, selain memperhatikan wilayah-wilayah po-
tensial pelayanan, juga menjangkau semua wilayah perkotaan yang ada.
Hal ini sesuai dengan konsep pemer- ataan pelayanan terhadap penyediaan
fasilitas angkutan umum.
5 Karakteristik jaringan.
Kondisi jaringan
jalan akan
menentukan pola pelayanan trayek angkutan
umum, Karakteristik
jaringan jalan meliputi konigurasi, klasiikasi, fungsi, lebar jalan, dan tipe
operasi jalur. Operasi angkutan umum
sangat dipengaruhi oleh karakteristik jaringan jalan yang ada.
b. Penentuan Kebutuhan Angkutan
Didalam penentuan jumlah kebutuhan angkutan sangat terkait dari efesiensi
waktu. Eisiensi dari pelayanan ang- kutan umum adalah suatu fungsi dari
banyak faktor, antara lain adalah wak- tu bepergian travel time. Waktu per-
jalanan adalah waktu yang digunakan oleh bus untuk melakukan perjalanan
dari awal pemberangkatan rute sam- pai tujuan akhir. Waktu perjalanan
merupakan fungsi dari panjang rute,
jadi semakin panjang rute maka waktu perjalanan semakin lama. Waktu per-
jalanan juga merupakan fungsi dari kecepatan rata-rata kendaraan. Ba-
nyak faktor yang mempengaruhi ter- hadap kecepatan rata-rata kendaraan,
seperti: Jarak pemberhentian bus, Jumlah penumpang per trip, Waktu
naik dan turun rata-rata per penump- ang, Keadaan jalan, Perilaku penge-
mudi, Banyaknya tanjakan, Kemace- tan lalu lintas, dll
365 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Berdasarkan data di atas dapat, dapat dihitung jumlah bus yang dibutuhkan
untuk memberikan pelayanan dengan frekuensi jam perjalanan. Formula
yang digunakan dapat di lihat pada Persamaan 1:
Sebelum menetukan jumlah bus yang dibutuhkan maka terlebih dahulu haruslah
ditetapkan Headway dan Waktu perjalanan menit bolak balik angkutan bus.
1 Frekuensi f
Frekuensi f adalah jumlah keberang- katan atau kedatangan kendaraan ang-
kutan umum yang melewati satu titik tertentu dalam satu trayek selama pe-
riode waktu tertentu. Biasanya pada jam sibuk, frekuensi kendaraan akan
lebih besar dibandingkan frekuensi pada jam tidak sibuk. Hal ini dilaku-
kan untuk mengantisipasi adanya per- mintaan angkutan yang relatif lebih
tinggi pada jam sibuk, sehingga diper- lukan penyediaan layanan angkutan
yang lebih besar. Perhitungan frekue- nsi kendaraan dapat menggunakan
formula perhitungan pada Persamaan 2.
Keterangan : f = frekuensi kendjam
h = headway menit
2 Headway h
Headway h adalah selisih waktu keberangkatan atau kedatangan antara
kendaraan angkutan yang satu dengan kendaraan angkutan kota yang berada
persis dibelakangnya dalam satu trayek pada satu titik tertentu. Nilai headway
yang kecil menunjukkan frekuensi kendaraan yang besar sehingga waktu
tunggu penumpang akan semakin pendek. Sebaliknya, apabila nilai
headway besar menunjukkan bahwa frekuensi kendaraan sedikit sehingga
waktu yang diperlukan penumpang untuk mendapatkan layanan angkutan
umum akan semakin besar pula. Pengukuran headway dan waktu
tunggu dapat menggunakan rumus pada Persamaan 3:
Keterangan : h = Headway menit
f = Frekuensi kendaraan kendmenit Instrumen survei yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu 1 Revealed Preference Survey RP Survey, dan 2
Stated Preference Survey Pearmin, D. and Kroes, E., 1990, Stated Preference
Techniques, A Guide To Practice, Steer Davis Gleave Ltd., Richmond. Dari
RP Survey dapat diketahui karakteristik
366 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
perjalanan dari responden, seperti moda yang digunakan. Sedangkan SP survey
digunakan untuk mengetahui respon objek survey tentang moda yang akan mereka
pilih berdasarkan kondisi moda eksisting dan moda virtual yang telah di rancang
sebelumnya Bus Bandara
HASIL PEMBAHASAN a.
Karakteristik Perjalanan 1
Asal Tujuan Perjalanan
Data asal tujuan perjalanan responden digunakan untuk mengetahui distribusi
penyebaran perjalanan penumpang udara dan potensi permintaan angkutan darat
yang akan melayani masing-masing asal tujuan perjalanan. Namun data asaltujuan
perjalanan seperti dilaporkan pada Tabel 1 belum bisa dijadikan dasar untuk membuka
jaringan trayek
baru karena
belum dilakukan prefese dalam memilih moda
yang diinginkan darike Bandara. Data asal perjalanan selengkapnya disajikan dalam
Tabel 1.
No AsalTujuan Perjalanan
Jumlah Orang
Persentase
1 Agam
7 0,70
2 Bukittinggi
133 13,27
3 Dharmasraya
12 1,20
4 Mentawai
11 1,10
5 Padang
485 48,40
6 Padang Panjang
35 3,49
7 PariamanKab. Padang Pariaman
78 7,78
8 Pasaman
19 1,90
9 Pasaman Barat
6 0,60
10 Payakumbuh 50 Kota
75 7,49
11 Pesisir Selatan
26 2,59
12 Sawahlunto
11 1,10
13 Sijunjung
5 0,50
14 Solok
80 7,98
15 Tanah Datar
19 1,90
Jumlah 1002
100
Tabel 1. : Asal Tujun Perjalanan Responden
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa re- sponden yang berasal darike padang meru-
pakan responden yang paling dominan di- antara daerah lain. Persentase yang melaku-
kan perjalanan dari BIM – Padang begitu juga sebaliknya adalah sebesar 48,40,
dilanjutkan dengan daerah Bukittinggi sebesar 13,27, Solok sebesar 7,98,
Kota Pariaman Pd. Pariaman sebesar 7,78 dan Payakumbuh50 Kota sebesar 7,49.
Responden yang tidak menjawab pertan- yaan asal tujuan sebanyak 22 responden.
Dari data asal tujuan diatas akan dilakukan pemetaan permintaan demand penumpang
baik yang berpotensi maupun tidak berpo- tensi. Jika potensi penumpang telah diketa-
hui maka bisa dilakukan perhitungan untuk kebutuhan jumlah kendaraan yang akan di-
367 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
operasionalkan.
2 Captive dan Choice user
Pemilihan moda alternatif moda lain perlu diketahui untuk mengetahui
kecendrungan responden untuk beralih ke moda lain apabila ada pelayanannya
dapat menjangkau tujuan perjalanan dari responden. Hasil survey selengkapnya
ditunjukkan pada Tabel 2.
Berdasarkan tabel 2 dan gambar 1 diatas, 50,29 responden masih mau beralih
ke moda lain dan 49,41 respoden bersikap captive artinya apapun jenis moda yang
ditawarkan responden tidak mau beralih ke moda tersebut.
b. Analisis preferensi responden:
1 Persiapan analisis
a Spesiikasi moda Bus Bandara-moda alternatif virtual
Respondenpenumpang yang dimasuk- kan kedalam analisis preferensi
penumpang adalah penumpang yang bersedia berpindah jika ada moda lain
yang bisa mengantarkan penumpang dari dan ke bandara. Untuk mengetahui
respon dari pengguna jasa terhadap variabel pelayanan yang ditawarkan
diperlukan preferensi responden yang diperoleh dari survey wawancara
NO ALTERNATIF MODA LAIN
JUMLAH
1 Ya Choice User
506 2
Tidak Captive User 515
3 NA
3
TOTAL 1024
Tabel 2 : Captive dan Choice user
Gambar 1: Captive dan Choice user
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
368 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
penumpang angkutan udara. Adapun speisiikasi moda Bus Bandara
virtual yang ditawarkan dalam survey
wawancara tersebut adalah sebagai berikut :
•
Alternatif 1: Pelayanan Ekonomi Non AC dengan atribut pelayanan
: 36
kursi, Non
reclining seat, fasilitas bagasi, asuransi
penumpang dan berjadwal.
•
Alternatif 2: Pelayanan Ekonomi AC dengan atribut pelayanan : 36
kursi, AC, Reclining seat, fasilitas bagasi, asuransi penumpang dan
berjadwal.
•
Alternatif 3: Pelayanan Super Eksekutif
dengan atribut
pelayanan : 27 kursi, AC, Reclining seat, fasilitas bagasi, asuransi
penumpang dan berjadwal. 2
Koridor yang di tinjau Berdasarkan karakteristik perjalanan
asal tujuan
responden, maka
dikelompokkan dengan 4 koridor sdan selanjutnya dilakukan 4 analisis.
Empat koridor potensial, yaitu:
•
Koridor 1: BIM-Padang-BIM
•
Koridor 2: BIM-Padang Panjang- Bukittinggi-Payakumbuh-BIM
•
Koridor 3: BIM-Pariaman-BIM
•
Koridor 4: BIM-Solok-BIM 3
Estimasi tarif dan waktu tempuh Untuk tarif dan waktu tempuh dise-
suaikan dengan jarak masing-masing kota sebagaimana diperlihatkan pada
Tabel 3. Data ini di estimasi langsung dengan survey ke lapangan serta dis-
kusi dengan operator Bus Bandara.
Tabel 3 : Estimasi waktu dan tarif dari dan ke BIM
No. Kota
Waktu tempuh menit Tarif Rp.
Ekonomi Non AC Ekonomi AC
Super eksekutif
1. Padang
60 10.000
15.000 18.000
2. Payakumbuh
180 40.000
45.000 50.000
3. Bukittinggi
130 30.000
35.000 40.000
4. Padang Panjang
100 25.000
30.000 35.000
5. Solok
120 50.000
55.000 60.000
6. Pariaman
60’ 15.000
20.000 25.000
4 Hasil Analisi Koridor 1
a Mode share eksisting
Kondisi eksisting mode share untuk koridor 1 dapat di lihat pada Tabel 4.
Terlihat bahwa persentase penggunaan moda yang terbesar adalah DAMRI
TRANEX Bus Bandara sebesar 44, diikuti oleh Travel 17 dan
Taksi 14.
369 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Berdasarkan tabel 5, Respon Respon- den terhadap pilihan Bus Bandara dari 3
alternatif yang ditawarkan pada koridor 1 menujukkan bahwa minat responden terh-
adap Bus Bandara memilih alternatif 2 dan 3 dimana 65 dan 71 responden pasti
memilih Bus Bandara ketika ditawarkan al- ternatif 2 dan 3. Ada perbedaan jumlah re-
sponden terhadap pertanyaan mode share dan respon responden terhadap Bus Ban-
dara, hal in disebabkan karena responden terkadang tidak memilih pertanyaan mode
tetapi responden langsung saja ke pertan- yaan respon responden terhadap bus ban-
dara begitu sebaliknya. 5
Hasil Analisis Koridor 2 a
Mode share eksisting Kondisi eksisting mode share untuk
koridor 1 dapat di lihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel dan graik diatas
dapat diketahui bahwa persentase
penggunaan moda yang terbesar adalah
DAMRITRANEX Bus
Bandara sebesar 41, diikuti oleh moda lain 15 dan Mobil Pribadi
14.
Tabel 5 :
b Respon terhadap Bus Bandara
Tabel 5 Respon Responden Terhadap Bus Bandara
Tabel 4 : Mode Share Koridor 1
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Jenis Moda Responden
Persentase
Mobil Pribadi 20
9 Travel
35 17
DamriTranex 94
44 Taksi
30 14
Sepeda Motor 10
5 Moda Lain
23 11
Jumlah 212
100
Pilihan Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 1 Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 2 Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 3 Jumlah
Jumlah Jumlah
Pasti Bus Bandara 38
18 137
65 178
71 Mungkin Bus Bandara
68 33
62 30
57 23
Tidak Tahu 25
12 3
1 8
3 Mungkin Eksisting
26 12
8 4
3 1
Pasti Eksisting 52
25 6
2 Jumlah
209 100
210 100
212 100
370 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
b Respon terhadap APM
Jenis Moda Responden
Persentase
Mobil Pribadi 19
14 Travel
16 12
DamriTranex 57
41 Taksi
15 11
Sepeda Motor 11
8 Moda Lain
21 15
Jumlah 139
100
Tabel 6 : Mode Share Koridor 2
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Tabel 7 : Respon Responden Terhadap Bus Bandara
Pilihan Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 1 Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 2 Respon terhadap Bus
Bandara alternatif 3 Jumlah
Jumlah Jumlah
Pasti Bus Bandara 29
21 99
71 62
61 Mungkin Bus Bandara
30 21
34 24
32 31
Tidak Tahu 25
18 5
5 Mungkin Eksisting
17 12
3 2
3 3
Pasti Eksisting 40
28 3
2 Jumlah
141 100
139 100
102 100
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Berdasarkan tabel 7, Respon Respon- den terhadap pilihan Bus Bandara dari 3
alternatif yang ditawarkan pada koridor 2 menujukkan bahwa minat responden terh-
adap Bus Bandara memilih alternatif 2 dan 3 dimana 71 dan 61 responden pasti
memilih Bus Bandara ketika ditawarkan al- ternatif 2 dan 3.
6 Hasil Analisis Koridor 3
a Mode share eksisting
Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh moda alternatif yang biasa
digunakan oleh responden sebagaimana dilaporkan pada Tabel 8. Terlihat bahwa
persentase penggunaan moda yang terbesar adalah DAMRITRANEX Bus Bandara
sebesar 32, diikuti oleh Travel 27 dan moda lain 18.
371 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Berdasarkan tabel
9, Respon
Responden terhadap pilihan Bus Bandara dari 3 alternatif yang ditawarkan pada
koridor 3 menujukkan bahwa minat responden terhadap Bus Bandara memilih
alternatif 2 dan 3 dimana 61 dan 66 responden pasti memilih Bus Bandara
ketika ditawarkan alternatif 2 dan 3.
7 Hasil Analisis Koridor 4
a Mode share eksisting
Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh
moda alternatif
yang biasa digunakan oleh responden
sebagaimana dilaporkan pada Tabel 10.
Terlihat bahwa
persentase penggunaan moda yang terbesar
adalah DAMRITRANEX
Bus Bandara sebesar 34, diikuti oleh
Travel 25 dan moda lain 14. Berdasarkan
tabel 11,
Respon Responden terhadap pilihan Bus Bandara
dari 3 alternatif yang ditawarkan pada koridor 4 menujukkan bahwa minat
responden terhadap Bus Bandara memilih alternatif 2 dan 3 dimana 67 dan 63
b Respon terhadap APM
Tabel 9 Respon Responden Terhadap Bus Bandara
Jenis Moda Responden
Persentase
Mobil Pribadi 3
8 Travel
11 28
DamriTranex 13
33 Taksi
5 13
Sepeda Motor 1
3 Moda Lain
7 18
Jumlah 40
100
Tabel 8 : Mode Share Koridor 3
Tabel 9 : Respon Responden Terhadap Bus Bandara
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013 Pilihan
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 1
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 2
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 3
Jumlah Jumlah
Jumlah Pasti Bus Bandara
12 29
25 61
29 66
Mungkin Bus Bandara 15
37 14
34 12
27 Tidak Tahu
4 10
1 2
2 5
Mungkin Eksisting 6
15 Pasti Eksisting
4 10
1 2
1 2
Jumlah 41
100 41
100 44
100
372 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
responden pasti memilih Bus Bandara ketika ditawarkan alternatif 2 dan 3.
c. Demand Bus Bandara
Rencana Pengembangan Bus Bandara didasarkan dari demand potensial dan
preferensi penumpang dalam memilih Bus Bandara. Untuk menghitung demand
masing-masing koridor, digunakan data persentase pilihan responden terhadap
masing-masing rute Bus Bandara. Dari hasil pengolahan terlihat bahwa pada koridor 1,
44 responden masih mau memilih moda APM disamping moda eksisting, koridor 2
,41, koridor 3, 32 dan koridor 4 334. Hasilnya dapat juga dilihat pada tabel 12
dibawah ini :. b
Respon terhadap APM Tabel 11 Respon Responden Terhadap
Bus Bandara
Jenis Moda Responden
Persentase
Mobil Pribadi 4
9 Travel
11 25
DamriTranex 15
34 Taksi
3 7
Sepeda Motor 5
11 Moda Lain
6 14
Jumlah 44
100
Tabel 10 : Mode Share Koridor 4
Tabel 11 : Respon Responden Terhadap Bus Bandara
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013 Pilihan
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 1
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 2
Respon terhadap Bus Bandara alternatif 3
Jumlah Jumlah
Jumlah Pasti Bus Bandara
6 13
30 67
19 63
Mungkin Bus Bandara 14
31 12
27 9
30 Tidak Tahu
6 13
2 4
Mungkin Eksisting 6
13 1
2 2
7 Pasti Eksisting
13 29
Jumlah 45
100 45
100 30
100
373 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Disamping itu untuk melihat demand potensial juga mempertimbangkan waktu
pelayanan jam operasional pesawat serta jam operasional APM. Terdapat demand
potensial yang hilang, disebabkan jam operasional untuk setiap rute berbeda karena
terkait dengan waktu tempuh untuk masing- masing rute dan jadwal penerbangan yang
dapat dilayani oleh APM. Untuk rute panjang seperti BIM-Bukittinggi-Payakumbuh dan
BIM – Solok diasumsikan jam operasional penerbangan pagi dan malam hari tidak
dilayani, sehingga demand yang bisa dilayani hanya 70 dari demand yang
memilih APM tabel 12, sedangkan untuk rute BIM – Padang dan BIM – Pariaman
disumsikan hanya penerbangan pagi yang tidak dilayani, sehingga demand yang bisa
dilayani 86. Asumsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
RUTE PELAYANAN PILIHAN MODA BUS BANDARA
BIM – Padang 44
BIM – Bukittinggi – Payakumbuh 41
BIM – Pariaman 32
BIM – Solok 34
Tabel 12 : Persentase Pilihan APM untuk Masing-masing rute
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
RUTE PELAYANAN PILIHAN MODA BUS BANDARA
BIM – Padang 86
BIM – Bukittinggi – Payakumbuh 70
BIM – Pariaman 86
BIM – Solok 70
Tabel 13 : Asumsi demand yang dilayani masing-masing koridor
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Berdasarkan pertimbangan persentase pilihan moda dan estimasi demand
yang dapat dilayani berdasarkan jadwal penerbangan, selanjutnya dapat dihitung
jumlah penumpang per hari untuk masing- masing rute sebagaimana ditampilkan
pada Tabel 13. Terlihat bahwa jumlah penumpang per hari yang tertinggi adalah
untuk rute BIM – Padang sebesar 1134 oranghari, diikuti rute BIM – Bukittinggi
– Payakumbuh sebesar 486 penumpang hari. Sementara untuk rute BIM – Pariaman
dan BIM – Solok relatif kecil yaitu masing- masing 162 dan 216 oranghari.
RUTE PELAYANAN DEMAND
POTENSIAL ESTIMASI DEMAND
YANG DILAYANI PENUMPANG
HARI 1
2 3
4=2X3
BIM – Padang 1420
80 1134
BIM – Bukittinggi – Payakumbuh 927
52 486
BIM – Pariaman 267
61 162
BIM – Solok 293
74 216
Tabel 14 : Jumlah Penumpang per Hari Masing-Masing Rute
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
374 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
d. Jumlah Armada
Untuk menghitung kebutuhan armada yang akan melayani masing-masing
rute Bus Bandara, perlu ditetapkan frekuensi pelayanan, jarak waktu
antar keberangkatan
headway, waktu tempuh Travel Time, waktu
singgah di terminalpangkalan Lay Over Time, waktu perjalanan pulang
pergi Round Trip Time, waktu operasi dalam 1 hari dan kapasitas
armada. Tabel 6.4 menampilkan hasil perhitungan rencana operasi
untuk masing-masing rute APM dan kebutuhan armadanya. Terlihat
bahwa kebutuhan armada APM untuk rute BIM – Padang sebanyak 6 unit,
BIM – Bukittinggi – Payakumbuh 7 unit, BIM – Pariaman 1 unit dan BIM
– Solok 2 unit.
Rute Pelayanan Pnp
hari Kapa-
sitas Rit
hari TT
LO RTT
Waktu operasi
jam Pnp
jam Frek-
uensi Head-
way menit
Armada a
b c
d=b:c e
f g=2xe+f
h i=b:h
j=i:c k=60:j
l=g:k Rute Bim - Padang
1134 27
42 60
30 180
10 122
2,0 30
6 Rute Bim – Bkt –
Payakumbuh 486
27 18
180 30
420 10
65 1,0
60 7
Rute Bim - Pariaman
162 27
6 60
30 180
10 23
0,4 150
1 Rute Bim - Solok
216 27
8 120
30 300
10 25
0,4 150
2
Tabel 15 : Rencana operasi untuk masing-masing rute Bus Bandara dan kebutuhan armada
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2013
Didalam kriteria
pengembangan jaringan trayek baru dimana jumlah batasan
jumlah armada yang dioperasionalkan adalah minimal 5 unit kendaraan, maka jaringan
trayekrute yang layak dikembangkan selain rute Rute BIM – Padang rute eksisting,
rute BIM - Bukittinggi – Payakumbuh juga layak untuk dikembangkan.
PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan hasil
pengolahan dan analisis yang telah dilakukan dalam
penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Daerah asal tujuan perjalanan ke Bandara Internasional Minangkabau
BIM tersebar
pada beberapa
KabupatenKota di wilayah Sumatera Barat dimana penumpang yang
paling besar jumlah perjalanan dari ke Bandara adalah penumpang yang
berasal dari Kota Padang sebesar 48,40 dari total jumlah sampel
1002 responden. Dilanjutkan dengan daerah Bukittinggi sebesar 13,27,
Solok sebesar 7,98, Kota Pariaman Padang Pariaman sebesar 7,78 dan
Payakumbuh50 Kota sebesar 7,49.
Karakteristik responden penumpang udara cendrung captive tidak beralih
kemoda lain dimana ada 50,29 penumpang udara tidak mau beralih
dari moda yang biasa yang digunakan sedangkan responden yang mau
beralih dari moda Choice User yang biasa yang digunakan adalah sebesar
49,41.
375 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Rekomendasi
Berdasarkan potensi
demand penumpang
Angkutan Bus
Bandara, lintasan trayek yang layak dikembangkan adalah rute BIM –
Bukittinggi – Payakumbuh dengan jumah armada 7 unit kendaraan
sedangkan trayek BIM – Padang masih tetap beroperasi dengan kebutuhan
armada sebanyak 6 unit kendaraan
Isu sistim layanan yang terintegrasi merupakan salah satu aspek yang
diutamakan dalam
perencanaan fasilitas
sarana dan
prasarana transportasi. Termasuk dalam hal
ini adalah layanan angkutan umum, seperti Bus Bandara, yang terintegrasi
dengan layanan angkutan umum yang lainnya di kota Padang khususnya
dengan rencana pemerintah kota Padang untuk mengoperasikan Bus
Rapid Transit BRT.
Penyebaran informasi lokasi-lokasi pembelian tiket terintegrasi melalui
media massa serta menyediakan informasi rute dan jadwal time table
berupa lealet secara gratis untuk masyrakat
Perlunya informasi papan petunjuk yang menunjukkan tempat-tempat
pemberhentian Bus Bandara.
Perlunya menerapkan
regulasi perijinan pengoperasian Bus Bandara
melalui mekanisme tender untuk memilih operatorperusahaan yang
mempunyai manajemen yang baik dalam pengoperaian Bus Bandara.
Pada koridor 1, perlunya kajian lebih lanjut untuk menentukan
rute yang potensial diantara 3 rute yang ada BIM – Padang
via Khatib Sulaiman, BIM – Padang via S. Parman, BIM
– Padang via ByPass dengan melihat asal tujuan yang lebih
rinci berdasarkan kelurahan
DAFTAR PUSTAKA
, 2009, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angku-
tan Jalan, Jakarta , 2003, Keputusan Menteri Perhubungan
nomor KM.35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan
dengan Kendaraan Umum, Jakarta Dinas Perhubungan Kominfo. Provinsi
Sumatera Barat, 2012, Statistik Per- hubungan, Padang
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat , 2002, Pedoman Teknis Penyelenga-
raan Angkutan Umum di Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan
Teratur, Jakarta Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ,
2007, Perencanaan RinciDetail De- sain Untuk Pengembangan Bus Rapid
Transit BRT di Semarang, Jakarta Miro, F., 2005. Perencanaan Transportasi,
Penerbit Erlangga, Jakarta. Pearmin, D. and Kroes, E., 1990, Stated
Preference Techniques, A Guide To Practice,
Steer Davis Gleave Ltd., Richmond.
376 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
Abstract
Cocoa plants Theobroma cacao L are commodities that play important role in West Sumatra economic and has been developed into trade commudities and also us a source of foreign exchange
in one region, providing jobs and sources of income for farmers . This research are aimed for : 1 Identify the proile of cocoa farming in Padang Pariaman 2 Seeing the status of technology in
Padang Pariaman Cocoa ; 3 Seeing the efforts and policies adopted by the local government in the development of cocoa in Padang Pariaman . Farmers proile of Cocoa commodity in Padang Pariaman
which average age 45 years , while the average length of school owned by cocoa farmers is a range of more than 12 years and proiles cocoa farming area of 1.5 to 2.0 ha , with productivity of 600-900
kg ha . Therefore developing activities and the Model Village Founding of Cacao in a Kenagarian known by the name : “Nagari Model Cocoa NMK” with the aim that cocoa could be an economic
powerhouse in the village . Pattern model Dissemination Multi Channel DMC can increase the adoption of technological innovations cocoa cultivation and post harvest from 19.44 percent to 45.56
percent , so the cocoa productivity also increased from 450.71 kg ha year to become 702.50 kg ha year .
Key words:
farming , proiles , cocoa , technology , villages
Abstrak
Tanaman kakao Theobroma cacao L merupakan komoditi yang berperan penting dalam perekonomian Sumatera Barat dan telah berkembang menjadi komoditas perdagangan dan juga sumber devisa
daerah, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani. Penelitian ini bertujuan: 1 Mengidentiikasi proil usahatani kakao di Padang Pariaman 2 Melihat status teknologi Kakao
di Padang Pariaman; 3 Melihat upaya dan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam pengembangan kakao di Kabupaten Padang Pariaman. Proil Petani komoditi Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman rata-rata ber-umur 45 tahun, sedangkan rata-rata lama sekolah yang dimiliki oleh petani kakao adalah berkisar lebih dari 12 tahun dan proil usahatani komoditi kakao seluas 1,5 –
2,0 ha, dengan produktiitas 600 – 900 kgha. Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Nagari Model Kakao pada suatu kenagarian yang dikenal dengan nama: “Nagari Model Kakao NMK” dengan
tujuan agar komoditi kakao bisa menjadi motor penggerak ekonomi di nagari. Polamodel Diseminasi Multi Channel DMC dapat meningkatkan adopsi inovasi teknologi budidaya dan pasca panen kakao
dari 19,44 persen menjadi 45,56 persen, sehingga produktivitas kakao juga meningkat dari 450,71 kg hath menjadi 702,50 kghatahun.
Kata kunci:
usahatani, proil, kakao, teknologi, nagari
PROFIL USAHATANI DAN STATUS TEKNOLOGI KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
FARMING AND TECHNOLOGY PROFILE STATUS OF COCOA IN PADANG PARIAMAN
Yulmar Jastra
HP: 085274566068; email: yulmarjastrayahoo.com Peneliti Bidang Litbang Bappeda Provinsi Sumatera Barat
Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang
Naskah Masuk : 8 Oktober 2014 Naskah Diterima : 18 November 2014
377 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
PENDAHULUAN
Tanaman kakao Theobroma cacao L merupaka komoditi yang berperan penting
dalam perekonomian Sumatera Barat dan telah berkembang menjadi komoditas per-
dagangan yang juga beperan besar sebagai sumber devisa daerah, penyediaan lapangan
kerja dan sumber pendapatan bagi petani. Propinsi Sumatera Barat telah dicanang-
kan menjadi sentra pengembangan tanaman kakao untuk Wilayah Barat Indonesia yang
diluncurkan oleh Bapak Wakil Presiden Re- publik Indonesia M. Yusuf Kalla pada tang-
gal 3 Agustus 2006 yang lalu. Peluncuran ini sekaligus juga menandai dimulainya
gerakan pengentasan kemiskinan berbasis nagari di Propinsi Sumatera Barat Bappe-
da, 2011. Target Indikator awal untuk mendukung pengembangan sentra pengem-
bangan kakao ini adalah meningkatkan luas pertanaman kakao di Sumatera Barat dari
25.042 ha pada tahun 2005 menjadi seluas 108.098 ha pada tahun 2010, yang tersebar
di 19 kabupatenkota. Dari data ini dapat kita lihat bahwa target penambahan luas pe-
nanaman kakao dari tahun 2005 sampai ta- hun 2010 adalah lebih kurang seluas 83.056
ha atau meningkat sebesar 332 diband- ing luas tanaman kakao tahun 2005Jastra.
dkk, 2012 dan Hasan. dkk. 2012; Yusniar, 2014.
Pesatnya perkembangan luas kebun kakao di Sumbar tidak terlepas dari
tingginya keinginan masyarakat dan juga kondisi agroekosistem yang cocok untuk
pertumbuhan tanaman kakao Manti dkk, 2009. Namun kondisi usaha tani kakao
di Sumbar belum memberikan hasil yang optimal, hal ini terlihat dari produktivitas
kakao dan mutu yang masih rendah. Rata- rata produktivitas kakao yang dihasilkan
baru mencapai kurang dari 600-700 kgha th, produktivitas ini dianggap masih jauh
dari potensi produksinya yang bisa mencapai lebih besar dari 2 tonhath Puslitkoka,
2006; Manti, dkk. 2009. Untuk
peningkatan produktivitas
dan mutu biji kakao telah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Badan
Litbang Kementan antara lain: varietas unggul dengan produksi tinggi, pemupukan
sepesiik lokasi, pemangkasan, pengendalian HP utama kakao, sanitasi lahan dan
peningkatan mutu biji kakao melalui inovasi fermentasi Balitbang Pertanian,
2007. Teknologi tersebut mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi dan
mutu biji kakao yang dihasilkan. Namun sampai saat ini belum banyak inovasi
tersebut diadopsi oleh petani kakao BPTP Sumbar, 2009; Hasan, dkk.2012
Secara nasional
pun produksi,
produktivitas dan mutu kakao masih rendah. Penyebab utamanya adalah teknologi
budidaya dan pasca panen belum diterapkan sesuai rekomendasi dan adanya serangan
OPT, sehingga produksi dan mutu biji kakao yang dihasilkan rendah Wahyuni.
dkk., 2010. Secara teknis, rendahnya produktivitas dan mutu kakao karena
disebabkan beberapa hal, diantaranya: benih yang digunakan beragam dan lokal,
pemeliharaan dilakukan seadanya dan belum dilakukannya fermentasi sebagai
faktor penentu mutu kakao BPTP. Sumbar, 2009.
Pertanaman kakao yang kurang terawat umumnya produktiitasnya rendah
378 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
dan mudah terserang hama dan penyakit, sehingga perlu diperbaiki dan bahkan
diremajakan. Organisme pengganggu tanaman OPT utama pada kakao adalah
penggerek buah kakao PBK dan penyakit vascular streak dieback VSD. Serangan
OPT dapat menurunkan produktivitas hingga 40, dari 1.100 kg menjadi 660
kghatahun. Serangan
penyakit juga
menyebabkan mutu kakao rendah, sehingga ekspor biji kakao berpotensi mengalami
penurunan Manti, 2009. Pertanaman kakao di Sumatera Barat mencapai hampir 60.000
ha, sebagian besar tergolong produktif dan Pemda Sumbar masih berupaya
mengembangkan karena harganya cukup baik. Melalui dinas Perkebunan melakukan
upaya perbaikan untuk meningkatkan produktivitas maupun kualitas kakao
secara cepat dan berkelanjutan dengan membangun kawasan contoh agribisnis
kakao melalui kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Nagari Model Pembangunan
Kakao yang dikenal dengan “Nagari Model kakao NMK” yang telah dilakukan pada
beberapa Nagari di Sumatera Barat seperti di Kabupaten Padang Pariaman, Tanah
Datar, Pasaman, Pasaman Barat, Solok, Agam dan Kota Payakumbuh. Kecermatan
dalam penentuan kawasan yang potensial dan kendala pertanaman yang ada, sangat
menentukan keberhasilan pengembangan kakao ke depan.
Penelitian ini bertujuan : 1 Mengidentiikasi proil usahatani kakao
di Padang Pariaman 2 Melihat status teknologi Kakao di Padang Pariaman; 3
Melihat upaya dan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Padang Pariaman pada bulan Mei sd
September 2013. Penelitian ini bersifat deskriktif kualitatif dan kuantitatif serta
dilakukan secara bertahap yaitu: 1 pra- study dalam rangka pengumpulan informasi
tetang kondisi umum kabupaten Padang Pariaman, luas, produksi dan produktiitas
Kakao, keragaan teknologi petani, serta
potensi pengembangan Kakao; 2 desk study intensif terhadap data dan semua informasi-
informasi yang diperoleh dari kegiatan pra- study; 3 observasi, survey lapangan dalam
rangka rekonirmasi semua data yang telah diperoleh sebelumnya dan mencari data
primer sesuai yang dibutuhkan dalam tujuan penelitian ini Masri S. dan Soian Effendi.
1982
, dan focus group discussion FGD dengan melibatkan tim pakar sebagai upaya
memperkaya substansi hasil penelitian . FGD dilakukan untuk mengajak pihak
terkait dinasindtansi terkait dan petani menggali masalah dan pengalaman berusaha
kakaso oleh petani, kondisi kawasan sentra produksi secara holistik dan parameter-
parameter penentu perkembangan kakao yang merupakan langkah yang harus
dilakukan untuk peningkatan produksi kakao. Data yang telah dikumpulkan
selanjutnya di analisis secara deskriptif, yaitu dengan menggunakan tabulasi
nisbah, rata-rata.
379 Jurnal Penelitian dan Kebijakan Publik, Volume 2, Nomor 2, Desember 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Sistem Produksi Kakao di Kabu- paten Padang Pariaman
a. Proil Petani