Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil

B. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil

Sebelum membahasa pengertian dari penduduk sipil, ada baiknya diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai perbedaan antara kombatan dan penduduk sipil civilion. Pembedaan ini berkaitan dengan pemberian status antara kombatan dan civilion. Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur kombatan dengan orang sipil. Demikian, salah satu ketentuan Hukum Humaniter Interasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Prinsip atau asas pembedaan distriaction Principle merupakan suatu asas yang penting dalam Hukum Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata kedalam dua golongan, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam konflik bersenjata, sedangkan penduduk sipil civilion adalah orang atau sekumpulan orang yang bukan anggota angkatan bersenjata yang karenanya tidak berhak ikut serta dalam permusuhan. 60 Prinsip pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil adalah untuk mengetahui siapa saja yang boleh ikut dala konflik bersenjata, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan. Hal ini penting untuk diketahui karena 60 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta. Andy Offset, 1992, hal. 6 sejak perang mulai dikenal, sesungguhnya hanya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dan negara-negara yang terlibat dalam peperangan. Sedangkan penduduk sipil harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan tersebut. Keadaan ini sudah diakui sejak zaman dahulu, setiap modifikasi hukum moderen kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekerasan perang. 61 Asas umum ini memerlukan penjabatan lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan principles of application, yakni : Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ritione personae yang menyatakan, ”the civilian population and individual civilians shall enjoy general protction against danger arising from military operation”. 62 a. Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil. b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan walaupun dalam hal pembalasan reprisals. c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang. d. Pihak – pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah penegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak- tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak di sengaja menjadi sekecil mungkin. e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. 61 Arlina Permanasari, Op.Cit, hal. 76 62 Ibid Uraian tersebut menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dalam pernyataan Jean Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para pada waktu perang atau konflik bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik kombatan. Karena, dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam permusuhan dan karena itu boleh dijadikan objek kekerasan dibunuh dan siapa yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi secara normatif, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja. Melihat perkembangan teknologi dan peradaban manusia semakin maju pada setiap tahunnya. Hal tersebut memicu berkembangnya peralatan dan teknik- teknik berperang baru. Sejalan dengan hal tersebut, norma-norma yang akan melandassi Hukum Humaniter Internasional dituntut untuk berkembang pula. Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian dari Hukum Internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu khususnya dalam situasi perang atau konflik untuk memberikan perlindungan dan pertolongan kepada yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang terlibat secara aktif dalam permusuhan kombat, maupun mereka yang tidak terlibat dalam permusuhan penduduk sipil. Perlindungan Hukum Humaniter Internasional bagi penduduk sipil menurut Mochtar Kusumaatmadja 63 Pada setiap peperangan, kedua belah pihak yang sedang melakukan konflik bersenjata berperang selalu menyatakan bahwa tindakan yang telah mereka lakukan tidak melanggar kaidah Hukum Humaniter Internasional atau didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Penekanan pada masalah tersebut timbul atas banyaknya pelanggaran hak- hak sipil dalam konflik bersenjata merupakan dampak dari semakin berkembangnya teknologi persenjataan modern. Masyarakat sipil sering turut merasakan kerugian akibat perang dimana terkadang sipil sendiri digunakan sebagai tameng bagi kepentingan militer. Sipil digunakan sebagai tameng dalam banyak hal, seperti penempatan sipil dalam military object maupun sebagai alat untuk mencapai kepentingan militer dari masing-masing pihak. Saat perang berlangsung, hak asasi masyarakat sipil lebih sering terabaikan daripada diperjuangkan dan diperhatikan. Hak asasi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata inilah yang perlu untuk dilindungi. Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia 63 F. Sugeng Istanto, Loc.Cit., hal. 6. tindakan tersebut dapat dibenarkan dengan alasan tertentu. Dasar pembenar yang sering digunakan adalah alasan military necessity dan proportionality. Military necessity adalah suatu prinsip dalam hukum internasional humaniter. Prinsip ini merupakan suatu pagar pembatas dalam melakukan peperangan conduct of armed conflict. Prinsip ini juga merupakan pembenaran atas keadaan darurat conduct of armed conflict. Prinsip ini juga merupakan pembenaran atas keadaan darurat perang dimana pihak yang berperang diperbolehkan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan militer, termasuk kekerasan. Namun, penggunaan kekerasan tersebut harus dibatasi oleh kepentingan militer, kekerasan yang berlebihan untuk mencapai suatu tujuan tidak dapat dibenarkan. Sedangkan Proportionality dapat diartikan sebagai keseimbangan antara keuntungan militer dalam sebuah konflik bersenjata dengan kerugian yang akan ditimbulkan. Hal tersebut menimbulkan dua nilai yang saling bertolak belakang namun perlu pemenuhan yang saling sesuai dan tidak berlebihan. Nilai yang terkandung dalam proportionality adalah kepentingan pihak militer dan kepentingan penduduk sipil saat terjadi kontak bersenjata. Konvensi Jenewa itu sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai asas proportinality. Proportinality lahir berdasarkan suatu kebiasaan hukum internasional yang kemudian diadopsi sebagai sumber hukum internasional. Oleh sebab itu, standar proportionality bersifiat subjektif dalam Hukum Humaniter Internasional. Dimana masing-masing subjek hukum selalu memberikan definisi yang berbeda mengenai batasan proportionality.

C. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Penduduk Sipil Israel dan Palestina