BAB III PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM HUMANITER
A. Masalah Hak Asasi Manusia Dalam Konflik
Hak asasi adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak disini mengacu pada
nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting dalam tatanan
sosial ingin diwujudkan. Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak- hak asasi. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap
manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannnya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan,
dan kelahirannya.
34
Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi konflik bersenjata, baik itu konflik antarnegara maupun konflik dalam negari.
Dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak
terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembantaian massal, diperkosa, disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap
Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Adalah tugas negara untuk melindungi hak asasi warga
negaranya sendiri dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.
34
Ambarwati, Op.Cit, hal. 128
makanan, air, dan layanan kesehatan. Dalam situasi seperti itu, bagaimana menjamin agar hak asasi manusia penduduk sipil terlindungi adalah masalah yang
terus diperjuangkan para aktor kemanusiaan. Dalam situasi konflik, negara tidak bisa melindungi hak asasi para warganya secara optimal. Pihak lawan akan
berusaha untuk menghalangi peran negara dalam situasi ini. Di samping itu, pihak lawan akan berusaha untuk mengurangi peran negara dalam perlindungan
tersebut. Akses terhadap sumber ekonomi merupakan masalah utama yang dihadapi
oleh penduduk sipil korban konflik. Ketika pecah perang terbuka, sasaran-sasaran sipil sering kali juga menjadi target dari serangan, hal ini akan mengakibatkan
dampak beruntun pada sumber kehidupan masyarakat selanjutnya. Dlam kondisi konflik masyarakat sipil akan menanggung akibat terputusnya sumber-sumber
ekonomi. Sumber-sumber ekonomi mereka menjadi target serangan sehingga mereka kehilangan pekerjaan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, para
pedagang juga takut untuk beraktifitas karena tidak ada jaminan keselamatan. Karena kondisi masyarakat yang harus mengungsi, mereka kehilangan
mata pencaharian ditempat yang baru. Para pengungsi ini tidak bisa membawa semua kebutuhan hidup ditempat yang baru. Dengan demikian, sumber bahan
pangan menjadi masalah di pengungsian. Beban hidup individu dan keluarga menjadi tidak pasti sehingga jaminan keberlangsungan hidup menjadi berkurang.
Keadaan ini membuat para pengungsi mudah terjangkit penyakit fisik dan mental. Bantuan kepada mereka pun sangat terbatas dan terkadang harus menghadapi aksi
sabotase.
Pemerintah yang sedang terlibat konflik tidak mampu menangani kondisi ekonomi masyarakatnya. Ini disebabkan lebih banyak energi dan sumber daya
dicurahkan untuk menangani konflik. Pada sisi yang lain kerusakan fasilitas yang harus dibenahi semakin parah. Distribusi barang dan jasa tidak bisa menjangkau
seluruh daerah konflik, sementara pihak swasta enggan untuk mengambil risiko. Masalah sosial yang timbul akibat konflik bersenjata bermacam-macam
baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi maupun yang tidak. Tidak sedikit para wanita di daerah konflik menjadi pelampiasan para combatans. Para wanita
tersebut menjadi budak nafsu, kekerasan seksual, dan berbagai bentuk pelecehan yang lain. Hal ini pun sebenarnya juga dimaksudkan untuk melemahkan moral
pihak yang bersengketa. Banyak orang yang mati sia-sia karena terkena senjata atau bom yang sebenarnya tidak ditujukan bagi mereka. Rumah mereka hancur
dan mereka pun terpaksa mengungsi. Di daerah pengungsian masalah yang timbul tidak kurang banyaknya.
Keterbatasan sumber daya dan bahan pangan membuat para pengungsi mudah terjangkit penyakit. Kriminalitas meningkat karena orang menjadi menganggur,
sedangkan mereka butuh makan. Aksi penjarahan akan terjadi. Perbudakan dan pelacuran akan muncul akibat terbatasnya akses kesumber ekonomi dan
keterpaksaan.
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Humaniter Internasional
Pengertian Hak Asasi Manusia yang sangat kompleks seringkali diinterpretasikan dalam berbagai pengertian yang berbeda-beda. Hingga kini,
banyak negara masih menganggap bahwa persoalan Hak Asasi Manusia merupakan urusan dalam negerinya sendiri internal affair. Dari pandangan
tersebut akan muncul suatu konsekuensi, bahwa penyelesaian terhadap persoalan tersebut cukup dilakukan intern negara yang bersangkutan. Campur tangan oleh
pihak asing atau instusi di luar negaranya dianggap melanggar kedaulatan negara. Perlindungan Hak Asasi Manusia adalah conditio sine qua non bagi negara
modern yang telah menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Berdasarkan Deklarasi Wina Vienna Declaration tahun 1993, Universalitas Hak Asasi
Manusia sebagai suatu sistem nilai telah diterima oleh masyarakat internasional.
35
Dua alasan yang mendukung pernyataan diatas adalah, pertama, persoalan Hak Asasi Manusia dewasa ini telah diatur oleh suatu lembaga internasional
yanitu Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB United Nations dan telah ada instrumen hukum internasional yang melandasi pengaturan Hak Asasi Manusia
yaitu The International Bill of Human Rights, yang terdiri dari : Universal Declaration of Human Rights ; International Covenant on Civil and Political
Rights ICCPR dan dua Optinal Protocols; International Covenant on Economic Social and Cultural Rights ICESCR. Kedua, esensi HAM yang
35
Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter, Op.Cit, hal. 90
bersifat universal sehingga substansinya adalah sama pada setiap tempat dan telah diformulasikan kedalam pengertian yang bernilai yuridis.
36
Sebagai contoh misalnya pengertian penganiayaan torture yang tercantum dalam Pasal 1ayat 1 Konvensi anti Penyiksaan Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment , merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di manapun dan
apapun bentuknya, secara universal penganiayaan tidak dapat dibenarkan. Namun demikian implementasi Hak Asasi Manusia dapat dilakukan dengan cara yang
berbeda, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kaidah- kaidah hukum internasional.
37
Dari persoalan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM tidak melulu terjadi di negara miskin atau negara yang sedang berkembang,
Hingga saat ini berbagai macam bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia masih terus terjadi, walaupun telah banyak negara yang meratifikasi berbagai
instrumen Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sedemikian banyak negara yang meratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia, tidak selalu
berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas perlindungan Hak Asasi Manusia. Banyak fakta menunjukkan hal itu justru terjadi pada masa damai,
antara lain seperti yang dialami oleh masyarakat etnis minoritas Moro Filipina dan Negro Amerika Serikat . Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat asli
indigeneous people, seperti masyarakat Aborogin Australia , Indian Amerika Serikat .
36
Ibid.
37
Ibid, hal. 91
namun hal itu terjadi pula di negara-negara maju. Dengan demikian maka pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat terjadi di manapun, tidak tergantung dari
sistem politik, ekonomi yang dianut oleh suatu negara maupun sistem sosial dan budaya yang hidup di negara tertentu.
Dalam masa damai, di lingkup nasional, perlindungan Hak Asasi Manusia sangat tergantung dari kemauan politik political will suatu negara dari pada
kehendak puhak lain, seperti institusi internasional misalnya PBB atau penerapan instrumen hukum internaisonal misalnya suatu international treaty.
Sebab, setiap negara akan menggunakan kedaulatannya secara penuh untuk menentukan setiap kebijakan dalam mengatur negaranya. Institusi internasional
seperti PBB atau suatu instrumen hukum Hak Asasi Manusia internasional memiliki berbagai keterbatasan untuk ’memaksakan’ kekuatan dan
kewenangannya. Dalam konteks persoalan Hak Asasi Manusia, kemauan polotik biasanya
diwujudkan dalam bentuk politik political statement yang ditindak lanjuti dengan meratifikasi instrumen hukum internasional, kemudian diformulasikan
menjadi aturan hukum nasional national regulation yang dimaksudkan untuk menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia.
Lembaran hitam pelanggaran Hak Asasi Manusia akan menjadi semakin bertambah panjang jika kita amati berbagai kejadian selama terjadinya perang.
Perkembangan teknologi persenjataan yang begitu pesat sangat berpengaruh terhadap akidat yang ditimbulkan perang. Akibat negatif yang muncul, terbukti
menimbulkan penderitaan terhadap umat manusia dan kerusakan lingkungan hidup.
Senjata nuklir, kimia dan biologi merupakan senjata-senjata permusuhan massal yang sangat berbahaya. Masih melekat dalam ingatan kita ketika senjata
biologi dan kimia dipergunakan selama Perang Teluk antara Irak melawan Iran, betapa dahsyat akibat yang ditimbulkannya. Walaupun penggunaan senjata kimia
dan biologi telah dilarang, namun banyak negara yang masih menyimpan, mempergunakan atau bahkan memproduksinya untuk kepentingan militer.
Sesungguhnya berbagai instrumen hukum internasional telah mengatur sarana-sarana yang boleh dan dilarang untuk dipergunakan dalam berperang.
Instrumen-instrumen tersebut antara lain, yaitu :
38
38
Arlina Permanasari, Op.Cit, hal. 22-46
1. St. Petersburg Declaration Renouncing the Use in War of Certain Explosive Projectiles, 1868.
Tujuan Deklarasi ini adalah untuk melarang penggunaan peluru yang apabila mengenai benda yang keras permukaannya dapat menyebabkan terjadinya
ledakan. 2. The Hague Declaration, 1899.
Deklarasi ini mengatur mengenai cara dan alat berperang yang memuat beberapa ketentuan yakni tentang larangan pelepasan peluru dan alat peledak
lainnya, larangan pemakaian peluru dalam penyebaran zat lemas atau gas-gas beracun lainnya, dan larangan pemakaian peluru yang dapat berkembang atau
dengan mudah menghancurkan tubuh manusia.
3. The Hague Convention IV, 1907. Konvensi ini mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, yang judul
lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land merupakan penyempurnaan konvensi II Den Haag Tahun 1899.
4. Geneva Protocol for the Prohibition of Poisonous Gases and Bacteriological Methods of Warfare, 1925.
Protokol ini dirumuskan dan ditndatangani dalam suatu konfrensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Larangan itu
mencakup larangan pemakaian gas air mata dalam perang dan pemakaian herbisida untuk kepentingan perang.
5. Protocol Addition I to the Geneva Conventions of 1949, 1977. Protokol I tambahan konvensi Jenewa merupakan tambahan dari konvensi-
konvensi Jenewa 1949. Protokol ini memuat tentang perbaikan perawatan bagi anggota-anggota angkatan bersenjata didarat yang luka dan sakit, serta sarana
dan metode berperang. 6. Convention on the Prohibitions or Restristions on the Use of Certain Weapons
which May be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects,1980.
Konvensi ini juga merupakan landasan hukum untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata lainnya yang dapt mengakibatkan penderitaan yang
berlebihan. Demi mencapai kemenangan, dalam peperangan biasanya para pihak akan
menggunakansegala upaya, namun seringkali cara-cara yang ditempuh melanggar
kaidah hukum humaniter, karena mereka beranggapan bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter bertentangan dengan tujuan dan kepentingan perang.
Berkenaan dengan Hak Asasi Manusia, perlakuan terhadap tawanan perang bagi kombatan combatan merupakan suatu hal yang sangat penting.
Sebab, menurut hukum humaniter seorang kombatan mempunyai status sebagai tawanan perang sehingga harus dilindungi dengan aturan hukum tersebut, dan
tidak dianggap atau diperlakukan sebagai krimina. Para pihak yang bertikai dalam suatu peperangan sering mengabaikan
aturan hukum humaniter yang berlaku. Genocide atau pemusnahan secara ”massive” terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh, merupakan suatu contoh
untuk menunjukkan betapa kejamnya perang tanpa pembatasan, sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Nazi yang telah membantai sekitar dua juta bangsa
Yahudi, Gipsi dan Slavia sebelum dan selama Perang Dunia II.
39
Berdasarkan instrumen hukum Hak Asasi Manusia internasional, ruang lingkup perlindungan Hak Asasi Manusia pada hakikatnya meliputi keseluruhan
sebstansi yang dimuat dalam ”Universal Declaration of Human RightsUDHR”, yang telah dianggap sebagai suatu ”common standard of achivement for all
peoples and nations”. Selanjutnya, untuk memperkuat UDHR, PBB telah
menyusun dua perjanjian internasional covenant yang bersifat mengikat secara hukum yaitu,”International Covenant on Civil and Political RightsICCPR”
39
Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter, Op.Cit, hal 93
beserta dua Protokol Tambahan dan ”International Covenant on Economic, Sosial and Cultural RightsICESCR”.
40
40
Ibid, hal. 97
Berdasarkan uraian terdahulu dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia tetap mendapat perlindungan di segala keadaan, dalam berbagai
instrumen hukum internasional. Dilihat dari keterkaitan pelaksanaan dan situasi yang terjadi damai atau
perang , Hak Asasi Manusia dapat kita bedakan lagi menjadi dua ketegori dan masing-masing memliki sifat yang khas, yaitu Hak Asasi Manusia yang
merupakan derogable rights dan non derogable rights. Derogable rights adalah hak-hak yang dapat ditunda pelaksanaannya
apabila dalam suatu negara terjadi keadaan darurat yang mengancam kehidupan dan eksistensi negara. Hak-hak yang dimaksud dan syarat-syarat untuk melakukan
derogation diatur dalam Pasal 4 ayat 3 ICCPR. Non-derogable rights adalah hak-hak yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam situasi bagaimanapun
karena telah dianggap sebgai ’ius cogens’. Menurut van Boven, hak-hak yang mempunyai karakteristik sebagai ’ius
cogens’ mengikat setiap negara, sekalipun tidak ada kewajiban yang diharuskan oleh konvensi atau tidak ada pernyataan persetujuan atau komentar apapun secara
khusus. Prinsip kemanusiaan adalah filosofi yang mendasari kedua sistem tersebut
yang tujuannya adalah memberikan perlindungan hak asasi manusia.
Selanjutnya, didalam bentuknya yang modern sebagai suatu asas dasar dari hukum humaniter internasional, maka asas prikemanusiaan ini untuk pertama kali
dirumuskan dengan tegas oleh J.J.Rousseau yang dinyatakan dalam contract social yaitu:
41
Dalam Mukadimah UDHR alinea ke-5 dinyatakan bahwa: “ Member State have pledged themselves to achieve, in cooperation with the United Nation, the
promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms”, dengan demikian setiap negara anggota PBB mempunyai
kewajiban moral untuk menghormati dan memajukan perlindungan Hak Asasi ” War then is a relation, not between man and man but between State and
State and individuals are enemies only accidentally, not as a men, nor even citizen as but as soldiers, not as members of the country but as its defenders… The object
or war being the destruction of hostile State, the other side has a right to kill its defenders, while they are bearing arms; but as soon as they lay them down and
surrender, they cease to be enemies or instruments of the enemy, and become once more merely men, whose life no one has any right to take”.
Maksud uraian diatas adalah bahwa dalam perang, pihak-pihak yang secara langsung terlibat didalamnya tidak merupakan individu-individu sebagai
perorangan ataupun sebagai warga negara, namun dalam kapasitasnya sebagai seorang prajurit. Karena itu ketika salah satu dari mereka meletakkan senjata dan
menyerah, maka statusnya kembali sebagai ‘manusia’ yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
41
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hal. 10
Manusia, dan terlebih lagi setiap negara merupakan bagian dari komunitas internasional yang saling bergantung satu sama dengan yang lainnya inter-
dependence .
42
Kewajiban tersebut diatas selanjutnya ditingkatkan “derajatnya” menjadi kewajiban hukum yang mengikat negara peserta, seperti yang dinyatakan
dalambagian Mukadimah alinea ke-4 dari ICCPR dan ICESCR yaitu: “…the obligation of State under the Charter of the United Nation to promote universal
respect for, and observance of, human rights and freedoms”.
43
Dalam bidang hukum tersebut humaniter, dengan terbentuknya Konvensi- Konvensi Jenewa 1949 satu tahun setelah lahirnya UDHR, perlindungan Hak
Asasi Manusia menjadi semakin kuat khususnya dalam situasi perang. Hal itu dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 Konvensi-Konvensi Jenewa bahwa “The
High Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this convention in all circumstances”.
44
Dalam hukum humaniter, perlindungan Hak Asasi Manusia tetap diberikan walaupun dalam kondisi tidak ada aturan hukum tertulis yang
mengaturnya, yaitu berdasarkan hukum kebiasaan internaisonal internasional Pernyataan diatas juga ditemukan dala Pasal 1 ayat 1 Protokol I 1977,
yaitu apabila Protokol ini tidak mengatur persoalan-persoalan yang terjadi dalam suatu konflk bersenjata, maka perlindungan Hak Asasi Manusia secara otomatis
tetap diberikan berdasarkan asas-asas hukum internasional yang diturunkan dari kebiasaan, asas0asas kemanusiaan dan rasa kesadaran umum.
42
Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter, Op.Cit, hal. 100
43
Ibid
44
Ibid
customary law . Hal itu diakomodasi di dalam Martens Clause, seperti yang dinyatakan dalam Mukadimah Konvensi Den Haag IV tahun 1970 The Hague
Convention IV 1970 bahwa :
45
Salah satu aspek penting dari suatu hukum yaitu mengenai penegakannya law enforcement. Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif apabila ia
dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang “Until a more complete code of the laws of war has been issued, the High
Contracting Parties deem it expedient to declare that, in case not included in the Regulation adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the
protection and the rule of principles of the law of nations, as they result from the usages established among civilized people, from the laws of humanity, and
dictates of public conscience”. Secara ringkas, khususnya ini menentukan bahwa apabila hukum
humaniter belum mengatur sebuah ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-
prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab yakni berdasarkan hukum kemanusiaan serta dari
pendapat masyarakat.Klausula Materns sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-
norma kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata.
C. Mekanisme Penegakan Hak Asasi Manusia