BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan bahwa dalam situasi konflik perang Hukum Humaniter telah membuat beberapa
Peraturan Internasional mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil untuk menjamin kepastian perlindungan Hak Asasi Manusia bagi para penduduk sipil
yang sering menjadi korban dalam peperangan. Penelaah keputusan-keputusan tersebut dalam hubungannya dengan perlindungan penduduk sipil di masa perang
akan dilakukan sesuai dengan waktu perkembangannya meskipun disadari bahwa sebenarnya keputusan-keputusan tersebut masing-masing berdiri sendiri dan
mempunyai lingkup pengaturan materi yang berbeda satu dengan yang lain. Tujuan hukum Hak Asasi Manusia adalah melindungi individu-individu
dari kesewenang-wenangan negara. Sedangkan hukum humaniter dimaksudkan untuk memberikan batasan-batasan sampai seberapa jauh suatu perang
diperbolehkan. Tetapi hal itu bukan berarti hukum humaniter melegalisasi perang, namun untuk mengurangi secara maksial akibat negatif yang tidak perlu dari
perang. Perlindungan Hak Asasi Manusia telah diatur dalam berbagai instrumen
hukum internasional pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kedua sistem hukum tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan Hak Asasi
Manusia secara maksimal.
B. Saran
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua sistem hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional tidak saling bersaing, melainkan
saling melengkapi. Diharapkan dalam perkembangan masing-masing, kedua sistem ini dapat saling mempengaruhi agar perlindungan yang diberikan oleh
hukum humaniter internasional dan Hak Asasi Manusia akan semakin kuat, sehingga hak dan kebebasan setiap manusia semakin terjamin dalam hukum
internasional. Agar pelaksanaan Hak Asasi Manusia dapat efektif, perlu adanya
peninjauan kembali terhadap komponen substansi kultur dengan mengadakan sinkronisasidan interpretasi terhadap dokumen Hak Asasi Manusia universal dan
nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya. Harmonisasi peraturan Hak Asasi Manusia dapat terjadi apabila tercipta suatu gerakan moral antara
pembuat Undang-Undang, pemegang peran dan birokrat pelaksanaanya.
BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER
DAN HAK AZASI MANUSIA
A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia
Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan,
5
bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya
mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan jenis kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu
merugikan umat manusia sehingga kemudian orang mengadakan pembatasan- pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara
bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum
yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.
6
Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi kekejaman-kekejaman, ini hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari
pada naluri untuk mempertahankan diri yang berlaku dalam pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama
tuanya dengan sejarah umat manusia.
7
5
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 9
6
Ibid.
7
Syahmin AK.,Op.Cit, hal. 6
Perlu pula ditegaskan bahwa studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum Internasional.
Istilah yang dimaksud adalah International Humanitarian Law diterjamahkan dengan Hukum Humaniter Internasional.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum “humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan perlindungan korban perang,
berlainan dengan hukum perang yang mengatur hukum perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” Panitia tetap
Pantap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan merumuskan “Hukum Humaniter sebagai keseluruhan azas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak azasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat
dan martabat seseorang.
8
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :
9
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang Hukum Den Haag The Hague Laws ; 2.
Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang Hukum Jenewa The Geneva Laws.
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut :
10
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata ;
8
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Comitee of The Red Cross., Jakarta., 1999., hal. 9-10.
9
Ibid., hal. 5
10
Syahmin Ak., Op.Cit., hal. 5
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2
dua yaitu : a.
Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang conduct of war. Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri
dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Istilah hukum sengketa bersenjata law of armed confilict sebagai
pengganti hukum perang law of war banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan kedua prokol tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya,
yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan humanity
principle. Perlakuan Hukum Humaniter Internasional, sebagai ius in belo hukum
yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum hukum tentang keabsahan tindakan perang. Dengan kata lain, Hukum
Humaniter Internasional mengikat para pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.
Hukum Humaniter Internasional sendiri berkembang ketika use of force penggunaan tindakan keras atau perang merupakan suatu tindakan yang sah
dalam hubungan Internasional, yaitu ketika menutut ius ad bellum negara-negara dianggap mempunyai hak untuk berperang. Saat ini, dalam masyarakat
Internasional, yaitu ketika menurut ius ad bellum telah berubah menjadi ius contra bellum hukum yang melarang perang, sebagaimana ditegaskan dalam Piagam
PBB, setiap negara dilarang menggunakan tindakan keras, kecuali sebagai pertahanan sendiri atau pertahanan bersama, tindakan penegakan dari Dewan
Keamanan PBB, atau mungkin dalam rangka menegakkan hak rakyat untuk menentukan nasibnya Perang Pembebasan Nasional. Serupa halnya dengan
hukum Internasional, semua hukum nasional juga melarang warganya menggunakan tindakan keras terhadap pemerintah atau badan-badan penegak
hukumnya.
11
Secara logika, suatu negara yang melakukan peperangan dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran suatu hukum Internasional, yaitu melanggar ius
contra bellum atau ius ad bellum. Selanjutnya, dalam peperangannya, para pihak harus menghormati dan melaksanakan ius in bello Hukum Humaniter
Internasional. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional ketika hubungan sesama anggota masyarakat Internasional terkait sedang berada dalam keadaan
tidak damai. Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional dapat dijadikan batu ujian mengenai ketaatan negara terhadap kesepakatan Internasional,
khususnya kesepakatan untuk meminimalkan korban konflik.
12
Hukum Humaniter Internasional terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum Internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan
musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik
11
Ambarwati., Hukum Humaniter Internasional dalam studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers., 2009., hal. 48.
12
Ibid., hal. 51
bersenjata. Andai kata tidak ada kaidah-kaidah hukum demikian, maka kebiadaban dan kebrutalan perang tidak akan dapat dikekang lagi. Ketentuan-
ketentuan hukum dan kebiasaan ini telah timbul dari praktek-praktek yang berlangsung lama dari pihak-pihak yang berperang.
Walaupun Hukum Humaniter Internasional merupakan aturan-aturan yang akan diberlakukan pada waktu perang, persiapan pelaksanaannya harus disiapkan
semenjak masa damai, baik oleh masing-masing negara maupun dalam hubungan antarnegara. Demikian telah disepakati oleh masyarakat internasional,
sebagaimana termuat dalam berbagai perjanjian internasional hukum humaniter. Kesepakatan tersebut dapat dipahami mengingat, pada waktu perang kesepakatan
mempersiapkan pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional akan semakin berkurang dibanding keinginan para pihak untuk mengejar tujuan perang masing-
masing. Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari
sudut pandang Hukum Humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum Humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang
dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk
memanusiawikan perang.
13
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan antara lain sebagai berikut :
14
13
Ibid., hal. 12.
14
Syahmin Ak., Op.Cit., hal. 8
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu. 2.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3.
Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sisi yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.
4. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.
Memang benar kaidah-kaidah ini seringkali dan secara luas dilanggar, tetapi tanpa kaidah-kaidah hukum ini kebrutalan perang umum sama sekali tidak
dapat dikendalikan. Mungkin tidak realistis, dalam kaitan ini, untuk mengabdikan dampak dari apa yang dinamakan “tombol” perang di masa mendatang, yang
dialkukan dengan peluru-peluru kendali senjata nuklir, dan senjata-senjata lainnya. Kecenderungan pada depersonalisasi perang yang menjadi antitetis dari
humanisasi perang, merupakan suatu ancaman berat terhadap keberadaan Hukum Humaniter Internasional.
Karena keberadaan kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional adalah untuk kepentingan individu-individu, maka tampak bahwa dalam kasus suatu
konflik yang melanggar hukum, yang dilakukan oleh negara agresor, kaidah- kaidah hukum ini bagaimanapun juga mengikat negara-negara yang diserang dan
anggota angkatan bersenjatanya yang karenanya menguntungkan negara agresor dan angkatan bersenjatanya. Namun, negara agresor itu kemungkinan dihukum
sampai sejauh, selama berlangsungnya konflik, negara-negara netral atau negara-
negara yang tidak terlibat perang dapat melakukan diskriminasi terhadapnya, atau dengan alasan fakta bahwa pada saat berakhirnya permusuhan-permusuhan di
negara itu harus memikul beban penggantian kerugian atau untuk mengembalikan wilayah yang diperoleh secara ilegal. Kaidah-kaidah itu tentu harus berlaku pula
terhadap konflik-konflik bersenjata non-perang.
15
Salah satu dari perkembangan besar yang terjadi pada dasawarsa terakhir dan yang secara luas menjelaskan penggantian nama dari cabang hukum
internasional ini, “hukum perang” menjadi namanya sekarang “Hukum Humaniter Internasional” adalah masuknya kaidah-kaidah hak-hak manusia dan standar
hidup manusia kedalam konflik bersenjata. Telah terbentuk jembatan antara Kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional adalah mengikat bukan
saja terhadap negara-negara sendiri, melainkan terhadap individu-individu, termasuk anggota bersenjata, kepala negara, menteri-menteri dan pejabat-pejabat
lain. Juga kaidah-kaidah hukum tersebut perlu mengikat terhadap pasukan perserikatan bangsa-bangsa yang terlibat dalam suatu konflik militer, terutama
karena perserikatan bangsa-bangsa adalah subjek hukum Internasional dan terikat oleh seluruh kaidah hukum Internasional, dimana Hukum Humaniter merupakan
bagian dari padanya. Juga ada pertimbangan bahwa apabila pasukan-pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak terikat oleh kaidah-kaidah hukum tersebut, dan
dilihatkan dalam operasi-operasi terhadap suatu negara yang mana pasukan- pasukan negara itu tunduk kepada hukum perang, tetapi tidak demikian dengan
pasukan PBB.
15
Mochtar Kusumaatmadja., Op.Cit., hal. 729.
doktrin hak-hak manusia dan standar hidup manusia kedalam konflik bersenjata. Telah terbentuk jembatan antara doktrin hak-hak manusia dan kaidah-kaidah
hukum internasional yang berlaku dalam konflik-konflik bersenjata. Sejarah telah menunjukkan bahwa pemaknaan Hak Asasi Manusia
senantiasa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu menunjukkan bahwa Hak Asasi Manusia tidak statis, namun bersifat dinamis
dan mengikuti pandangan yang berkuasa sesuai zamannya. Hak asasi manusia dapat didefinisikan secara umum “as those rights which
are inheret in our nature and without which we cannot live as human beings.” Artinya, manusia dikaruniai Hak Asasi Manusia oleh Tuhan sejak lahir, karena
sifat Hak Asasi Manusia selalu merekat pada diri manusia.
16
16
Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum Humaniter., Fakultas Hukum – Universitas Trisaksi, Jakarta, 1999, hal. 96.
Dengan demikkian Hak Asasi Manusia tidak dapat dirampas atau dihapuskan oleh penguasa negara, kecuali oleh Tuhan. Hal tersebut merupakan
suatu konsekwensi logis mengingat eksistensi Hak Asasi Manusia tidak tergantung dari penguasa malahan penguasa negara berkewajiban menanggung
beban untuk melindungi Hak Asasi Manusia dengan suatu aturan hukum tertentu. Ruang lingkup perlindungan Hak Asasi Manusia semakin kompleks, yaitu
meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hal itu terlihat dimulai dari hak-hak individual kemudian
beralih kepada perlindungan hak-hak yang lebih bersifat kolektif.
Hukum Hak Azasi Manusia Internasional IHRL adalah cabang hukum internasional yang bidang kajiannya berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.
17
Secara umum, diketahui bahwa Hukum Humaniter Internasional modern, sebagai bagian atau cabang dari hukum internasional publik, mulai diformulasikan
pada tahun 1864 dalam Konvensi Jenewa Tentang Perawatan Terhadap Orang- orang Angkatan Bersenjata yang terluka dan sakit di Medan Perang selanjutnya
disebut Konvensi Jenewa 1864. Sebenarnya, cukup banyak norma-norma atau aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional modern saat ini yang telah ada dan
dikenal sebagai aturan dalam peperangan yang dilaksanakan oleh kesatuan- kesatuan tentara di berbagai belahan dunia semenjak 3000 sebelum Masehi.
Aturan-aturan tersebut sering disebut dengan hukum perang tradisional. Di samping itu, norma-norma Hukum Humaniter Internasional juga dapat ditemui
dalam ajaran-ajaran agama sebagaimana tertulis dalam kitab suci agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam.
Oleh karena Hak Asasi Manusia berdimensi internasional, yaitu Hak Asasi Manusia
telah mengandung nilai-nilai yang bersifat Universal, maka dapat dikatakan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia telah menjadi suatu persoalan
internasional. Pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak lagi dapat diklaim sebagai urusan dalam negeri suatu negara semata-mata.
B. Sejarah dan perkembangan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia