Penerapan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Orang Sipil

BAB IV PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

TERHADAP PENDUDUK SIPIL

A. Penerapan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Orang Sipil

Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional pada orang sipil tergantung pengaturan orang sipil itu dalam Hukum Humaniter Internasional dan pengaturan orang sipil dalam Hukum Nasional yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena Hukum Humaniter Internasional yang hendak diterapkan merupakan bagian dari hukum internasional sedang orang sipil yang hendak diterapi ketentuan Hukum Humaniter Internasional itu berada dalam yuridiksi Hukum Nasional suatu negara. Berdasarkan kenyataan itu uraian ini akan menelaah kemungkinan penerapan Hukum Humaniter Internasional beserta perlindungan yang ditetapkan pada orang sipil menurut pengaturan Hukum Humaniter Internasional dan diikuti penelaahan kemungkinan penerapan Hukum Humaniter Internasional beserta perlindungan yang ditetapkan menurut pengaturan Hukum Nasional. Pengaturan orang sipil dan perlindungannya dalam Hukum Humaniter Internasional dapat dibedakan menurut bentuk isinya. Menurut bentuknya pengaturan Hukum Humaniter Internasional itu tertuang dalam hukum internasional kebiasaan dan dalam hukum internasional perjanjian. Jumlah pengaturan itu cukup banyak. Di samping itu masing-masing satuan pengaturan itu berdiri sendiri. Satuan pengaturan yang satu terlepas berlakunya dari satuan pengaturan yang lain. Dari jumlah pengaturan itu Hukum Humaniter Internasional kebiasaan yang hendak dibicarakan dalam uraian ini terutama adalah Instruksi Lieber tahun 1863. Adapun Hukum Humaniter Internasional perjanjian yang hendak dibicarakan dalam naskah ini terutama Konvensi Jenewa tahun 1861. Konvensi Den Haag tahun 18991907, Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol tahun 1977 Tambahan pada Konvensi Jenewa tahun 1949. 50 Instruksi Pemerintah Amerika Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan menggunakan kata-kata seperti ”unarmed citizens”, ”private citizens”, inoffensive citizens”, ”private individuals” dan ”non-combatant” merupakan beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil menurut pengertian naskah ini. Instruksi ini membedakan orang sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang ”inoffensive”, orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dala pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka Instruksi tersebut menetapkan perlindungan dan larangan.

1. Instruksi Lieber Tahun 1863

51 Orang sipil yang ”inoffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindahpaksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang disipil yang turut serta 50 Fadillah Agus., Op.Cit., hal. 42 51 Ibid., hal. 43 langsung dalam permusuhan sebagai peserta ”levee en masse” diberi kedudukan sebagai ”belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang. Disamping perlindungan itu Instruksi tersebut juga menetapkan larangan bagi penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang sipil. Di wilayah penduduk orang sipil dilarang melakukan perlawanan bersenjata. Ketentuan Hukum Humaniter Internasional dalam Intruksi Lieber 1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan Hukum Humaniter Internasional kebiasaan. 52 Konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang dan terdiri dari empat konvensi. Konvensi yang pertama, kedua dan ketiga tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang anggota angkatan perang. Di samping itu Konvensi Jenewa keempat tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang

2. Konvenesi Jenewa Tahun 1864 dan 1949

Konvensi Jenewa Tahun 1864 merupakan perjanjian internasional Hukum Humaniter Internasional pertama yang menetapkan perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi korban perang itu menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka dimedan perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga mengatur tingkah laju orang sipil dalam pertikaian bersenjata beserta perlinduangannya. 52 Ibid. orang sipil. Walaupun demikian secara eksplisit Konvensi Jenewa I, II dan III tahun 1949 itu tidak menetapkan batasan pengertian ”belligerent” kombatan ataupun anggota angkatan perang, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Tetapi konvensi-konvensi itu menetapkan orang yang dilindungi masing-masing Konvensi tersebut. Orang yang dilindungi Konvensi Jenewa I, II dan III tahun 1949 terdiri dari enam kelompok orang yang sama, yakni : 53 1. Anggota angkatan perang dari Pihak yang bertikai ; 2. Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan perlawanan dari Pihak yang tertikai yang memenuhi persyaratan tertentu ; 3. Anggota angkatan perang dari Penguasa yang tidak diakui Negara Penahan ; 4. Anggota yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggotanya ; 5. Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang bertikai ; 6. Peserta ”levee en masse”. Konvensi Jenewa IV merupakan perjanjian internasional yang khusus mengatur perlindungan penduduk sipil di masa perang. ”Prinsip yang mendasari perlindungan penduduk sipil ini ialah prinsip penghormatan pribadi manusia dan prinsip tidak dapat diganggu gugatnya hak-hak dasar pribadi manusia baik pria maupun wanita” 54 53 Ibid, hal. 46 54 Ibid. Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 itu tidaklah mencakup semua orang sipil. Orang sipil yang dilindungi Konvensi ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang berada di tangan musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang diduduki, maupun diwilayah pertempuran. Adapun perlindungan yang ditetapkan bagi mereka itu di antaranya ialah : 55 1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang menguasainya di wilayah pihak yang tertikai, di wilayah pendudukan, di interniran ; 2. Bantuan kantor penerangan ; 3. Penghormatan pribadi manusia ; 4. Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria ataupun wanita ; 5. Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan ; 6. Kesempatan meninggalkan wilayah musuh ; 7. Jaminan mendapatkan makan dan obat-obatan di wilayah pendudukan. Protokol tahun 1977 tambahan pad konvensi Jenewa tahun 1949. Sesuai dengan namanya Protokol tahun 1977 tambahan pada KJ tahun 1949 Protokol tahun 1977 merupakan tambahan dari Konvensi Jenewa tahun 1949. Penambahan itu ditetapkan karena adanya perkembangan pengertian pertikaian bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu yang lalu. Namun dilihat dari isi Protokol tahun 1977 itu juga merupakan tambahan Konvensi Den Haag, karena Protokol yang juga mengatur cara dan sarana pertikaian bersenjata. 55 Ibid. hal. 47. Protokol tahun 1977 terdiri dari dua Protokol, yaknik Protokol I dan Protokol II tahun 1977. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang Perlindungan korban pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Protokol II tahun 1977 mengatur Perlindungan korban pertikaian bersenjata yang bersifat non internasional. Berbeda dengan perjanjian internasional yang lain. Protokol I tahun 1977 secara eksplisit menetapkan batasan pengertian orang sipil. Pada dasarnya orang sipil, menurut Protokol 1977, diartikan sebagai setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata adalah kombatan, yakni mereka yang berhak ikut serta dalam permusuhan. 56 Protokol I dan II Tahun 1977 menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Protokol I tahun 1977 menetapkan : 57 1. Larangan menyerang orang sipil ; 2. keharusan dilakukannya penghati-hati dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil ; 3. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil ; 4. Larangan permindahan paksa orang sipil ; 5. Jaminan mendapatkan bantuan ; 6. Kesempatan memberi bantuan korban pertikaian bersenjata. Protokol II tahun 1977 menetapkan : 58 1. Perlindungan terhadap operasi militer ; 2. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran pertikaian bersenjata ; 56 Arlina Permanasari., Op.Cit., hal. 204. 57 Fadillah Agus, Op.Cit., hal 49. 58 Ibid 3. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian ; 4. Larangan menyerang bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan berbahaya ; 5. Larangan pemindahan paksa orang sipil ; 6. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian bersenjata.

3. Deklarasi ST. Petersburg Tahun 1868

Deklarasi St. Petersburg tahun 1868 merupakan perjanjian interasioal pertama yang melarang penggunaan senjata tertentu di dalam perang. Meskipun Deklarasi ini secara eksplisit tidak mengatur orang sipil. Deklarasi ini secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan itu ditetapkan dengan dicantumkannya asas pembedaan antara orang sipil dan kombatan didalam konsideransnya. Konsiderans itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dituju dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata musuh. Yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh. Yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh, yakni orang sipil. Dalam pada itu ketentuan PDH itu menjelang tahun 1939 telah diakui oleh semua negara dan dianggap sebagai perumusan hukum kebiasaan perang.

4. Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan Tahun 1907

Konvensi yang ditetapkan pada tahun 1899 dan tahun 1907 itu sama-sama menetapkan Peraturan tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang sering juga disebut Peraturan Den Haag. Dua Peraturan Den Haag itu hampir sama isinya. Peraturan Den Haag tahun 1907 mema ng dimaksudkan sebagai penyempurnaan dari Peraturan Den Haag dari tahun 1899. Karena penyempurnaan itu hanya sedikit dua Peraturan itu lazim dibahas bersama. Peraturan Den Haag tersebut terutama mengatur ”belligerents”, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. ”Belligerents” adalah mereka yang tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka itu adalah kombatan. Peraturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Namun dalam PDH itu terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur orang-orang yang tidak tergolong ”belligerents”, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan. Mereka itu adalah orang sipil. Peraturan Den Haag melindungi orang sipil yang berada di wilayah pendudukan. Perlindungan yang ditetapkan Peraturan Den Haag itu merupakan perlindungan orang sipil terhadap tindakan sewenang- wenang dari musuh yang menguasainya. Perlindungan itu memang ditetapkan dalam rangka mengatur kekuasaan militer atas wilayah mushu. Garis besar perlindungan itu adalah sebagai berikut : 59 1. Larangan pemaksaan orang sipil memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan bertikai atau tentang pelengkapan pertahannya ; 2. Larangan meminta sumpah kepada orang sipil untuk setia kepada penguasa pendudukan ; 3. Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil ; 4. Larangan menjarah-rayah penduduk sipil ; 5. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain yang sewenang-wenang ; 6. Larangan penghukuman kolektif para orang sipil ; 7. Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenang-wenang. 59 Ibid, hal. 45

B. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil