Analisis komparatif keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (Asean+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)

(1)

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN

INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL

DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN

NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)

OLEH

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

RINGKASAN

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan PITER ABDULLAH).

Inflasi selalu menjadi salah satu isu makroekonomi yang dianggap sangat penting. Hal ini dikarenakan stabilitas harga yang merupakan salah satu ukuran stabilitas ekonomi sangat berkaitan dengan fenomena inflasi. Inflasi dapat menjadi ancaman kondisi perekonomian diseluruh dunia terutama dikarenakan kecenderungan meningkatnya laju inflasi, baik di kawasan Asia dan non Asia. Dengan demikian menelaah lebih lanjut faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku inflasi perlu dilakukan. Nilai tukar riil yang menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan inflasi akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan bahkan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, pada akhirnya di bulan Agustus 1997 Indonesia menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas). Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (negara penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi. Dengan kata lain, fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.

Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil


(3)

di berbagai kawasan di dunia, dalam hal ini adalah kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 1991 sampai 2005 dan data cross-section yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF), Bloomberg, dan sebagainya. Model penelitian ini mengacu pada model Kamin dan Klau (2003). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan perdagangan bebas ASEAN maka dimasukkan pula tiga negara lainnya yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.

Hasil analisis eksploratif dan Granger Causality Test untuk melihat hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil menunjukkan bahwa ternyata terdapat korelasi yang kuat antara pergerakan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negara-negara. Pada kawasan Asia yang berlaku adalah hubungan kausalitas satu arah dimana baik tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil secara signifikan memiliki pengaruh terhadap laju inflasi. Sedangkan untuk kawasan non Asia hubungan kausalitas satu arah justru terjadi dimana laju inflasi yang memiliki pengaruh secara signifikan baik terhadap tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil.

Selanjutnya metode panel data dengan model fixed effect (efek tetap) atau dapat disebut General Least Square (GLS) disertai pembobotan cross section pada model seluruh kawasan, menunjukkan hasil interaksi dummy kawasan dengan setiap variabel yang mempengaruhi laju inflasi ternyata signifikan. Hal ini menunjukkan model dapat dibagi menjadi dua yaitu model kawasan Asia dan model kawasan non Asia. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan pola perilaku variabel RER1, DPF, DE terhadap laju inflasi antara kawasan Asia dan non Asia. Dummy krisis yang dimasukkan dalam model menunjukkan bahwa adanya perbedaan perilaku inflasi antara sebelum dan sesudah terjadinya Asian Financial Crisis (AFC) hanya berlaku di kawasan Asia. Selain itu, ditemukan bahwa respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil lebih tinggi di kawasan Asia dibandingkan kawasan non Asia.

Secara keseluruhan, baik analisis eksploratif, Granger Causality Test, maupun estimasi model panel data memperlihatkan hasil yang sejalan yaitu terdapat keterkaitan yang erat antara nilai tukar riil dan laju inflasi, dimana nilai tukar riil signifikan berpengaruh terhadap laju inflasi untuk kawasan Asia. Keterbatasan penelitian ini adalah time series yang digunakan masih terlalu pendek, selain itu penelitian ini juga hanya menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan di dunia secara umum. Sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan lain di dunia.


(4)

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN

INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL

DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN

NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)

Oleh

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi Nomor Registrasi Pokok : H14103085

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika

Utara)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Noer Azam Achsani, Ph. D. Piter Abdullah, M.A. NIP. 132 014 445 PPSK- Bank Indonesia

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085


(7)

RIWAYAT HIDUP

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi. Dilahirkan pada tanggal 14 Juni 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Timur. Penulis anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Achmad Fauzi Fauzan dan Sayekti Daruningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Panaragan 1 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di kota tempat tinggalnya selama 15 tahun ini. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan berbagai kegiatan penulisan karya tulis. Penulis mendapatkan beberapa penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara III Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan tingkat IPB tahun 2005, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa dalam rangka Lustrum VI Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2006, Peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi tingkat FEM-IPB tahun 2006, Finalis Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penulisan Ilmiah Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS) XIX di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2006, Juara II LKTM Young Economist Icon IPB tahun 2006 dan menerima beasiswa penelitian dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia tahun 2007. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Ekonomi Umum (2005-2007), Ekonomi Dasar 2 (2006), Mikroekonomi 1 (2006) dan Makroekonomi 1 (2006).


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapat kemudahan serta kemampuan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)”. Kajian terhadap inflasi dan nilai tukar merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap upaya menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Noer Azam Achsani, Ph.D dan Piter Abdullah, M.A dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu serta bimbingan dengan sabar kepada penulis baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E., M.Si dan Jaenal Effendi, M.A selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberikan saran-saran dan ilmu yang bermanfaat.

3. Sahara, M.Si, Tanti Novianti, M.Si, Widyastutik, M.Si, Lindawati, S.Pi, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi atas pengalaman yang berharga.

4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Achmad Fauzi Fauzan dan Ibunda Sayekti Daruningsih atas doa dan dukungannya. Untuk seluruh keluarga penulis yang telah banyak membantu. Terimakasih pula kepada Tony Irawan atas paket lengkap berisi ilmu, doa, semangat, dan perhatian yang diberikan.


(9)

5. Seluruh teman IE angkatan 40. Teman-teman seperjuangan Heni, Dian VP, Apsari, Gilman, Bunda, Andin, Ratih, Echa, Weni, Abah, Kakek, Yogi, Kak Edi Sumanto, Kak Nova Mardianti, Kak Fickry, Kak Ade Holis, teman-teman angkatan 37, 38, 39, 41 dan 42.

6. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Semua saran dan kritikan dari berbagai pihak merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, apabila terdapat kesalahan dalam penelitian ini, hal ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Inflasi . ... 11

2.2. Nilai Tukar ... 14

2.2.1. Sistem Nilai Tukar ... 15

2.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar ... 17

2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap) ... 19

2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi.. ... 20

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 21

2.7. Kerangka Pemikiran ... 23

III.METODE PENELITIAN 3.1. Data ... 25

3.2. Metode Analisis Data ... 26

3.2.1. Analisis Eksploratif. ... 26

3.2.2. Granger Causality Test. ... 27

3.2.3. Metode Hodrick-Prescott Filter... 28

3.2.4. Model Panel Data ... 29

3.2.5. Evaluasi Model ... 38

3.3. Model Penelitian ... 40

3.4. Batasan dalam Penelitian ... 42

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Eksploratif. ... 44


(11)

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN

INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL

DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN

NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)

OLEH

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

RINGKASAN

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan PITER ABDULLAH).

Inflasi selalu menjadi salah satu isu makroekonomi yang dianggap sangat penting. Hal ini dikarenakan stabilitas harga yang merupakan salah satu ukuran stabilitas ekonomi sangat berkaitan dengan fenomena inflasi. Inflasi dapat menjadi ancaman kondisi perekonomian diseluruh dunia terutama dikarenakan kecenderungan meningkatnya laju inflasi, baik di kawasan Asia dan non Asia. Dengan demikian menelaah lebih lanjut faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku inflasi perlu dilakukan. Nilai tukar riil yang menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan inflasi akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan bahkan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, pada akhirnya di bulan Agustus 1997 Indonesia menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas). Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (negara penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi. Dengan kata lain, fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.

Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil


(13)

di berbagai kawasan di dunia, dalam hal ini adalah kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 1991 sampai 2005 dan data cross-section yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF), Bloomberg, dan sebagainya. Model penelitian ini mengacu pada model Kamin dan Klau (2003). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan perdagangan bebas ASEAN maka dimasukkan pula tiga negara lainnya yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.

Hasil analisis eksploratif dan Granger Causality Test untuk melihat hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil menunjukkan bahwa ternyata terdapat korelasi yang kuat antara pergerakan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negara-negara. Pada kawasan Asia yang berlaku adalah hubungan kausalitas satu arah dimana baik tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil secara signifikan memiliki pengaruh terhadap laju inflasi. Sedangkan untuk kawasan non Asia hubungan kausalitas satu arah justru terjadi dimana laju inflasi yang memiliki pengaruh secara signifikan baik terhadap tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil.

Selanjutnya metode panel data dengan model fixed effect (efek tetap) atau dapat disebut General Least Square (GLS) disertai pembobotan cross section pada model seluruh kawasan, menunjukkan hasil interaksi dummy kawasan dengan setiap variabel yang mempengaruhi laju inflasi ternyata signifikan. Hal ini menunjukkan model dapat dibagi menjadi dua yaitu model kawasan Asia dan model kawasan non Asia. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan pola perilaku variabel RER1, DPF, DE terhadap laju inflasi antara kawasan Asia dan non Asia. Dummy krisis yang dimasukkan dalam model menunjukkan bahwa adanya perbedaan perilaku inflasi antara sebelum dan sesudah terjadinya Asian Financial Crisis (AFC) hanya berlaku di kawasan Asia. Selain itu, ditemukan bahwa respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil lebih tinggi di kawasan Asia dibandingkan kawasan non Asia.

Secara keseluruhan, baik analisis eksploratif, Granger Causality Test, maupun estimasi model panel data memperlihatkan hasil yang sejalan yaitu terdapat keterkaitan yang erat antara nilai tukar riil dan laju inflasi, dimana nilai tukar riil signifikan berpengaruh terhadap laju inflasi untuk kawasan Asia. Keterbatasan penelitian ini adalah time series yang digunakan masih terlalu pendek, selain itu penelitian ini juga hanya menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan di dunia secara umum. Sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan lain di dunia.


(14)

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN

INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL

DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN

NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)

Oleh

ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi Nomor Registrasi Pokok : H14103085

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika

Utara)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Noer Azam Achsani, Ph. D. Piter Abdullah, M.A. NIP. 132 014 445 PPSK- Bank Indonesia

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085


(17)

RIWAYAT HIDUP

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi. Dilahirkan pada tanggal 14 Juni 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Timur. Penulis anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Achmad Fauzi Fauzan dan Sayekti Daruningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Panaragan 1 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di kota tempat tinggalnya selama 15 tahun ini. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan berbagai kegiatan penulisan karya tulis. Penulis mendapatkan beberapa penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara III Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan tingkat IPB tahun 2005, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa dalam rangka Lustrum VI Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2006, Peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi tingkat FEM-IPB tahun 2006, Finalis Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penulisan Ilmiah Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS) XIX di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2006, Juara II LKTM Young Economist Icon IPB tahun 2006 dan menerima beasiswa penelitian dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia tahun 2007. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Ekonomi Umum (2005-2007), Ekonomi Dasar 2 (2006), Mikroekonomi 1 (2006) dan Makroekonomi 1 (2006).


(18)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapat kemudahan serta kemampuan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)”. Kajian terhadap inflasi dan nilai tukar merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap upaya menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Noer Azam Achsani, Ph.D dan Piter Abdullah, M.A dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu serta bimbingan dengan sabar kepada penulis baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E., M.Si dan Jaenal Effendi, M.A selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberikan saran-saran dan ilmu yang bermanfaat.

3. Sahara, M.Si, Tanti Novianti, M.Si, Widyastutik, M.Si, Lindawati, S.Pi, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi atas pengalaman yang berharga.

4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Achmad Fauzi Fauzan dan Ibunda Sayekti Daruningsih atas doa dan dukungannya. Untuk seluruh keluarga penulis yang telah banyak membantu. Terimakasih pula kepada Tony Irawan atas paket lengkap berisi ilmu, doa, semangat, dan perhatian yang diberikan.


(19)

5. Seluruh teman IE angkatan 40. Teman-teman seperjuangan Heni, Dian VP, Apsari, Gilman, Bunda, Andin, Ratih, Echa, Weni, Abah, Kakek, Yogi, Kak Edi Sumanto, Kak Nova Mardianti, Kak Fickry, Kak Ade Holis, teman-teman angkatan 37, 38, 39, 41 dan 42.

6. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Semua saran dan kritikan dari berbagai pihak merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, apabila terdapat kesalahan dalam penelitian ini, hal ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Inflasi . ... 11

2.2. Nilai Tukar ... 14

2.2.1. Sistem Nilai Tukar ... 15

2.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar ... 17

2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap) ... 19

2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi.. ... 20

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 21

2.7. Kerangka Pemikiran ... 23

III.METODE PENELITIAN 3.1. Data ... 25

3.2. Metode Analisis Data ... 26

3.2.1. Analisis Eksploratif. ... 26

3.2.2. Granger Causality Test. ... 27

3.2.3. Metode Hodrick-Prescott Filter... 28

3.2.4. Model Panel Data ... 29

3.2.5. Evaluasi Model ... 38

3.3. Model Penelitian ... 40

3.4. Batasan dalam Penelitian ... 42

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Eksploratif. ... 44


(21)

4.2. Granger Causality Test ... 49

4.3. Model Seluruh Kawasan (Model 1) ... 51

4.4. Model Kawasan Asia (Model 2) ... 58

4.5. Model Kawasan Non Asia (Model 3). ... 62

4.6. Perbandingan Model Antar Kawasan ... 65

4.7. Implikasi dari Hasil Penelitian ... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 75

5.2. Saran. ... 76

DAFTAR PUSTAKA. ... 77


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN

Tahun 1992 – 2000 ( Persen )... 7 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi. ... 39 4.1. Granger Causality Test. ... 49 4.2. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan

Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity

untuk Seluruh Kawasan... 53 4.3. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan

Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity

untuk Kawasan Asia... 60 4.4. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan

Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity

untuk Kawasan Non Asia... 63 4.5. Neraca Pembayaran Indonesia, 1996-2002 (dalam juta Dollar US) ... 68 4.6. Komposisi Nilai Barang Impor Indonesia, Tahun 1987-2002 ... 71


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 24 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ... 36 4.1. Pergerakan Inflasi dan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia ... 45 4.2. Trend Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia ... 47


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Granger Causality Test ... 80 2. Hausman Test dengan Menggunakan Eviews 4.1 ... 87 3. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan model efek tetap

dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White

Heteroskedasticity untuk Seluruh Kawasan ... 88 4. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap

dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White

Heteroskedasticity untuk Kawasan Asia... 89 5. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap

dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White

Heteroskedasticity untuk Kawasan Non Asia... 90 6. Neraca Pembayaran Indonesia, 1996-2002 (Juta Dollar US) ... 81


(25)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indikator dasar makroekonomi dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi perekonomian suatu negara. Salah satu dari indikator dasar makroekonomi tersebut adalah inflasi. Umumnya laju inflasi digunakan untuk mengukur sejauh mana perekonomian suatu negara mampu mempertahankan stabilitas kegiatan perekonomiannya. Secara konseptual, inflasi dapat disebabkan dari dua sisi yaitu demand pull inflation (inflasi tarikan permintaan) dan cost push inflation (inflasi desakan biaya). Untuk negara dengan perekonomian terbuka, inflasi berasal dari internal pressure (faktor dalam negeri) dan juga external pressure (faktor luar negeri). Faktor eksternal bersumber dari adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri ataupun adanya fluktuasi nilai tukar.

Bagi Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil, fluktuasi nilai tukar secara teoritis berhubungan positif dengan laju inflasi, dimana ketika nilai tukar terdepresiasi, laju inflasi cenderung tinggi. Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam mengurangi atau meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang selanjutnya akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut dimana setiap perubahan dalam nilai tukar akan berdampak terhadap aktivitas perekonomian negara tersebut. Berdasarkan penelitian beberapa ahli ekonomi, bisa didapatkan beberapa kriteria yang membedakan kelompok negara yang memakai sistem kurs bebas dan yang memakai sistem kurs tetap antara lain yaitu: (1) tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara; (2) kemampuan


(26)

untuk mempengaruhi pasar dunia; (3) pola perdagangan internasional; (4) tingkat perbedaan inflasi dalam dan luar negeri; (5) tingkat integrasi pasar finansial dalam negeri terhadap pasar keuangan internasional.

Pada tanggal 14 Mei 1997, bencana tidak terduga melanda perekonomian Thailand. Saat itu mata uang baht terpukul oleh serangan spekulasi besar yang dilakukan oleh spekulan asing. Meskipun bank sentral Thailand berusaha menghadapi serangan ini dengan mengerahkan hampir semua persediaan dolar AS dimilikinya, pada akhirnya Thailand tidak mampu bertahan. Pernyataan Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh untuk tidak akan mendevaluasi baht tidak terrealisasi, dimana pada akhirnya administrasi Thailand mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997. Panik dan gejolak finansial yang di alami Thailand kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC).

Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul diakibatkan mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi/moneter yang diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi ekonomi dan politik. Selain itu efek ini pun muncul karena sebuah kiblat terhadap negara tertentu ( suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara lainnya). Contohnya depresiasi Baht Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan kondisi ekonomi.

Selain itu efek penularan ini muncul akibat faktor herd instinc, atau naluri biri-biri yang menyelimuti sikap panik investor global kala itu, yang memandang semua emerging markets mirip dengan Thailand sehingga membuat situasi keuangan kacau


(27)

balau. Bahkan krisis ini menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, Indonesia yang telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda dalam periode tiga dekade terakhir pada akhirnya di bulan Agustus 1997 menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas).

Perubahan sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting bagi suatu negara. Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi.

Salah satu teori yang digunakan untuk menentukan nilai tukar adalah teori purchasing power parity/PPP, atau lebih dikenal dengan teori paritas daya beli. Teori paritas daya beli ini menyatakan bahwa nilai tukar mata uang antar negara harus mencerminkan nilai perbandingan nilai mata uang satu negara terhadap negara lainnya


(28)

yang ditentukan oleh daya beli masing-masing negara yang berarti nilai tukar antara dua negara sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan demikian, secara teoritis dengan asumsi PPP berlaku, maka inflasi dalam negeri yang lebih besar daripada luar negeri akan mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Selanjutnya, depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena pass through effect dari barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi juga akan meningkat. Dalam situasi perekonomian negara yang mengalami depresiasi sangat besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan sangat besar pada harga barang-barang tradeable dan nontradeable dan dengan demikian inflasi meningkat.

Implikasi dari ditempuhnya sistem nilai tukar mengambang bebas tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Indonesia, dimana variabilitas nilai tukar nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil tidak stabil. Fluktuasi dan ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Akibatnya peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar. Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena imported inflation akibat banyaknya barang-barang impor. Real effective exchange rates (harga relatif) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi


(29)

sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.

Berdasarkan hal tersebut maka bagaimana hubungan keterkaitan yang terjadi antara laju inflasi dan nilai tukar riil di berbagai negara menjadi hal yang penting untuk diteliti lebih lanjut. Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area dan juga Joint Declaration on the Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang, yang dilain pihak menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian Asia (Achsani, 2001). Tantangan ini kemudian diperkuat dengan disepakatinya untuk mengintegrasikan ekonomi ASEAN kedalam single community (komunitas tunggal) pada tahun 2020 pada pertemuan ASEAN ke-36.

Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karenanya adalah hal yang menarik untuk menganalisis sejauh mana tingkat respon/kepekaan inflasi akibat fluktuasi (perubahan) nilai tukar riil dan apakah ada perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan, yaitu kawasan Asia yang diwakili ASEAN+3 dan kawasan non Asia yang diwakili Uni Eropa dan Amerika Utara.

Perumusan Masalah

Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 ternyata sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi sebagian besar negara-negara ASEAN. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun. Akibat krisis tersebut pertumbuhan ekonomi Thailand


(30)

Sumber : Laporan Mingguan Bank Indonesia Beberapa Edisi

menurun menjadi -0,4 persen. Hal ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia mengalami "Significant deteronation", dimana laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar -13,0 persen (tahun 1998 ). Dampak AFC terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN Tahun 1992 – 2000 ( Persen )

Tahun Indonesia Malaysia Thailand Filipina

Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi

1992 6,5 4,9 7,8 4,7 8,1 4,1 0,3 8,9 1993 7,3 9,8 8,3 3,6 8,3 3,3 2,1 7,6 1994 7,5 9,2 9,2 3,7 8,8 5,0 4,4 9,0 1995 8,2 8,6 9,5 3,4 5,7 5,8 4,8 8,1 1996 7,8 6,5 5,6 3,5 5,5 5,9 5,7 8,4 1997 4,7 11,0 7,8 2,7 -0,4 5,6 5,1 6,0 1998 -13,0 77,6 -6,4 5,3 -8,0 8,1 -0,6 9,7

1999 0,8 2,0 10,5 2,5 6,5 0,7 4,6 4,3

2000 4,9 9,3 7,7 1,4 2,6 1,3 4,8 6,6

Perekonomian Malaysia menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, namun akibat krisis mengalami penurunan menjadi –6,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Filipina sebelum krisis melanda relatif baik, pada saat krisis terjadi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai –0,6 persen (tahun 1998). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis yang terjadi mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara-negara ASEAN. Di sisi lain, pada saat krisis melanda negara-negara-negara-negara ASEAN, tingkat inflasi mengalami peningkatan. Dari Tabel 1.1 terlihat laju inflasi di beberapa negara


(31)

Penelitian Urusan Riset Ekonomi dan Moneter (UREM) menunjukkan bahwa nilai tukar mempunyai hubungan yang signifikan dengan inflasi (Waluyo dan Siswanto, 1998). Dalam penelitian tersebut (periode observasi 1984-1987), hasil uji hubungan Granger causality test menunjukkan real effective exchange rate (REER) mempengaruhi inflasi (searah) dengan lag rata-rata 1 triwulan. Dengan terjadinya krisis, penelitian tersebut perlu dilanjutkan karena tampaknya pengaruh depresiasi rupiah (atas dasar nilai tukar bilateral terhadap dolar AS) mempunyai lag yang lebih pendek dan ada kemungkinan mempunyai hubungan dua arah, yaitu depresiasi mempengaruhi inflasi timbal balik, karena secara teoritis apabila inflasi di dalam negeri lebih tinggi daripada di luar negeri maka mata uang domestik harus didepresiasi untuk mempertahankan Paritas Daya Beli (PPP). Implikasi kebijakan dari hubungan tersebut ialah bahwa depresiasi perlu dikendalikan untuk menekan laju inflasi, dan demikian pula inflasi perlu ditekan Malaysia dengan laju inflasi 4,7 persen pada tahun 1992 dan terus menurun hingga tahun 1997 yaitu 2,7 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi 5,3 persen. Thailand juga mengalami inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,1 persen pada tahun 1992 menjadi 8,1 persen pada tahun 1998. Tingkat inflasi di Filipina relatif tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju inflasi mencapai 9,7 persen. Inflasi yang terjadi di suatu negara dipengaruhi beberapa faktor, salah satu yang mungkin berpengaruh adalah nilai tukar, dimana pada saat terjadinya krisis nilai tukar negara-negara ASEAN tersebut mengalami depresiasi yang cukup tajam.

ASEAN sangat berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat. Pada saat terjadi krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi meningkat tajam sampai 77,6 persen.


(32)

Sebenarnya analisis mengenai bagaimana hubungan inflasi dan nilai tukar telah menjadi perhatian dari banyak studi para ekonom di dunia. Hal ini dikarenakan perilaku inflasi dan nilai tukar dapat berbeda di setiap negara, yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi kebijakan apa yang harus diterapkan di suatu negara dalam rangka menjaga kestabilan perekonomiannya. Namun sampai sejauh ini belum ada pendekatan dan hasil yang seragam dalam analisis yang dilakukan, sehingga penelitian lebih lanjut dan berkesinambungan menjadi suatu hal yang perlu dilakukan.

Lebih khusus lagi poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di

berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?

2. Bagaimanakah respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:

1. Menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

2. Menganalisis adakah perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).


(33)

1. Memberikan wawasan mengenai bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan, dalam hal ini kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

2. Mengetahui kemungkinan apa yang dapat menimbulkan adanya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

3. Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan era perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan Jepang, China, dan Korea Selatan, maka penulis juga memasukkan ketiga negara tersebut ke dalam lingkup sampel kawasan Asia. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam hubungannya dengan penelitian ini maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil adalah sebagai berikut:

Inflasi

Inflasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga umum secara terus-menerus (Suparmoko, 1998). Hal ini dapat mencerminkan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Terjadinya inflasi merupakan akibat dari kenaikan tingkat harga di atas rata-rata yang berlaku umum yang dapat diukur dengan indeks harga barang-barang konsumsi dari tahun-ke tahun.

Untuk mempelajari inflasi, para pakar ekonomi menggunakan dua konsep. Yang pertama adalah tingkat harga, yaitu tingkat rata-rata semua harga-harga dalam sistem ekonomi. Yang kedua adalah laju inflasi, yaitu laju kenaikan tingkat harga secara umum. Untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun sebuah indeks harga dengan cara merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi yang bersangkutan. Indeks harga yang paling terkenal adalah Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen. IHK menyatakan tingkat harga pada waktu kapan pun dalam hubungan dengan berapa harga kelompok tertentu yang dikonsumsi oleh rata-rata penduduk dalam periode dasar (Lipsey, 1995).

IHK yang biasa dihitung oleh Badan Pusat Statistik mencakup harga-harga komoditas yang umumnya dibeli rumah tangga. Perubahan dalam IHK dimaksudkan


(35)

untuk mengukur perubahan gaya hidup rumah tangga secara khusus. Gerakan dalam harga konsumen dapat ditambahkan dan diringkas dalam satu indeks harga dengan cara memberikan bobot pada setiap harga yang mencerminkan tingkat pentingnya. Hal ini dilakukan apabila harga-harga komoditas yang berbeda berubah dengan proporsi yang berbeda. IHK akan memberikan bobot tinggi pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih banyak dari penghasilannya dan memberikan bobot rendah pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih sedikit penghasilannya. Jadi angka indeks dihitung dengan memberikan bobot untuk mencerminkan tingkat pentingnya unsure-unsur individual yang digabungkan. Nilai indeks ditetapkan sama dengan 100 untuk periode dasarnya (Lipsey, 1995).

Sedangkan untuk mengukur laju inflasi antara dua periode waktu manapun diukur dengan kenaikan presentase indeks harga yang relevan dari periode pertama hingga periode kedua. Jika besarnya kenaikan harga diukur dari periode dasarnya, yang perlu dilakukan hanyalah pengurangan kedua indeks tersebut.

Laju inflasi= 2 1 1

100 P P

P

×

(2.1)

dimana P 1 merupakan nilai indeks harga pada periode pertama dan P2 adalah nilainya pada periode kedua, sehingga laju inflasinya semata-mata adalah perbedaan diantara keduanya, dinyatakan dalam presentase nilai indeksnya pada periode pertama (Lipsey, 1995).

Sedangkan perhitungan laju inflasi bisa digunakan CPI dengan cara mengubah dalam bentuk logaritma, dimana rumusnya adalah

LIt=Δ log (P)t – log( P)t-1 = 1 1

t t

t

CPI CPI CPI

− −


(36)

dimana LIt adalah laju inflasi pada tahun atau periode t, CPIt adalah Indeks Harga

Konsumen pada tahun atau periode t dan CPIt−1adalah Indeks Harga Konsumen pada

tahun atau periode t-1.

Inflasi dapat diakibatkan oleh dua hal. Pertama, demand-pull inflation. Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan agregate demand (permintaan total), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila full-employment (kesempatan kerja penuh) telah tercapai, penambahan permintan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Kedua, cost-push inflation. Cost-cost-push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi dengan kata lain, hal ini merupakan inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan penurunan dalam agregate supply (penawaran total) sebagai akibat peningkatan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi itu sendiri dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik, dan lain sebagainya. Peningkatan biaya produksi ini pada akhirnya akan menaikkan harga dan diikuti dengan turunnya produksi.

Nilai Tukar (exchange rate)

Nilai tukar didefinisikan harga mata uang suatu negara yang dihitung dalam mata uang negara lain (Mishkin, 2001). Nilai tukar diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Para ekonom membedakan antara tiga konsep nilai tukar yaitu nilai tukar nominal, nilai tukar riil dan nilai tukar efektif. Nilai tukar nominal (e) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar nominal merupakan sebuah nilai par (par value) dalam


(37)

masing-masing mata uang yang dipakai negara-negara, biasanya disebut official rate. Moosa (2004) merumuskan nilai tukar nominal sebagai berikut:

/

d f

e = P P (2.3)

dimana Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil (q) didefinisikan sebagai harga relatif dari barang-barang kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain atau dapat disebut Terms of Trade. Menurut Batiz (1994), nilai tukar riil dapat dirumuskan sebagai berikut:

*

( / )

q = e P P (2.4)

dimana e adalah nilai tukar nominal (domestic currency/foreign currency), P* adalah tingkat harga luar negeri, dan P adalah tingkat harga domestik.

Sementara itu nilai tukar efektif adalah bobot kurs rata-rata antara mata uang domestik dengan valuta asing dari negara yang menjadi mitra dagang utamanya, sedangkan bobot penimbangnya adalah arti penting relatif hubungan dagang negara itu dengan setiap mitra dagangnya (Salvatore, 1997). Menurut Moosa (2004) kurs efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif, dan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1

m

t i it

i

E

wV

=

=

(2.5)

1 i i t m i i i

X

M

w

X

M

=

+

=

+

(2.6)

, ,0 i t it i

S

v

S


(38)

dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan

dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negara i.

2.2.1. Sistem Nilai Tukar

Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem nilai tukar yang dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan nilai tukar tersebut adalah fixed exchange rate system (sistem nilai tukar tetap) dan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas).

Pada sistem nilai tukar tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem Bretton Woods, adalah penentuan nilai tukar mata uang negara secara tetap kepada mata uang kuat (Dollar US) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem nilai tukar Bretton Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu pihak untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar mata uang negara yang menganut sistem mengambang bebas. Di lain pihak, sistem ini juga disusun untuk menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai mata uangnya untuk menyelesaikan masalah ketidak seimbangan neraca pembayaran yang dihadapinya.


(39)

Pada sistem nilai tukar tetap, setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang diinginkan dan untuk mempertahankan nilai tukarnya maka bank sentral melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang sejumlah cadangan devisa untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai tukar dapat dipertahankan. Meskipun demekian, kebaikan dari sistem nilai tukar tetap ini adalah adanya kepastian akan nilai tukar mata uang domestik dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan transaksi perdagangan dengan pihak luar negeri.

Sedangkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sistem yang membiarkan nilai tukar mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Dengan kata lain, pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Di Indonesia, nilai tukar rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran akan Dollar US. Jika permintaan terhadap Dollar US lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar US yang diukur dengan rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai rupiah menurun. Dan jika penawaran Dollar US lebih besar dibandingkan permintaan terhadapnya, maka hasil sebaliknya akan terjadi. Kebaikan dari sistem nilai tukar mengambang bebas diantaranya yaitu adanya penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio mereka, dan selain itu bank sentral tidak perlu memegang cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk melakukan kebijakan yang lebih independen.


(40)

2.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar

Nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang berasal dari sisi penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga didalam negeri sehingga menimbulkan inflasi.

Kaitan inflasi dengan nilai tukar juga dapat didekati melalui teori purchasing power parity (PPP). Teori PPP menunjukkan bagaimana depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi, dimana dalam teori ini nilai tukar antara dua negara adalah sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya.

Teori purchasing power parity atau teori paritas daya beli mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian relatif. Pengertian absolut mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolut luar negeri dan harga absolut dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa persentase perubahan kurs keseimbangan diantara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara persentase perubahan harga dalam negeri dan persentase perubahan harga luar negeri, sehingga persentase perubahan kurs tersebut mencerminkan perbedaan tingkat inflasi diantara dua negara.


(41)

Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak bekerja seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar dengan tingkat harga.

Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian, supply dari mata uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).

2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang output (GDP Gap)

Menurut Lipsey (1995), GDP potensial (potensial Gross Domestic Product) adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal.


(42)

Senjang output atau senjang GDP mengukur perbedaan antara GDP potensial dengan GDP aktual riil. Senjang GDP dapat dirumuskan sebagai berikut:

Senjang GDP

a f

f

Y

Y

Y

=

(2.8)

dimana

Y

a adalah GDP aktual riil dan

Y

f adalah GDP potensial. Dalam jangka pendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Berdasarkan teori kurva Philips, terdapat hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran, dimana senjang inflasi (yang berkaitan dengan tingkat pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktivitas. Sedangkan berdasarkan hukum Okun, terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil, mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP riil yang mendekati dua persen. Dari kedua teori ini didapatkan bahwa senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya senjang output dalam suatu periode.


(43)

2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi

Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju inflasi di suatu negara adalah faktor psikologis. Faktor ini terbentuk dari harapan atau ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi berkaitan erat dengan pola perilaku para pelaku ekonomi berdasarkan pengalaman ataupun informasi yang dimilikinya. Jenis informasi yang diterima akan bervariasi (asymetric information) dan pola perilaku masyarakat dapat berbeda-beda dalam menanggapi informasi yang sama. Ekspektasi ini terdapat di pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja dimana masing-masing memiliki keterkaitan dan mempengaruhi perkembangan harga. Model ekspektasi ini ada dua yaitu ekspektasi adaptif (backward looking) dan model inflasi ekspektasional (forward looking expectation).

Sebagian pelaku ekonomi lebih mendasarkan ekspektasinya pada inflasi periode sebelumnya. Inflasi historis suatu negara yang bertahan tinggi tak lepas dari pengaruh rangkaian peristiwa ekonomi yang menimbulkan inflasi, misalnya kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan yang diambil pemerintah dan depresiasi nilai tukar. Akibat merasakan inflasi yang tinggi setiap tahun, dapat menimbulkan asa publik bahwa inflasi tinggi akan terus terjadi. Ekspektasi itu akhirnya membentuk perilaku penyesuaian harga yang dianggap ”normal” dalam perekonomian negara tersebut. Ekspektasi inflasi yang memburuk dapat membawa prediksi inflasi menjadi kenyataan.

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai perubahan nilai tukar dan pengaruhnya terhadap laju inflasi menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Beberapa penulis berpendapat bahwa melemahnya nilai tukar (depresiasi) di suatu negara menyebabkan peningkatan laju


(44)

inflasi. Sedangkan peneliti lain menyatakan bahwa pengaruh perubahan kurs tidak signifikan mempengaruhi laju inflasi.

Hasil penelitian Ndungu’, (1997) di Kenya selama periode 1970-1993, menunjukkan bahwa tingkat inflasi domestik dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi. Ndungu’ melakukan penelitian ini dengan menggunakan Granger Non-Causality Test (GNC test). Kesimpulan Ndungu’ dengan menggunakan GNC test adalah sebagai berikut:

1. Tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi,

2. Kredit domestik mempengaruhi tingkat inflasi tanpa efek balik dari inflasi ke kredit domestik,

3. Tingkat inflasi domestik dan perubahan cadangan saling mempengaruhi, 4. Perubahan nilai tukar dan perubahan cadangan saling mempengaruhi,

5. Perubahan kredit domestik dan cadangan internasional saling mempengaruhi.

Penelitian Pradumna (1984) mengenai pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi di 5 negara ASEAN selama periode 1973-1979 menunjukan bahwa perubahan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap laju inflasi di 4 negara kecuali Thailand. Perubahan nilai tukar di negara ini mempengaruhi laju inflasinya. Pradumna menggunakan model persamaan moneter dalam penelitiannya. Pradumna juga menggunakan GNC test untuk menguji pengaruh nilai tukar dan laju inflasi. Hasilnya ternyata perubahan nilai tukar memang mempengaruhi inflasi tapi inflasi tidak mempengaruhi nilai tukar.

Penelitian Kamin dan Klau (2003) menunjukkan bukti empirik keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negara-negara. Penelitian ini sebelumnya


(45)

dilakukan untuk negara Mexico dengan menggunakan persamaan inflasi sebagai berikut:

(

)

(

)

*

(

)

1 1 1 1 1

t t H H t t t t

p αλψ λrer− αλε q q − α p α e β p

Δ = − + + − + − Δ + − Δ + Δ (2.9) dimana rert−1 adalah lag nilai tukar efektif riil, (qHqH)t−1 adalah lag YGAP, Δp*t

adalah laju inflasi luar negeri,Δetadalah laju perubahan nilai tukar nominal, dan Δpt−1

adalah lag laju inflasi domestik. Selain itu diperlihatkan pula bahwa kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil ternyata lebih tinggi di Amerika Latin dibandingkan di Asia maupun negara-negara industri lainnya.

Meskipun penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin dan Klau (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah cakupan time series (periode penelitian), negara-negara yang tergabung dalam kawasan yang diteliti, dan dalam fungsi inflasi yang diestimasi untuk seluruh kawasan selain terdapat dummy kawasan dimasukkan pula variabel dummy krisis. Selain itu perbedaan mendasar dalam penelitian ini adalah konsep nilai tukar yang digunakan bukanlah nilai tukar efektif riil, melainkan nilai tukar riil.

2.7. Kerangka Pemikiran

Skema alur berpikir pada Gambar 2.1 digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Variabel ekonomi yaitu nilai tukar riil (RER), senjang output (YGAP), inflasi luar negeri (PF), nilai tukar nominal (E) dan inflasi sebelumnya (P1) diduga mempengaruhi laju inflasi. Pengaruh faktor-faktor ini terhadap laju inflasi di suatu kawasan juga dipengaruhi oleh karakteristik kawasan serta krisis keuangan yang terjadi di Asia. Namun dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada pengaruh faktor nilai tukar riil terhadap laju inflasi.


(46)

Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan respon/kepekaan inflasi terhadap nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) dengan menggunakan analisis eksploratif, Granger Causality Test dan model panel data.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

YGAP PF E P1

Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi

RER

Inflasi

Karakteristik Kawasan Asian Financial Crisis

Analisis Eksploratif Granger Causality Test

Estimasi Model Panel Data


(47)

III. METODE PENELITIAN

Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder negara-negara kawasan Asia (ASEAN+3) dan negara-negara-negara-negara kawasan non Asia (Uni Eropa, dan Amerika Utara) dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 1991 sampai 2005 dan data cross-section yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF), World Economic Statistic, Bloomberg, dan sebagainya. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

P : Consumer Price Index (CPI)/ Indeks Harga Konsumen (IHK) domestik E : Nilai tukar nominal (domestic currency/foreign currency)

(peningkatan mengindikasikan depresiasi) RER : Nilai tukar riil

(peningkatan mengindikasikan depresiasi) P* : Indeks Harga Konsumen (IHK) luar negeri

YGAP : output gap; Log dari rasio Produk Domestik Bruto (PDB) aktual riil terhadap PDB potensial, dimana PDB potensial diestimasi dengan menerapkan Hodrick-Prescott Filter terhadap PDB aktual riil.


(48)

3.2. Metode Analisis Data

Untuk mendukung penelitian mengenai analisis komparatif keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara), maka digunakan berbagai metode analisis data dengan bantuan software Microsoft Excel 2003, Eviews 4.1, dan Eviews 5.1.

3.2.1. Analisis Eksploratif

Menurut Nazir (1999), analisis eksploratif adalah suatu analisis dalam meneliti sekelompok objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari dilakukannya analisis eksploratif ini adalah untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dengan kata lain, analisis eksploratif secara garis besar mencoba mencari fakta dengan interpretasi yang tepat, dimana hasil dari analisis ini merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu atau kelompok tertentu.

Bentuk dari analisis eksploratif disini adalah studi kasus pengkajian pola hubungan inflasi dan nilai tukar riil secara garis besar di sebagian besar negara-negara sebagai pembanding dengan negara-negara kawasan lainnya. Analisis ini didukung tampilan gambar untuk melihat korelasi pergerakan inflasi dan nilai tukar riil serta trend yang terjadi antara dua variabel dalam penelitian yaitu nilai tukar riil dan laju inflasi. 3.2.2. Granger Causality Test pada data panel

Hubungan kausalitas (Causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum


(49)

(Granger, 1969). Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X mempengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang mempengaruhi X dan Y (Granger, 1969).

Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

0 1 ( 1)

...

( ) 1 ( 1)

...

( )

it i t p i t p i t p i t p i t

y

=

α

+

α

y

+ +

α

y

+

β

x

+ +

β

x

+

ε

(3.1)

0 1 ( 1)

...

( ) 1 ( 1)

...

( )

it i t l i t p i t p i t p it

x

=

α

+

α

x

+ +

α

x

+

β

y

+ +

β

y

+

υ

(3.2)

Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.1), X mempengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien βl tidak sama dengan nol (0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.2), Y mempengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien

l

β

tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat


(50)

kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y. Dalam penelitian ini, Granger Causality Test ini dilakukan untuk menganalisis hubungan inflasi dan nilai tukar riil pada data panel. Dengan menggunakan software ekonometrik, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak mempengaruhi Y dan Y tidak mempengaruhi X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1.

3.2.3. Metode Hodrick-Prescott Filter

Ada beberapa alternatif dalam memperkirakan output potensial, salah satunya adalah metoda Hodrick-Prescott (HP) Filter. Metoda ini digunakan untuk melihat kecenderungan (trend) dari output dalam jangka panjang. Trend output (s) yang diperoleh dengan menggunakan HP filter dihasilkan dengan meminimkan kombinasi gap antara aktual output (y) dan trend output. Tingkat perubahan output diperoleh dengan:

1

2 2

1 1

0 2

(

)

((

) (

))

T T

t t t t t t

t t

Min

y

s

λ

s

s

s

s

+ −

= =

+

(3.3)

dimana λ adalah tingkat smoothness dari trend. Kesulitan metoda ini adalah dalam mengidentifikasi besarnya parameter λ. Namun bantuan software ekonometrik trend output ini dapat diperkirakan. Trend dari PDB riil diasumsikan sebagai PDB potensial. Dalam penelitian ini, untuk memperkirakan PDB potensial maka digunakan pendekatan HP filter.

3.2.4. Model Panel Data

Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai ketersediaan data (data availability) untuk mewakili variabel yang gunakan dalam penelitian. Misalnya, terkadang bentuk data dalam series yang tersedia pendek sehingga


(51)

proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang minim. Lain halnya terkadang ditemukan bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi prilaku dari model yang hendak diteliti. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi seperti yang telah disebutkan di atas salah satunya dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik/efisien dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom).

Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Islam (1995) dan Poirson (2000) dalam penelitian menyatakan bahwa penggunaan data panel ini dapat memperlihatkan ‘country effect’ dan menghindari terjadinya kesalahan penghilangan variabel (omitted variable bias) dibandingkan jika menggunakan data kerat lintang (cross section). Selain itu, penggunaan data panel ini memungkinkan untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbeda-beda.

Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain adalah :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien.


(1)

Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 15:08 Sample: 1992 2005

Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability LNYGAP does not Granger Cause DP 110 1.05115 0.38480 DP does not Granger Cause LNYGAP 2.68331 0.03567

Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 15:09 Sample: 1992 2005

Lags: 6

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability LNYGAP does not Granger Cause DP 88 2.75995 0.01769 DP does not Granger Cause LNYGAP 1.23957 0.29596


(2)

Data seluruh kawasan

Alpha (α) 0.05

Chi-Square χ

2

table (K=11)

19.675

Nilai h

146.7017

P-Value 0.0000

Data kawasan Asia

Alpha (α) 0.05

Chi-Square χ

2

table (K=6)

12.392

Nilai h

57.54692

P-Value 1.42E-10

Data kawasan non Asia

Alpha (α) 0.05

Chi-Square χ

2

table (K=6)

12.392

Nilai h

36.32825


(3)

Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap

dengan Pembobotan (

Cross Section Weights

) dan

White

Heteroskedasticity

untuk Seluruh Kawasan

Dependent Variable: DP?

Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2005

Included observations: 14 Number of cross-sections used: 19 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. RER1? 0.046752 0.010840 4.312862 0.0000 YGAP1? 0.003611 0.011221 0.321826 0.7479

DPF? 0.457999 0.049634 9.227548 0.0000 DE? 0.020221 0.007389 2.736620 0.0067 DP1? 0.335427 0.102315 3.278372 0.0012 DC?*RER1? -0.044973 0.011452 -3.926882 0.0001 DC?*YGAP1? -0.005081 0.018135 -0.280176 0.7796

DC?*DPF? -0.639722 0.153956 -4.155216 0.0000 DC?*DE? -0.020993 0.013267 -1.582309 0.1149 DC?*DP1? 0.015914 0.148033 0.107503 0.9145

DK? -0.007259 0.001471 -4.936225 0.0000 Fixed Effects _INA--C 0.067760 _MALAY--C 0.024985 _SGP--C 0.011392 _THAI--C 0.025831 _PHP--C 0.042631 _JPN--C 0.000848 _CHN--C 0.038499 _KOR--C 0.021284 _INGG--C 0.027193 _FRAN--C -0.076884 _JRM--C -0.018966 _BLND--C -0.021885 _BLG--C -0.160693 _DNM--C -0.081511 _SWD--C -0.091578 _NWG--C -0.086154 _AS--C 0.009273 _CND--C -0.010118 _MXC--C -0.043160 Weighted Statistics

R-squared 0.606783 Mean dependent var 0.051838 Adjusted R-squared 0.558464 S.D. dependent var 0.035306 S.E. of regression 0.023460 Sum squared resid 0.129888 F-statistic 12.55785 Durbin-Watson stat 1.936611

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.568384 Mean dependent var 0.035534 Adjusted R-squared 0.515346 S.D. dependent var 0.047819 S.E. of regression 0.033290 Sum squared resid 0.261547 Durbin-Watson stat 1.983705


(4)

dengan Pembobotan (

Cross Section Weights

) dan

White

Heteroskedasticity

untuk Kawasan Asia

Dependent Variable: DP?

Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 07/30/07 Time: 14:21

Sample: 1992 2005 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 8 Total panel (balanced) observations: 112 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. RER1? 0.015888 0.005976 2.658655 0.0092 YGAP1? 0.004472 0.009526 0.469454 0.6398 DPF? -0.176465 0.128071 -1.377875 0.1714 DE? -0.008382 0.008632 -0.971068 0.3339 DP1? 0.280412 0.083203 3.370223 0.0011 DK? -0.015963 0.001875 -8.515069 0.0000

Fixed Effects

_INA--C -0.042771 _MALAY--C 0.014685

_SGP--C -0.021519 _THAI--C -0.017148

_PHP--C 0.000551 _JPN--C -0.060131 _CHN--C 0.017569 _KOR--C -0.068688

Weighted Statistics

R-squared 0.655219 Mean dependent var 0.065779 Adjusted R-squared 0.609483 S.D. dependent var 0.058659 S.E. of regression 0.036657 Sum squared resid 0.131683 Log likelihood 289.3251 F-statistic 14.32603 Durbin-Watson stat 2.007940 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.429816 Mean dependent var 0.043779 Adjusted R-squared 0.354180 S.D. dependent var 0.056079 S.E. of regression 0.045067 Sum squared resid 0.199040 Durbin-Watson stat 2.052433


(5)

Lampiran 5. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap

dengan Pembobotan (

Cross Section Weights

) dan

White

Heteroskedasticity

untuk Kawasan Non Asia

Dependent Variable: DP?

Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 07/31/07 Time: 06:59

Sample: 1992 2005 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 11 Total panel (balanced) observations: 154 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RER1? 0.025043 0.016495 1.518174 0.1313 YGAP1? -0.015905 0.015635 -1.017288 0.3108

DPF? 0.505089 0.068653 7.357158 0.0000 DE? 0.019847 0.010704 1.854270 0.0659 DP1? 0.342132 0.158479 2.158846 0.0326

DK? -0.002736 0.002362 -1.158389 0.2487

Fixed Effects

_INGG--C 0.012232

_FRAN--C -0.043569

_JRM--C -0.012039

_BLND--C -0.012003

_BLG--C -0.087936

_DNM--C -0.045080

_SWD--C -0.052158

_NWG--C -0.047775

_AS--C 0.005286

_CND--C -0.007824

_MXC--C 0.003611

Weighted Statistics

R-squared 0.604167 Mean dependent var 0.036090 Adjusted R-squared 0.557938 S.D. dependent var 0.018470 S.E. of regression 0.012281 Sum squared resid 0.020661 Log likelihood 554.1964 F-statistic 13.06909 Durbin-Watson stat 1.839641 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.746972 Mean dependent var 0.029537 Adjusted R-squared 0.717421 S.D. dependent var 0.039913 S.E. of regression 0.021217 Sum squared resid 0.061673 Durbin-Watson stat 1.406880


(6)

Balance of Payments (Indonesia), 1996-2002 (US$ Million)

note:/a Since 2002 foreign direct investment includes a part of privatization and banking restructuring.

/b Since 1998 Monetary Movement is based on Gross Foreign Assets (GFA) replacing Official Reserves.

Since 2000, based on change reserve assets replacing GFA. Negative represents surplus and positive represents deficit.

Source: Bank Indonesia.

Items 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

1 Non oil/gas, merchandise. (net) -1,849 3,129 13,864 14,355 15,963 15,844 17,317 a. Export, fob 38,021 44,576 42,951 40,987 50,341 44,805 46,307 b. Import,fob -39,870 -41,447 -29,087 -26,632 -34,378 -28,961 -28,990 2 Oil, merchandise. (net) 3,122 2,266 1,518 1,975 2,197 1,533 205

a. Export, fob 7,222 6,771 4,141 5,680 7,954 6,921 6,549 b. Import,fob -4,100 -4,505 -2,623 -3,705 -5,757 -5,388 -6,344 3 Gas, merchandise. (net) 5,896 4,679 3,047 4,314 6,881 5,318 5,993

a. Export, fob 4,945 4,950 3,279 4,576 7,113 5,638 6,312 b. Import,fob -270 -271 -232 -262 -232 -320 -319 4 Current account -7,801 -5,001 4,097 5,783 7,998 6,900 7,825

a. Exports, fob 50,188 56,297 50,371 51,243 65,408 57,364 59,168 b. Imports, fob -44,240 -46,223 -31,942 -30,599 -40,367 -34,669 -35,653

c. Services, net -13,749 -15,075 -14,332 -14,861 -17,043 -15,795 -15,690 5 Official Capital -522 2,880 9,971 5,353 3,217 636 -1,240

a. Inflows 5,693 7,594 7,414 6,560 3,862 2,482 1,595 IGGI 5,093 7,594 5,897 6,560 3,862 2,482 1,546 Program aid 0 3,036 1,821 3,870 1,360 507 773 Project aid 4,928 4,466 3,916 2,417 2,426 1,975 1,527 ODA 3,274 2,601 1,718 1,686 2,193 1,532 1,254 Non-ODA 1,654 1,865 2,198 731 233 443 272 Commercial loan 600 0 1,517 0 0 0 49 b. Amortization -6,215 -4,714 -3,765 -4,070 -4,272 -4,704 -5,467 c. Exceptional financing 0 3,036 6,322 2,863 3,627 2,858 2,632 - IMF Purchases 0 0 5,761 1,373 1,124 397 1,415 - IMF Repurchases 0 0 0 0 0 -1,772 -2,420 - Rescheduling 0 3,036 561 1,490 2,503 2,858 3,637 6 Private Capital 11,511 -338 -13,846 -9,923 -9,992 -8,253 -191

a. Foreign direct investment /a 6,194 4,677 -356 -2,745 -4,549 -5,877 145 b. Others 5,317 -5,015 -13,490 -7,178 -5,443 -2,376 -1,057 7 Capital account (5+6) 10,989 2,542 -3,875 -4,570 -6,775 -7,617 -1,431 8 T O T A L (4 + 7) 3,188 -2,459 222 1,213 1,223 -717 6,394 9 Errors & omissions, net -(8+10) 1,263 -1,986 2,122 2,079 3,820 2,095 -2,373 10 Monetary movements /b -4,451 4,445 -7,254 -3,292 -5,043 1,378 -4,021