Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor di ASEAN+6 dan Uni Eropa-Amerika Utara: Pendekatan Panel Dinamis
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi yang terjadi dewasa ini, perdagangan internasional dianggap semakin penting karena dapat menciptakan hubungan antar negara menjadi semakin erat. Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena melakukan perdagangan internasional, diantaranya adalah dapat mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, dan kehadiran perusahaan multinasional (Oktaviani dan Novianti, 2009).
Impor merupakan salah satu kegiatan dalam perdagangan internasional yang memegang peranan penting bagi perekonomian. Dengan melakukan impor, maka dapat memudahkan bagi suatu negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang semakin banyak dan beragam yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar dalam negeri atau pasar domestik. Selain itu, impor juga dapat mendorong kelancaran arus perdagangan luar negeri dan memberikan multiplier effect
terhadap kegiatan ekonomi lainnya. Dengan melakukan impor, maka industri-industri di suatu negara dapat memenuhi kebutuhannya dalam penyediaan bahan baku yang tidak terdapat di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kinerja industri lokal.
Impor memiliki banyak peran dalam suatu negara, tetapi peningkatan impor secara terus menerus dapat berbahaya bagi perekonomian. Peningkatan impor yang terus menerus dapat menyebabkan neraca pembayaran menjadi defisit dan defisit tersebut harus ditutupi oleh negara. Defisit yang terjadi dalam jangka panjang perlu diwaspadai karena membutuhkan pendanaan terus menerus. Pendanaan ini biasanya berupa pijaman dari luar negeri yang tentu saja harus dikembalikan di masa depan. Sehingga defisit neraca pembayaran secara tidak langsung akan berakibat pada posisi pinjaman hutang luar negeri suatu negara.
Sebagian besar perekonomian dunia adalah perekonomian terbuka karena mereka mengekspor barang dan jasa keluar negeri, mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar modal dunia.
(2)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem perekonomian terbuka. Secara teoritis, impor di negara dengan sistem perekonomian yang terbuka memiliki hubungan yang positif dengan pendapatan riil serta berhubungan negatif dengan harga relatif. Namun, sejak terjadinya krisis finansial di Asia yang menyebabkan Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) maka nilai tukar menjadi berfluktuasi dan memiliki volatilitas (resiko). Hal ini menyebabkan impor di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan riil dan harga relatif saja, tetapi volatilitas nilai tukar juga diperkirakan memiliki pengaruh terhadap impor di Indonesia.
Krisis Finansial Asia (Asian Financial Crisis) terjadi karena adanya aliran modal ke luar negeri secara besar-besaran sehingga neraca pembayaran internasional menjadi defisit dan terpuruknya nilai tukar mata uang lokal sehingga terjadi pembengkakan hutang luar negeri yang dihadapi oleh beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Krisis finansial Asia merupakan krisis finansial yang dimulai pada tahun 1997 di Thailand. Pelarian modal secara besar-besaran yang tejadi di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan ini berpuncak pada tanggal 2 Juli 1997 dimana pemerintah Thailand tidak sanggup lagi menjaga nilai tukar Bath terhadap Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan dana cadangannya. Hal ini membuat pemerintah Thailand menyerahkan nilai tukar mereka kepada mekanisme pasar. Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan Thailand, dimana pada tanggal 14 Agustus 1997 Menteri Keuangan Indonesia mengumumkan untuk menerapkan rezim nilai tukar mengambang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan yang tidak sanggup lagi menjaga nilai tukar Won terhadap Dolar Amerika Serikat (Hadiwinata, 2002). Krisis finansial ini menyebabkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN.
Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul karena mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi atau moneter yang diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi ekonomi dan politik. Selain itu, efek ini muncul karena sebuah kiblat terhadap negara tertentu (suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara
(3)
lainnya). Contohnya depesiasi Bath Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan ekonomi (Fauzi, 2007).
Sejak terjadinya krisis Asia tahun 1997, negara yang dulunya menerapkan sistem nilai tukar tetap, beralih ke sistem nilai tukar mengambang, termasuk Indonesia. Pada saat pergantian sistem nilai tukar mengambang, Indonesia juga mengalami krisis moneter sehingga nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat menjadi terdepresiasi dan mempunyai tingkat volatilitas yang cukup tinggi. Tidak hanya Indonesia saja yang mengalami depresiasi nilai tukar, krisis ini juga menyebabkan nilai tukar negara-negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam.
Volatilitas nilai tukar tidak hanya mengukur perubahan, tetapi lebih menunjukan resiko dari mata uang. Semakin volatile mata uang berarti semakin besar resiko mata uang tersebut. Menurut Arize (1998), volatilitas nilai tukar berhubungan negatif dengan arus perdagangan internasonal. Hal ini karena volatilitas nilai tukar akan menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi karena adanya biaya yang digunakan untuk menghindari resiko dalam perdagangan. Namun menurut Cheong (2004), hubungan volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan internasional bisa berbeda antar negara, tergantung perilaku dari masing-masing pelaku perdagangan internasional di negara tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat penting untuk meneliti bagaimana hubungan antara volatilitas nilai tukar terhadap impor di berbagai negara. Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai dengan peningkatan kerjasama antara ASEAN dengan India, Cina, New Zealand, Korea Selatan, Australia, dan Jepang, yang dikenal dengan ASEAN+6. Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar riil dan impor di kawasan ASEAN+6, selain itu juga akan dibandingkan dengan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara).
(4)
1.2 Rumusan Masalah
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berkaitan dengan kondisi perekonomian Amerika Serikat yang memburuk. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius. Guncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Dampak krisis keuangan global di setiap negara akan berbeda, karena sangat bergantung pada kebijakan yang diambil dan fundamental ekonomi negara yang bersangkutan. Perekonomian Amerika Serikat diprediksi akan melemah, sehingga negara-negara di kawasan Eropa dan Asia akan melemah pula.
Sumber: WDI, diolah
Gambar 1.1. Pergerakan Indeks Volume Impor (2000=100) ASEAN Tahun 2002-2010
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas dunia dan perdagangan dunia. Dampak krisis keuangan global sudah mulai terjadi pada tahun 2008. Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa dampak penurunan indeks volume impor di Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan global terjadi pada tahun 2009 dimana indeks volume impor turun dari indeks 173,96 pada tahun 2008 menjadi 138,76 pada tahun 2009 atau turun sekitar 20,24 persen. Hal ini juga terjadi pada negara ASEAN lainnya. Di Malaysia penurunan indeks volume impor terjadi sejak tahun 2008 yaitu sebesar 1,2 persen dan turun kembali pada
0 50 100 150 200 250
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Vo
lu
m
e
Im
p
o
r Indonesia
Malaysia Singapura Filipina Thailand
(5)
tahun 2009 yaitu sebesar 19,5 persen. Hal yang sama juga terjadi di Filipia, penurunan indeks volume impor sudah terjadi sejak tahun 2008 dimana pada tahun tersebut, impor di Filipina turun sekitar 9,3 persen dan kemudian turun kembali pada tahun 2009 sebesar 15,8 persen.
Penurunan indeks volume impor juga terjadi di salah satu negara maju di ASEAN yaitu Singapura. Penurunan impor di Singapura merupakan penurunan yang paling kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 14,11 persen. Sedangkan penurunan indeks volume impor yang paling besar di antara negara-negara ASEAN terjadi di Thailand, dimana impor Thailand turun sebesar 22,33 persen.
Mengingat semakin pentingnya impor bagi suatu negara maka dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor suatu negara, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar dan impor. Penelitian tentang hubungan volatilitas nilai tukar riil dengan impor telah menjadi banyak perhatian bagi para ekonom di dunia. Hal ini karena dampak volatilitas nilai tukar riil terhadap impor dapat berbeda di setiap negara, sehingga akan berpengaruh terhadap kebijakan apa yang harus diterapkan oleh negara tersebut. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan (ASEAN+6 dan non ASEAN+6)?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara)?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang dan permasalahan yang sudah dijelaskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan (ASEAN+6 dan non ASEAN+6).
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara).
(6)
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
2. Memberikan informasi tentang hubungan antara volatilitas nilai tukar riil dengan impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
3. Bagi para pembuat kebijakan, dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan di tingkat nasional maupun internasional.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis secara eksploratif dan kuantitatif dengan menggunakan ekonometrika. Analisis dalam penelitian ini hanya terbatas pada analisis mengenai faktor-faktor yang memengauhi impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Oleh karena itu, dalam analisis ini faktor-faktor eksternal yang mungkin memengaruhi dalam analisis dianggap konstan.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan lima negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Terkait dengan kerjasama perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan India, Cina, New-Zealand, Korea Selatan, Australia, dan Jepang, maka penulis memasukkan enam negara tersebut dalam lingkup kawasan ASEAN+6. Sebagai pembanding, untuk kawasan non ASEAN+6 diwakili oleh Uni Eropa dan Amerika Utara. Untuk kawasan Uni Eropa diwakili oleh Jerman, Perancis, dan Inggris, sedangkan untuk kawasan Amerika Utara diwakili oleh Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.
(7)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka beberapa teori yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yangn memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara) adalah sebagai berikut:
2.1.1 Nilai Tukar (Exchange Rate)
Nilai tukar adalah harga relatif dari satu mata uang dalam perdagangan (Hossain dan Chowdhury, 1998). Nilai tukar antara dua negara merupakan tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2003). Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Hossain dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar nominal ( ) sebagai berikut:
(2.1) dimana adalah tingkat harga domestik dan adalah tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai tukar riil kadang-kadang disebut term of trade. Hossain dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar riil ( ) sebagai berikut:
(2.2) dimana adalah nilai tukar nominal (domestic currency/ foreign currency), adalah tingkat harga domestik, dan adalah tingkat harga luar negeri. Jika nilai tukar riil di suatu negara terapresiasi maka harga barang-barang domestik relatif lebih mahal daripada harga barang-barang luar negeri, sehingga negara tersebut akan cenderung untuk melakukan impor. Sebaliknya, jika nilai tukar riil di suatu negara terdepresiasi maka harga barang-barang domestik relatif lebih murah daripada harga barang-barang luar negeri, sehingga negara tersebut akan cenderung untuk melakukan ekspor.
(8)
2.1.2 Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai tukar di suatu negara memiliki pengaruh dan peranan terhadap resiko dari fluktuasi nilai tukar yang akan memengaruhi perekonmian negara tersebut. Sistem nilai tukar dalam keuangan internasional diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate).
Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai mata uang dipagu relatif terhadap nilai mata uang lain, sehingga nilai tukar dibuat tetap (Mishkin, 2009). Menurut Mankiw (2003), nilai tukar tetap merupakan nilai tukar yang ditetapkan oleh kehendak bank sentral untuk membeli dan menjual mata uang domestik terhadap mata uang asing pada harga yang sudah ditetapkan sebelumnya. Nilai tukar tetap mengarahkan kebijakan moneter pada satu tujuan tunggal, yaitu mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang telah diumumkan. Dengan kata lain, esensi dari sitem nilai tukar tetap adalah komitmen bank sentral untuk membiarkan jumlah uang beredar menyesuaikan berapapun nilai tukar yang menjamin nilai tukar ekuilibrium sama dengan nilai tukar yang diumumkan. Selain itu, selama bank sentral siap membeli atau menjual mata uang asing pada nilai tukar tetap, jumlah uang beredar menyesuaikan secara otomatis pada tingkat yang diperlukan.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagian besar perekonomian dunia beroperasi dengan sistem Bretton-Woods, yaitu sistem moneter internasional yang disepakati sebagian besar negara untuk menetapkan nilai tukar. Dengan sistem nilai tukar Bretton-Woods maka nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain menjadi pasti, sehingga eksportir dan importir dapat memperhitungkan keuntungan dari transaksi perdagangan internasional. Dunia membatalkan sistem ini pada tahun 1973, dan nilai tukar dibiarkan mengambang.
Nilai tukar mengambang merupakan nilai tukar yang dibiarkan oleh bank sentral untuk berubah dalam menanggapi perubahan kondisi ekonomi dan kebijakan ekonomi (Mankiw, 2003). Dengan sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Tetapi nilai tukar mengambang memiliki dampak negatif karena nilai tukar menjadi tidak stabil sehingga sewaktu-waktu bisa berubah. Perubahan yang tidak stabil dalam nilai tukar ini dapat berpengaruh
(9)
terhadap perdagangan internasional karena hal ini dapat membuat eksporir dan imporir tidak dapat dengan mudah memperhitungkan keuntungan yang dapat dihasilkan dari kegiatan perdagangan internasional.
2.1.3 Teori Permintaan
Kurva permintaan adalah kurva yang memperlihatkan hubungan antara harga dari suatu produk dan jumlah dari produk yang diminta. Hukum permintaan menjelaskan bahwa ketika harga suatu produk turun, maka jumlah yang diminta dari produk tersebut akan meningkat, sebaliknya jika harga dari suatu produk naik maka jumlah yang diminta dari produk tersebut akan turun (Hubbard dan O’Brien, 2009). Terdapat beberapa variabel yang dapat menggeser permintaan pasar, diantaranya adalah:
a. Pendapatan: pendapatan yang dimiliki konsumen untuk dibelanjakan memengaruhi keinginan dan kemampuan mereka untuk membeli barang. Suatu barang disebut barang normal ketika permintaan barang tersebut meningkat mengikuti peningkatan pendapatan, dan sebaliknya. Suatu barang disebut barang inferior ketika permintaan barang tersebut turun mengikuti peningkatan dalam pendapatan , dan sebaliknya.
b. Harga relatif: harga barang lain dapat memengaruhi permintaan terhadap suatu barang.
Secara umum perdagangan internasional dibedakan menjadi dua, yaitu ekspor dan impor. Ekspor merupakan barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri dan kemudian dijual di luar negeri. Sedangkan impor merupakan barang dan jasa yang diproduksi di luar negeri dan kemudian dijual di dalam negeri (Delong, 2002).
Impor merupakan salah satu kegiatan dalam perdagangan internasional dari sisi permintaan. Jika dilihat dari teori permintaan, maka terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi permintaan impor, diantaranya adalah:
2.1.3.1Kaitan Impor dengan Pendapatan Riil
Pendapatan riil merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi impor. Pendapatan riil suatu negara dapat diukur dengan GDP riil (Real Gross Domestic Product). GDP merupakan pendapatan total yang diperoleh secara domestik, termasuk pendapatan yang diperoleh faktor-faktor produksi yang
(10)
dimiliki asing (Mankiw, 2003). Salah satu komponen dalam GDP adalah ekspor bersih, yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Ekspor merupakan barang dan jasa yang diproduksi didalam negeri dan kemudian dijual diluar negeri. Sedangkan impor adalah barang dan jasa yang diproduksi diluar negeri dan kemudian dijual didalam negeri (Delong, 2002).
Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik dapat diukur dengan GDP riil. Hal ini karena GDP riil menghitung output barang dan jasa dalam perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga, dengan kata lain nilai barang dan jasanya diukur dengan menggunakan harga konstan. Sehingga GDP riil menunjukan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak. GDP riil dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.3)
GDP nominal mengukur nilai uang yang berlaku dari output perekonomian, sedangkan GDP deflator mengukur harga output relatif terhadap harganya pada tahun dasar (Mankiw, 2003).
Permintaan untuk impor dipengaruhi oleh pendapatan riil (Delong, 2002). Secara teori antara impor dengan pendapatan riil berhubungan positif. Jika semakin tinggi pendapatan riil maka ini sama saja dengan semakin banyak uang yang dimiliki atau digunakan oleh konsumen dan investor yang dapat dihabiskan atau digunakan untuk impor, sehingga impor akan meningkat.
Teori permintaan standar menunjukan bahwa turunan secara parsial dari permintaan impor terhadap pendapatan domestik adalah positif (Akpokodje dan Omojimite, 2009). Terdapat dua alasan kenapa impor riil diperkirakan akan meningkat karena pendapatan riil. Pertama, jika peningkatan dalam pendapatan riil akan meningkatkan konsumsi riil sehingga akan menyebabkan lebih banyak barang luar negeri yang akan dibeli, dengan asumsi distribusi pendapatan riil tidak berubah. Kedua, jika peningkatan pendapatan riil menyebabkan peningkatan dalam investasi riil sehingga investasi untuk barang-barang yang tidak diproduksi secara domestik harus dibeli dari luar negeri, hal ini berarti impor akan meningkat.
(11)
2.1.3.2Kaitan Impor dengan Harga Relatif
Harga relatif merupakan salah satu faktor yang memengaruhi impor. Menurut Mankiw (2003), harga relatif sama saja dengan nilai tukar riil. Nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal (mata uang domestik/mata uang luar negeri) dan tingkat harga diantara kedua negara. Hossain dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar riil ( ) sebagai berikut:
(2.4)
dimana adalah nilai tukar nominal (domestic currency/ foreign currency), adalah tingkat harga domestik, dan adalah tingkat harga luar negeri.
Hubungan antara nilai tukar riil dengan permintaan impor adalah negatif (Akpokodje dan Omojimite, 2009). Ini mengimplikasikan bahwa depresiasi dari nilai tukar riil akan meningkatkan biaya impor sehingga menyebabkan permintaan impor riil akan turun, dengan asumsi faktor lainnya dianggap konstan. Sebaliknya, apresiasi nilai tukar riil akan menyebabkan biaya untuk impor menjadi lebih rendah sehingga permintaan untuk impor menjadi meningkat.
2.1.3.3Kaitan Impor dengan Volatilitas Nilai Tukar
Salah satu perhatian utama sejak diperkenalkannya sistem nilai tukar mengambang adalah apakah peningkatan volatilitas nilai tukar (resiko) memengaruhi aliran perdagangan internasional. Volatilitas nilai tukar tidak hanya mengukur perubahan, tetapi lebih menunjukan faktor resiko dari mata uang. Semakin volatile mata uang berarti semakin besar resiko mata uang tersebut.
Volatilitas nilai tukar riil ( ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
(2.5)
dimana RER adalah nilai tukar riil.
Volatilitas nilai tukar berkaitan dengan arus perdagangan internasonal karena semakin besar volatilitas mata uang maka akan berdampak negatif terhadap arus perdagangan internasional (Arize, 1998). Peningkatan volatilitas nilai tukar merupakan resiko dalam melakukan perdagangan internasional, termasuk impor. Semakin tinggi volatilitas nilai tukar, akan menyebabkan biaya untuk impor menjadi lebih tinggi karena adanya biaya yang digunakan untuk menghindari resiko perdagangan yang pada akhirnya akan berdampak pada pengurangan perdagangan luar negeri. Hal ini karena adanya nilai tukar yang
(12)
disepakati pada kontrak perdagangan, sedangkan pembayaran terhadap perdagangan tersebut dilakukan sampai pengiriman barang dilakukan dimasa depan (pembayaran dilakukan setelah pengiriman terjadi). Jika perubahan nilai tukar menjadi tidak terduga atau tidak dapat diprediksi, hal ini akan menciptakan ketidakpastian mengenai keuntungan yang akan dibuat dari pengadaan kegiatan impor tersebut, dan karenanya akan mengurangi manfaat dari perdagangan internasional. Tetapi, hubungan antara volatilitas nilai tukar dan impor juga dapat positif. Menurut De Grauwe (1988), bahwa jika efek pendapatan lebih mendominasi efek substitusi maka akan menyebabkan hubungan positif antara perdagangan dan volatilitas.
Dampak volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh perilaku dari pelaku perdagangan internasional (Cheong, 2004). Jika pedagang bersikap risk-neutral, maka volatilitas nilai tukar dapat dijadikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan keuntungan sehingga akan menyebabkan peningkatan terhadap impor. Sebaliknya, jika pedagang bersikap menghindari resiko, maka volatilitas nilai tukar dianggap sebagai resiko dalam kegiatan impor yang dapat mengurangi keuntungan mereka dalam melakukan kegiatan impor tersebut sehingga akan cenderung mengurangi impor. Pengetahuan tentang sejauh mana volatilitas nilai tukar memengaruhi impor penting untuk desain kebijakan antara nilai tukar dan kegiatan impor. Misalnya, jika volatilitas nilai tukar menyebabkan peningkatan impor, maka program penyesuaian perdagangan untuk menghambat ekspansi impor tidak bisa berhasil jika nilai tukar tidak stabil.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian sebelumnya telah dikaji pengaruh dari volatilitas nilai tukar terhadap impor di berbagai negara dengan menggunakan beberapa metode. Dari penelitian terdahulu, hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan impor menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Sebagian besar penelitian menunjukan bahwa hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan impor adalah negatif, tetapi terdapat pula penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa hubungan volatilitas nilai tukar dengan impor adalah positif.
(13)
Penelitian yang memberi hasil bahwa hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan impor adalah positif yaitu penelitian yang dilakukan oleh Arize (1998) yang meneliti tentang efek volatilitas nilai tukar terhadap impor di Amerika Serikat. dalam penelitian ini, dia menggunakan Johansen, Stock&Watson, Phillips&Loretan. Hasil menunjukan bahwa pendapatan riil berpengaruh positif terhadap impor, sedangkan harga relatif dan volatilitas nilai tukar bepengaruh negatif terhadap impor di Amerika Serikat. Selain itu, dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki efek negatif dalam jangka pendek dan jangka panjang pada permintaan impor di Amerika Serikat.
Penelitian yang dilakukan Arize dan Shwiff (1998), tentang pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor di negara G-7 dengan menggunakan Multivariate Johansen Cointegration. Hasil menunjukan bahwa pendapatan riil berpengaruh positif terhadap impor di semua negara G-7 dan terdapat respon yang cukup besar dari impor terhadap perubahan pendapatan riil. Untuk harga relatif berpengaruh negatif terhadap impor di semua negara G-7 kecuali Perancis. Sedangkan volatilitas nilai tukar memiliki efek negatif terhadap impor di semua negara G-7 kecuali untuk Kanada. Dengan menggunakan Stock&Watson
estimates dan Phillips&Loretan estimates menghasilkan tanda dan signifikansi dari koefisien yang mirip dengan menggunakan Multivariate Johansen Cointegration.
Alam dan Ahmed (2011) menganalisis pengaruh volatilitas nilai tukar dan beberapa variabel penjelas terhadap impor bilateral di Pakistan terhadap mitra dagang utamanya yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Jerman, dan Kuwait. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan model Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Hasil menunjukan bahwa ada bukti hubungan jangka panjang antara bilateral impor, pendapatan riil, harga relatif, nilai tukar riil efektif, dan volatilitas nilai tukar riil di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Jerman. Volatilitas nilai tukar berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap impor bilateral Pakistan untuk Inggris. Untuk impor bilateral Pakistan terhadap Amerika Serikat dan Jepang, volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap impor
(14)
bilateral. Sedangkan volatilitas nilai tukar berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap impor bilateral Pakistan untuk Jerman, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Alam dan Ahmed (2010) mengkaji hubungan volatilitas nilai tukar terhadap impor di Pakistan. Dalam peneliannya, mereka menggunakan model Autoregressive Distributed Lag (ARDL) untuk mengidentifikasi pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor. Hasil menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar riil berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap impor di Pakistan.
Abdul H. Sukar meneliti pengaruh nilai tukar yang tidak terduga terhadap impor di Amerika Serikat. Dalam penelitiannya, ia menggunakan Error Correction Model (ECM) dan hasilnya menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap impor di Amerika Serikat.
Koray dan Lastrapes (1989) menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya volatilitas nilai tukar terhadap impor bilateral Amerika Serikat dengan Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, dan Kanada. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan VAR. Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang lemah dari volatilitas nilai tukar terhadap impor dan volatilitas nilai tukar cenderung mengurangi impor.
Cheong (2004) memeriksa pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor di Inggris. Dalam penelitiannya, dia menggunakan model GARCH untuk mengukur resiko dari fluktuasi nilai tukar. ECM digunakan untuk melihat pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor di Inggris. Hasil penelitian menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap impor di Inggris.
Selain itu Kayis dan Ozturk (2005) dengan menggunakan GARCH meneliti hubungan volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan bilateral antara Amerika serikat dengan Hongkong, Korea, dan Singapura. Hasil menunjukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara volume perdagangan dengan volatilitas nilai tukar, yang artinya bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar menurunkan perdagangan internasional.
Terdapat pula penelitian yang menyimpulkan hubungan yang positif antara volatilitas nilai tukar dengan impor. Penelitian yang dilakukan oleh Choudhly
(15)
(2008), tentang hubungan volatilitas nilai tukar terhadap impor riil di Inggris dari Kanada, Jepang, dan New-Zealand. Dalam penelitiannya, dia menggunakan Error Correction Model (ECM). Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan dan positif dari volatilitas nilai tukar terhadap impor riil di Inggris dari Kanada, Jepang, dan New-Zealand.
Akpokodje dan Omojimite (2009) mengkaji mengenai pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor di negara ECOWAS. Mereka menggunakan GARCH dalam menghitung volatilitas nilai tukar. Dengan menggunakan panel data, hasil menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki dampak yang negatif terhadap impor di semua negara ECOWAS, tetapi setelah dipisah antara negara-negara CFA dan non CFA maka hasilnya menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki dampak positif terhadap impor di negara CFA, dan sebaliknya di negara non CFA. Sedangkan pengaruh nilai tukar riil dan pendapatan domestik terhadap impor adalah sama, baik di negara CFA maupun non CFA, dimana nilai tukar riil berhubungan negatif dengan impor sedangkan pendapatan domestik berhubungan positif dengan impor.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menganalisis hubungan volatilias nilai tukar riil terhadap impor dengan menggunakan sampel negara yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Selain itu perbedaan penelitian ini adalah cakupan time series (periode penelitian), dan metode yang digunakan adalah dengan menggunakan panel dinamis (dynamic panel).
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel yang diduga berpengaruh terhadap impor. Variabel tersebut yaitu pendapatan riil, harga relatif, dan volatilitas nilai tukar riil. Permintaan untuk impor diukur dengan menggunakan indeks volume impor (M), pendapatan riil diukur dengan menggunakan GDP riil (Y), harga relatif diukur dengan menggunakan nilai tukar riil (RER), dan volatilitas nilai tukar (V) dihitung dengan menggunakan standar deviasi.
(16)
Impor dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing kawasan. Tetapi, dalam penelitian ini, lebih berfokus pada pengaruh volatilitas nilai tukar riil terhadap impor. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana respon impor terhadap perubahan yang terjadi pada volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 dengan menggunakan analisis eksploratif dan model panel data dinamis.
Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang mempengaruhi impor
Volatilitas Nilai Tukar Riil Nilai tukar
Riil Pendapatan
Riil
Karakteristik Kawasan Asian Financial Crisis
Impor
Granger Causality test
Analisis Eksploatif Estimasi model panel
(17)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder negara-negara di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara) yang diperoleh dari beberapa sumber diantaranya World Development Indicators (WDI), World Bank, CEIC, dan beberapa sumber lainnya. Data yang digunakan dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 dan data cross-section. Penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal dan artikel yang terkait dengan penelitian ini.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah permintaan impor dengan menggunakan data indeks volume impor, pendapatan riil dengan proxy
GDP riil, harga relatif dengan proxy nilai tukar riil, dan volatilitas nilai tukar riil. Berikut adalah variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
M : Indeks volume impor (2000 = 100) Y : GDP riil (constant 2005 LCU)
RER : Nilai tukar riil (2005 = 100), dimana peningkatan mengindikasikan depresiasi
V : Volatilitas nilai tukar riil yang diperoleh dengan menggunakan standar deviasi.
3.2 Metode Analisis
Dalam penelitian ini, untuk mendukung analisis mengenai hubungan impor dengan volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara), maka digunakan berbagai metode analisis data dengan bantuan software Microsoft Excel 2007, Eviews 6, dan Stata 12.
3.2.1 Granger Causality Test pada Data Panel
Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum.
(18)
Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas
(explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y, dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang memengaruhi X dan Y (Fauzi, 2007).
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
(3.1) (3.2) Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.1), X memengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien tidak sama dengan nol (0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.2), Y memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y.
Dalam penelitian ini, Granger Causality Test dilakukan untuk menganalisis hubungan variabel-variabel independen dan impor pada data penel. Dengan menggunakan software ekonometrik, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1. 3.2.2 Data Panel Dinamis
Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai ketersediaan data (data availability) untuk mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Misalnya, terkadang bentuk data dalam series yang tersedia pendek sehingga proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan
(19)
berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang minim. Lain halnya terkadang ditemukan bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang hendak diteliti. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi seperti yang telah disebutkan di atas salah satunya dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik/efisien dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom) (Fauzi, 2007).
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut
unbalanced panel.
Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain adalah:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien.
3. Lebih baik untuk mempelajari studi yang bersifat dinamis (dynamics of adjustment)
(20)
4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi data panel dinamis dalam Indra (2009) adalah sebagai berikut:
(3.3)
dengan menyatakan suatu skalar, menyatakan matriks yang berukuran 1 x K
dan matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini diasumsikan mengikuti model
one way error component sebagai berikut:
(3.4)
dengan menyatakan pengaruh individu dan
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model
(REM) terkait perlakuan terhadap . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka juga merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor dengan . Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen:
(3.5)
dengan dimana dan saling bebas
satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh:
(21)
dengan dan . Untuk menganalisis sifat dari , dapat disubstitusi persamaan (3.5) ke (3.6) untuk memperoleh persamaan sebagai berikut:
(3.7)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan (3.7) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukan (Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa:
sehingga, untuk tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari,
pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah
asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009).
Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
1. First-differences GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
(22)
First-differences GMM (AB-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten dimana dengan tertentu, akan dilakukan first-difference pada persamaan (3.5) untuk mengeliminasi pengaruh individu sebagai berikut:
(3.9)
namun, penduga dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena dan berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan jika . Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen. Disini, berkorelasi dengan
tetapi tidak berkorelasi dengan , dan tidak berkorelasi serial. Disini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai berikut:
(3.10)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah:
penduga (3.11) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif dimana
digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai berikut:
(3.12)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah:
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu
(23)
periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa:
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh:
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T
= 4 diperoleh:
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan:
(3.16)
(24)
(3.17)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai:
(3.18)
yang merupakan kondisi bagi . Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan persamaan sebagai:
(3.19)
Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yaitu:
(3.20)
dengan adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendiferensiasikan terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai:
(3.21)
Sifat dari penduga GMM (3.21) bergantung pada pemilihan yang konsisten selama definit positif, sebagai contoh yang merupakan matriks identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi:
(25)
dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)
(3.23)
dengan menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:
(3.24)
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)
(3.25)
sebagai catatan bahwa persamaan (3.25) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka persamaan (3.3) dapat ditulis kembali menjadi:
(3.26)
Parameter persamaan (3.26) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila
(26)
strictly exogenous dalam artian bahwa tidak berkorelasi dengan sembarang
error , akan diperoleh:
(3.27)
sehingga dapat ditambah kedalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat sejumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen:
Matriks instrumen dapat ditulis sebagai:
(3.28)
Bila variabel tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus dimana dan tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan
diperoleh . Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai:
(3.29)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan
predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus ini.
Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Dalam model AR(1) pada persamaan (3.5), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu meningkat relatif terhadap varian transient error .
Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan
(27)
metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu yang relatif kecil.
Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen.
System GMM (SYS-GMM)
Indra (2009), ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada
level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences
dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
(3.30)
dengan untuk
. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada , oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just Indentified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan pada . Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari persamaan (3.30) yang dievaluasi pada saat dengan mengurangi kedua ruas persamaan tersebut, yakni:
(3.31)
Dikarenakan ekspektasi akan bias ke atas (upward biased) dengan
(28)
(3.32)
dengan . Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke dengan parameter non-centrality
Karena maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference
GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi .
Menurut Firdaus (2011), beberapa kriteria yang digunakan untuk menemukan model dinamis atau GMM terbaik adalah:
1. Tidak bias. Estimator dari pooled least squares bersifat biased upwards
dan estimator dari fixed-effects bersifat biased downmwards. Estimator yang tidak bias berada di antara keduanya.
2. Instrumen valid. Validitas ini diperiksa dengan menggunakan Uji Sargan. Instrumen akan valid bila Uji Sargan tidak dapat menolak hipotesis nol. 3. Konsisten. Sifat konsistensi dari estimator yang diperoleh dapat diperiksa
dari statistik Arellano-Bond dan , yang dihitung secara otomatis pada beberapa perangkat lunak. Estimator akan konsisten bila statistik menunjukan hipotesis nol ditolak dan menunjukan hipotesis nol tidak ditolak.
3.3 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, model umum yang digunakan adalah fungsi regresi untuk seluruh kawasan. Model umum yang digunakan dipelopori oleh Kenen dan Rodrick (1986). Penulis mengembangkan model tersebut dengan menambahkan variabel baru yaitu variabel lag dependent sebagai regresor. Model umum seluruh kawasan yang akan diestimasi adalah sebagai berikut:
(29)
dimana:
= logaritma natural dari indeks volume impor = logaritma natural dari lag indeks volume impor = logaritma natural dari GDP riil
= logaritma natural dari nilai tukar riil; peningkatan menandakan depresiasi
= Volatilitas nilai tukar riil
= Koefisien
= koefisien regresi yang menunjukan slope dari variabel penjelas
= error.
Data yang digunakan adalah dari negara-negara berikut:
Kawasan ASEAN+6 : Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Cina, Korea Selatan, Jepang, India, Australia, dan New Zealand.
Kawasan non ASEAN+6 : Perancis, Jerman, Inggris, Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.
3.4 Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, akan dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar riil tehadap impor. Pertimbangan memilih nilai tukar riil sebagai variabel penjelas fungsi permintaan impor dikarenakan nilai tukar riil sudah cukup dapat menggambarkan posisi daya saing suatu negara relatif terhadap negara lainnya. Dalam analisis ini faktor-faktor eksternal yang mungkin berpengaruh dalam analisis dianggap konstan.
(30)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Eksploratif
Analisis eksploratif dilakukan dengan maksud untuk memberikan deskripsi, gambaran secara sistematis mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Fauzi, 2007). Analisis eksploratif dalam penelitian ini akan dijelaskan mengenai kondisi umum dari masing-masing variabel yang digunakan yang dilakukan terhadap negara di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Analisis akan dimulai dengan memberikan gambaran mengenai hubungan antara impor dan variabel-variabel yang diperkirakan berpengaruh, sehingga akan diperoleh gambaran umum mengenai fakta-fakta dan hubungan antar variabel.
4.1.1 Hubungan Impor dengan Gross Domestic Product (GDP) Riil
Pada Gambar 4.1 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan GDP riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara) periode 2002 sampai 2010. Pada gambar tersebut semua data dihitung dalam logaritma natural.
Pada Gambar 4.1 merupakan hubungan rata-rata impor dengan GDP riil untuk kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6. Pada gambar tersebut terlihat bahwa negara-negara di kawasan non ASEAN+6, cenderung memiliki pendapatan riil yang relatif tinggi dengan impor yang rendah daripada negara-negara di kawasan ASEAN+6. Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki GDP riil paling tinggi daripada negara lainnya, hal ini disebabkan karena Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki ekonomi terbesar di dunia. Dibidang perekonomian, Amerika Serikat banyak memegang peran penting. Sebagai negara yang menganut paham ekonomi kapitalis dan perdagangan bebas, perdagangan di Amerika Serikat mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir semua negara di dunia menjalin hubungan dagang dengannya. Impor Amerika Serikat biasanya berupa bahan-bahan baku industri dan ekspornya biasanya berupa produk-produk olahan seperti mesin-mesin, pesawat, alat-alat kedokteran yang memiliki nilai tambah yang besar, sehingga GDP riil mereka menjadi tinggi.
(31)
Sumber: World Development Indicators, diolah
Keterangan : IDN = Indonesia; MYS= Malaysia; SGP = Singapura; PHL = Filipina; THA = Thailand; CHN = China; KOR = Korea Selatan; JPN = Jepang; IND = India; AUS = Australia; NZL = New Zealand; DEU = Jerman; FRA = Perancis; GBR = Inggris; MEX = Meksiko; CAN = Kanada; USA = Amerika Serikat
Gambar 4.1 Hubungan Indeks Volume Impor dan GDP Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Untuk negara-negara di kawasan ASEAN+6 memiliki GDP riil yang relatif lebih kecil daripada negara non ASEAN+6, kecuali untuk salah satu negara maju di kawasan ASEAN+6 yaitu Jepang. Jepang merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Jepang memiliki GDP riil yang paling besar daripada negara-negara di kawasan ASEAN+6 lainnya dengan impor yang paling rendah. Hal ini dapat disebabkan karena Jepang mengimpor bahan-bahan baku. Bahan baku tersebut mereka produksi terlebih dahulu sebelum diekspor, yang menyebabkan mereka memperoleh nilai tambah yang tinggi dengan cara memproduksi bahan baku tersebut yang didukung dengan teknologi dan sumber daya manusia yang canggih. Hal ini menyebabkan GDP riil mereka menjadi tinggi. 4.7 4.8 4.9 5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
24 25 26 27 28 29 30 31
R ata -r ata In d e ks Vo lu m e Im p o r
Rata-rata GDP Riil (USD)
Indeks Volume Impor dan GDP Riil (USD)
USA JPN DEU GBR FRA CHN IND KOR CAN MEX AUS IDN THA SGP MYS PHL NZL
(32)
4.1.2 Hubungan Impor dengan Nilai Tukar Riil
Pada Gambar 4.2 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Pada gambar tersebut semua data dihitung dalam logaritma natural sehingga menyebabkan terdapat rata-rata nilai tukar riil yang bernilai negatif. Semakin besar rata-rata nilai tukar riil menandakan rata-rata nilai tukar riil di negara tersebut semakin lemah.
Sumber: World Development Indicators, diolah
Gambar 4.2 Hubungan Indeks Volume Impor dan Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa hubungan antara indeks volume impor dan nilai tukar riil untuk kawasan non ASEAN+6 cenderung mengumpul di satu tempat dengan nilai tukar riil yang relatif lebih kuat dan impor yang relatif lebih rendah daripada negara di kawasan ASEAN+6. Untuk kawasan non ASEAN+6, Inggris merupakan negara yang memiliki nilai tukar riil yang paling kuat daripada negara lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena Poundsterling adalah mata uang yang memiliki urutan keempat sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di bursa dunia setelah dolar Amerika Serikat, Euro, dan Yen.
4.6 4.8 5 5.2 5.4 5.6
-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
R ata -r ata In d e ks Vo lu m e Im p o r
Rata-rata Nilai Tukar Riil
Indeks Volume Impor dan Nilai Tukar Riil
CHN IND NZL MYS AUS SGP FRA DEU USA GBR CAN MEX JPN PHL THA KOR IDN(33)
Selain itu, Inggris memiliki impor yang kecil karena mereka lebih percaya terhadap produk yang ada di pasar lokal Inggris daripada harus mengimpor barang dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan mereka tidak perlu menukarkan banyak Poundsterling untuk mendapatkan mata uang negara lain karena mereka jarang mengimpor dalam jumlah besar, sehingga jarang mata uang Poundsterling yang ditukar ke mata uang negara lain, akibatnya Poundsterling lebih bertahan nilai tukarnya.
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa Indonesia memiliki nilai tukar riil yang paling lemah dengan indeks volume impor yang hampir sama dengan negara lainnya. Lemahnya nilai tukar riil Indonesia dapat disebabkan karena Indonesia merupakan negara berkembang yang cenderung mengekspor bahan baku atau bahan mentah ke negara maju. Bahan baku tersebut kemudian diolah oleh negara maju tersebut dan dijual kembali ke negara Indonesia dengan biaya yang lebih mahal, hal ini membuat cadangan devisa Indonesia menjadi rendah. Cadangan devisa yang rendah ini memengaruhi posisi tawar (permintaan dan penawaran) dan mata uang Rupiah. Sehingga cadangan devisa yang rendah yang dimiliki Indonesia ini membuat nilai mata uang (nilai tukar riil) Indonesia menjadi lemah. 4.1.3 Hubungan Impor dengan Volatilitas Nilai Tukar Riil
Pada Gambar 4.3 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6. Semakin besar rata-rata volatilitas nilai tukar riil menandakan semakin besar resiko mata uang negara tersebut.
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa volatilitas nilai tukar riil di Kanada memiliki nilai yang paling tinggi, ini berarti bahwa resiko mata uang negara Kanada adalah yang paling tinggi daripada mata uang negara lain. Hal ini dapat disebabkan karena dampak dari krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 yang menyebabkan nilai tukar di Kanada berfluktuasi dan memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Peningkatan volatilitas nilai tukar riil di Kanada sebagai dampak dari krisis keuangan global mulai terjadi pada tahun 2008. Volatilitas nilai tukar riil di Kanada mangalami peningkatan yang besar pada tahun 2008 dan 2009.
(34)
Sumber: World Development Indicators, CEIC, Bank of Canada, Australia Bureau Statistic, diolah
Gambar 4.3 Hubungan Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Pada Gambar 4.4, adalah gambar hubungan antara indeks volume impor dan volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 maupun non ASEAN+6 tanpa menyertakan Kanada, karena apabila Kanada disertakan dalam gambar, maka akan menyebabkan negara yang lainnya sulit untuk dilihat atau dibandingkan, maka Kanada akan disingkirkan dalam analisis pada Gambar 4.4.
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa volatilitas nilai tukar riil di Amerika Serikat memiliki nilai yang paling rendah, hal ini berarti bahwa resiko mata uang negara Amerika Serikat adalah rendah. Rendahnya volatilitas nilai tukar Amerika Serikat dapat disebabkan karena, mata uang negara di seluruh dunia mengacu kepada mata uang Amerika Serikat, sehingga menyebabkan nilai tukar mereka menjadi lebih stabil dan memiliki resiko yang kecil.
Dalam Gambar 4.4, terlihat bahwa untuk negara-negara di kawasan non ASEAN+6 memiliki hubungan antara indeks volume impor dan volatilitas nilai tukar riil yang relatif sama. Hal ini dapat terlihat bahwa untuk negara-negara di
4.6 4.7 4.8 4.9 5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
R ata -r ata In d e ks Vo lu m e Im p o r
Rata-rata Volatilitas Nilai Tukar
Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai
Tukar
CHN IND THA KOR NZL FRA AUS SGP MYS DEU PHL GBR MEX JPN USA CAN(35)
kawasan non ASEAN+6 memiliki titik yang cenderung mengumpul di satu tempat. Oleh karena itu, dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor, maka dalam penelitian ini akan dibandingkan faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6.
Sumber: World Development Indicators, CEIC, Australia Bureau Statistic, diolah
Gambar 4.4 Hubungan Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 (Tanpa Kanada) Periode
2002-2010
4.2 Granger Causality Test pada data panel
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model umum penelitian.
Tanda “√” menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan probabilitas < tingkat kritis α=10% (hasil granger causality test untuk seluruh kawasan dan tiap kawasan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hipotesis nol untuk baris pertama adalah ln(Y) tidak memengaruhi ln(M) dan ln(M) tidak memengaruhi ln(Y). Dari tabel dapat terlihat bahwa hasil untuk kasus seluruh kawasan sama seperti kasus untuk kawasan ASEAN+6, dimana terdapat
4.6 4.7 4.8 4.9 5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 0.008 0.009 0.01
R ata -r ata In d e ks Vo lu m e Im p o r
Rata-rata Volatilitas Nilai Tukar
Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai
Tukar
CHN
IND
THA KOR NZL
FRA AUS SGP MYS DEU PHL IDN GBR MEX JPN USA
(36)
hubungan kausalitas satu arah antara ln(M) dan ln(Y) pada lag 1 dan lag 2. Pada lag 1 ln(M) secara signifikan memengaruhi ln(Y), sedangkan pada lag 2 ln(Y) secara signifikan memengaruhi ln(M). Hal ini berarti bahwa impor secara signifikan mempengaruhi GDP riil pada lag 1, sedangkan pada lag 2 GDP riil secara signifikan memengaruhi impor. Untuk kawasan non ASEAN+6 ditemukan hubungan kausalitas satu arah yaitu ln(M) secara signifikan memengaruhi ln(Y).
Tabel 4.1. Granger Causality Test
Hipotesis Nol
Seluruh Kawaan Kawasan ASEAN+6 Kawasan non ASEAN+6 1 lag 2 lag 3 lag 1 lag 2 lag 3 lag 1 lag 2 lag 3 lag √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keterangan: Periode sample 2002-2010; M = indeks volume Impor; Y = GDP riil; RER = nilai tukar riil; V = volatilitas nilai tukar riil; = tidak mempengaruhi, dan √ = tolak hipotesis nol. (Hasil Granger Causality Test dapat dilihat pada Lampiran 1). Hipotesis nol untuk baris kedua adalah ln(RER) tidak memengaruhi ln(M) dan ln(M) tidak memengaruhi ln(RER). Dari hasil terlihat bahwa untuk kasus seluruh kawasan dan kawasan ASEAN+6 memberikan hasil yang sama yaitu terdapat hubungan kausalitas satu arah antara ln(M) dan ln(RER) hanya pada lag 2 dan lag 3, dimana impor secara signifikan memengaruhi nilai tukar riil. Sedangkan untuk kawasan non ASEAN+6, terdapat hubungan kausalitas satu arah antara impor dan nilai tukar riil pada seluruh lag, dimana impor secara signifikan memengaruhi nilai tukar riil.
(37)
Hipotesis nol untuk baris ketiga adalah ln(V) tidak memengaruhi ln(M) dan ln(M) tidak memengaruhi ln(V). Dari hasil terlihat bahwa untuk kasus kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 terdapat hubungan kausalitas satu arah antara ln(V) dan ln(M), dimana ln(V) memengaruhi ln(M). Hal ini berarti bahwa volatilitas nilai tukar riil secara signifikan memengaruhi impor. Sedangkan untuk kasus seluruh kawasan, hubungan kausalitas searah antara ln(V) dan ln(M), dimana volatilitas nilai tukar riil secara signifikan memengaruhi impor pada lag 1 dan lag 2.
Dalam kaitan untuk mengetahui bagaimana hubungan impor dengan variabel-variabel yang memengaruhinya maka dapat disimpulkan bahwa granger causality test menunjukan untuk kasus seluruh kawasan, kawasan ASEAN+6, dan kawasan non ASEAN+6 ditemukan hubungan kausalitas satu arah antara impor dengan variabel-variabel yang memengaruhinya, diantaranya GDP riil, nilai tukar riil, dan volatilitas nilai tukar riil.
4.3 Hasil Estimasi Penelitian: Model Seluruh Kawasan
Pada subbab ini akan dibahas apa saja yang memengaruhi impor di seluruh kawasan dengan menggunakan metode kuantitatif. Mengingat semakin pentingnya impor bagi suatu negara maka dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor suatu negara, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar dan impor. Penelitian tentang hubungan volatilitas nilai tukar riil dengan impor telah menjadi banyak perhatian bagi para ekonom di dunia. Hal ini karena dampak volatilitas nilai tukar riil terhadap impor dapat berbeda di setiap negara, sehingga akan berpengaruh terhadap kebijakan apa yang harus diterapkan oleh negara tersebut.
Tabel 4.2 menyajikan hasil estimasi koefisien faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan. Dengan menggunakan System-Generalized Method of Moment (SYS-GMM) dalam estimasi twostep.
Untuk menemukan model terbaik, maka harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu penduga yang konsisten, instrumen valid, dan penduga tidak bias. Sifat konsistensi dari penduga ditunjukan oleh hasil estimasi Arellano-Bond (AB). Pada Tabel 4.2, hasil estimasi AB ditujukan oleh nilai statistik m1 (-3,0251) yang
(38)
signifikan pada taraf nyata 5 persen dan nilai statistik m2 (0,35796) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Tidak signifikannya nilai statistik m2 mengindikasikan kurangnya second order serial
correlation di dalam residual dari pembedaan spesifikasi, sehingga penduga dapat dikatakan sudah konsisten. Selanjunya, validitas instrumen dapat diperiksa dengan uji Sargan. Nilai statistik pada uji sargan sebesar 16,69518 dengan probabilitas 0,9944 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan
over-identifying restrictions, sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen sudah valid. Sedangkan sifat tidak bias (unbiased) pada penduga dapat dilihat dari nilai koefisien hasil estimasi yang berada diantara pooled least square (PLS) dan fixed-effects (FE). Dalam penelitian ini, nilai koefisien hasil estimasi dari lag M dengan menggunakan GMM sebesar 0,6539072 yang lebih besar dari nilai koefisien lag
M pada FE (0,5501853) dan lebih kecil dari nilai koefisien lag M pada PLS (0,9791112). Sehingga dapat dikatakan bahwa penduga bersifat tidak bias.
Tabel 4.2: Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Impor Seluruh Kawasan (ASEAN+6 dan Non ASEAN+6)
Parameter Estimated
Coefficients Standard Error
P-value
SYS-GMM
Lag M
Y
RER
V
_cons
Pooled Least Square
Lag M Fixed Effect
(39)
AB Test z
Arrelano-Bond m1
Arrelano-Bond m2
Sargan Test
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap impor dalam kasus seluruh kawasan, yaitu lag impor (lag M), GDP riil (Y), dan volatilitas nilai tukar riil (V) yang masing-masing signifikan pada taraf nyata 5 persen. Sedangkan nilai tukar riil (RER) tidak berpengaruh signifikan terhadap impor pada taraf nyata 5 persen.
4.3.1 Variabel Lag Impor
Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa lag impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor. Lag impor memiliki nilai koefisien 0,6539702 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan impor pada periode sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, maka akan menyebabkan peningkatan impor sebesar 0,6539702 persen. Hal ini berarti bahwa impor untuk periode selanjutnya berkorelasi dengan impor pada periode sebelumnya. Korelasi antara impor periode sebelumnya dengan periode selanjutnya dapat digunakan oleh pemerintah dalam meramalkan impor periode selanjutnya sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat agar neraca pembayaran tetap seimbang.
4.3.2 Variabel GDP Riil
Pada Tabel 4.2, variabel GDP riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor. Nilai koefisien dari GDP riil adalah 0,1886631 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan GDP riil sebesar 1 persen, cateris paribus, maka akan meningkatkan impor sebesar 0,1886631 persen. Hal ini sesuai dengan teori yang yang dikemukakan oleh Delong (2002). Secara teori antara impor dengan pendapatan riil berhubungan positif. Jika semakin tinggi pendapatan riil maka ini sama saja dengan semakin
(40)
tinggi daya beli masyarakat, sehingga semakin banyak uang yang dimiliki atau digunakan oleh konsumen dan investor yang dapat dihabiskan atau digunakan untuk impor, sehingga impor akan meningkat.
Hubungan positif dan signifikan antara impor dan GDP riil dalam penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya penelitian dari Akpokodje dan Omojimite (2009), yang menjelaskan bahwa terdapat dua alasan kenapa impor dapat meningkat karena GDP riil meningkat. Pertama, jika peningkatan dalam GDP riil akan meningkatkan konsumsi riil, peningkatan konsumsi riil ini akan menyebabkan peningkatan dalam permintaan agregat. Jika penawaran domestik tidak dapat memenuhi peningkatan dalam permintaan agregat maka impor akan meningkat untuk memenuhi peningkatan permintaan agregat tersebut. Kedua, jika peningkatan GDP riil menyebabkan peningkatan dalam investasi riil sehingga investasi untuk barang-barang yang tidak diproduksi secara domestik harus dibeli dari luar negeri, hal ini berarti impor akan meningkat
4.3.3 Variabel Volatilitas Nilai Tukar Riil
Pada Tabel 4.2 untuk kasus seluruh kawasan, volatilitas nilai tukar riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor. Nilai koefisien dari volatilitas nilai tukar riil adalah 0,3061796 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Artinya, jika volatilitas nilai tukar riil meningkat sebesar 1 persen, cateris paribus, maka akan menyebabkan impor meningkat sebesar 0,3061796 persen.
Hubungan volatilitas nilai tukar riil terhadap impor di kasus seluruh kawasan memiliki hubungan yang signifikan dan positif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Inggris oleh Choudhry (2008) dengan menggunakan
Error Correction Model. Pada penelitiannya, ditemukan hubungan yang positif dan signifikan antara volatilitas nilai tukar riil dan volume impor di Inggris dari Kanada, Jepang, dan New Zealand. Hubungan positif antara volatilitas nilai tukar riil dan volume impor dapat disebabkan karena pedagang bersikap risk-neutral, maka volatilitas nilai tukar dapat dijadikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan keuntungan sehingga akan menyebabkan peningkatan terhadap impor (Cheong, 2004). Menurut De Grauwe (1988), bahwa jika efek pendapatan
(41)
lebih mendominasi efek substitusi maka akan menyebabkan hubungan positif antara perdagangan dan volatilitas.
4.4 Hasil Estimasi Penelitian: Model Kawasan ASEAN+6
Pada pembahasan selanjutnya akan dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6. Tabel 4.3 menyajikan hasil estimasi koefisien faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6. Dengan menggunakan System-Generalized Method of Moment (SYS-GMM) dalam estimasi twostep maxldep(1) dengan variabel predetermined adalah volatilitas nilai tukar riil. Untuk menemukan model terbaik, maka harus memenuhi beberapa kriteria, dengan melakukan uji Arellano-Bond (AB), uji sargan, dan uji tidak bias.
Tabel 4.3: Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Impor Kawasan ASEAN+6
Parameter Estimated
Coefficients Standard Error
P-value
SYS-GMM
Lag M
Y
RER
V
_cons
Pooled Least Square
Lag M Fixed Effect
Lag M
AB Test z
(1)
Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square (PLS)
H0: no autocorrelation2 .1566 0.8756 1 -2.5273 0.0115 Order z Prob > z
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond
Prob > chi2 = 1.0000 chi2(55) = 9.900828
H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions
. estat sargan
_cons -.1018989 .2931043 -0.35 0.729 -.6848715 .4810737 v -7.541707 3.872315 -1.95 0.055 -15.24359 .1601716 rer -.0182242 .0134872 -1.35 0.180 -.0450497 .0086013 y .0163584 .0111843 1.46 0.147 -.0058867 .0386035
L1. .9561433 .0419971 22.77 0.000 .8726128 1.039674 m
m Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total 10.2410218 87 .117712895 Root MSE = .11846 Adj R-squared = 0.8808 Residual 1.16467104 83 .014032181 R-squared = 0.8863 Model 9.07635079 4 2.2690877 Prob > F = 0.0000 F( 4, 83) = 161.71 Source SS df MS Number of obs = 88 . reg m l.m y rer v
(2)
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
F test that all u_i=0: F(10, 73) = 4.65 Prob > F = 0.0000 rho .99188097 (fraction of variance due to u_i)
sigma_e .09873516 sigma_u 1.0913135
_cons -8.080665 4.474307 -1.81 0.075 -16.99795 .8366168 v .6065125 5.265066 0.12 0.909 -9.886749 11.09977 rer -.0257372 .1563236 -0.16 0.870 -.3372898 .2858154 y .339838 .1454063 2.34 0.022 .0500437 .6296323
L1. .5967571 .0782243 7.63 0.000 .4408564 .7526578 m
m Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.9514 Prob > F = 0.0000 F(4,73) = 73.96 overall = 0.0482 max = 8 between = 0.0265 avg = 8.0 R-sq: within = 0.8021 Obs per group: min = 8 Group variable: country Number of groups = 11 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 88 . xtreg m l.m y rer v, fe
(3)
Lampiran 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Impor
Kawasan Non ASEAN+6
Arellano Bond-Generalized Method of Moments (AB-GMM)
STATA Licensed to: STATAforAll Serial number: 93611859953
Single-user Stata network perpetual license:
979-696-4601 (fax)
979-696-4600 [email protected] 800-STATA-PC http://www.stata.com Special Edition College Station, Texas 77845 USA
4905 Lakeway Drive Statistics/Data Analysis StataCorp
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP /__ / ____/ / ____/
___ ____ ____ ____ ____ (R)
Instruments for differenced equation errors are recommended.
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
_cons -58.70728 24.35128 -2.41 0.016 -106.4349 -10.97966 rer -.1001764 .4923335 -0.20 0.839 -1.065132 .8647795 y 2.24386 .8788666 2.55 0.011 .5213132 3.966407 v -.1758792 .1551878 -1.13 0.257 -.4800417 .1282833
L1. -.1584503 .2083035 -0.76 0.447 -.5667178 .2498171 m
m Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] Two-step results
Prob > chi2 = 0.0000 Number of instruments = 41 Wald chi2(4) = 112.15 max = 7 avg = 7 Obs per group: min = 7 Time variable: tahun
Group variable: country Number of groups = 6 Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 42 . xtabond m y rer, twostep pre(v)
(4)
Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square (PLS)
H0: no autocorrelation2 1.2004 0.2300 1 -2.1024 0.0355 Order z Prob > z
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond
Prob > chi2 = 1.0000 chi2(36) = 4.141134
H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions
. estat sargan
_cons 1.496718 .6539318 2.29 0.027 .1779385 2.815497 v .0494105 .0649241 0.76 0.451 -.0815214 .1803424 rer -.0110209 .0155544 -0.71 0.482 -.0423893 .0203475 y -.0005977 .0164093 -0.04 0.971 -.0336902 .0324949
L1. .6998877 .0938049 7.46 0.000 .5107121 .8890634 m
m Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total .746224692 47 .015877121 Root MSE = .08202 Adj R-squared = 0.5763 Residual .289256873 43 .006726904 R-squared = 0.6124 Model .45696782 4 .114241955 Prob > F = 0.0000 F( 4, 43) = 16.98 Source SS df MS Number of obs = 48 . reg m l.m y rer v
(5)
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
F test that all u_i=0: F(5, 38) = 8.94 Prob > F = 0.0000 rho .99650489 (fraction of variance due to u_i)
sigma_e .05913887 sigma_u .99857837
_cons -29.99071 6.974515 -4.30 0.000 -44.10988 -15.87154 v -.0509285 .0615726 -0.83 0.413 -.1755758 .0737187 rer -.5107995 .1809218 -2.82 0.008 -.8770565 -.1445424 y 1.195524 .2542529 4.70 0.000 .6808157 1.710232
L1. .1210597 .1121101 1.08 0.287 -.1058953 .3480146 m
m Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.9923 Prob > F = 0.0000 F(4,38) = 26.42 overall = 0.0030 max = 8 between = 0.0472 avg = 8.0 R-sq: within = 0.7355 Obs per group: min = 8 Group variable: country Number of groups = 6 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 48 . xtreg m l.m y rer v, fe
(6)