Faktor-faktor yang Memengaruhi Fluktuasi Nilai Tukar Riil: Negara-negara ASEAN+6, Uni Eropa dan Amerika Utara: Pendekatan Panel Dinamis

(1)

1.1. Latar Belakang

Nilai tukar merupakan salah satu alat untuk kebijakan ekonomi bagi sebuah negara. Nilai tukar adalah salah satu indikator ekonomi yang sangat dibutuhkan khususnya sebagai daya saing ekonomi internasional karena mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembangunan ekonomi, perdagangan luar negeri dan neraca modal yang didalamnya ada instrumen investasiportofolio dan investasi langsung luar negeri atau Foreign Direct Invesment (FDI). Kebijakan mengenai fluktuasi nilai tukar riil telah banyak menjadi pusat perhatian para ekonom diantara banyaknya kebijakan ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, pergerakan nilai tukar berdampak kepada para pelaku ekonomi termasuk pedagang, investor, manajer portofolio, perusahaan multinasional atau Multinational Corporation (MNC), dan pembuat kebijakan seperti pemerintah. Pergerakan nilai tukar dan hubungan yang penting antara teori yang berlaku dengan kenyataannya menjadi salah satu tantangan bagi ekonom dan juga pembuat kebijakan untuk saling bekerjasama.

Fluktuasi nilai tukar tidak hanya berpengaruh terhadap nilai mata uang dalam negeri terhadap masuknya mata uang dari luar negeri dan sebagai alat pembayaran di masa yang akan datang, tetapi fluktuasi nilai tukar juga berdampak kepada nilai mata uang luar negeri dengan memengaruhi volume dan nilai dari aliran perdagangan di masa yang akan datang. Secara umum, besaran pergerakan nilai tukar berasal dari beberapa faktor yang dominan seperti fundamental ekonomi sebuah negara, intervensi politik dan harapan di masa yang akan datang.

Secara historikal, semenjak jatuhnya sistem Bretton-Woods dimana berlaku nilai tukar nominal tetap pada awal tahun 1970-an, fluktuasi nilai tukar rill meningkat secara dramatis. Perkembangan rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate regime) membuat fluktuasi nilai tukar riil hampir menyamai pergerakan nilai tukar nominal dan secara konsekuen menunjukkan tingkat yang sama. Perubahan rezim nilai tukar mempunyai pengaruh dan


(2)

2

peranan yang penting bagi suatu negara. Pada rezim nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara melalui saluran permintaan agregat (agregat demand) dan penawaran agregat (agregat supply). Evolusi dari rezim nilai tukar dalam beberapa negara pasar ekonomi seperti, Amerika Latin dan Asia Timur ini sebagian besar banyak kemiripan. Acuan mata uang tunggal (single currecy pegged) yang terus meningkat untuk beberapa tahun terakhir dinilai kurang lazim (Chang dan Velasco, 2000 dalam Chowdury, 2004). Kebanyakan dari negara-negara tesebut berpindah dari rezim nilai tukar acuan jangka panjang (long-term pegged rate) menjadi rezim nilai tukar mengacu tapi menyesuaikan (pegged-but adjustable), dengan devaluasi yang curam, kemudian pada akhirnya menuju rezim mengambang terkendali (managed floating rate). Perubahan rezim nilai tukar ini tentunya mendeskripsikan adanya kecenderungan terhadap stabilitas nilai tukar nominal.

Nilai tukar riil merupakan ukuran daya saing internasional, banyak negara pasar ekonomi memakai kebijakan target nilai tukar riil, dimana fleksibilitas nilai tukar nominal digunakan untuk menetapkan apresiasi riil. Banyak negara pasar ekonomi yang berpengalaman dalam aliran modal masuk pada awal 1990-an, rezim nominal yang kaku tidak dapat bertahan lama (Osakwe dan Schemberi, 2002). Dengan kenyataan tersebut, banyak negara pasar ekonomi membuktikan bahwa tidak harus menggunakan rezim nilai tukar mengambang yang bebas dalam mengatur ketentuan nominal dan mengendalikan nilai tukar lebih ketat satu sama lain atau memakai mata uang jangkar. Menurut Calvo dan Reinhart (2002) dalam Chowdury (2004), kelemahan dari rezim mengambang ini timbul adanya potensi transmisi inflasi dari fluktuasi kurs yang tinggi dan jumlah kewajiban mata uang luar negeri sehingga untuk mentapkan acuan nilai tukar menjadi agenda kebijakan dalam negara pasar ekonomi.

Dampak dari rezim nilai tukar mengambang bebas juga mendasari perekonomian Indonesia, dimana variabilitas nilai tukar nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil tidak stabil. Fluktuasi dan ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah menjadi tinggi. Akibatnya peranan


(3)

ekspektasi pelaku ekonomi dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam memengaruhi gerakan nilai tukar. Real effective exchange rates (harga relatif) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan oleh karena itu adanya dampak yang ditimbulkan perlu diperhitungkan terhadap permintaan agregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Dengan demikian, fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi bisa memengaruhi sasaran-sasaran yang ingin dicapai seperti laju inflasi, laju pertumbuhan, dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan makro. (Fauzi, 2007)

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh banyak negara yakni upaya untuk mendorong liberalisasi perekonomian dan menuju integrasi ekonomi seperti Eropa denganEuropean Union dan Amerika Utara dengan North American Free Trade Area (NAFTA), maka Asia yang terdiri dari negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan bekerjasama dengan negara-negara ASEAN. Di Eropa sendiri, peningkatan kerjasama keuangan dan moneter adalah keberhasilan penyatuan ekonomi dan peluncuran mata uang tunggal yang telah diluncurkan mulai Januari 1999. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang dari spekulasi pasar keuangan telah menyita perhatian negara-negara di dunia. Untuk Asia sendiri hal ini ditandai denganASEAN-China Free Trade Area dan Joint Declaration on the Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang. Kemudian negara Selandia Baru dan Australia dalam mencari peluang liberalisasi ekonomi tersebut harus mencari relasi dan pilihannya yaitu bekerjasama dengan negara ASEAN. Hal tersebut juga dialami oleh India sehingga muncul ASEAN+6. Pada East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negara-negara ASEAN termasuk China, Jepang, Korea, Australia, India dan Selandia Baru. Kesepakatan ini dibentuk atas isu-isu negara anggotanya seperti energi dan lingkungan. Jepang menganggap ASEAN+6 sebagai kelompok Asia Timur yang tepat untuk perdagangan dan investasi (Kawai, 2007).


(4)

4

Sumber:CEIC 2012,di Gambar 1.1. Per ASEAN+6, Negar

4

diolah

ergerakan Nilai Tukar Riil Beberapa Negar gara Kawasan Uni Eropa, dan negara Kawasan

Utara Tahun 2002-2007

4

gara Kawasan asan Amerika


(5)

Gambar 1.1. merupakan pergerakan nilai tukar riil beberapa negara kawasan ASEAN+6 serta negara kawasan lain dengan mengacu terhadap mata uang US Dollardari kuartal pertama tahun 2002 sampai dengan kuartal empat tahun 2011. Gambar 1.1 mendeskripsikan bahwa pada setiap negara baik itu di kawasan ASEAN+6 maupun negara lain mengalami pergerakan nilai tukar riil yang berbeda-beda. Rata-rata setiap negara tersebut mengalami penurunan (depresiasi) pada tahun 2008 sampai dengan 2009. Hal ini disebabkan oleh krisis global yang terjadi. Perubahan nilai tukar riil baik apresiasi maupun depresiasi tersebut tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang relevan dengan keadaan ekonomi pada setiap negara.

Dalam pertemuan negara-negara ASEAN+6 dihasilkan sebuah kesepakatan yang disebut Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA), dimana membuat posisi ASEAN lebih efektif sehingga penting untuk membentuk karateristik dari rencana yang lebih jelas (Shigematsu, 2006). Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah untuk menciptakan integrasi ekonomi yang lebih intensif di kawasan ASEAN+6 serta mengurangi divergensi pembangunan antar negara tersebut. Untuk di ASEAN sendiri, penandatangan Bali Concorde II pada tanggal 7 Oktober 2003 menjadi awal terbentuknya ASEAN Community tahun 2020 pada pertemuan ASEAN ke-36 dengan tiga pilar utamanya,ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community (Achsani, 2008). Dengan terwujudnya ASEAN Community, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dimana arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara anggota ASEAN.

ASEAN+6 merupakan negara-negara yang dinamis pertumbuhannya dan ke depannya menuju penyatuan ekonomi. Untuk mencapai daya saing internasional dan stabilitas ekonomi makro maka kajian mengenai fluktuasi nilai tukar ini sangat diperlukan. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya nilai tukar riil yang stabil dan kompetitif dalam sebuah negara untuk membangun tingkat daya saing karena memengaruhi banyak aspek ekonomi terutama aliran modal yang masuk, FDI, dan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan komparatif.


(6)

6

1.2. Perumusan Masalah

Semenjak berakhirnya sistemBretton Woodspada tahun 1973, telah banyak dilakukan penelitian mengenai isu fluktuasi nilai tukar riil, sebagian besar literatur empiris mengenai nilai tukar riil fokus pada paritas daya beli (Purchasing Power Parity) jangka panjang, menganalisis komponen sementara atau jangka pendek maupun permanen dari fluktuasi nilai tukar riil, dan mengidentifikasi berbagai efek dari variasi guncangan dalam fluktuasi nilai tukar riil. Fluktuasi nilai tukar riil dalam suatu negara tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor atau disebut guncangan struktural. Ada empat tipe guncangan struktural di antaranya yaitu guncangan yang memengaruhi permintaan (demand shocks), guncanagan yang memengaruhi penawaran (supply shocks), guncangan yang berasal penyesuaian perdagangan internasional (external shocks), dan guncangan permintaan uang relatif terhadap penawaran dan perubahan kurs nominal (nominal shocks) (Caporale, Amor, dan Rault, 2009). Beberapa penelitian diantaranya seperti Frankel et al. (2001) dalam Caporale et al. (2009) menyatakan bahwa kontrol modal jangka pendek berguna dalam mengurangi fluktuasi nilai tukar, meningkatkan resiko premi (risk premium) terhadap aset domestik, kemudian meningkatkan tingkat bunga domestik dan mengurangi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentunya untuk mengakomodasi guncangan darinominal shocks sendiri.

Ketidakpastian nilai tukar di sebuah kawasan tidak saja menghambat arus barang dan jasa tetapi juga arus modal. Nilai tukar riil yang sangat berfluktuasi mengganggu proses ekonomi banyak negara terutama bagi negara dengan tingkat keterbukaan ekonomi yang tinggi. Hal ini mengarahkan pemerintah setiap negara sebagai pembuat kebijakan berupaya mengendalikan nilai tukar riil dan dapat meningkatkan daya saingnya. Selanjutnya menghadapi variasi kurs riil, pemerintah dapat bertindak melalui anggaran dan kebijakan moneter, tetapi efektivitas pengukuran ini tentu saja bergantung pada hubungan relatifreal shocks dan nominal shocks terhadap fluktuasi nilai tukar riil. Berdasarkan literatur yang ada, banyak bukti empiris yang ditemukan dan memiliki hasil yang menarik. Di negara-negara Afrika studi menunjukkanreal demand shocksadalah sumber yang paling dominan dalam pergerakan nilai tukar riil pada negara-negara tersebut,


(7)

walaupun nominal shocks mempunyai peran yang signifikan walaupun kecil di negara Afrika Selatan dan Botswana (Ahmad dan Pentecost, 2009). Menurut Alexius (1999), real supply shocks merupakan faktor yang mendominasi keragaman fluktuasi nilai tukar riil di negara Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan produktivitas merupakan determinan yang paling penting. dalam pergerakan nilai tukar riil jangka panjang.

Era globalisasi yang terus berjalan membuat banyak negara yang membentuk kesepakatan atau kerjasama dalam bidang ekonomi yang disebut dengan integrasi untuk memperkuat ekonomi masing-masing negara atau kelompok negara yang dibentuk. Sejalan dengan upaya menuju integrasi ekonomi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, stabilitas nilai tukar riil perlu mendapat perhatian penting. Stabilitas nilai tukar riil negara-negara yang terdapat dalam sebuah kawasan diperlukan guna mewujudkan kepastian usaha dan investasi kawasan yang pada gilirannya akan memengaruhi arus barang dan jasa lintas batas terutama pada negara-negara yang sangat tergantung pada pasar internasional. Stabilitas nilai tukar kawasan menjadi tujuan jangka panjang sejalan dengan tujuan peningkatan integrasi ekonomi regional secara substansial. Keterbukaan ekonomi yang semakin lebar dan terjadinya peningkatan kerjasama antara ASEAN, Asia Timur dan Oseania yang berimplikasi pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memberikan peluang dan tantangan tersendiri bagi kawasan ASEAN+6.

Dalam penelitian ini, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil, merupakan implementasi kebijakan pemerintah terhadap kurs. Hal ini sebagai intrumen kebijakan pemerintah digunakan untuk mengatasi efek negatif pergerakan nilai tukar riil dalam kegiatan ekonomi. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan diteliti, antara lain:

1. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara yang dalam seluruh kawasan?

2. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara dalam kawasan ASEAN+6?


(8)

8

3. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara dalam kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara)?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian setelah dikaitkan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, antara lain :

1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara yang menjadi objek penelitian,

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara kawasan ASEAN+6, dan

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara kawasan non ASEAN+6.

1.4. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Bagi pembaca, memperluas wawasan mengenai karateristik pergerakan nilai tukar yang terdapat di negara-negara kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6, serta mengetahui bagaimana perilaku negara maju dengan negara berkembang dalam menghadapi fluktuasi nilai tukar riil,

2. Sebagai referensi bagi para pembuat kebijakan di negara-negara terutama di kawasn ASEAN+6 agar dapat mengatasi fluktuasi nilai tukar riil, dan 3. Bagi penulis merupakan media untuk menerapkan mata kuliah yang telah

dipelajari selama perkuliahan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini fokus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil di kawasan negara-negara ASEAN+6. Negara ASEAN+6 diwakili oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Selandia Baru,


(9)

China, India, Jepang dan Korea Selatan, sedangkan negara luar yang menjadi perbandingan adalah kawasan Uni Eropa diwakili Jerman, Perancis, dan Inggris serta untuk negara di Amerika Utara yaitu Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Ruang lingkup penelitian ini mencakup pada faktor-fakktor penyebab fluktuasi nilai tukar riil yang diproksi melalui tiga guncangan struktural yakni demand shocks, supply shocks, dannominal shocks dengan menggunakan metode data panel dinamis.


(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam mengkaji penelitian ini, ada beberapa tinjauan teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil, diantaranya adalah sebagai berikut :

2.1. Definisi Nilai Tukar

Nilai tukar (exchange rate) dapat didefinisikan sebagai harga satuan mata uang yang ditentukan oleh negara lain (Mishkin, 2001). Nilai tukar ini tentunya memengaruhi ekonomi suatu negara dan kehidupan masyarakat karena mata uang domestik atau mata uang dalam negeri dapat lebih bernilai secara relatif terhadap mata uang negara lain. Hal ini dapat ditinjau dari harga relatif komoditi domestik dan luar negeri. Nilai tukar yang terjadi antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Nilai tukar sendiri dibagi menjadi tiga jenis yakni nilai tukar nominal, nilai tukar riil, dan nilai tukar efektif. Nilai tukar nominal (e) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh nilai tukar nominal antara Indonesia dengan Amerika sebesar Rp 9.000 per dolar maka untuk memperoleh satu dolar Amerika (1 US$) maka Indonesia harus menukarkannya dengan Rp 9.000,00. Nilai tukar nominal ini merupakan nilai par (par value) dalam masing-masing mata uang negara lain sehingga disebut official rate. Menurut Moosa (2004) nilai tukar nominal (e) dapat dirumuskan sebagai berikut :

e= Pd/ Pf (2.1)

dimanaPdadalah tingkat harga domestik danPfadalah tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil (q) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara (Mankiw, 2000). Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana barang-barang diperdagangkan dari suatu negara untuk barang-barang-barang-barang negara lain. Nilai tukar riil disebut juga terms of trade. Sebagai contoh analogi, barang yang diproduksi oleh banyak negara yaitu komputer. Harga komputer Amerika adalah


(11)

500 US$ dan harga komputer Jepang adalah 150000 yen. Nilai 1 US$ adalah 150 yen. Apabila membelinya di Jepang maka harga komputer Amerika menjadi 75000 yen. Dengan mengubahnya menjadi mata uang domestik Jepang maka harga komputer dapat dibandingkan yaitu harga komputer Amerika adalah setengah dari harga komputer Jepang. Menurut Batiz (1994) nilai tukar riil dapat dirumuskan sebagai berikut :

q =e (P* / P) (2.2)

dimana e adalah nilai tukar nominal baik itu sebagai domestic currency atau foreign currency, P* adalah tingkat harga luar negeri, dan P adalah tingkat harga domestik.

Nilai tukar efektif merupakan bobot nilai tukar rata-rata antara mata uang domestik terhadap valuta asing dari negara yang menjadi mitra dagangnya, sedangkan yang menjadi bobot penimbangnya adalah arti penting relatif hubungan dagang negara itu dengan setiap mitra dagangnya. Menurut Moosa (2004) kurs efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif, dan dapat dirumuskan sebagai berikut :

=

(2.3)

=

(2.4)

=

,

, (2.5)

dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke-t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i,Vitadalah kurs relatif dari mata uang negaraipada waktut,Siadalah kurs padaspot marketsaat ini,S0adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negarai.


(12)

12

2.2. Rezim Nilai Tukar

Pilihan dari rezim nilai tukar dan dampak dalam ekonomi sebuah negara merupakan salah satu dari banyak topik yang sering dikaji dalam kebijakan ekonomi. Rezim ini dilihat sebagai dasar ekonomi yang hanya memengaruhi variabel nominal ekonomi dalam negara yang terlibat dan tidak pada tingkah laku riilnya. Pada awalnya ada dua jenis rezim yang dipakai oleh sebuah negara berdasarkan model Mundell-Flemming yaitu rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Dua rezim ini disebut juga sebagai bipolar view karena menyoroti kemudahan dalam pengaturan sangat ketat (super-fixed arrangnment) atau acuan yang tegas (hard pegs) seperti currency boards atau dolarisasi sepihak sebagai jalan untuk membeli kepercayaan yang dibutuhkan untuk menghindari serangan spekulasi mata uang (Sturzenegger dan Yeyati, 2002). Currency boards adalah aturan dimana bank sentral memegang mata uang yang cukup untuk mendukung mata uang yang domestik.

Pada rezim nilai tukar tetap, bank sentral sebuah negara menentukan dan mengumumkan nilai kurs dan siap membeli dan menjual mata uang domestik untuk mempertahankan kurs sesuai dengan tingkat yang ditentukan (Mankiw, 2000). Artinya, bank sentral sebuah negara harus memiliki cadangan devisa untuk membiayai apabila terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai tukar dapat dipertahankan. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral Amerika Fed menetapkan nilai tukar tetap pada mata uang yen sebesar 150 yen per dolar. Ini menunjukkan bahawa Bank Sentral Amerika Fed siap untuk memberi 1 US$ untuk ditukar dengan 150 yen atau memberi 150 yen untuk ditukar dengan 1 US$. Untuk menjalankan kebijakan ini, Fed sebagai bank sentral Amerika harus menyediakan cadangan dolar (untuk dicetak) dan cadangan yen (yang harus dibeli sebelumnya). Secara histori, rezim nilai tukar tetap telah ada pada tahun 1950-an dan 1960-an, dimana banyak negara ekonomi dunia, termasuk Amerika Serikat menyepakati perjanjian Bretton-Woods. Perjanjian Bretton-Woods berisi sistem moneter internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk menentukan mata uang negara secara tetap kepada mata uang jangkar saat itu yakni dolar Amerika Serikat (US$). Sistem ini mempunyai tujuan yaitu menghindarkan diri dari


(13)

kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar yang menagadopsi rezim mengambang bebas dan sistem Bretton-Woods disusun untuk menghindarkan dari dari kemungkinan negara-negara anggota melakukan devaluasi nilai mata uangnya untuk menyelesaikan ketidakseimbangan neraca pembayaran yang dihdapi. Tetapi perkembangan sistem Bretton-Woods hanya sampai pada tahun 1970-an dan sejak tahun 1970-an, fluktuasi nilai tukar riil melonjak secara dramatis.

Pada rezim nilai tukar mengambang bebas, kurs ditentukan oleh pasar dan dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Pada rezim ini, nilai tukar nominal (e) menyesuaikan untuk mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Selain itu bank sentral negara tersebut tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Kelebihan dari rezim nilai tukar mengambang bebas adanya penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio, dan bank sentral tidak perlu memiliki cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk melakukan yang lebih independen.

Rezim nilai tukar yang diadopsi oleh sebuah negara mempunyai pengaruh dan peranan yang cukup signifikan dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Mussa (1986) substansi dan perbedaan sistematik dalam pola fluktuasi nilai tukar riil menyangkal hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal. Kenetralan rezim nilai tukar ini konsisten dengan model market-clearing sebagai penentu harga tingkat nasional. Model market-clearing menjelaskan bahwa tingkat komoditi yang ditawarkan sama dengan tingkat komoditi yang diminta. Apabila sejalan dengan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal, seharusnya rasio harga tingkat nasional harus menunjukkan dengan jelas kesamaan derajat fluktuasi di bawah rezim nilai tukar nominal tetap. Sebagai gambaran, fluktuasi nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas, rasio harga tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim nilai tukar tetap.


(14)

14

Sedangkan stabilitias nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar tetap, rasio harga tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim mengambang bebas. Seharusnya, rasio harga tingkat nasional di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas pergerakannya tidak cukup untuk mengimbangi fluktuasi nilai tukar nominal di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas itu sendiri dan dengan demikian untuk menjaga kesimbangan stabilitas kurs riil dikaji melalui rezim nilai tukar tetap. Kesimpulan akhir yang diperoleh rasio harga di tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil, di bawah salah satu rezim nilai tukar, yang menyiratkan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal.

Berdasarkan model Mundell-Fleming, kaitan antara dampak kebijakan dengan rezim nilai tukar yang diadopsi oleh suatu negara dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Kaitan antara Dampak Kebijakan dengan Rezim Nilai Tukar Rezim Kurs

Mengambang Tetap

berdampak pada

Kebijakan Y e NX Y e NX

Ekspansi Fiskal 0 ↑ ↓ ↑ 0 0

Ekspansi Moneter ↑ ↓ ↑ 0 0 0

Hambatan Impor 0 ↑ 0 ↑ 0 ↑

Sumber: Mankiw, 2000

Tabel 2.1. diperlihatkan arah dari pengaruh berbagai kebijakan ekonomi terhadap pendapatan Y, kurs nominal e, dan neraca perdagangan NX. Tanda “↑ ” menunjukkan bahwa variabel meningkat, tanda “↓ ” menunjukkan variabel menurun, tanda “0” menunjukkan tidak ada dampak.

Pada perkembangannya rezim nilai tukar mengalami perubahan seperti adanya rezim nilai tukar tertambat (pegged exchange rate) dimana suatu negara menambatkan mata uangnya dengan suatu mata uang atau sekelompok mata uang lain yang biasanya merupakan mata uang negara mitra dagang utama. Ini berarti mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi terhadap mata uang lain, tetapi mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.


(15)

Kemudian rezim nilai tukar merangkak (crawling peg rates)dimana negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodik dengan tujuan bergerak menuju suatu nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Keuntungan dari rezim ini adalah suatu negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibandingkan rezim nilai tukar tertambat. Ada lagi yang disebut rezim nilai tukar mengambang bebas terkendali (managed floating exchange rate system) dimana suatu negara menerapkan nilai tukar mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar secara berkala atau mengurangi tingkat fluktuasi pada tingkat moderat, serta mencegah pergerakan nilai yang terlalu besar (Simorangkir dan Sueno, 2005 dalam Partisiwi, 2008).

Tabel 2.2. Rezim Nilai Tukar Negara dalam Seluruh Kawasan

Negara Mata Uang Sistem Nilai Tukar

Indonesia Rupiah Mengambang Terkendali

Malaysia Ringgit Mengambang Terkendali

Singapura Dollar Singapura Mengambang Terkendali

Filipina Peso Filipina Mengambang Bebas

Thailand Bath Mengambang Terkendali

Jepang Yen Mengambang Bebas

Korea Selatan Won Mengambang Bebas

Australia Dollar Australia Mengambang Bebas

New Zealand Dollar New Zealand Mengambang Bebas

China Yuan Merangkak(Crawling Peg)

India Rupee Mengambang Terkendali

Jerman Euro Mengambang Bebas

Perancis Euro Mengambang Bebas

Inggris Poundsterling Mengambang Bebas

Kanada Dollar Kanada Mengambang Bebas

Meksiko Peso Meksiko Mengambang Bebas

Amerika Serikat Dollar Amerika Serikat Mengambang Bebas

Sumber: IMF, De Facto Classification of Exchange Rate Regimes and Monetary Policy Frameworks, 2008

2.3. Teori Paritas Daya Beli

Salah satu teori yang terkenal bagaimana menentukan nilai tukar adalah teori paritas daya beli (theory of purchasing power parity (PPP)). Teori paritas


(16)

16

daya beli menetapkan bawa nilai tukar antara dua mata uang akan disesuaikan untuk merefleksikan perubahan tingkat harga dalam dua negara (Mishkin, 2001). Teori ini merupakan penyederhanaan sebuah aplikasi dari hukum satu harga (the law of one price) terhadap harga tingkat nasional daripada harga individu. Implikasinya bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antarnegara haruslah sama walaupun didenominasikan dalam mata uang yang berlaku. Menurut Kutan dan Dibooglu (1998) paritas daya beli juga mengimplikasikan nilai tukar yang stasioner. Sebagai contoh harga baja Jepang meningkat 10 %, yang pada awalnya 10.000 yen menjadi 11.000 yen, relatif terhadap harga dolar Amerika Serikat, belum berubah di titik 100 US $. Oleh karena itu nilai tukar harus meningkat sampai 110 yen terhadap dolar, sehingga nilai tukar riil apresiasi 10 % terhadap dolar. Pengaplikasian hukum satu harga terhadap tingkat harga dalam dua negara menghasilkan teori paritas daya beli, sehingga apabila di Jepang tingkat harga meningkat 10% relatif terhadap tingkat harga di Amerika Serikat, maka dolar akan mengalami apresiasi 10 %. Menurut Batiz (1994) paritas daya beli dapat dibagi menjadi dua yaitu paritas daya beli absolut (absolute purchasing power parity) dan paritas daya beli relatif (relative purchasing power parity). Paritas daya beli absolut menyatakan bahwa kurs memiliki hubungan dengan harga relatif suatu barang. Hubungan antara kurs dengan tingkat harga umum dirumuskan sebagai :

P =eP* (2.6)

dimanaPadalah harga domestik,eadalah kurs nominal, danP*adalah harga luar negeri (harga impor). Paritas daya beli relatif menyatakan bahwa perubahan kurs sepanjang waktu t ke t + T akan sebanding dengan perubahan paritas daya beli antar dua negara. Dalam konsep paritas daya beli relatif, dibutuhkan adanya penghitungan periode dasar (base period). Persamaan paritas daya beli relatif dapat dirumuskan sebagai berikut :

( )/ = ( )/ (1 + ) (2.7)

dimana adalah nilai tukar yang diharapkan (expected exchange rate), adalah kurs pada periode dasar (base period), adalah inflasi di dalam negeri,


(17)

dan adalah inflasi di luar negeri. Implikasi dari persamaan ini yaitu perubahan dalam ekspektasi kurs (expected exchange rate) akan berhubungan dengan perubahan dengan ekspektasi inflasi (expected inflation).

2.4. Consumer Price Index(CPI)

Consumer Price Indexmerupakan ukuran harga rata-rata berbagai komoditi yang biasanya dibeli oleh rumah tangga dan CPI ini dapat digunakan untuk menghitung laju inflasi (Lipsey, 1995). Dalam definisi yang lain yaitu harga sekelompok barang dan jasa reklatif terhadap harga sekolompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar (Mankiw, 2000). Consumer Price Index dapat digunakan untuk membangun tingkat riil, dan CPI merupakan ukuran yang paling banyak digunakan untuk menghitung harga domestik, dimana CPI luar negeri merepresentasikan harga-harga barang tradable luar negeri, CPI bersama nilai tukar nominal digunakan sebagai ukuran.

2.5. Jumlah Uang Beredar(Money Supply)

Jumlah uang yang tersedia disebut penawaran uang (Mankiw, 2000). Dalam arti yang lebih luas, jumlah penawaran uang dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu terdiri dari base money (M0), M1, M2, dan M3. Uang beredar yang dipengaruhi oleh bank sentral sebagai instrumen kebijakan moneter yaitu M0 (base money). Komposisi jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah uang beredar dalam pengertian sempit, yang digunakan untuk transaksi yaitu M1 (narrow money), dan kedua adalah uang beredar dalam pengertian luas yang biasa disebut dengan M2 (broad money). Komposisi jumlah uang beredar M1 dan M2 adalah sebagai berikut (Mishkin, 2001) :

M1 = M0 + traveler’s checks + demand deposits + other checkable deposit (2.8) M2 = M1 + small-denomination time deposits and repurchase


(18)

18

M3 = M2 + large-denomination time deposits and repurchase agreements + money market mutual fund shares (institutional)

+ term repurchase agreements + term Eurodollars (2.10)

2.6. Keterbukaan Ekonomi(Openness of the Economy)

Keterbukaan ekonomi merupakan indikator untuk memperlihatkan seberapa besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keuntungan dari keterbukaan ekonomi antara lain yaitu pertama, bagi negara yang pasar domestiknya relatif kecil, maka potensi sumber daya yang ada tetap dapat diolah untuk dijual ke luar negeri. Kedua, keterbukaan ekonomi akan mengarahkan suatu negara pada produktivitas dan efisiensi produksi. Hal ini yang mendorong daya saing suatu negara untuk meningkatkan posisinya pada perdagangan internasional. Dengan adanya keterbukaan ini, permintaan barang yang dapat diimpor meningkat dan permintaan untuk barang nontradable menurun sebagai respon terhadap perubahan harga relatif. Dalam jangka pendek, perdagangan menyebabkan individu meningkatkan konsumsi sehingga permintaan tinggi termasuk barang nontradable. Hal ini juga sebagai antisipasi harga yang tinggi karena tidak ditetapkannya liberalisasi perdangangan. Konsekuensinya harga barang nontradable meningkat. Ini tentunya berdampak pada penurunan harga relatif barang ekspor dan barang impor sementara harga perdagangan dunia konstan.

Secara umum, teori ekonomi yang mendukung yakni liberalisasi perdagangan berhubungan dengan depresiasi nilai tukar riil. Menurut Zakaria (2011) nilai tukar riil akan terdepresiasi jika liberalisasi perdagangan merupakan sifat yang tetap atau permanen, dimana bentuk sementara akan mengarahkan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek. Literatur empiris menjelaskan efek keterbukaan ini mempunyai pengaruh yang positif dan membuat nilai tukar depresiasi setelah adanya perdagangan bebas. Tetapi ada juga penelitian empiris yang menunjukkan tidak signifikan terhadap nilai tukar riil (Edwards, 1987 dalam Zakaria 2011). Perbedaan hasil ini disebabkan periode waktu yang berbeda untuk negara yang berbeda dan mempunyai metode yang berbeda juga.


(19)

2.7. Pendekatan Konseptual Guncangan Struktural

Fluktuasi nilai tukar riil dipengaruhi oleh guncangan struktural (structural shocks). Perbedaan model dari keseimbangan nilai tukar memberikan penekanan adanya faktor struktural yang berbeda sebagai determinan pergerakan jangka panjang nilai tukar. Sesuai dengan model Balassa-Samuelson, nilai tukar ditentukan oleh produktivitas relatif di sektor tradable dan non-tradable, seperti sisi penawaran ekonomi. Menurut Caporale, Amor dan Rault (2000) ada empat tipe guncangan struktural terhadap nilai tukar riil diantaranya pertama guncangan domestik riil yang memengaruhi penawaran atau disebut supply shocks, seperti guncangan produktivitas, perubahan produktivitas relatif domestik terhadap luar negeri, kedua adalah guncangan domestik riil yang memengaruhi permintaan atau disebut demand shocks, seperti perubahan konsumsi, perubahan relatif pengeluaran pemerintah, hubungan pasar sebagai tempat akses komoditi domestik dan luar negeri dan tingkah laku investasi, ketiga yaitu guncangan eksternal riil (external real shocks) seperti perubahan ketentuan perdagangan (terms of trade) atau variasi suku bunga luar negeri dan yang terakhir yaitu guncangan nominal (nominal shocks) yang direfleksikan melalui permintaan uang relatif terhadap penawaran dan perubahan nilai tukar nominal, serta efek dari liberalisasi finansial, semuanya ini dimasukkan sebagai guncangan kebijakan keuangan.

Berdasarkan keadaan dua negara yang stokastik dan dinamika mengenai output relatif, tingkat nilai tukar, dan harga relatif, variabel struktural yang memengaruhi digambarkan relatif dimana keadaan luar negeri sama dengan keadaan dalam negeri menghasilkan guncangan struktual nilai tukar riil. Menurut Clarida dan Ghali (1995) model yang digunakan sebagai pondasi teoritis yang diterapkan sebagai batasan yang diapakai untuk analisis identifikasi guncangan struktural. Guncangan struktural ini dibagi menjadi tiga yaitu guncangan agregat penawaran (aggregate supply shock), guncangan riil permintaan (real demand shocks), dan guncangan nominal (nominal shocks). Dengan asumsi harga kaku (sticky prices), guncangan tersebut memengaruhi tingkatoutput, tingkat nilai tukar dan harga dalam jangka pendek sesuai dengan model klasik Mundell-Flemming sebab perbedaan penting antara jangka pendek dengan jangka panjang adalah perilaku harga. Dalam jangka panjang, harga bersifat fleksibel dan bisa


(20)

20

menanggapi perubahan dalam penawaran atau permintaan sedangkan dalam jangka pendek, harga bersifat kaku pada tingkat yang telah ditentukan sebelumnya. Meskipun demikian, skema yang diharapkan menuju konvergen ke arah keseimbangan jangka panjang segera sesudah harga fleksibel secara penuh terhadap semua guncangan. Oleh karena itu, diharapkan guncangan penawaran (supply shocks), seperti produktivitas yang tinggi diharapkan mempunyai dampak terhadap nilai tukar riil jangka panjang sebab guncangan penawaran positif meningkatkan ageregat penawaran dari komoditi domestik dan tingkat pengembalian modal. Dalam model Mundell-Flemming, modal(capital)bergerak bebas, sehingga menciptakan aliran modal masuk (capital inflow) dan apresiasi nilai tukar. Dalam waktu jangka panjang, output domestik mencapai tingkat potensialnya, harga domestik menurun, dan tingkat nilai tukar depresiasi dalam upaya menghasilkan surplus perdagangan untuk mengimbangi akumulasi kewajiban luar negeri. Guncangan permintaan (demand shocks) diharapkan memengaruhi tingkat nilai tukar riil jangka panjang.

Guncangan permintaan positif meningkatkan permintaan komoditi domestik, menekan harga produk domestik sehingga harganya turun dan mengarahkan pada apresiasi nilai tukar dan peningkatan output jangka pendek. Sepanjang waktu berjalan, pada akhirnya tingkat output yang tinggi mendorong harga. Dengan meningkatnya harga maka tingkat output akan kembali kepada tren jangka panjang tetapi tingkat harga menjadi lebih tinggi dan tingkat nilai tukar juga berada pada tren tersebut. Guncangan permintaan riil tidak mempunyai dampak jangka panjang padaoutput dalam model Keynesian, walaupun termasuk variabel endogen dalam model pertumbuhan.

Guncangan nominal (nominal shocks) yang positif contohnya melalui penurunan tingkat bunga domestik atau kebijakan jumlah uang beredar. Dalam jangka pendek, baik nilai tukar nominal maupun riil mengalami depresiasi, harga relatif meningkat danoutputdomestik juga meningkat. Sepanjang waktu berjalan, output dan tingkat nilai tukar riil kembali pada tren jangka panjang. Menurut Dornbusch (1976) dalam Khan, Mohammad, dan Alamgir (2009), dengan asumsi model ketidakseimbangan harga kaku (disequilibrium sticky price), menunjukkan


(21)

bahwa tingkat nilai tukar riil di gerakkan oleh guncangan nominal sebab pasar barang menyesuaikan lebih lambat dari pasar uang sebagai respon terhadap nominal shock atau juga biasa disebut monetary shocks. Adanya kekakuan harga dalam jangka pendek juga membawa implikasi nilai tukar berubah (overshoot) dari titik keseimbangan yang baru, artinya nilai tukar mengalami perubahan baik apresiasi atau depresiasi yang lebih besar daripada tingkat perubahan yang diperlukan untuk mencapai kondisi jangka panjang. Hal ini merupakan respon terhadap guncangan, nilai tukar bergerak melewati keseimbangan dan akhirnya mencapai posisi keseimbangan yang baru dalam jangka panjang yaitu PPP.

2.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2010) dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil di negara Pakistan dan dengan menggunakan model yang sudah populer yaitu Structural Vector Autoregression(SVAR). Hasil estimasi SVAR mengimplikasikan bahwanominal shocks merupakan variabel dengan kuantitas yang besar dalam nilai tukar riil Dollar-Rupee. Penemuan ini memberikan dukungan empiris terhadap model harga kaku (Dornbusch, 1976), yang menjelaskan keadaan awal perubahan (overshoots) nilai tukar dan menekankan relatif pentingnya nominal shocks sebagai faktor pendorong utama nilai tukar tersebut. Hasil yang ditujukkan di negara Pakistan mengindikasikan adanya ruang lingkup yang efektif mengenai kebijakan moneter dan mengendalikan nilai tukar, terutama dalam jangka pendek. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Pakistan berusaha menjaga daya saing internasionalnya yaittu melalui nilai tukar yang realistis dengan mengatur manajemen nilai tukar nominal di Pakistan. Tetapi dalam jangka panjang, real shocks juga mempunyai peran penting dalam menjelaskan flukruasi nilai tukar. Dampaknya yang ditimbulkan yaitu untuk meningkatkan daya saing sehingga pemerintah Pakistan fokus terhadap bidang riil ekonomi, seperti meningkatkan efisiensi, teknologi dan produktivitas.

Ahmad dan Pentecost (2009) melakukan penelitian sumber fluktuasi nilai tukar riil di sembilan negara Afrika. Melalui metodeTrivariate Structural Vector


(22)

22

Autoregression. Analisis yang dilakukan berdasarkan model stokastik harga kaku (sticky-price) yang terdiri dari tiga guncangan yang diidentifikasi yaitu relative demand shocks, relative supply shocks dan monetary shocks. Hasil empiris menunjukkan salah satu hal yang paling penting dalam pergerakan nilai tukar riil dalam kasus sembilan negara Afrika adalahrelative demand shocksdimana dalam laporannya memengaruhi lebih dari 51% variasi dalam nilai tukar riil setiap rentang waktu yang digunakan. Hal ini saling terkait karena negara-negara tersebut merupakan negara perekonomian terbuka kecil (small open economies) dengan rezim nilai tukar mengambang, sehingga guncangan terhadap permintaan dari luar negeri merupakan hal biasa dan melalui keseimbangan nilai tukar mengakomodasi guncangan tersebut. Kontribusi dari relative supply shockslebih kecil dalam variasi nilai tukar riil dalam beberapa negara yang menjadi contoh kecuali Algeria, Mesir dan Tanzania.

Metode lain yang digunakan adalah modelDynamic Generalized Method of Moments (GMM). Hal ini dilakukan oleh Caporale et al. (2009) dan objeknya adalah 39 negara berkembang yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Amerika Latin, Asia, dan MENA. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis guncangan baik itu external shocks, real shocks, dan monetary shocks dapat menjelaskan variabilitas nilai tukar riil negara pasar ekonomi tersebut sebagai keseluruhan subjek. Analisis antar wilayah mengindikasi bahwa monetary shocks atau nominal shocks dan external shocks merupakan faktor utama di Amerika Latin dan MENA, sedangkan di wilayah Asia Tenggara,domestic real shocksmemiliki peran utama. Keterbukaan ekonomi membantu untuk menstabilkan nilai tukar riil di kebanyakan negara. Lebih jauh, intergrasi finansial internasional merupakan salah satu sumber penting dalam variabilitas nilai tukar riil dalam negara pasar ekonomi. Di negara-negara Asia dan Amerika Latin dijelaskan bahwa fluktuasi nilai tukar riil, walaupun dengan rezim nilai tukar tetap(fixed exchange rate)yang dimaksudkan untuk mengurangi fluktuasi, adanya kebijakan nilai tukar yang tidak kompatibel dengan kebijakan moneter internasional yang berkembang sekarang. Sebaliknya di wilayah MENA, integrasi finansial internasional kondusif untuk membantu stabilisasi nilai tukar riil.


(23)

Stążka (2006) menganalisis sumber fluktuasi nilai tukar riil di delapan negara Eropa Pusat dan Eropa Timur yang menjadi anggota baru European Union (EU). Dengan menggunakan metode Structural Vector Autoregression (SVAR). Hasil yang diharapkan adalah sumber yang dominan dalam fluktuasi nilai tukar negara-negara tersebut adalah guncangan nominal (negara-negara tersebut merefleksikan melalui sisi keseimbangan dari nilai tukar) dan ternyata hal berikut ini tidak dapat disangsikan bahwa pergerakan nilai tukar nominal terhadap Euro dibandingkan tingkat riilnya didorong oleh real shocks. Ini dapat dilihat dari sisi ekonomi riil. Hasil penelitian ini berlawanan dengan pola yang ada bahwa fluktuasi nilai tukar riil dalam anggota ERM II (Exchange Rate Mechanism II) dengan pengecualian Latvia didorong oleh faktor real demand shocks, ternyata penemuan ini secara khusus lebih sensitif, menyesuaikan kepada sudut pandang keseimbangan dan munculnya ERM II yang harusnya sejalan dengan pendekatan ketidakseimbangan. Pendekatan pertama yang digunakan adalah sudut pandang ketidakseimbangan, yang memprediksikan bagian terbesar dalam fluktuasi nilai tukar riil diakibatkan oleh guncangan pasar finansial atau guncangan nominal. Hal ini merupakan faktor dalam negara-negara non ERM II. Pendekatan kedua yaitu sudut pandang ekonomi riil, yang menyebutkan pergerakan nilai tukar riil sebagai guncangan yang mengakomodasi variabel riil makroekonomi, membantu melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan. Namun, apabila berbicara mengenai guncangan yang memiliki pengaruh jangka panjang maka Stążka (2006) berdasarkan metode yang digunakan tidak layak sebab waktu yang digunakan untuk jangka pendek yang cocok dengan negara transisi yang diteliti. Produksi industri mungkin membuat proksi yang kecil terhadap agregat pendapatan, walaupun ekonomi yang diteliti merupakan ekonomi transisi dimana sektor jasanya kurang maju.

Chowdury (2004) juga menganalisis sumber fluktuasi nilai tukar riil di negara pasar ekonomi yang baru muncul seperti Chili, Kolumbia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Uruguay. Menggunakan metode Vector Autoregression(VAR) menunjukkan bahwareal shocks dannominal shocksdapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar riil yang dianalisis tetapi real shocks lebih mendominasi nominal shocks untuk seri nilai tukar yang ingin diteliti. Real


(24)

24

shocks menyebabkan apresiasi riil dan nominal, saat nominal shocks menghasilkan depresiasi nominal. Secara umum, nominal shocks mempunyai peran yang cukup penting dalam menentukan nilai tukar nominal dibandingkan menjelaskan pergerakan nilai tukar riil.

Menambahkan penelitian yang lain, Daly (2006) di Tunisia relative real demand dan relative supply shocks merupakan faktor yang paling banyak menjelaskan variasi nilai tukar riil selama periode estimasi dan mengindikasikan lebih 80 % dari dekomposisi varian nilai tukar riil. Di dukung penelitian yang dilakukan Aleisa dan Dibooglu (2002), di negara Arab Saudi, dengan asumsi sifat netral jangka panjang, ditemukan bahwa real shocks memiliki peran penting dalam pergerakan nilai tukar riil.

Dalam mengukur komposisi guncangan struktural, penelitian ini menggunakan metode yang berbeda pada penelitian kebanyakan. Penelitian ini mengacu pada Caporale et al. (2009) yang menggunakan metode panel dinamis GMM. Tabel berikut meringkas beberapa penelitian terdahulu dengan topik terkait, yakni faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil.

Tabel 2.3. Beberapa Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Metode Kesimpulan Objek

Penelitian 1. William D.

Lastrapes (1992)

Vector

Autoregression

Untuk negara yang digunakan dalam contoh, penemuan menunjukkan fluktuasi melalui periode flexible ratesangat

tergantung padareal shocks pada semua frekuensi baik jangka panjang atau jangka pendek. Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Jepang, Itali dan Kanada (periode Maret 1973 – Desember 1989) 2. Annika Alexius (1999) Structural Vector Autoregression (SVAR)

Faktor yang paling besar dalam pergerakanreal exchange ratesyaitusupply shock. Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia (periode tahun 1960 – 1998)


(25)

3. Ali M. Kutan dan Salahattin Dibooglu (2000) Bivariate Vector Autoregression (VAR)

Dalam kasus Polandia, nominal shocksmempunyai pengaruh besar dalam menjelaskan perubahan dalamreal exchange rate padahal di Hongaria,real shocksmempunyai

pengaruh yang lebih besar terhadap perubahanreal exchange rate,

Polandia dan Hongaria (periode 1990 – 1998)

4. Tao Wang

(2004) StructuralVector Autoregression (SVAR)

Real relative demand shocksmerupakan faktor yang paling penting dalam sumber fluktuasi dalamreal exchange ratedalam

periode 1980-2002,

sementara itusupply shocks telah menjadi faktor utama dalam melaporkan variasi pendapatan relatif dan harga relatif.

China (periode 1980 – 2002)

5. Imed Drine dan Christophe Rault (2004) Vector Autoregression (VAR)

Real demand shocks

mendominasi fluktuasireal exchange ratedan

kontribusi dariexternal shockslebih rendah.

Moroko, Filipina, dan Uruguay (periode 1979 – 1998) 6. Ibrahim S.

Chowdury (2004) Vector Autoregression (VAR), dan Ordinary Least Square (OLS)

Real shockslebih mendominasinominal shocksdalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar.

Chili, Kolumbia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Uruguay (periode Januari 1980 – Desember 1996 7. Agnieszka Stążka (2006) Structural Vector Autoregression (SVAR)

Real demand shocks merupakan merupakan faktor yang dapat

menjelaskanreal exchange ratebagi negara ERM II

Republik Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, dan Slovenia (1995–2005)


(26)

26 8. A.H. Ahmad dan Eric J. Pentecost (2009) Vector Autoregression (VAR)

Demand shocksmenjadi sumber utama dalam pergerakanreal exchange rate, walaupunnominal shocksjuga memiliki peran kecil tetapi perannya sangat signifikan untuk negara Afrika Selatan dan Botswana, dansupply shockslebih signifikan terhadap Aljazair, Mesir, dan Tanzania. Sembilan negara Afrika yaitu Aljazair, Botswana, Mesir, Ghana, Kenya, Moroko, Nigeria, Afrika Selatan dan Tanzania (periode 1980 – 2005) 9. Guglime Maria Caporale, Thouraya Hadj, dan Christophe Rault (2009) Metode GMM (Generalized Method of Moments)

1. Analisis dengan geografi wilayah menunjukkan monetarydanexternal shocksmempunyai peran penting di negara

Amerika Latin dan wilayah MENA,

sedangkandomestic real shocksmerupakan faktor yang lebih kuat dalam mendorong fluktuasi nilai tukar riil di negara Asia Tenggara,

2. Trade openesslebih untuk membantu menstabilkan real exchange ratedi kebanyakan negara mengingat pemilihan rezim nilai tukar hanya mempunyai efek yang signifikan pada wilayah MENA .

39 negara yang dibagi menjadi 3 wilayah : 20 negara Amerika Latin (Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Kolumbia, Kosta Rika, Republik Domino, Ekuador, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Trinidad, Uruguay, dan Venezuela), 10 negara Asia Timur (Bangladesh, China, India, Indonesia, Korea,


(27)

Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, dan Thailand), dan 9 negara dari wilayah MENA (Algeria, Mesir, Iran, Israel, Moroko, Syria, Tunisia, dan Turki) periode 1979 - 2004 10. Muhammad

Luqman Khan, Sulaiman D. Mohammad, dan Alamgir (2010)

Structural Vector

Autoregression (SVAR)

Lebih dari 60 % keragaman dalam

peramalanreal exchange ratedollar-rupee dalam empat kuarter tergantung padanominal shocks.

Pakistan (periode 1982 – 2007)


(28)

28

2.9. Kerangka Pemikiran

Skema alur berpikir pada gambar di bawah ini digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Dengan semakin terbukanya ekonomi global dan didukung oleh kedekatan geografis serta hubungan ekonomi antarnegara dalam satu kawasan mejadi faktor pendorong dalam pembentukan integrasi ekonomi dan keuangan regional untuk meningkatkan pembangunan ekonomi negara anggotanya. Pergerakan nilai tukar setiap negara tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor melalui bentuk guncangan struktural yang terdiri dari demand shocks, supply shocks, nominal shocks, dan openness of economydalam penelitian ini. Kemudian diidentifikasi apa yang menjadi sumber dengan proporsi terbesar terhadap fluktuasi nilai tukar riil baik di seluruh kawasan atau masing-masing kawasan. Kawasan yang menjadi kajian ini dibagi ASEAN+6 dan non ASEAN+6 yang terdiri dari negara-negara di Uni Eropa dan Amerika Utara. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dan dapat dibandingkan pada setiap negara yang berada dalam kawasan tersebut. Variabel guncangan tersebut diproksi melalui variabel-variabel yang diestimasi melalui metode Generalized Method of Moment(GMM).

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Negara-Negara dalam

Seluruh Kawasan Negara-Negara dalam

Kawasan ASEAN+6

Negara-Negara dalam Kawasan Non ASEAN+6 Fluktuasi Nilai Tukar Riil

Real Demand Shocks

Real Supply Shocks

Nominal Shocks

Openness of Economy

Metode Data Panel Dinamis (GMM)


(29)

2.10. Kerangka Pemikiran

Kajian mengenai faktor-faktor dalam memengaruhi nilai tukar riil telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Dari tinjauan yang diperoleh maka terdapat kesimpulan sementara dari penelitian yang dilakukan ini, yaitu:

1. Pendapatan (GDP riil) diduga berdampak negarif terhadap fluktuasi nilai tuka riil,

2. Pengeluaran pemerintah diduga berdampak positif terhadap nilai tukar riil, 3. Jumlah uang beredar diduga berdampak positif terhadap nilai tukar riil,

dan

4. Keterbukaan ekonomi diduga berdampak positif terhadap fluktuasi nilai tukar riil.


(30)

III.METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder negara-negara kawasan ASEAN+6 dan negara-negara-negara-negara kawasan non ASEAN+6 dalam bentuk data panel yakni gabungan data deret waktu kuartal dari tahun 2002 -2011. Negara ASEAN+6 dipresentasikan oleh lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand serta enam negara tambahan yaitu Jepang, Korea Selatan, New Zealand, Australia, Cina, dan India. Negara dalam kawasan non ASEAN+6 diwakili oleh negara-negara dalam kawasan Uni Eropa yakni Inggris, Perancis, Jerman dan negara-negara dalam kawasan Amerika Utara yaitu Meksiko, Kanada, dan Amerika Serikat.

Data yang diperoleh dari badan statistik dunia Internasional Financial Statistic(IFS) dariInternational Monetary Funds(IMF), CEIC,World Bank, bank sentral negara-negara dalam kawasan seperti Bangko Sentral ng Pilipinas, Reserve Bank of New Zealand,Bank of Canada, dan Reserve Bank of Australia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah data nilai tukar riil yang diperoleh melalui CPI (Consumer Price Index) domestik dan luar negeri, serta nilai tukar nominal(nominal exchange rate), kemudian pertumbuhan(Gross Domestic Product) GDP riil, pengeluaran pemerintah (government expenditure), jumlah uang beredar(money supply), keterbukaan ekonomi(openess of economy).

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk membuat suatu gambaran secara sistematis dengan mencoba mencari fakta dengan intepretasi yang tepat, dimana hasil dari analisis ini merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu atau kelompok tertentu. Bentuk dari analisis deskriptif ini adalah memberikan gambaran karateristik mengenai fluktuasi nilai tukar riil negara-negara dalam ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6. Analisis


(31)

kuantitatif yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil adalah metode panel dinamis. Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel 2007, Eviews 6, danSTATA 12.

3.3. Model Penelitian

Langkah-langkah merumuskan model penelitian ini, yaitu menentukan model umum yang menggunakan analisis data panel dinamis untuk negara-negara dalam seluruh kawasan. Untuk model seluruh kawasan, model ini mengacu pada model volatilitas penelitian Caporale et al. (2009). Variabel endogen yang dipakai adalah fluktuasi nilai tukar riil dengan empat variabel eksogen. Variabel endogen ini diukur dengan standar deviasi dari perubahan logaritma natural antara dua negara yaitu negara i dan j. Dalam penelitian ini negara yang menjadi acuan adalah dolar Amerika Serikat. Pengukuran nilai fluktuasi ini telah banyak digunakan seperti Rankel dan Wei (1993), Rose (2003) dalam Clark (2004). Variabel eksogen dalam penelitian ini yaitu GDP riil sebagai proksi dari supply shocks, pengeluaran pemerintah sebagai proksi dari demand shocks, jumlah uang beredar sebagai proksi dari nominal shocks, dan keterbukaan ekonomi. Persamaan berikut ini merupakan model penelitian dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil dalam seluruh kawasan berdasarkan model volatilitas penelitian Caporaleet al.(2009):

= + + + + + (3.1)

dimana,

= Fluktuasi Nilai Tukar Riil = GDP Riil(GDP Real)

= Pengeluaran Pemerintah(Government Expenditure) = Jumlah Uang Beredar(Money Supply)

= Keterbukaan Ekonomi(Openness of Economy) =Error term


(32)

32

3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Data Panel

Data panel atau longitudinal data adalah data yang memiliki keterkaitan antara dimensi ruang (cross section) dan dimensi waktu (time series). Penggunaan model panel data sudah banyak dipakai saat ini sebab adanya kelemahan dalam pendekatan metode cross section saja atau pendekatan metode time series. Jika hanya menggunakan datacross section saja, yang diamati hanya pada satu titik waktu, sehingga perkembangan wilayah tersebut dalam kurun waktu tertentu atau antar waktu tidak dapat diestimasi. Pada pendekatan metode time series juga menimbulkan persoalan lain yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu sehingga memberi peluang untuk menghasilkan hasil estimasi yang bias. Penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time seriesdalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oloeh pendekatan model cross sectiondan time series murni. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda maka disebut sebagaiunbalanced panel.

Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik dirumuskan oleh Baltagi (2001) yaitu pertama mengontrol hetergonitas individu. Panel data menyatakan bahwa individu, perusahaan, tempat atau negara heterogen. Dalam panel data terdiri dari besaran dan waktu sehingga ada banyak variabel lain yang mungkin menjadi state-invariant atau time-invariant yang bisa memengaruhi variabel dependen. Data panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu yang dianalisis adalah heterogen. Kedua, data panel memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalisasi masalah kolineritas antar variabel, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. Pendekatan time-series dapat menyebabkan


(33)

multikolineliaritas, dengan data cross section menambah banyak variabilitias, menambah lebih banyak informasi sehingga dapat menghasilkan parameter estimasi yang dapat diandalkan. Ketiga, data panel lebih baik dalam mempelajari dynamics of adjusment. Distribusi cross section yang kelihatan stabil dapat menyembunyikan banyak perubahan yang sulit diketahui. Masa pengangguran, pergantian pekerjaan, tempat tinggal dan pergerakan pendapatan merupakan contoh data yang lebih baik dipelajari dengan data panel. Data panel juga cocok mempelajari durasi dari variabel besaran ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan dan juga dapat dijelaskan dalam kecepatan perubahan kebijakan ekonomi.

Data panel juga dibutuhkan untuk mengestimasi hubungan antar massa, siklus hidup dan model intergenerasi (intergenerational). Data panel ini dapat menghubungkan pengalaman individu dan tingkah laku dalam satu titik waktu dengan pengalaman dan tingkah laku dalam titik waktu yang berbeda. Keempat, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh cross section murni dan atau time-series murni. Seperti contoh, dalam menentukan apakah anggota serikat buruh dapat meningkatkan atau menurunkan upah. Hal ini dapat dijawab dengan mengobservasi seorang pekerja yang bergerak dari serikat buruh ke nonserikat buruh atau sebaliknya. Dengan mengasumsikan karateristik individu yang konstan, dilengkapi dengan variabel yang lain untuk menentukan apakah keanggotaan serikat buruh memengaruhi upah dan dengan berapa banyak upah tersebut bisa berpengaruh terhadap keanggotaan serikat buruh. (Friedman (1984) dalam Baltagi (2001)). Kelima, model data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku secara kompleks dibandingkan cross section murni atau time-series murni. Pada kenyataannya, indikator dalam perekonomian sebagian besar bersifat dinamis. Hubungan dinamis ini dapat diketahui dengan adanya lag variabel endogen yang terdapat pada variabel eksogen. Verbeek (2004) menjelaskan kelebihan dari penggunaan model data panel bila dibandingkan dengan model cross sectiondantime seriesmurni. Kombinasi datatime seriesdancross section membuat jumlah data atau observasi yang digunakan dalam model data panel umumnya lebih besar dibandingkan jumlah data yang digunakan dalam model


(34)

34

cross section dan time series murni. Selain itu, variabel penjelas dalam model data panel lebih bervariasi atau marginal effect dalam dua dimensi (ruang atau individu dan waktu), sehingga selain dapat dianalisis variasi antar ruang (individu) dan waktu, penduga yang didasari oleh data panel lebih akurat dibandingkancross sectiondantime seriesmurni.

Analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaanya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara); (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); (iv) cross section dependence (contoh: apabila macropanel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference).

3.4.2. Metode Data Panel Dinamis

Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis karena data panel cocok untuk analisis dynamic of adjusment. Sejalan dengan adanya model cross section atau time series, hubungan dinamis yang dicirikan oleh data panel dengan memasukkan lag dari peubah atau variabel dependen sebagai regresor dalam regresi. Akibatnya muncul masalah endogeneity, sehingga bila model diestimasi dengan pendekatan fixed-effect maupunrandom-effectakan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten (Verbeek (2008) dalam Firdaus (2011)). Untuk itu maka muncul pendekatan GMM (Generalized Method


(35)

of Moments). Sebagai ilustrasi, dapat dilketahui dengan model data panel dinamis berikut:

= , + + ; = 1,2, , ; = 1,2, , (3.2)

dengan menyatakan suatu skalar, menyatakan matriks berukuran 1 x K dan matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, diasumsikan mengikuti modelone way error componentsebagai berikut:

= + (3.3)

dengan ~ 0, menyatakan pengaruh individu dan ~ (0, ) menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagaitransient error.

Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap . Namun, pada model data panel dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka , juga merupakan fungsi dari . Karena ini fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor , dengan . Hal ini menyebabkan penduga least square (yang digunakan dalam model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkolerasi serial sekalipun.

Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen

= , + ; | | < 1 ; = 1,2, , (3.4)

dengan = + dimana ~ 0, dan ~ (0, ) saling bebas

satu sama lain. Pendugafixed effectbagi diberikan oleh

=

( ) , ,


(36)

36

dengan = 1 dan , = 1

, . Untuk menganalisis sifat dari , dapat disubstitusi persamaan (3.4) ke (3.5) untuk memperoleh:

= +

( ) ( ) , ,

( ) , , (3.6)

Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan (3.6) tidak memiliki harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (lihat Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa

plim ( ) , , = ( () ) 0 (3.7)

sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.

Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu pendekatan Generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer karena GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian serta memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood. Namun, penduga GMM juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan yakni: (i) GMM estimator adalahasymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software)yang mendukung aplikasi pendekatan GMM.

Terdapat dua jenis prosedur estimasi yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yaitu First-difference GMM (FD GMM atau AB-GMM) danSystem GMM (SYS-GMM).


(37)

3.4.2.1. First-differencesGMM (AB-GMM)

Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten dimana dengan T tertentu, akan dilakukan first difference pada model data panel autoregresif dengan satu beda kala atau AR (1) pada persamaan (3.2) untuk mengeliminasi pengaruh individual ( ) sebagai berikut:

, = , , + , ; = 2, , (3.8)

dengan hanya aplikasi pendugaan least square akan menghasilkan penduga yang inkosisten karena , dan , berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T . Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, , akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, , berkorelasi dengan ,

, ) tetapi tidak berkorelasi dengan , , dan tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi dirumuskan sebagai

=

, ,

, , , (3.9)

syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah

plim ( ) , , = 0 (3.10)

Penduga pada persamaaan (3.10) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981) dalam Verbeek (2004). Mereka juga mengajukan penduga alternatif dimana , , digunakan sebagai intrumen. Penduga variabel instrumen bagi dirumuskan sebagai:

( )

=

, , , , , ,, (3.11)

syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah


(38)

38

Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu perode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen (methos of moments) dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa:

plim ( ) , ,

= , , = 0 (3.13)

yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh:

plim ( ) , , ,

= , , , = 0 (3.14)

yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV(2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arrelano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arrelano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankanTtetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh

• [( ) ] = 0, = 2

• [( ) ] = 0, [( ) ] = 0, = 3

• [( ) ] = 0, [( ) ] = 0, [( ) ] =


(39)

Semua kondisi momen dpat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan:

= (3.15)

sebagai vektor tranformasierror, dan

=

[ ] 0 0

0 [ , ] 0

0 0 , , ,

(3.16)

sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat diuliskan secara ringkas sebagai:

[ ] = 0 (3.17)

yang merupakan kondisi bagi 1 + 2 + … + T – 1. Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan persamaan [ ] = 0 sebagai:

[ ( , )] = 0 (3.18)

Karena jumlah kondisi momen pada umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni

( ) ( ) (3.19)

dengan adalah matriks penimbang definit positif yag simetris. Dengan mendiferensiasikan terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai

= ,


(40)

40

Sifat dari penduga GMM (3.20) bergantung pada pemilihan yang konsisten. Selama definit postif, sebagai contoh = yang merupakan matriks identitas.

Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkn matriks kovarian asimtotik terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proporsional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi:

plim = [ ] = [ ] (3.21)

Dalam kasus biasa dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)

= (3.22)

dengan menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.

Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa ~ pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi


(41)

[ ] = =

2 1 0

1 2 0

0 1

0 1 2

(3.23)

matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)

= (3.24)

Sebagai catatan bahwa persamaan (3.24) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.

Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka persamaan = , + ; | | < 1 ; = 1,2, , dapat dituliskan kembali menjadi:

= + , + + (3.25)

Parameter persamaan di atas juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap ,sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila strictly exogeneous dalam artian bahwa tidak berkorelasi dengan sembarangerror , akan diperoleh

[ , ] = 0; untuk setiap s dan t (3.26)

sehingga , , dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan menggunakan kondisi momen

[ , ] = 0; untuk setiap t (3.27)


(42)

42

=

[ , ] 0 0

0 [ , ] 0

0

0 0 , , ,

(3.28)

Bila variabel tidakstrictly exogeneous melainkanpredetermined, dalam kasus di mana dan lag tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh [ , ] = 0 untuk . Dalam kasus dimana hanya , , , instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai

, = 0 ; = 1, , , (3.29)

Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogeneous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks kemudian dapat disesuaikan. Terdapat kelemahan dari AB-GMM estmator, terutama bila terjadi korelasi antar lag dari pembedaan pertama (first difference), sehingga instrumen yang digunakan lemah (Blundell dan Bond (1998) dalam Firdaus (2011)). AB-GMM estimator bahkan akan lebih bias ke bawah daripada fixed-effects, terutama bila jumlah waktu terbatas. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaanfirst-differencelemah.

Dalam model AR (1) pada persamaan = , + ; | | < 1 ; = 1,2, , , fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif( ) mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu( )meningkat relatif terhadap variantransient error ( ). Untuk itu, penggunaan baik nilai sekarang maupun lag dari regresor sebagai instrumen akan dapat memperbaiki AB-GMM estimator.

Penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil (Blundell dan Bond (1998) dalam Indra (2009)). Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah


(1)

STATA Licensed to: STATAforAll Serial number: 93611859953

Single-user Stata network perpetual license:

979-696-4601 (fax)

979-696-4600 stata@stata.com 800-STATA-PC http://www.stata.com Special Edition College Station, Texas 77845 USA

4905 Lakeway Drive Statistics/Data Analysis StataCorp

___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP /__ / ____/ / ____/

___ ____ ____ ____ ____ (R)

Prob > chi2 = 0.3858 chi2(396) = 403.5481

H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions . estat sargan

H0: no autocorrelation 2 .84835 0.3962 1 -10.76 0.0000 Order z Prob > z

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond

Standard: D.lnREALGDP D.lnGE D.lnOPENNESS GMM-type: L(2/.).RER L(1/.).lnMS

Instruments for differenced equation

lnOPENNESS .0019593 .0009429 2.08 0.038 .0001113 .0038073 lnGE .0027703 .0009309 2.98 0.003 .0009457 .0045949 lnREALGDP -.0037795 .0014226 -2.66 0.008 -.0065677 -.0009912 lnMS .0000814 .0008908 0.09 0.927 -.0016645 .0018273 L1. .383031 .0452667 8.46 0.000 .2943098 .4717522 RER

RER Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] One-step results

Prob > chi2 = 0.0000 Number of instruments = 401 Wald chi2(5) = 105.84

max = 38

avg = 38

Obs per group: min = 38 Time variable: quarterly

Group variable: country Number of groups = 11

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 418 . xtabond RER lnREALGDP lnGE lnOPENNESS, nocons pre(lnMS)


(2)

97

_cons .0072106 .0013563 5.32 0.000 .0045447 .0098766 lnOPENNESS -.0003163 .0001125 -2.81 0.005 -.0005374 -.0000952 lnMS .0000328 .0001153 0.28 0.776 -.0001939 .0002595 lnGE .0006571 .0002481 2.65 0.008 .0001693 .0011448 lnREALGDP -.0006347 .0002662 -2.38 0.018 -.001158 -.0001114 L1. .5098281 .0417403 12.21 0.000 .427784 .5918723 RER

RER Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total .005936938 428 .000013871 Root MSE = .00277 Adj R-squared = 0.4486 Residual .003235269 423 7.6484e-06 R-squared = 0.4551 Model .00270167 5 .000540334 Prob > F = 0.0000 F( 5, 423) = 70.65

Source SS df MS Number of obs = 429

. reg RER l.RER lnREALGDP lnGE lnMS lnOPENNESS

F test that all u_i=0: F(10, 413) = 4.36 Prob > F = 0.0000 rho .58416051 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .00266175 sigma_u .00315479

_cons -.0058309 .0075346 -0.77 0.439 -.0206419 .0089801 lnOPENNESS .0017921 .000901 1.99 0.047 .0000209 .0035633 lnMS .0001898 .0008568 0.22 0.825 -.0014945 .0018742 lnGE .0025669 .0008936 2.87 0.004 .0008102 .0043235 lnREALGDP -.0034749 .0013669 -2.54 0.011 -.006162 -.0007879 L1. .3872451 .044806 8.64 0.000 .2991689 .4753214 RER

RER Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

corr(u_i, Xb) = -0.5445 Prob > F = 0.0000

F(5,413) = 21.77

overall = 0.0472 max = 39

between = 0.0015 avg = 39.0

R-sq: within = 0.2086 Obs per group: min = 39

Group variable: country Number of groups = 11

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 429 . xtreg RER l.RER lnREALGDP lnGE lnMS lnOPENNESS, fe


(3)

STATA Licensed to: STATAforAll Serial number: 93611859953

Single-user Stata network perpetual license:

979-696-4601 (fax)

979-696-4600 stata@stata.com 800-STATA-PC http://www.stata.com Special Edition College Station, Texas 77845 USA

4905 Lakeway Drive Statistics/Data Analysis StataCorp

___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP /__ / ____/ / ____/

___ ____ ____ ____ ____ (R)

Prob > chi2 = 0.2920 chi2(222) = 233.0493

H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions . estat sargan

H0: no autocorrelation 2 .59418 0.5524 1 -7.1897 0.0000 Order z Prob > z

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond

Standard: D.lnREALGDP D.lnGE D.lnOPENNESS GMM-type: L(2/.).RER L(1/.).lnMS

Instruments for differenced equation

lnOPENNESS .0009618 .0017554 0.55 0.584 -.0024787 .0044023 lnGE .0011533 .0021085 0.55 0.584 -.0029794 .0052859 lnREALGDP -.0029406 .0033951 -0.87 0.386 -.0095948 .0037136 lnMS .0017421 .0009582 1.82 0.069 -.000136 .0036202 L1. .5033777 .0614551 8.19 0.000 .3829278 .6238276 RER

RER Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] One-step results

Prob > chi2 = 0.0000

Number of instruments = 227 Wald chi2(5) = 111.47

max = 38

avg = 38

Obs per group: min = 38 Time variable: quarterly

Group variable: country Number of groups = 6

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 228 . xtabond RER lnREALGDP lnGE lnOPENNESS, nocons pre(lnMS)


(4)

99

_cons -.0020944 .0022673 -0.92 0.357 -.0065621 .0023732 lnOPENNESS .0002962 .0008476 0.35 0.727 -.0013738 .0019663 lnMS .0004649 .0001506 3.09 0.002 .0001681 .0007616 lnGE .0008016 .0005173 1.55 0.123 -.0002176 .0018208 lnREALGDP -.0010565 .0008921 -1.18 0.238 -.0028144 .0007013 L1. .5272229 .0571744 9.22 0.000 .4145651 .6398807 RER

RER Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total .002421515 233 .000010393 Root MSE = .00188 Adj R-squared = 0.6588 Residual .000808575 228 3.5464e-06 R-squared = 0.6661 Model .00161294 5 .000322588 Prob > F = 0.0000 F( 5, 228) = 90.96

Source SS df MS Number of obs = 234

. reg RER l.RER lnREALGDP lnGE lnMS lnOPENNESS

F test that all u_i=0: F(5, 223) = 0.57 Prob > F = 0.7227 rho .86420054 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .00189212 sigma_u .00477316

_cons -.0093727 .0160498 -0.58 0.560 -.0410014 .0222559 lnOPENNESS .000943 .0017783 0.53 0.596 -.0025613 .0044473 lnMS .0017419 .0009796 1.78 0.077 -.0001886 .0036723 lnGE .0011783 .0021315 0.55 0.581 -.0030222 .0053788 lnREALGDP -.0029434 .0034706 -0.85 0.397 -.0097827 .003896 L1. .5031872 .062778 8.02 0.000 .3794733 .6269011 RER

RER Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.9553 Prob > F = 0.0000 F(5,223) = 21.42

overall = 0.5100 max = 39

between = 0.8205 avg = 39.0

R-sq: within = 0.3244 Obs per group: min = 39 Group variable: country Number of groups = 6 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 234 . xtreg RER l.RER lnREALGDP lnGE lnMS lnOPENNESS, fe


(5)

Nilai tukar merupakan salah satu alat untuk kebijakan ekonomi bagi sebuah negara. Nilai tukar adalah salah satu indikator ekonomi yang sangat dibutuhkan khususnya sebagai daya saing ekonomi internasional karena mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembangunan ekonomi, perdagangan luar negeri dan neraca modal yang didalamnya ada instrumen investasi portofolio dan investasi langsung luar negeri atau yang biasa disebut Foreign Direct Invesment (FDI). Kebijakan mengenai fluktuasi nilai tukar riil telah banyak menjadi pusat perhatian para ekonom diantara banyaknya kebijakan ekonomi dalam pembangunan ekonomi terutama pada era globalisasi ini.

Pada era globalisasi yang telah berjalan selama beberapa dekade, telah memunculkan intergrasi ekonomi yang dilakukan oleh satu negara dengan negara lain dalam berbagai kawasan dalam rangka stabilisasi nilai tukar riil. Integrasi ekonomi yang dibentuk tentunya memiliki tujuan yang baik dan positif bagi negara-negara anggotanya. Tujuan utama yang diharapkan tentunya untuk meningkatkan kesejahteraan negara anggota melalui berbagai instrumen yakni kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui bersama. European Union (EU) dan North America Free Trade Area (NAFTA) merupakan bentuk integrasi yang telah berjalan. Hal ini mendorong negara-negara di Asia Timur dan Oseania untuk menciptakan kerjasama ekonomi. Kesepakatan ini dimulai dengan kegiatan East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negara-negara ASEAN termasuk China, Jepang, Korea, Australia, India dan Selandia Baru sehingga muncul ASEAN+6. Untuk ASEAN sendiri, demi terwujudnya ASEAN Community, maka diharapkan ASEAN akan menjadi pasar tunggal dimana arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bergerak bebas, serta arus modal yang lebih bergerak bebas diantara negara anggota ASEAN.

ASEAN+6 merupakan negara-negara yang dinamis pertumbuhannya dan ke depannya menuju penyatuan ekonomi. Untuk mencapai daya saing internasional dan stabilitas ekonomi makro maka kajian mengenai fluktuasi nilai tukar ini sangat diperlukan. Fluktuasi nilai tukar riil dalam suatu negara tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor atau disebut guncangan struktural. Ada empat tipe guncangan struktural di antaranya yaitu guncangan yang memengaruhi permintaan (demand shocks), guncangan yang memengaruhi penawaran (supply shocks), guncangan yang berasal penyesuaian perdagangan internasional (external shocks), dan guncangan permintaan uang relatif terhadap penawaran dan perubahan kurs nominal(nominal shocks).


(6)

Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil negara-negara dalam kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 yang terdiri dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Utara, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini menggunakan data sekunder negara-negara kawasan ASEAN+6 dan negara-negara kawasan non ASEAN+6 dalam bentuk data panel yakni gabungan data deret waktu kuartal dari tahun 2002 – 2011. Negara ASEAN+6 dipresentasikan oleh lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand serta enam negara tambahan yaitu Jepang, Korea Selatan, New Zealand, Australia, Cina, dan India. Negara dalam kawasan non ASEAN+6 diwakili oleh negara-negara dalam kawasan Uni Eropa yakni Inggris, Perancis, Jerman dan negara-negara dalam kawasan Amerika Utara yaitu Meksiko, Kanada, dan Amerika Serikat. Model penelitian ini mengikuti metodologi yang digunakan oleh Caporale et al. (2009). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatanGeneralized Method of Moments(GMM).

Estimasi dengan menggunakan pendekatan GMM, yakni dengan analisis Arrelanno-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) untuk negara-negara baik pada seluruh kawasan, kawasan ASEAN+6, dan kawasan non ASEAN+6. Hasil yang diperoleh bahwa pada seluruh kawasan dan kawasan ASEAN+6 sumber yang paling berpengaruh dalam fluktuasi nilai tukar riil adalah supply shocks yang diproksi GDP riil, demand shocks yang diproksi melalui pengeluaran pemerintah, dan keterbukaan ekonomi (openness of economy), sedangkan untuk negara non ASEAN+6 yang meliputi kawasan Uni Eropa dan Amerika Utara, sumber yang paling dominan dalam fluktuasi nilai tukar riil adalah jumlah uang beredar(money supply).

Dari hasil yang diperoleh, ditunjukkan negara-negara ASEAN+6 merupakan integrasi ekonomi yang berpotensi untuk berkembang dan bisa meningkatkan daya saing terhadap perdagangan internasional melalui produktivitas negara yang masih bisa ditingkatkan dan pengeluaran pemerintah digunakan untuk mendorong kebijakan fiskal dalam rangka stabilisasi nilai tukar riil. Untuk negara-negara kawasan non ASEAN+6, kebijakan moneter yang paling efektif dalam mengatasi nilai tukar riil. Hal ini dapat dilihat negara-negara yang tergabung dalam European Union(EU) telah menerapkansingle currencydanNorth America Free Trade Area (NAFTA) adalah negara maju dengan salah satu negaranya perekenomian terbesar sehingga bisa memengaruhi perekonomian dunia.