Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar
hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak
bekerja seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai
tukar dengan tingkat harga. Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan
negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini
akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain.
Dengan demikian, supply dari mata uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik nilai mata uang domestik akan turun atau
terdepresiasi.
2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang output GDP Gap
Menurut Lipsey 1995, GDP potensial potensial Gross Domestic Product
adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif
dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. GDP potensial
dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka
menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu
keseimbangan internal dan eksternal.
Senjang output atau senjang GDP mengukur perbedaan antara GDP potensial dengan GDP aktual riil. Senjang GDP dapat dirumuskan sebagai berikut:
Senjang GDP
a f
f
Y Y
Y −
=
2.8
dimana
a
Y
adalah GDP aktual riil dan
f
Y
adalah GDP potensial. Dalam jangka pendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual riil dan potensial dapat digunakan
sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Berdasarkan
teori kurva Philips, terdapat hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran, dimana
senjang inflasi yang berkaitan dengan tingkat pengangguran rendah berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktivitas. Sedangkan berdasarkan hukum Okun,
terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil, mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan
dalam GDP riil yang mendekati dua persen. Dari kedua teori ini didapatkan bahwa senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai
positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi.
Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi.
Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Ini berarti
kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya senjang output dalam suatu periode.
2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi