Gambar 2.2. Grafik hubungan intensitas cahaya melewati analisator terhadap sudut putaran analisator mengikuti persamaan 2.1
B. Rotasi Optik
Gelombang cahaya terpolarisasi linier melewati larutan bersifat optis aktif. Arah getaran cahaya berputar sejauh
terhadap arah getaran gelombang cahaya sebelum melewati larutan bersifat optis aktif. Fenomena ini disebut
rotasi optik [Pedrotti dan Pedrotti, 1962; Sarojo, 2011]. Fenomena rotasi optik ditunjukkan oleh gambar 2.3.
45 90
135 180
225 270
315 360
in te
n si
ta s
ca h
a y
a m
e le
w a
ti a
n a
li sa
to r
Sudut Putaran Analisator
Imax
Gambar 2.3. berkas cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif.
Sudut rotasi optik bergantung pada panjang bahan
l
dalam desimeter dan konsentrasi bahan
c
dalam gram per mililiter, mengikuti persamaan 2.2
� = � 2.2
α adalah nilai rotasi optik spesifik. Nilai rotasi optik spesifik menunjukkan kemampuan bahan untuk memutar bidang getar cahaya
terpolarisasi setiap konsentrasi larutan 1 gr ml
-1
dan panjang larutan 1 dm [Kraftmakher, 2009].
Menurut persamaan 2.2 sudut rotasi optik dipengaruhi oleh jenis larutan, panjang larutan dan konsentrasi larutan. Bila panjang larutan tetap,
maka nilai rotasi optik spesifik larutan dapat ditentukan dengan memvariasi konsentrasi larutannya. Variasi konsentrasi larutan menghasilkan sudut rotasi
optik yang mengikuti persamaan 2.2. Untuk mendapatkan nilai rotasi optik spesifik larutan dibuat grafik hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan
c
. Grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konsentrasi larutan
c
ini berupa grafik linier. Nilai spesifik rotasi optik diperoleh dari gradien grafik.
Intensitas cahaya terpolarisasi yang keluar dari analisator akan mengikuti persamaan 2.1. Bila sebelum melewati analisator, cahaya ini
melewati larutan yang bersifat optis aktif, maka arah polarisasi cahaya berputar sejauh
. Sehingga jika pada awalnya sumbu polarisasi polarisator dan sumbu polarisasi analisator sudah membentuk sudut sebesar
, maka setelah melewati larutan yang bersifat optis aktif arah cahaya terpolarisasi
menjadi bertambah sebesar . Sehingga intensitas cahaya yang keluar dari
analisator mengikuti persamaan 2.3: �
2
= �
cos
2
� + � 2.3
I
2
= intensitas cahaya yang diteruskan analisator setelah berkas cahaya melewati larutan bersifat optis aktif
= sudut rotasi optik Grafik hubungan intensitas cahaya yang tidak melewati larutan bersifat
optis aktif terhadap sudut putaran analisator bila disatukan dalam satu bidang dengan grafik hubungan intensitas cahaya yang melewati larutan bersifat optis
aktif terhadap sudut putaran analisator akan membentuk grafik seperti yang ditunjukkan gambar 2.4.
Gambar 2.4 grafik intensitas cahaya yang tidak melewati larutan optis aktif biru dan intensitas cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif merah terhadap sudut putaran
analisator
Gambar 2.4 memperlihatkan bahwa kedua grafik tidak berimpit. Hal ini terjadi karena diantara keduanya terdapat beda fase. Beda fase antara kedua grafik
disebabkan oleh peristiwa rotasi optik. Gambar 2.4 menunjukkan beda fase kedua grafik sebagai jarak antara lembah dari kedua grafik yang berdekatan.
Besar sudut diperoleh dari selisih fase grafik hubungan intensitas cahaya
satu terhadap sudut putaran analisator dan grafik hubungan intensitas cahaya dua terhadap sudut putaran analisator.
Besar sudut juga dapat ditentukan dengan grafik hubungan intensitas
cahaya yang tidak melewati larutan bersifat optis aktif I
2
terhadap intensitas cahaya melewati larutan bersifat optis aktif I
2
[Kraftmakher, 2009]. Grafik I
1
terhadap I
2
ditunjukkan pada gambar 2.5.
45 90
135 180
225 270
315 360
in te
n si
ta s
ca h
a y
a m
e le
w a
ti
a n
a li
sa to
r
Sudut Putaran Analisator
Imax
Gambar 2.5. grafik intensitas cahaya satu terhadap intensitas dua
Sudut rotasi optik ditentukan dari persamaan 2.4 [Kraftmakher, 2009].
sin � = =
2.4
C. Pengenceran Larutan