2.5 Kerangka Teoritik
Untuk memudahkan dalam memahami alur pikir studi mengenai perilaku kawin kontrak di Jepara, maka bagan dibawah ini menggambarkan munculnya
perilaku kawin kontrak di Jepara.
Gambar 2.2 Kerangka Teoritik Latar Belakang Kawin Kontrak Studi fenomenologi pada wanita pelaku kawin kontrak di kabupaten Jepara
Perkawinan
Legal sah secara
hukum Tidak sah
Kawin Kontrak
Latar Belakang Kawin kontrak
Latar belakang
internal Latar
belakang eksternal
Aturan yang membatasi adanya
kawin kontrak Hukum negara
Hukum agama Norma masyarakat
Kawin kontrak tetap marak terjadi di Jepara
Kawin Kontrak
Kawin Siri
Kawin syigar
Kawin muhallil
Keluarga terbentuk melalui proses perkawinan dimana dua orang individu dari jenis kelamin dan latar belakang yang bebeda di satukan. Pada umumnya
perkawinan terikat atas dasar cinta dan kebutuhan-kebutuhan penting lainnya. Hal inilah yang menjadikan betapa sakralnya arti sebuah perkawinan. Maka, untuk
tetap menjaga nilai kesakralan dan kesuciannya, baik hukum agama, hukum pemerintah maupun norma masyarakat di Indonesia khususnya sangat kritis
dalam mengatur sistem perkawinan. Namun meski demikian, masih banyak individu yang melakukan perkawinan tidak sesuai hukum yang berlaku. Bentuk
perkawinan tersebut diantaranya adalah kawin syigar, muhallil, kawin kontrak dan kawin siri.
Kawin syigar ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masing-masing menjadikan pernikahan itu
sebagai maharnya, yang tidak terdapat dalam perkawinan tersebut adalah mahar secara nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan.
Selanjutnya adalah kawin muhallil yakni perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali
kepada istrinya. Sementara itu, kawin siri berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang
berarti rahasia atau sesuatu yang disembunyikan. Hal ini berarti bahwa kawin siri merupakan perkawinan yang disembunyikan. Kawin siri sering diartikan dalam
pandangan masyarakat umum sebagai: pertama; Nikah tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia siri karena wali pihak perempuan
mungkin tidak setuju; atau karena menganggap sahnya nikah tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan syariat. Kedua; nikah yang sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara
resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama KUA bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil KCS bagi yang beragama non
Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri menikah lebih dari satu poligami tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan
lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya. Kawin siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan
dengan nikah di bawah tangan. nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum
dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Istilah “Nikah di bawah tangan” muncul setelah
Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Nikah berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya kebalikan dari
nikah yang dilakukan menurut hukum dan perkawinan menurut hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Dari beberapa bentuk perkawinan tersebut, yang banyak dilakukan di Indonesia adalah kawin kontrak dan kawin siri. Kawin kontrak khususnya banyak
dijumpai di beberapa wilayah seperti daerah Kalimantan, Bitung, Otorita Batam, dan tidak mustahil di berbagai daerah di pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Dipilihnya kawin kontrak sebagai alternatif perkawinan, karena selain prosedurnya mudah, perkawinan ini pun sudah ditentukan masanya. Jadi warga
negara asing yang kontrak kerjanya sudah habis dapat kembali ke negara asalnya tanpa ada tanggungan
Kawin kontrak atau dalam Islam disebut mut‟ah yang secara etimologis
memiliki pengertian “kenikmatan dan kesenangan”, jadi tujuan dari perkawinan tersebut hanya untuk memperoleh kesenangan seksual, di lain pihak menurut
syara‟ kawin kontrak adalah orang laki-laki mengawini wanita dengan imbalan harta uang dengan batas waktu tertentu, dalam perkawinan mut‟ah masa
perkawinan akan berakhir dengan tanpa adanya perceraian dan tidak ada kewajiban bagi laki-laki untuk memberi nafkah, tempat tinggal serta kewajiban
lainnya. Di Indonesia sendiri kawin kontrak marak dilakukan. Hal semacam ini
banyak dilakukan oleh wisatawan atau investor asing yang datang ke Indonesia lalu dengan maksud tertentu menikahi wanita pribumi dan mengadakan
kesepakatan bahwa apabila suatu saat pria asing tersebut kembali ke negaranya, maka pernikahan dianggap telah berakhir.
Jepara sebagai kota yang terkenal dengan industri mebel dan keindahan pantainya ini merupakan salah satu kota yang menjadi tujuan para wisatawan atau
investor asing. Untuk mempermudah bisnis atau hanya sekedar untuk bersenang-
senang, maka para investor asing ini menikahi wanita lokal untuk sementara waktu yang dikenal sebagai kawin kontrak.
Walaupun telah ada hukum yang mengatur, namun tetap saja wanita- wanita tersebut dengan motif tertentu menyerahkan diri mereka untuk di kawin
kontrak, tentunya dengan iming-iming harta yang menggiurkan. Memutuskan untuk melakukan perkawinan secara kontrak bukanlah
perkara yang mudah, terlebih melihat norma masyarakat dan hukum agama maupun negara yang melarang secara tegas adanya praktek kawin kontrak.
Namun, karena didasari latar belakang tertentu, baik latar belakang internal maupun eksternal banyak wanita Jepara yang tergiur untuk menerima tawaran
kawin kontrak. Hal inilah yang menggugah peneliti untuk mengkaji lebih lanjut latar belakang yang mendasari terjadinya kawin kontrak di Jepara.
50
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian