divariasikan 0,8 mlmenit dan 1 mlmenit. Kondisi kromatografi yang memberikan waktu tambat singkat, tailing factor kecil dan efisiensi penggunaan
pelarut selanjutnya di pilih sebagai kondisi yang akan digunakan dalam penelitian ini.
2.5.3 Analisis Kualitatif menggunakan KCKT 2.5.3.1 Uji Identifikasi Metil Paraben menggunakan KCKT
Metil paraben BPFI dengan konsentrasi 50 µgml dan larutan sampel masing- masing diinjeksikan menggunakan vial autosampler sebanyak 5 µl, dianalisis
pada kondisi KCKT yang sama dari perbandingan fase gerak metanol-air dan laju alir yang terbalik hasil orientasi, kemudian dicatat masing-masing waktu
tambatnya. Waktu tambat kromatogram hasil penyuntikan metil paraben BPFI dibandingkan dengan sampel pada kondisi KCKT yang sama. Apabila waktu
tambat sampel hampir sama dengan waktu tambat BPFI, maka sampel mengandung metil paraben. Untuk mempertegas identifikasi ini, sedikit larutan
metil paraben BPFI ditambah spiking ke dalam larutan sampel kemudian dianalisis kembali pada kondisi KCKT yang sama. Luas area dan waktu tambat
yang sama diamati kembali dan dibandingkan antara kromatogram hasil spiking dengan kromatogram larutan sampel sebelum spiking. Sampel dinyatakan
mengandung metil paraben, jika terjadi peningkatan tinggi puncak dan luas area pada kromatogram hasil spiking dengan waktu tambat sama seperti pada
kromatogram penyuntikan larutan metil paraben BPFI.
2.5.4 Analisis Kuantitatif 2.5.4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Metil Paraben
Ditimbang seksama 50 mg metil paraben BPFI, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Kemudian ditambahkan dengan sedikit pelarut, kocok hingga
Universitas Sumatera Utara
larut. Setelah larut, diencerkan lagi dengan pelarut sampai garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 µgml LIB I.
Dari LIB I dipipet 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian diencerkan dengan pelarut sampai garis tanda sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 50 µgml LIB II.
2.5.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Metil Paraben BPFI
Dipipet Larutan Induk Baku II LIB II sebanyak 0,5 ml, 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml, dan 4,0 ml, dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, diencerkan dengan
pelarut hingga garis tanda. Kocok sehingga diperoleh konsentrasi 0,5 µgml, 1,0 µgml, 2,0 µgml, 3,0 µgml dan 4,0 µgml. Kemudian masing-masing larutan
disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm, dan diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan vial autosampler sebanyak 5 µl dan dideteksi pada panjang
gelombang 254 nm. Dari luas area yang diperoleh pada kromatogram dibuat kurva kalibrasi kemudian dihitung persamaan garis regresi dan faktor korelasinya.
2.5.4.3 Penetapan Kadar Sampel
Ditimbang seksama 5 gram kecap, dipindahkan secara sistematik kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, lalu dilarutkan dan dicukupkan
dengan pelarut hingga garis tanda. Dikocok-kocok ± 5 menit lalu disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 5 ml filtrat, dimasukkan ke
dalama labu tentukur 50 ml dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda. Dikocok-kocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm
kemudian diawaudarakan selama 15 menit. Sampel diinjeksikan sebanyak 5 µl ke sisitem KCKT vial autosampler dan dideteksi pada panjang gelombang 254 nm
dengan perbandingan fase gerak metanol-air 40:60 dan laju alir 1 mlmenit. Dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan untuk setiap sampel.
Universitas Sumatera Utara
Kadar dapat dihitung dengan mensubtitusikan luas area sampel pada Y dari persamaan regresi : Y = ax + b.
Y= menyatakan absorbansi x= konsentrasi
a= koefisien regresi juga menyatakan slope = kemiringan b= tetapan regresi dan juga disebut dengan intersep
2.5.5 Validasi Metode 2.5.5.1 Kecermatan
Uji akurasi accuracy ditentukan dengan menggunakan metode penambahan baku standart addition method, yakni ke dalam sampel
ditambahkan larutan baku metil paraben 100 dari rata-rata kadar metil paraben yang terdapat pada sampel, kemudian dianalisis dengan perlakuan yang sama
seperti pada penetapan kadar sampel Epshtein, 2004. Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali recovery. Persen perolehan kembali dapat dihitung
dengan rumus Harmita, 2004:
Perolehan kembali =
A A
F
C C
C
x 100 Keterangan :
C
F
= konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran µgg
C
A
= konsentrasi sampel sebenarnya µgg C
A
= konsentrasi analit yang ditambahkan µgg
2.5.5.2 Keseksamaan
Menurut Rohman 2009, presisi merupakan ukuran kedekatan antar serangkaian hasil analisis yang diperoleh dari beberapa kali pengukuran pada
sampel homogen yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Presisi seringkali diekspresikan dengan SD atau Koefisien Variasi KV dari serangkaian data. Nilai KV dirumuskan dengan :
100 x
X SD
KV
Keterangan: KV
= Koefisien Variasi SD = Standar deviasi
X
= Kadar rata-rata sampel Sementara itu, nilai SD dihitung dengan :
1
2
n X
X SD
Dimana : X
= nilai dari masing-masing pengukuran
X
= rata-rata mean dari pengukuran n
= banyaknya data
2.5.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas Deteksi Limit Of Detection LOD dan Batas Kuantitasi Limit Of QuantitationLOQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
2
2
n Yi
Y SB
Sl x
Sy x
LOD 3
Sl x
Sy x
LOQ 10
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: Syx
= Simpangan baku Sl
= Slope atau derajat kemiringan
2.5.6 Analisis Data Penetapan Kadar Secara Statistik
Data perhitungan kadar dianalisis secara statistik menggunakan uji t. Menurut Harmita 2004, Rumus yang digunakan untuk menghitung Standar
Deviasi SD adalah :
1
2
n X
X SD
Kadar dapat dihitung dengan persamaan garis regresi dan untuk menentukan data diterima atau ditolak digunakan rumus:
t hitung n
SD X
X
Dengan dasar penolakan apabila t hitung ≥ t tabel, pada taraf kepercayaan 99
dengan nilai α = 0,01, dk = n – 1.
Keterangan : SD
= Standard
deviationsimpangan baku X
= Kadar dalam satu perlakuan
X
= Kadar rata-rata dalam satu sampel n
= Jumlah perlakuan Untuk mencari kadar sebenarnya dapat digunakan rumus Wibisono, 2005:
n SD
x t
X
dk 2
1 1
Keterangan: μ = Kadar sebenarnya
X = Kadar sampel n = Jumlah perlakuan
t = Harga t
tabel
sesuai dengan derajat kepercayaan dk= Derajat kebebasan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penentuan Komposisi Fase Gerak untuk mendapatkan Kondisi Kromatografi yang Optimal
Pada awal penelitian, dilakukan orientasi terhadap bahan baku metil paraben untuk mencari kondisi kromatografi yang terbaik dengan memvariasikan
perbandingan fase gerak metanol-air yaitu 80:20, 60:40, 40:60, 20:80 sedangkan laju alir pada 0,8 mlmenit dan 1 mlmenit, deteksi dilakukan pada
panjang gelombang 254 nm. Adapun parameter yang perlu diperhatikan yaitu waktu tambat, jumlah lempeng teoritis dan tailing faktor. Hubungan antara
pengaruh komposisi Fase Gerak terhadap Resolusi Kromatogram dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Pengaruh Komposisi Fase Gerak terhadap Resolusi Kromatogram.
No Perbandingan
Fase Gerak Metanol Air
Luas area
Waktu Tambat
Tailing factor
Jumlah lempeng
teoritis Laju Alir
mlmenit 1
80 : 20 3724,5
2,066 1,12114
6516 0,8
2 60 : 40
2824,7 2,333
1,08228 5873
1 3
40 : 60 2952,6
5,884 1,04697
11886 1
4 20 : 80
3616,7 14,156
1,00971 2449
0,8 Catatan : dilakukan 1 x penyuntikan bahan baku metil paraben untuk masing-
masing perbandingan fase gerak Metanol – Air.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, semakin besar konsentrasi metanol dalam fase gerak maka waktu tambat metil paraben akan semakin singkat. Hal ini
dikarenakan kekuatan fase gerak solvent strength, dimana pada kromatografi fase terbalik, konsentrasi metanol yang lebih besar akan mengakibatkan fase gerak
semakin kuat sehingga proses elusi terjadi lebih cepat, maka waktu tambat analit menjadi lebih singkat Synder dan Kirkland, 1979.
Universitas Sumatera Utara