Gambaran Tayangan Infotainmen di Indonesia

43 Atmajaya Yogyakarta, Universitas Veteran Yogya-karta, Universitas Muhammadiyah Malang, dll. Bentuk kerjasama yang dilakukan KPI dengan lembaga-lembaga penyiaran atau lembaga lain-nya yang terkait penyiaran pada umumnya berupa kerjasama yang menitikberatkan pada literasi media dan pengawasan isi siaran. Selain menjalin hubungan kerjasama dalam negeri, KPI mempunyai program untuk melakukan kunjungan ke beberapa negara yang dipan-dang maju dalam hal penyiaran, dalam rangka menjalin kerjasama internasional. Beberapa Negara yang telah dikunjungi KPI adalah China, Hongkong, Malaysia, Singapore, Inggris, Amerika Serikat. f. Penandatanganan MoU Memorandum of UnderstandingNota Kesepahaman.

E. Gambaran Tayangan Infotainmen di Indonesia

1. Infotainmen dalam Jurnalisme Infotainmen merupakan jenis tayangan televisi yang popular dewasa ini. Tingginya popularitas jenis tayangan ini bisa dibuktikan dengan semakin beragamnya nama tayangan infotainmen yang menemui pemirsa. Walaupun semakin beragamnya nama tayangan infotainmen, namun keberagaman nama ini tidak diikuti oleh keberagaman format acara infotainmen. Anehnya ditengah kualitas infotainmen yang begitu-begitu saja, infotainmen tetap 44 digandrungi para pemirsa. Pada waktu prime-time 2 infotainmen juga tidak terlewat ikut meramaikan kompetisi perebutan rating tinggi. Arti sesungguhnya dari infotainmen, yaitu informasi yang dikemas dalam balutan entertainment, maka seharusnya porsi informasi lebih banyak daripada porsi hiburan. Faktanya, kini infotainmen lebih mengutamakan unsur hiburan daripada unsur informasi. Ini terkait dengan kandungan informasi misalnya bobot informasi atau penting tidaknya informasi tersebut disampaikan kepada publik. Mengacu pada theory agenda setting , maka sebenarnya medialah yang telah mengonstruksi pikiran publik sehingga informasi yang sebenarnya tidak penting menjadi penting. Dalam teori yang dikemukan oleh M.E.Mc.Combs and D.L. Shaw tersebut dikatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Mereka menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan berita dan penilaian berita oleh khalayak. 3 Dengan kata lain, media membuat sesuatu yang tidak penting menjadi penting, misalnya penekanan dengan porsi penayangan berita yang besar. Seperti wartawan infotainmen mencari berita mengenai perceraian artis , cara berpacaran artis, gaya hedonisme mereka, pernikahan terselubung, pisah ranjang hingga perselingkuhan mereka. Kenapa kehidupan “ranjang” artis 2 Prime-time adalah waktu terbaik untuk menyuguhkan program siaran yang top, mengingat waktu tersebut ditonton oleh sebagian besar penonton.Lihat RM Soenarto. Programa Televisi Dari Penyusunan Sampai Pengaruh Siaran. Jakarta:FFTV-IKJ Press,2007, h.66 3 Burhan Bungin,.Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2006 cet ke- 1,h. 280 45 mesti dipublikasikan? Yang membuatnya menjadi penting adalah penekanan pada unsur artisfigure yang ditampilkan serta frekuensi penayangan informasi tersebut. Terlepas dari unsur pentingnya informasi, hal yang demikian juga telah melanggar ruang privasi artis. Diffusion of Innovation theory semakin mempercepat persebaran informasi. Teori ini menunjukan bahwa media massa semakin mempercepat jalannya arus informasi hingga mencapai khalayak dalam jumlah yang besar. Pada tayangan infotainmen, adopsi inovasi dari gaya hidup para selebritas akan berpengaruh pada khalayak karena diperolehnya pengetahuan tersebut akan dipengaruhi pula oleh karakteristik sosial. Menurut Val E. Limburg dalam bukunya Electronic Media Ethics 1994: 125, gambar visual lebih mampu berbicara banyak daripada bahasa lisan maupun tertulis, karena itu persoalan etika menjadi semakin penting. Dalam tayangan berita di televisi, termasuk juga infotainmen, menurutnya ada dua gatekeepers yang berperan dalam persoalan etika yang berkaiatan dengan visualisasi di layar televisi, yaitu kamerawan yang mengarahkan kameranya pada sumber berita dan editor yang berkuasa untuk memilih visualisasi yang layak disiarkan atau tidak. 4 Dilihat dari kaidah jurnalistik, infotainmen dapat dikategorikan sebuah karya jurnalistik. Para wartawan infotainmen melakukan reportase di lapangan, mewawancarai narasumber, mengedit, kemudian menyiarkannya untuk khalayak ramai. Namun dilihat dari standar dan prosedur jurnalistik 4 http:.artikeljurnalinfotainmen.pdf 46 tersebut, infotainmen yang ada secara umum merupakan produk jurnalistik yang buruk kualitasnya. Selama ini yang menjadi keluhan para selebritis terhadap infotainmen adalah dimasukinya wilayah privat mereka oleh para kru infotainmen. Berbagai perseteruan selebritis dengan kru infotainmen seperti tersebut di atas menjadi penanda dari pereseturuan ini. Walaupun demikian konsep wilayah privat sendiri perlu dirumuskan kembali karena bukankan selebritis adalah public figure yang kemanapun melangkah pasti selalu menarik minat khalayak untuk mengetahuinya public right to know. Yang lebih mendesak untuk segera diperhatikan adalah kesadaran penerapan etika jurnalisme saat meliput berita yang akan dijadikan konsumsi infotainmen. Pada kenyataannya, kondisi yang terjadi berkebalikan dan semakin ironis karena etika jurnalisme yang semakin tidak dipedulikan dalam infotainmen, sehingga wajar saja jika kemudian berkembang wacana bahwa infotainmen sekedar “berita sampah” yang hanya berorientasi kepada segi entertainment untuk mereguk keuntungan dengan mengorbankan hak-hak dan kepentingan sumber berita. Yons Achmad, seorang pemerhati media dan aktivis Communicare Institute CoIn Jakarta memiliki beberapa catatan tentang kelemahan dari produksi sampai program terkait tayangan infotainmen yang ditayangkan ke publik yaitu: Pertama, di dalam dunia jurnalistik pertama kali yang harus dibangun adalah sumber berita berdasarkan fakta. Sementara di dalam acara infotainmen kerap sekali berita hanya berdasarkan gosip dan informasi yang 47 simpang siur. Kedua, dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, wartawan infotainmen kerap memaksa nara sumber artis untuk angkat bicara. Bahkan, sampai menginap di sekitar rumah para artis. Fenomena ini kerap menjadikan trauma tersendiri di kalangan artis. Maka wajar jika ada penilaian bahwa pekerja infotainmen itu bukan wartawan. Ketiga, wartawan infotainmen kerap berdalih bahwa apa yang mereka lakukan itu sah-sah saja. Mencegat nara sumber dan seenaknya memaksa nara sumber untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Ketika tidak berhasil sering terjadi pemaksaan disertai ancaman bahwa menghalang-halangi kerja peliputan bisa berurusan dengan hukum atas nama UU Pers No 40 1999. Keempat, berkenaan dengan status kewartawanan banyak yang masih mempertanyakan apakah awak infotainmen layak disebut wartawan. Karena, mereka tidak semua bekerja pada stasiun televisi tetapi karyawan sebuah production house. Kelima, terkait dengan muatan berita yang buruk dan layak dikategorikan sebagai berita sampah junk news, misalnya terkesan asal tayang dan menyiarkan wawancara nara sumber yang tidak kompeten untuk berbicara di ranah publik. 5 Program infotainmen di stasiun-stasiun televisi bukan merupakan karya jurnalistik, demikian menurut disertasi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia UI, Mulharnetti Syas yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industrti Televisi di Indonesia Studi Budaya Televisi pada Program Infotainmen. 5 http:communicareinstitute.com. 3 Januari,2007 48 Beliau mengatakan, hasil disertasinya menyimpulkan bahwa tayangan infotainmen banyak melanggar kode etik jurnalistik, karena menampilkan gossip atau isu bukan fakta yang ada. Tayangan infotainmen hanya sebagai hiburan semata bagi pemirsa televisi, sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat. Ia juga menilai bahwa pekerja infotainmen bukan wartawan, karena hasil kerjanya bukan produk jurnalistik. 6 Lain halnya dengan pandangan Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Dr. Effendy Ghozali, MA menilai, karakter infotainmen di Indonesia adalah over explosive, over simplified dan over claim. Over explosive karena tayangan infotainmen sudah terlalu banyak, semua stasiun televisi di Indonesia memiliki program acara serupa. Akibatnya, infotainmen justru menjadi sarana sinisme bukannya menjadi media informasi yang mencerdaskan masyarakat. Sementara over simplified, ditunjukkan dengan cara kerja para jurnalis infotainmen yang terlalu mudah menyederhanakan dan menyimpulkan sebuah persoalan. Sedangkan over claim, media infotainmen selalu mengklaim demi kepentingan publik. seolah-olah publik harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada artis. 7 Antropolog Universitas Negeri Semarang, Nugroho Trisnu Brata menilai tayangan infotainmen berakar pada budaya masyarakat yang bermula dari kebiasaan “ngerumpi”. Kebiasaan tersebut ternyata mengikuti perkembangan zaman yang mulai mengenal media komunikasi yang lebih canggih, yakni televisi hingga akhirnya ada tayangan infotainmen. Ia 6 Depok Antara News, Selasa 13 Juli 2010 7 http:detiknews.comibnughifari 49 mengatakan kebiasaan “ngerumpi” sudah menjadi budaya sebagian masyrakat sehingga menjadi bebas nilai dan tidak dapat dinilai salah atau benar, sebab kebudayaan adalah sesuatu yang bebas nilai. Tayangan infotainmen tak akan pernah sepi dari iklan yang mengindikasikan hal itu merupakan peluang untuk meraih pendapatan besar di dunia pertelevisian. 8 Pihak yang mengkritik tayangan infotainmen umumnya berkeberatan terhadap isi yang melulu pada gossip ataupun fakta yang tidak berbobot dan tidak sehat. Tayangan-tayangan di televisi seyogyanya berisi informasi yang membawa masyarakat kepada proses pembelajaran yang mendidik dan bertumpu pada nilai etika, kesopanan, maupun kecakapan dalam ilmu dan teknologi. 2. Pandangan Ormas Islam Terhadap Infotainmen Di selenggarakannya Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya akhir Juli 2006 lalu akhirnya merekomendasikan bahwa NU mengeluarkan fatwa haram tentang infotainmen karena memasuki wilayah ghibah alias gunjingan bahkan fitnah yang tak terbukti kebenarannya atas persoalan-persolan pribadi yang diberitakannya. Ketua PBNU Prof Dr. KH Said Aqil Siradj menyatakan, langkah NU mengeluarkan fatwa haram bagi infotainmen yang cenderung membuka aib seseorang semata untuk mengajak umat pada kebaikan dan meninggalkan keburukan, namun NU tak akan memaksa masyarakat untuk mengikuti fatwa 8 Semarang Antara News, Jumat 30 Juli 2010 50 tersebut. Beliau menjamin fatwa yang dihasilkan dari proses Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya akhir Juli lalu itu tidak akan diikuti dengan aksi sweeping terhadap orang-orang yang tidak mengikuti fatwa tersebut. 9 Pada Juli 2010, Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainmen, baik bagi televisi yang menayangkannya maupun masyarakat yang menontonnya. Fatwa tersebut disahkan dalam rapat pleno Komisi C Bidang Fatwa Musyawarah Nasional Munas VIII MUI di Jakarta. Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi Fatwa MUI KH. Ma’ruf Amin. Bagi pihak yang menayangkan dan menyiarkan atau mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib, kejelekan, gossip dan hal-hal lain sejenis terkait juga dinyatakan haram oleh MUI. Sementara status haram itu bisa batal dengan beberapa alasan yang dibenarka secara syar’i, yakni tayangan infotainmen tersebut untuk kepentingan penegak hokum, memberantas kemungkaran, memberi peringatan, menyampaikan pengaduan, meminta pertolongan atau meminta fatwa hukum. MUI merekomendasikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia KPI untuk meregulasi tayangan infotainmen untuk menjamin hak masyarakat memperoleh tayangan yang bermutu serta melindungi dari hak-hak negatif. Lembaga Sensor Film LSF juga diminta mengambil langkah proaktif untuk 9 http:www.tempointeraktif.com Veven Wardhana, Januari 2007 51 menyensor tayangan infotainmen guna menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu. 10 Dalam Firman Allah SWT: “ ْإ ﻈ ا ﺾْﻌ نإ ﻈ ا اﺮ آ اﻮ ْ ا اﻮ ﺬ ا ﺎﻬ أ ﺎ ْ آْﺄ ْنأ ْ آﺪ أ أ ﺎﻀْﻌ ْ ﻜﻀْﻌ ْ ْﻐ ﺎ و اﻮ ﺎ و ﻓ ﺎ ْ ﺧأ ر باﻮ ا نإ ا اﻮ او ﻮ ْهﺮﻜ ” . Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing-kan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging sau-daranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertak-walah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Q.S. Al Hujuraat: 12 Hadits Nabi s.a.w yang diriwayatkan Imam al-Bukhori: 11 ْ ذأ ﻓ ﺻ نﻮهرﺎآ ْ هو مْﻮ ﺪ ﻰ إ ﻊ ْ ا ْ و ﻚ ْا . Artinya: “Barang siapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum, sedangkan mereka membeci pembicaraan itu, maka akan dicurahkan timah yang meleleh pada telinga orang tersebut di akherat.” Dalil-dalil diatas mengandung kesimpulan bahwa seseorang dilarang untuk melakukan tujuh perkara: 1. Dzon dugaan buruk atau buruk sangka pada orang lain. 2. Tajassus mengintai atau mengejar berita. 3. Ghibah ngerasani yang diharamkan seperti mengungkap aib seseorang dengan segala macam bentuknya dengan li-san, tulisan, isyarah dan lain- lain atau dengan hati. 10 http:www.detiknews.com20100727045131396755mui:gossip-haram 11 Himpunan hadist pilihan hadist shahih bukhari. Surabaya: Al-ikhlas 52 4. Buhtan mendustakan orang lain 5. Ifkun membicarakan sesuatu yang didengar yang belum ada kejelasan. 6. Tasmi’ memperdengarkan perbuatannya untuk mendapat popularitas dan Riya’ pamer untuk dipuji. 7. Membuka aib sendiri atau orang lain tanpa ada tujuan yang dibenarkan. 12 Hukum penayangan dan proses infotainmen : 1. Jika ada unsur-unsur perkara di atas, maka hukum penayangannya adalah haram. 2. Jika tidak ada unsur-unsur tersebut, seperti tahadduts binni’mah membicarakan kenikmatan yang diberikan Allah, sebagai panutan agar diikuti amal kebaikannya dan agar dimanfaatkan karya Ilmiahnya, maka hukum penayangnya diperbolehkan. Hukum menontonnya: 1. Haram, jika panayangannya hukumnya haram karena setuju dengan kemungkaran, kecuali ada tujuan taghyirul mungkar mengubah kemungkaran atau meninggalkan. 2. Tidak haram, jika penanyangannya hukumnya tidak haram. 12 Rachmat Syafe’I. Al-Hadist: Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum. 2003, Bandung: CV. Pustaka Setia,cet ke2 h.188

BAB IV TEMUAN DAN HASIL