Peranan Penggunaan Bentonit Alam Dalam Menurunkan Kadar Ion Fe Pada Residu Spent Lye (Limbah Proses Pembuatan Gliserol).

(1)

PERANAN PENGGUNAAN BENTONIT ALAM DALAM

MENURUNKAN KADAR ION Fe PADA RESIDU SPENT LYE

(LIMBAH PROSES PEMBUATAN GLISEROL)

SKRIPSI

PANJI WIBOWO H.

080822001

PROGRAM STUDI SARJANA KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN PENGGUNAAN BENTONIT ALAM DALAM MENURUNKAN KADAR ION Fe PADA RESIDU SPENT LYE ( LIMBAH PROSES

PEMBUATAN GLISEROL) SKIRPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

PANJI WIBOWO H. 080822001

PROGRAM STUDI SARJANA KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSETUJUAN

Judul :PERANAN PENGGUNAAN BENTONIT

ALAM DALAM MENURUNKAN KADAR ION Fe PADA RESIDU SPENT LYE (LIMBAH PROSES PEMBUATAN GLISEROL)

Kategori :SKRIPSI

Nama :PANJI WIBOWO H.

Nomor Induk Mahasiswa :080822001

Program Studi :SARJANA (S1) KIMIA

Departemen :KIMIA

Fakultas :MATEMATIKA DAN ILMU

PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, November 2010

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Pina Barus, MS Dr. Tini Sembiring, MS

NIP 194506041980031001 NIP 194805131971072001

Diketahui / Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS. NIP 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PERANAN PENGGUNAAN BENTONIT ALAM DALAM MENURUNKAN KADAR ION Fe PADA RESIDU SPENT LYE

( LIMBAH PROSES PEMBUATAN GLISEROL) SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2010

Panji Wibowo H. 0808022001


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya sehingga skirpsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Adapun Skripsi ini dapat ditulis dengan terwujud atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara lansung maupun tidak lansung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Kedua orang tua tercinta yang banyak memberikan bantuan baik moril maupun matril serta keluarga besar Hasyim, Dr. Sutarman, MS, selaku Dekan FMIPA USU, Dr. Rumondang Bulan,MSi, selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU, Dr. Tini Sembiring,MSi selaku Dosen Pembimbing I Penelitian, Dr. Pina Barus,MS Selaku Dosen Pembimbing II Penelitian, Anshari, SKM, Selaku Kepala Puncak di BTKL – PPM Medan, Ir. Tetra Frida Suciari, M.Kes, Selaku Kepala Seksi Pengembangan Teknologi dan Laboratorium di BTKL – PPM Medan, Noviandi, SSi, Selaku Manager Teknis Lab.Kimia di BTKL – PPM Medan, Seluruh Staf pegawai serta rekan – rekan perkuliahan yang telah banyak memberikan dukungan dalam penelitian ini.Dalam kesempatan ini, penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna dan terdapat banyak kekurangan didalamnya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk penyempurnaan selanjutnya. Penulis juga berharap semoga Skirpsi ini dapat bermanfaat bagi Ilmu Kimia.


(6)

ABSTRAK

Spent lye adalah zat antara yang diproduksi pada proses pembuatan gliserol di PT. Oleochemical Soap. Spent lye mengandung 10 – 30 % gliserol, garam, air dan zat organik non gliserin. Residu spent lye mengandung sekitar 65 % garam dan ion Fe yang berasal dari penambahan FeCl3, yang berfungsi sebagai koagulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bentonit alam yang diaktifkan dengan H-2SO4(p) dan tanpa pengaktifan dapat menurunkan kadar ion Fe, sehingga residu spent lye dapat digunakan sebagai larutan garam (brine solution). Penurunan kadar ion Fe ini dilakukan dengan menggunakan bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dan tanpa pengaktifan, dengan variasi jumlah penggunaan bentonit 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %(m/v). Kadar ion Fe dianalisa menggunakan Inductively Couple Plasma (ICP). Data dianalisa secara statistik dengan analisis variansi (ANAVA). Hasil penelitian menunjukkan dengan menggunakan bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) pada variasi jumlah penggunaan bentonit 4 %(m/v) memberikan hasil penurunan kadar ion Fe maksimum, yaitu 92.487 % sedangkan bentonit alam tanpa pengaktifan pada variasi jumlah bentonit 4 %(m/v) memberikan hasil penurunan kadar ion Fe maksimum, yaitu 86.309 %


(7)

THE ROLE OF USING NATURAL BENTONITE DECREASING Fe ION SPENT LYE RESIDUE ( WASTE PROCESS IN MAKING GLICEROL)

ABSTRACT

Spent lye is cross-essence which is producted in making of glycerol at PT. Oleochemical Soap. Spent lye contains 10 – 30 % glycerol, salt, water and non glycerin organic essence. Spent lye residue contains 65% salt and Fe ion which is came by adding FeCl3 and it is for coagulan. The purpose of this research is to know natural bentonite which can be activated with H2SO4(p) and without activation can reduce the level of Fe ion then spent lye residue can be used as brine solution. Reduction of Fe ion level is done by using natural bentonite which is activated with or without H2SO4(p). it came by total variaton of using bentonite 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %(m/v). Fe ion level analyzed by using Inductively Couple Plasma (ICP). The data is analyzed statistically with analysis variation (ANAVA). The result of research showed by using natural bentonite 4 %(m/v) given the maximum of Fe ion level reduction (92.487 %) whereas natural bentonite without activation in total bentonite variation 4 %(m/v) given the result of maximum ion Fe level (86.309%).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar i

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

1.5. Lokasi Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produk Minyak Sawit 5

2.2. Komponen Kimiawi Lipid 6

2.3. Sifat kimia –fisik asam lemak 7

2.4. Oleokimia 7

2.5. Gliserin 8

2.5.1 Sejarah Gliserin 8

2.5.2 Proses pembuatan gliserin di PT. Oleochemical Soap 11

2.5.3 Manfaat gliserin 12

2.6. Besi 13

2.7. Metode Analisis Menggunakan alat Inductively Couple Plasma (ICP) 14

2.7.1 Prinsip Kerja alat Inductively Couple Plasma (ICP) 15

2.8. Proses Pemurnian Garam 17

2.9. Bentonit 21

2.9.1 Komposisi Bentonit 21


(9)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Peralatan 25

3.1.1. Alat – alat 25

3.1.2 Bahan 26

3.2. Prosedur Pecobaan 26

3.2.1 Perlakuan Sampel Residu Spent Lye 26

3.2.2 Pembuatan Larutan Baku Fe 26

3.2.2.2 Pembuatan larutan Standart Fe 5 ppm 26

3.2.2.3 Pembuatan larutan Standart Fe 0.0; 0.25; 0.50; 0.75; 1.0 mg/L 27

3.2.3 Preparasi Bentonit 27

3.2.4 Pembuatan NaOH 1 N 27

3.2.5 Pengaktifkan bentonit dengan H2SO4(p) 27

3.2.6 Perlakuan terhadap sampel dengan Menggunakan bentonit hasil pengaktifan kontak H2SO4(p) berdasarkan variasi jumlah penggunaan bentonit 1%, 2%, 3%, 4%, 5%(w/v) 28 3.3 Bagan Penelitian 30

3.3.1 Pemeriksaaan logam Fe Residu Spently dengan alat ICP 30 3.3.2 Pembuatan larutan baku Fe 5 ppm 31

3.3.3 Pengaktifan Bentonit dengan H2SO4(p) 32

3.3.4 Preparasi Bentonit 33

3.3.5 Penyerapan Ion Fe oleh bentonit 34

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan pengolahan data percobaan 35

4.1.1 Data Intensitas larutan standart Fe 36

4.1.2. Pengolahan Data Ion Fe 36

4.1.3. Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square 36

4.1.4 Koefisien Korelasi 39

4.1.5 Penentuan daya absorpsi bentonit 40

4.1.6 Penentuan kapasitas absorpsi bentonit 41

4.1.7 Rancangan Acak Lengkap Untuk data Kapasitas Absorpsi Bentonit 42

4.1.7.1Rancangan acak lengkap untuk data kapasitas absorpsi bentonit pengaktifan dengan H2SO4(p) 43

4.1.7.2Rancangan acak lengkap untuk data kapasitas absorpsi bentonit tanpa pengaktifan 45

4.2. Pembahasan 47

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 49

5.2. Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelebihan dan kelemahan antara AAS dan ICP 16 Tabel 2.2 Hasil analisis sampel bentonit di PT. Bumi Karya Raharja 22 Tabel 4.3 Hasil pengukuran daya serap bentonit pengaktifan H2SO4(p) terhadap

kadar logam Fe 35

Tabel 4.4 Hasil pengukuran daya serap bentonit tanpa pengaktifan kadar logam Fe 35 Tabel 4.5 Data intensitas larutan standart besi ( Fe ) 36 Tabel 4.6 Penurunan persamaan garis regresi untuk penentuan konsentrasi unsur

Besi (Fe) berdasarkan pengukuran Intensitas larutan standar


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Alat Inductively Couple Plasma 15 Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fe 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Alam Pengaktifan dengan H2SO4(p) Terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit 52 Lampiran 2 Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Alam Tanpa Pengaktifan Terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit 53 Lampiran 3 Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Pengaktifan dengan

H2SO4(p) Terhadap % Fe Teradsorpsi 54

Lampiran 4 Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Tanpa Pengaktifan dengan Terhadap % Fe Teradsorpsi 55


(13)

ABSTRAK

Spent lye adalah zat antara yang diproduksi pada proses pembuatan gliserol di PT. Oleochemical Soap. Spent lye mengandung 10 – 30 % gliserol, garam, air dan zat organik non gliserin. Residu spent lye mengandung sekitar 65 % garam dan ion Fe yang berasal dari penambahan FeCl3, yang berfungsi sebagai koagulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bentonit alam yang diaktifkan dengan H-2SO4(p) dan tanpa pengaktifan dapat menurunkan kadar ion Fe, sehingga residu spent lye dapat digunakan sebagai larutan garam (brine solution). Penurunan kadar ion Fe ini dilakukan dengan menggunakan bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dan tanpa pengaktifan, dengan variasi jumlah penggunaan bentonit 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %(m/v). Kadar ion Fe dianalisa menggunakan Inductively Couple Plasma (ICP). Data dianalisa secara statistik dengan analisis variansi (ANAVA). Hasil penelitian menunjukkan dengan menggunakan bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) pada variasi jumlah penggunaan bentonit 4 %(m/v) memberikan hasil penurunan kadar ion Fe maksimum, yaitu 92.487 % sedangkan bentonit alam tanpa pengaktifan pada variasi jumlah bentonit 4 %(m/v) memberikan hasil penurunan kadar ion Fe maksimum, yaitu 86.309 %


(14)

THE ROLE OF USING NATURAL BENTONITE DECREASING Fe ION SPENT LYE RESIDUE ( WASTE PROCESS IN MAKING GLICEROL)

ABSTRACT

Spent lye is cross-essence which is producted in making of glycerol at PT. Oleochemical Soap. Spent lye contains 10 – 30 % glycerol, salt, water and non glycerin organic essence. Spent lye residue contains 65% salt and Fe ion which is came by adding FeCl3 and it is for coagulan. The purpose of this research is to know natural bentonite which can be activated with H2SO4(p) and without activation can reduce the level of Fe ion then spent lye residue can be used as brine solution. Reduction of Fe ion level is done by using natural bentonite which is activated with or without H2SO4(p). it came by total variaton of using bentonite 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %(m/v). Fe ion level analyzed by using Inductively Couple Plasma (ICP). The data is analyzed statistically with analysis variation (ANAVA). The result of research showed by using natural bentonite 4 %(m/v) given the maximum of Fe ion level reduction (92.487 %) whereas natural bentonite without activation in total bentonite variation 4 %(m/v) given the result of maximum ion Fe level (86.309%).


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan makhluk di sekitarnya sehingga masalah pencemaran lingkungan ini menjadi salah satu hal yang paling krusial. Pencemaran lingkungan sering pula dikaitkan dengan keberadaan industri. Hal ini tidak terlepas dari kegiataan industri yang melibatkan penggunaan bahan – bahan kimia yang berbahaya terutama limbah industri jika terlepas ke lingkungan tanpa proses pengolahan lebih lanjut sehingga bahan – bahan tersebut dapat di urai oleh mikroorganisme di lingkungan pembuangannya.

Perkembangan industri yang sangat pesat pada zaman ini banyak menimbulkan permasalahan lingkungan. Masalah yang paling utama yang dihadapi oleh industri sekarang adalah pencemaran lingkungannya yang bersumber dari pembuangan limbah dari kegitan industri.

Seperti yang kita ketahui bahwa limbah merupakan hasil sampingan dari proses industri. Limbah ini berupa padatan, cairan ataupun gas yang semuanya memiliki sifat – sifat fisika dan kimia yang dapat mengakibatkan kerusakaan lingkungan dan bahkan bias berakibat fatal bagi masyarakat setempat bil terkonsumsi. Oleh karena itu, industri perlu memiliki penanganan yang baeik mengenai limbah indutri.

PT. Oleochemical Soap merupakan salah satu perusahaan yang mengolah minyak kelapa sawit menjadi sabun dan gliserin. Sebagai industri pengolahan, perusahaan ini juga tak terlepas dari masalah limbahnya. Bahan baku pembuatan sabun dan gliserin menggunakan Refined Bleached Deodorized Palm Olein


(16)

(RDBPO), Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS), Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Olein (RBDPKO).

Dengan menggunakan bahan baku seperti RDBPO/ RBDPS/ RBDPKO dan dengan menggunakan NaOH maka dapat terjadi reaksi penyabunaan menghasilkan sabun dan spent lye. Spent lye mengandung komponen 10 – 30 % gliserin(bergantung pada pada proses produksi).(Luis, Spitz,1996)

Kemudian sabun dan spent lye dipisahkan dengan menggunakan sistem sentrifugasi dengan memakai larutan garam 22 % yang disebut brine solution. Pemisahaan ini dengan menggunakan sentrifugasi sekitar 25000 rpm pada suhu berkisar 120 – 130 oC sehingga akan terpisah antara sabun dan spent lye. Kemudian spent lye dipisahkan dari sabun. Dalam keadaan ini pH spent lye adalah 14, sehingga perlu dinetralkan dengan menggunakan HCl 32 %. Setelah pH spent lye = 7-6. Untuk mengendapkan (membentuk flok) dari sisa - sisa minyak yang tidak ikut bereaksi dalam proses pembuatan sabun ditambahkan larutan FeCl3, kemudian untuk memisahkan antara antara flokulan dengan spent lye disaring dengan menggunakan filter press. Spent lye diproses dengan menggunakan destilasi pada suhu 80 – 90 oC menghasilakn crude spent lye. Crude spent lye ini dengan menggunakan vakum pada tekanan sekitar 1 – 1,5 Bar di masukkan kedalam suatu tank sampai Crude Spently 18 % sehingga akan menghasilkan crude spent lye dan residu. Sehingga crude spent lye ini akan di murnikan lagi. Sedangkan residunya akan di masukan dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Residu spent lye ini berwarna coklat yang mengandung garam, logam – logam berat seperti Fe yang berasal dari penambahan FeCl3

Berdasarkan hal tersebut diatas, penelitian ini ingin menurunkan kadar ion Fe didalam residu Spent lye, dengan menggunakan bentonit alam yang diaktifkan . Residu spent lye ini merupakan salah satu limbah B3, sehingga PT. Oleochemical soap untuk melakukan pengolahan limbahnya hanya dapat di lakukan dengan cara mengirimkannya ke cileungsi. Berdasarkan spesifikasi kandungan garam yang digunakan sebagai larutan garam oleh PT. Oleochemical Soap telah ditetapkan bahwa salah satu kandungan logam beratnya yaitu : Fe maksimal 0.4 ppm.


(17)

dan tanpa pengaktifan. Sehingga kandungan ion Fe pada residu spent lye memenuhi spesifikasi standar yang telah ditetapkan oleh pabrik sebagai larutan garam.

1.2 Permasalahan.

Adapun permasalah didalam penelitian ini adalah tingginya kadar Fe para residu spent lye. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk menurunkan kadar ion Fe dengan menggunakan bentonit yang diaktifkan dan tanpa pengaktifan, sehingga residu spent lye dapat digunakan kembali menjadi larutan garam (brine solution).

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui seberapa jauh titik optimum penggunaan bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dan tanpa pengaktifan, yang dapat menurunkan kadar ion Fe dalam residu spent lye sehingga dapat digunakan kembali sebagai larutan garam

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah terhadap perkembangan ilmu kimia analitik serta memberikan informasi sejauh mana bentonit alam yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dan tanpa diaktifkan dapat menurunkan kadar ion Fe dalam residu spent lye sehingga dapat digunakan kembali sebagai larutan garam.


(18)

1.5 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Balai Teknologi Kesehatan Lingkungan – Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM). Pemeriksaan Inductively Couple Plasma dilakukan di Laboratorium Kimia Balai Teknologi Kesehatan Lingkungan – Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM).

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan cara – cara yang dilakukan :

1. Sampel yang digunakan adalah residu spent lye dari pabrik PT. Oleochemical Soap.

2. Bentonit Alam yang digunakan adalah Ca-bentonit yang diperoleh dari PT. Bumi Karyatama Raharja.

3. Pengaktifan bentonit alam dilakukan secara kimia yaitu dengan penambahan H2SO4(p),

4. Bentonit alam tanpa pengaktifan dengan jumlah kandungan penggunaan bentonit yang dipakai 1 %, 2%, 3%,4%, 5%(w/v).

dengan jumlah kandungan penggunaan bentonit yang dipakai 1%, 2%, 3%,4%, 5%(w/v).

5. Waktu kontak yang dilakukan 30 menit.

6. Ion Fe dalam residu spent lye dianalisa dengan Inductively Couple Plasma (ICP).


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Produk Minyak Sawit

Minyak sawit merupakan lipida yang tidak larut dalam air namun dapat larut dalam berbagai pelarut organik. Minyak sawit merupakan campuran trigliserida dengan rangkaian asam lemak yang berantai panjang atau jumlah karbonnya. Terdapat 5 reaksi penting dari asam lemak dalam trigliserida, yaitu : hidrolisis, oksidasi, hidrogenasi, transesterifikasi dan reaksi penambahan halogen dimana suatu molekul iodium ditambahkan pada suatu ikatan rangkap.

Minyak sawit, seperti juga minyak lainnya, merupakan campuran dari banyak trigliserida. Dengan asam lemak yang berbeda – beda yang dikombinasikan dalam berbagai posisi dalam suatu molekul, karena itu juga minyak sawit memiliki suatu titik leleh yang tertentu. Asam lemak jenuh minyak sawit memiliki suatu titik leleh yang tinggi adalah asam palmitat dan asam stearat. Asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat memiliki ikatan rangkap adalah asam lemak tak jenuh dan memiliki titik leleh yang lebih rendah.

Semua komponen minyak sawit larut dalam lemak karena merupakan lipida. Namun demikian, terdapat juga sebagian kecil dari lipida tersebut yang bukan trigliserida. Senyawa – senyawa ini yang sebagian kecil dari lipida tersebut buka n trigliserida. Senyawa – senyawa ini sebagian besar terkonsentrasi dalam fraksi olein setelah proses fraksinasi. Meskipun jumlahnya sangat kecil dalam minyak sawit. Namun nilai penting senyawa ini ini semakin tinggi, termasuk didalamnya yaitu : karoten, tokoferol, sterol dan terpenoid. Senyawa – senyawa karoten memiliki warna merah atau coklat, komponennya terdiri dari berbagai ikatan rangkap yang berlainan, beberapa diantaranya memiliki peranan penting dalam pembentukan vitamin A. karotenoid semacam ini biasa disebut komponen pro – vitamin A, diantaranya yang paling adalah β – karoten.


(20)

Minyak kelapa sawit banyak mengandung gliserida – gliserida dan sebagian kecil komponen non gliserida. Untuk tujuan merubah minyak ke bentuk yang dapat digunakan, beberapa dari non gliserida harus di kurangi ataupun dihilangkan ke level tertentu. Ada dua jenis gliserida, yaitu yang larut dalam minyak dan yang tidak larut dalam minyak. Kotoran - kotoran yang tidak larut dalam minyak meliputi serat buah dan cangkang. Sedangkan komponen non gliserida yang larut dalam minyak meliputi asam lemak bebas, fofolipid, logam dan karoten, dan lain – lain. Tujuan refening adalah untuk mendapatkan minyak sawit dengan kualitas yang baik yang sesuai dengan standard dengan menghilangkan kotoran – kotoran.(Anonymous I, 2006)

2.2. Komponen Kimiawi Lipid

Trigliserida / triasilgliserol / lemak netral adalah suatu ester alkohol dengan asam lemak. Alkoholnya gliserol dan asam lemaknya asam karboksilat dengan kerangka hidrokarbon yang panjang (BM tinggi).

Gliserol 3 molekul asam lemak Trigliserida Air

Kemungkinan – kemungkinan macam trigliserida yang dapat terbentuk pada reaksi diatas adalah :

a. 3 mono gliserida, bila 1 molekul asam lemak berikatan dengan salah satu atom C gliserol.

b. 1,2 – digliserida, bila 2 molekul asam lemak berikatan dengan kedua atom C gliserol, dan

c. Trigliserida, bila 3 molekul asam lemak berikatan dengan ketiga atom C gliserol.


(21)

2.3. Sifat Kimia –Fisik Asam Lemak

Ada tiga sifat kimia – fisik asam lemak yang perlu dikemukakan,yaitu sebagai berikut :

1. Rantai hidrokarbon asam lemak jenuh bersifat elastis. Karena dapat berputar pada sumbu atom karbonnya dan Karena itu tidak stabil, asam lemak jenuh memiliki titik cair tinggi. Dengan demikian, untuk mengubah struktur / bentuk molekulnya, tidak diperlukan energi yang terlalu tinggi karena itu titik cairnya relatif rendah.

2. Rantai hidrokarbon asam lemak tak jenuh bersifat kaku. Struktur molekulnya sulit diubah karena itu ia lebih stabil. Untuk mengubah struktur molekulnya diperlukan energi yang lebih tinggi karena titik cairnya relatif tinggi.

3. Posisi konfigurasi isomer cis pada asam lemak tak jenuh dapat berubah ke

bentuk isomer trans dengan proses pemanasan tinggi dan katalis. (Wahab)

2.4. Oleokimia

Oleokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari tentang proses pengolahan asam lemak dan gliserin serta derivatnya baik yang dihasilkan dari minyak seperti gliserida juga hasil sintesa dari produksi etilena dan propilena serta industri petrokimia.(Richtler.et al, 1984).

Oleokimia didefinsikan sebagai pembuatan asam lemak dan gliserin serta turunannya baik berasal dari hasil pemecahaan trigliserida yang dikandung minyak dan lemak alami maupun berasal dari produk petrokimia. Sumber oleokimia yang berasal dari ester gliserida minyak / lemak alami berasal dari minyak kacang kedelai, biji bunga matahari, kelapa sawit, inti sawit, kelapa , alpukat, biji kapas, lemak sapi, lemak babi, minyak ikan paus, biji karet, kemiri, jarak, serta berbagai sumber lainnya. Oleokimia alami merupakan senyawa kimia


(22)

yang berasal dari minyak dan lemak tumbuh – tumbuhan yang diperoleh dengan cara saponifikasi diikuti hidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Produk oleokimia dasar yang utama adalah asam lemak, ester asam lemak, alkohol asam lemak, amina asam lemak, serta gliserol yang merupakan produk samping yang juga tidak kalah pentingnya. Sedangkan oleokimia sintetis yang berasal dari petrokimia misalnya pembuatan alkohol asam lemak dari etilena serta gliserin dari propilena. (Brahmana,H.R, 1991)

Diantara produk – produk tersebut asam lemak merupakan bahan oleokimia yang terpenting yang digunakan dalam berbagai reaksi modifikasi kimia untuk menghasilkan berbagai produk turunan dengan berbagai aplikasi indutrial yang berbeda. Asam lemak banyak digunakan dalam pembuatan sabun, produk – produk karet, kosmetik, lilin dan juga bahan baku untuk produksi turunan amina asam lemak. Disisi lain aplikasi gliserol pada industri oleokimia juga sangat luas, yang digunakan pada produk kosmetik, farmasi, bahan peledak, serta monogliserida yang digunakan sebagai bahan pengelmusi. Hingga saat ini, umumnya sebagian produk oleokimia ini diaplikasikan sebagai surfaktan pada produk – produk kosmetik, toileteris, serta produk pencuci / pembersih, baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun industri seperti tekstil, plastik, pertambangan, dan pengolahan limbah cair pabrik.. (Elisabeth J, 1999)

2.5. Gliserin

2.5.1 Sejarah Gliserin

Gliserin pertama sekali diidentifikasi oleh Scheele pada tahun 1770 yang diperoleh dengan memanaskan minyak zaitun (olive oil). Pada tahun 1784, Scheel melakukan penelitian yang sama terhadap beberapa sumber minyak nabati lainnya dan lemak hewan seperti lard. Scheel menamakan hasil temuannya ini dengan sebutan ‘the sweet principle of fats”. Nama gliserin baru dikenal setelah pada tahun 1811. Nama ini diberikan oleh Chevreul (orang yang melanjutkan penelitian Scheele ) yang diambil dari bahasa Yunani (Greek) yaitu dari kata glyceros yang


(23)

berarti manis. Pada tahun 1836, Pelouze menemukan formula dari gliserol dan pada tahun 1883 Berthlot dan Luce mempublikasikan formula struktur gliserol. Tahun 1847, Sobrero menemukan nitrogliserin, suatu senyawa yang tidak stabil yang mempunyai potensi besar untuk berbagai aplikasi komersial. Tahun 1836, Alfred Nobel mendemostrasikan kemampuan daya ledak nitrogliserin. Pada tahun 1875, Alfred Nobel menemukan suatu peledak yang disebut gelatin yaitu campuran dari nitrogliserin dan nitroselulosa. Penemuan bahan peledak ini membuat permintaan akan gliserin sangat meningkat terutama pada saat revolusi industri. Pada tahun 1883, Runcon mematenkan recovery gliserin dari sabun alkali hasil distilasi. Gliserol merupakan tryhydric alcohol C2H5(OH)3 atau 1,2,3-propanetriol. Struktur kimia dari gliserol adalah sebagai berikut :

CH2OH CHOH CH2OH

Pemakaian kata gliserol dan gliserin sering membuat orang bingung. Gliserol dan gliserin adalah sama, tetapi pemakaian kata gliserol biasa dipakai jika kemurnian rendah (masih terkandung dalam air manis) sedangkan pemakaian kata gliserin dipakai untuk kemurnian yang tinggi. Tetapi secara umum, gliserin merupakan nama dagang dari gliserol.

Gliserol dapat dihasilkan dari berbagai hasil proses, seperti :

1. Fat splitting, yaitu reaksi hidrolisa antara air dan minyak menghasilkan gliserol dan asam lemak.


(24)

2. Safonifikasi lemak dengan NaOH, menghasilkan gliserol dan sabun

Triasilgliserol Sodium hidroksida Gliserin Sabun

3. Transesterifikasi lemak dengan metanol menggunakan katalis NaOCH3 (sodium methoxide), menghasilkan gliserol dan metil ester

Triasilgliserol Metanol Metil ester Gliserin

Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa-1,2,3-triol) CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir di semua lemak hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan asam oleat. (Austin, 1985)

Gliserol adalah senyawa netral, dengan rasa yang manis, tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20 oC dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290 oC. Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tapi tidak larut dengan minyak. Sebaliknya, banyak zat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik. (Anonimous IV, 2006).


(25)

Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan tinta dan parfum pada obat – obatan, kosmetik, makanan dan minuman serta penggunaaan lainnya. (Austin, 1985)

Gliserol banyak dihasilkan dari industri oleokimia di Sumatera Utara, merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahaan ester asam lemak dari minyak dan lemak dari industri oleokimia. (Bhat,1990)

Banyak proses alami gliserin yang diperoleh dari hasil samping proses penyabunan. Dengan penambahan trigliserida dengan kaustik soda. Proses saponifikasi yang menghasilkan sabun sebagai produk utama dan gliserin yang umumnya sebagai produk samping.

Trigliserida kaustik soda Gliserol Sabun

2.5.2 Proses Pembuatan Gliserin di PT. OleoChemical Soap.

Proses pembuatan gliserin di PT. Oleochemical Soap menggunakan bahan baku seperti RBDPO/ RBDPS/ RBDPKO dan dengan penambahan NaOH sehingga terjadi reaksi penyabunaan (saponifikasi) menghasilkan sabun dan spent lye. Yang mana spent lye mengandung komponen 10 – 30 % gliserin(bergantung pada pada proses produksi).

Kemudian sabun dan spent lye dipisahkan dengan menggunakan sistem sentrifugasi dengan memakai larutan garam 22 % yang disebut brine solution. Pemisahaan ini dengan menggunakan sentrifugasi sekitar 25000 rpm pada suhu


(26)

berkisar 120 – 130 oC sehingga akan terpisah antara sabun dan spent lye. Kemudian spent lye dipisahkan dari sabun. Dalam keadaan ini pH spent lye adalah 14, sehingga perlu dinetralkan dengan menggunakan HCl 32 %. Setelah pH spent lye = 7-6. Untuk mengendapkan (membentuk flok) dari sisa - sisa minyak yang tidak ikut bereaksi dalam proses pembuatan sabun ditambahkan larutan FeCl3. Sehingga disaring dengan menggunakan filter press untuk memisahkan antara flokulan dengan spent lye. Kemudian spent lye diproses dengan menggunakan destilasi pada suhu 80 – 90 o

• Kosmetik : digunakan sebagai body agent, emollient, humectant, lubricant, solven. Biasanya dipakai untuk krim kulit and losion, shampoo and hair conditioners, sabun dan deterjen.

C menghasilakn crude spent lye. Crude spent lye ini dengan menggunakan vakum pada tekanan sekitar 1 – 1,5 Bar di masukkan kedalam suatu tank sampai Crude Spently 18 % sehingga akan menghasilkan crude spent lye dan residu. Sehingga crude spent lye ini akan di murnikan lagi. Sedangkan residunya akan di masukan dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).(Luiz Spitz,1996).

2.5.3 Manfaat Gliserin

Penggunaan gliserin untuk berbagai keperluan adalah sebagai berikut :

• Dental cream : digunakan sebagai humectant

• Peledak : digunakan untuk membuat nitrogliserin sebagai bahan dasar peledak

• Industri makanan dan minuman : digunakan sebagai pelarut, pengemulsi, conditioner,

• Pendingin anti karat and pelapis. Digunakan dalam industri minuman anggur dan minuman lainnya.

• Industri logam : digunakan untuk pengasaman, pemadaman, pengupasan, dan galvanisasi

• Industri kertas : digunakan sebagai humectant, plasit, softening agent, dan lain - lain.


(27)

• Industri farmasi : digunakan untuk anti biotik, kapsul dan lain-lain

• Fotograph : digunakan sebagai plastisasi

• Resin : digunakan untuk poli uretan, epoksi, asam petalik dan Industri

• tekstil : digunakan lubricating, antistatic, anti menyusut, tahan air dan tahan api.

Tembakau : digunakan sebagai humectant, agen pelembut.

2.6. Besi

Besi adalah logam berwarna putih - perak, liat dan dapat dibentuk. Dialam terdapat sebagai hematit. Fe melebur pada 1535o

Fe + 2H

C. Jarang terdapat Fe komersial yang murni; biasanya Fe mengandung sejumlah kecil karbida, silisida, fosfida, dan sulfida dari Fe, serta sedikit grafit. Zat – zat pencemar ini memainkan peranan penting dalam kekuatan struktur Fe. Fe dapat dimagnitkan. Asam klorida encer atau pekat dan asam sulfat encer melarutkan Fe, pada mana dihasilkan garam – garam Fe(II) dan gas Hidrogen.

+

Fe2+ + H Fe + 2HCl Fe

2 2+

+ 2Cl- + H

Garam – garam Fero diturunkan dari besi(II) oksida, FeO. Dalam larutan, garam – garam ini mengandung kation Fe

2

Didalam air minum Fe menimbulkan rasa, warna kuning, penggendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi dan kekeruhan. Besi diperlukan didalam tubuh dalam pembentukan haemoglobin. Banyaknya Fe didalam tubuh dikendalikan pada fase absorbsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekresikan Fe. Sekalipun Fer diperlukan dalam tubuh tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus. Debu Fe dapat diakumulasi didalam alveoli dan dapat menyebabkannya funsi paru – paru (Azwar,1997).

2+

dan berwarna sedikit hijau. Ion – ion gabungan dan kompleks – kompleks sepit yang berwarna tua adalah juga umum. Ion besi (II) dapat mudah dioksidasikan menjadi besi(III), maka merupakan zat


(28)

pereduksi yang kuat. Semakin kurang asam larutan itu, semakin nyatalah efek ini; dalam suasana netral atau basa bahkan oksigen dari atmosfer akan mengoksidasikan ion besi (II). Maka larutan besi (II) harus sedikit asam bila ingin disimpan untuk waktu yang agak lama.

Garam – garam besi (III) diturunkan dari oksida besi(III), Fe2O3. mereka lebih stabil daripada garam besi (II). Dalam larutannya,terdapat kation – kation Fe3+yang berwarna kungin muda; jika larutan mengandung klorida, warna menjadi semakin kuat.(Vogel,1979).

2.7. Metode Analisis Menggunakan Alat Inductively Couple Plasma (ICP). Inductively Couple Plasma merupakan alat untuk analisa unsur logam dalam suatu bahan. Bahan yang akan dianalisa harus berwujud larutan yang homogen. Ada sekitar 80 unsur yang dapat dianalisa dengan menggunakan alat ini. Kelebihan alat ini adalah sangat selektif dan dapat digunakan untuk mengukur beberapa unsur sekaligus dalam setiap penggukuran (Phillips, 1989).

Tetapi dengan semakin banyak permintaan pengukuran ternyata alat ini mempunyai kelemahan yaitu kurang sensitif terhadap pengukuran unsur yang mempunyai panjang gelombang dibawah 200 nm. Keterbatasan pengukuran tersebut ditunjukkan dengan nilai limit deteksi yang diperoleh. Pada penelitian sebelumnya tanpa menggunakan asupan gas N2

Menurut petunjuk pengoperasian alat ICP AES Plasma 40 dan Annaul Book of ASTM standards. Ada cara untuk mengatasi hambatan ini antara lain dengan cara mengalirkan gas N

diperoleh limit deteksi 2.4370 ppm untuk As dan 3.8625 ppm untuk unsure Sb. Sehingga untuk mengukur konsentarsi sampel yang lebih rendah tidak bisa dilakukan.

2 pada sistem optik. Gas N2 digunakan untuk mengurangi kelembaban dan menghilangkan pengaruh udara atmosfir di sistem optik sehingga diharapkan dapat meningkatkan sensivitas sinar yang dihasilkan dari unsur yang mempunyai panjang gelombang di bawah 200 nm (dekat daerah


(29)

Ultra violet) dapat di deteksi dengan baik dan menurunkan limit deteksi pengukuran. ( Siti Amina, 1997 & Yulia, 2003)

2.7.1 Prinsip Kerja Alat Inductively Couple Plasma (ICP).

Gambar 2.1 Alat Inductively Couple Plasma (ICP)

Prinsip umum pada pengukuran ini adalah mengukur intensitas energi / radiasi yang di pancarkan oleh unsur – unsur yang mengalami perubahan tingkat energi atom (eksitasi atau ionisasi)(Phillips, 1989). Larutan sampel dihisap dan dialirkan melalui capillary tube ke Nebulizer. Nebulizer merubah larutan sampel di bentuk aerosol yang kemudian di injeksikan oleh ICP. Pada temperature plasma, sampel – sampel akan teratomisasi dan tereksitas. Atom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan awal (ground state) sambil memancarkan sinar radiasi. Sinar radiasi ini didispersi oleh komponen optik. Sinar yang terdispersi, secara berurutan muncul pada masing – masing panjang gelombang unsur dan dirubah dalam bentuk sinyal listrik yang besarnya sebanding dengan sinar yang dipancarkan oleh besarnya konsentarsi unsur. Sinyal ini kemudian diproses oleh sistem pengolah data (Siti Amina, 1997)


(30)

Langkah kerja ICP: 1. Preparasi Sampel

Beberapa sampel memerlukan langkah preparasi khusus seperti penambahn asam, pemanasan, dan desktruksi dengan mikrowave.

2. Nebulisasi

Cairan diubah menjadi aerosol. 3. Desolvasi/ Volatisasi

Pelarut dihilangkan sehingga terbentuk aerosol kering. 4. Atomisasi

Ikatan gas putus, dan hanya ada atom. Suhu pasma dan temperatur sangat penting pada tahap ini.

5. Eksitasi/ Emisi

Atom memperoleh energi dari tumbukan dan memancarkan cahaya dari panjang gelombang yang khas.

6. Deteksi/ Pemisahan

Grating mendispersikan cahaya yang dapat diukur secara kuantitatif.

Tabel 2.1 Kelebihan dan Kelemahan Antara AAS dan ICP a. Kelebihan

No AAS ICP

1.

2.

3.

AAS dapat menentukan lebih dari 67 jenis logam yang berbeda yang terkandung dalam suatu larutan

AAS sangat sensitif dan akurat karena dapat mengukur hingga bagian ppb dari suatu berat (μg dm-3

ICP dapat menentukan lebih dari 80 unsur dapat diukur dengan alat ini.

sangat selektif dan dapat digunakan untuk mengukur beberapa unsur sekaligus dalam setiap penggukuran

Suhu sangat tinggi, dan waktu eksitasi lebih lama sehingga ionisasi lebih sempurna

).

Memiliki Lampu katoda sehingga pencarian panjang gelombang bisa di abaikan.


(31)

b. kelemahan

No AAS ICP

1.

2.

Karena setiap logam memiliki lampu katoda masing sehingga tidak bisa dilakukan pengukuran sekaligus.

Sumber cahaya kontinu tidak dapat digunakangaris-garis absorpsi lebih sempit dari pita pada spektroskopi biasa

kurang sensitif terhadap pengukuran unsur yang mempunyai panjang gelombang dibawah 200 nm.

Tidak ada ionisasi antar ion

2.8 Proses Pemurnian Garam

Industri kimia yang memanfaatkan garam sodium klorida sebagai bahan bakunya sering disebut industri khlor alkali. Produk utama dari indutri ini adalah klorin (Cl2) dan sodium hidroksida (NaOH), yang banyak dibutuhkan oleh industri lain seperti industri pulp, tekstil, deterjen, sabun, dan pengolahan air limbah. (Austin, 1985)

Teknologi mutakhir yang digunakan pada industri khlor alkali untuk menghasilkan produk – produk tersebut adalah elektrolisa larutan garam (brine). Teknologi ini digunakan karena harga bahan baku garam lebih murah, kemurnian produksi lebih tinggi, tekanan dan temperatur operasinya rendah. Proses elektrolisa larutan garam umumnya menggunakan sel membran karena, dibandingkan dengan sel diaphragma, dan sel merkuri, sel membran dapat menghasilkan produk elektrolisa dengan kemurniaan lebih tinggi.

Tetapi kelemahan dari sel membran itu sendiri adalah larutan garam yang diumpankan ke elektrolisis harus mempunyai kemurnian yang tinggi. Oleh karena pemurnian larutan garam dari pengotornya sebelum diumpankan ke elektrolisis. Impuritis pada garam meliputi senyawa yang bersifat higroskopis yaitu MgCl2, CaCL2, MgSO4 dan CaSO4, dan beberapa zat yang bersifat yaitu Fe, Cu, Zn dan senyawa – senyawa organik. (Saksono, 2000)


(32)

Pengotor – pengotor tersebut dapat bereaksi dengan ion hidroksil (OH-) sehingga, terutama, membentuk endapan putih Ca(OH)2 dan Mg(OH)2. Endapan – endapan yang tersbentuk akan menutupi permukaan membran sehingga akan menghambat penyeberangan ion Na+ dari anoda dan katoda. (OxyTech, 1992)

Baku mutu larutan garam sebagai umpan elektrolisis adalah NaCl 300 ± 20 gram /liter, Ca+2+≤ 10 ppm, Mg +2≤ 10 ppm dan TSS ≤ 7 ppm.(Tarmizi, 2000) Sampai saat ini, pemisahan garam dari impuritisnya masih menjadi permasalahan yang cukup serius dalam industri khlor alkali, terutama karena harus sering dilakukan penggantian sel membran dalam electrolyzer untuk dapat mengantisipasi kegagalan proses. Ada 3 macam pengaruh endapan terhadap membran, yaitu turunnya produksi akibat turunnya effisiensi membran, naiknya konsumsi power listrik akibat naiknya tekanan membran dan turunnya umur membran.

Untuk mengurangi pengotor dalam garam dapat juga dilakukan dengan kombinasi dari proses pencucian dan pelarutan cepat pada saat pembuataan garam. Sedangkan penghilangan pengotor dari produk garam dapat dilakukan dengan proses kimia, yaitu mereaksikannya dengan Na2CO3 dan NaOH sehingga terbentuk endapan CaCO3 dan Mg(OH)2

CaSO

. Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut :

4 + Na2CO3 CaCO3 + Na2SO4

Putih

MgSO4 + 2 NaOH Mg(OH)2 + Na2SO

CaCl

4 Putih

2 + Na2SO4 CaSO4 +

Putih

2 NaCl

MgCl2 + 2 NaOH Mg(OH)2 Putih

+ 2 NaCl


(33)

Putih

Penambahan Na2CO3 dan NaOH merupakan bagian proses yang sangat penting dalam proses pemurnian larutan garam. Untuk menghindari terjadinya pemecahan endapan yang disebabkan oleh sifat logam hidroksida yang mudah pecah, maka Na2CO3 ditambahkan terlebih dahulu dari NaOH. Hasil terbaik akan didapatkan jika Na2CO3 dan NaOH ditambahkan serentak sehingga akan menghasilkan reaksi yang bersamaan. Pengendapan bersama CaCO3 dan Mg(OH)2 akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan endapan hidroksida yang mengendap sendiri. Hasil yang baik juga didapat jika Na2CO3 ditambahkan lebih dulu sebelum penambahan NaOH. (Elliot,1999)

Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pemisahan endapan dari hasil reaksi kimia tersebut adalah suhu, rasio Ca / Mg dan penambahan flokulan, pengadukan, dana pengendapan. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa besaran parameter – parameter tersebut bervariasi. (Elliot, 1999)

Metoda yang sudah pernah dilakukan adalah pengadukan selama 1 menit setelah penambahan larutan Na2CO3

 Temperatur : Kelarutan bertambah dengan naiknya temperatur. Kadang kala endapan yang baik terbentuk pada larutan panas, tetapi jangan dilakukan penyaringan terhadap larutan panas karena pengendapan dipengaruhi oleh faktor temperatur.

, lalu 30 detik setelah penambahan larutan NaOH pada 80 rpm. (Tarmizi, 1996)

Kita akan memperhatikan faktor – faktor yang mempengaruhi kelarutan. Parameter – parameter yang penting adalah : temperatur, sifat pelarut, adanya ion – ion pengotor, pH, hidrolisis, pengaruh kompleks, dan lain – lain. Parameter tersebut dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

 Sifat pelarut : Garam –garam anorganik lebih larut dalam air. Berkurangnya kelarutan di dalam pelarut organik dapat digunakan sebagai dasar pemisahan dua zat.


(34)

 Efek ion sejenis : Kelarutan endapan dalam air berkurang jika larutan tersebut mengandung satu dari ion – ion penyusun endapan, sebab pembatasan Ksp (konstanta hasil kali kelarutan). Baik kation atau anion yang ditambahkan, mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan sehingga endapan garam bertambah. Contoh : endapan Fe(OH)3 dengan penambahan NH4OH pada larutan FeCl3. Jika kita menambahkan NH4Cl, maka akan mendorong kesetimbangan yang terjadi sehingga lebih banyak Fe yang mengendap dengan NH4

 Efek ion – ion lain : Beberapa endapan bertambah kelarutannya bila dalam larutan terdapat garam – garam yang berbeda dengan endapan. Hal ini disebut sebagai efek garam netral atau efek aktivitas. Semakin kecil koefisien aktivitas dari dua buah ion, semakin besar hasil kali konsentrasi molar ion – ion yang dihasilkan.

OH. Hal ini berfungsi untuk menyempurnakan pengendapan. Pada analisis kuantitatif, ion sejenis digunakan untuk mencuci larutan selama penyaringan.

 Pengaruh pH : Kelarutan garam dari asam lemah tergantung pada pH larutan, misal : oksalat; ion H + bergabung dengan ion C2O42- membentuk H2C2O4 sehingga menambah kelarutan garamnya. Pemisahan logam sulfida didasarkan pada pengendalian pH, digunakan pada analisis kualitatif, misalnya logam – logam sulfida yang kurang larut (golongan II) diendapkan dengan H2

 Pengaruh hidrolisis : jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air . akan menghasilkan perubahan (H

S pada 0,1 M HCl, sedangkan logam sulfida yang kelarutannya lebih besar diendapkan berikutnya dengan menaikkan pH (untuk logam Golongan III).

+

 Pengaruh kompleks : kelarutan garam yang sedikit larut merupakan fungsi konsentrasi zat lain yang membentuk kompleks dengan kation garam tersebut. Misalnya NH

). Kation dari spesies garam mengalami hidrolisis sehingga menambah kelarutannya.

3 pada endapan AgCl. Beberapa endapan membentuk kompleks yang larut dengan ion pengendap itu sendiri. Mula –


(35)

mula kelarutan berkurang (disebabkan ion sejenis) sampai melalui minimum. Kemudian bertambahn akibat adanya reaksi kompleksasi.

Reaksi yang menghasilkan endapan dapat dimanfaatkan untuk analisis secara titrasi jika reaksinya berlangsung cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteteksi. Beberapa reaksi pengendapan berlangsung lambat dan mengalami keadaan lewat jenuh. Tidak seperti gravimetri, titrasi pengendapan tidak dapat menunggu sampai pengendapan berlangsung sempurna. Hal ini penting juga adalah konstanta hasil kali kelarutan (Ksp

2.9 Bentonit

) harus cukup kecil sehingga pengendapan bersifat kuantitatif dalam batas kesalahan eksperimen. Reaksi samping tidak boleh terjadi; demikian juga kopresipitasi. Keterbatasan utama pemakaian cara ini disebabkan sedikit sekali indikator yang sesuai. Semuajenis reaksi diklasifikassi berdasarkan tipe indikator yang digunakan untuk melihat titik akhir. (Khopkar,2003)

Bentonit adalah istilah perdagangan untuk sejenis lempung yang banyak mengandung mineral montmorilonit (sekitar 85%), yaitu suatu mineral hasil pelapukan. Pengaruh hidrotermal, atau akibat transformasi / devitrifikasi dari tufa gelas yang diendapkan didalam air dalam suasana alkali. Fragmen sisanya pada umumnya terdiri dari campuran mineral kuarsa / kristobalit, feldspar, kalsit, gipsum, kaolinit, plagioklas, illit, dan lain sebagainya (Zulkarnaen, Wardoyo, S., Marmer,D.H.,1990).

Lempung merupakan salah satu komponen tanah yang tersusun atas senyawa alumina silikat dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 2 µ m. Struktur dasarnya merupakan filosilikat atau lapisan silikat yang terdiri dari lembaran tetrahedral silikon – oksigen dan lembaran oktahedral aluminium oksigen – hidroksida.


(36)

Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel bentonit yang diambil di PT. Bumi Karyatama Raharja, diperoleh komposisi bentonit adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Hasil Analisis Sampel Bentonit

Kompisisi %

Kalsium oksida (CaO) Magnesium oksida (MgO) Alumunium oksida (Al2O3) Ferri oksida (Fe2O3)

Silika (SiO2) Kalium oksida (K2

0.23 0.98 13.45

2.18 74.9 1.72 4 O)

Air

Sifat – sifat dari bentonit adalah : 1. Memiliki kilap lilin

2. Memiliki warna yang cukup bervariasi, mulai dari warna dasar putih, hijau muda kelabu, merah muda dalam keadaan segar, dan akan berubah warna menjadi krem apabila telah melapuk, dan lama – kelamaan akan menjadi kuning dengan sedikit kemerahan, atau kecoklatan, serta hitam keabu – abuan, bergantung pada jenis dan jumlah fragmen mineralnya.

3. Bersifat sangat lunak, dan plastis, memiliki porositas yang tinggi, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air dan dapat melakukan pertukaran ion (ion exchanging).

4. Mempunyai berat jenis berkisar antara 2, 4 – 2,8 g/mL. 2.9.2 Jenis – jenis bentonit

Ada 2 jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu : 1. Swelling Bentonit

Bentonit ini dapat mengembang atau sering disebut bentonit jenis Wyoming atau Na – Bentonit, yaitu jenis mineral montmorilonit yang mempunyai partikel lapisan air tunggal (single Water layer Particles) yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan kedalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu didalam air. Dalam keadaan kering, berwarna putih,


(37)

atau kuning gading, sedangkan dalam keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan antara kation Na+ dan kation Ca+

2. Non Swelling Bentonit.

yang terdapat didalamnya sangat tinggi,serta suspensi koloidnya mempunyai pH 8,5 – 9,8. Kandungan NaO dalam bentonit jenis ini, pada umumnya lebih besar dari 2 %. Karena sifat- sifat yang dimiliknya, maka bentonit inin dapat digunakan sebagai Lumpur bor, penyumbat kebocoran bendungan, bahan pencampur cat, sebagai bahan baku farmasi, bahan perekat pada pasir cetak dalam industri pengecoran dan lain sebagainya.

Bentonit ini kurang dapat mengembang atau sering juga disebut Ca – Bentonit , yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan didalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam, maka akan memiliki sifat menyerap sedikit air dan akan cepat mengenda tanpa membentuk suspensi. Bentonit ini mempunyai pH-nya sekitar 4,0 – 7,1. Daya tukar ionnya juga cukup besar. Bentonit jenis ini mengandung kalsium dan magnesium yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan natriumnya. Karena sifat – sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap (pemucat) warna (bleaching earth).

Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Ada 2 (Dua) cara yang dapat dilakukan untuk aktivasi bentonit, yaitu :

1. Secara pemanasan.

Pada proses ini, bentonit dipanaskan pada temperature 300o – 350o

2. Secara kontak asam.

C untuk memperluas permukaan butiran bentonit.

Tujuan dari aktivasi kontak asam adalah untuk menukar kation Ca2+ yang ada dalam Ca –Bentonit menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al, Fe, dan Mg dan pengotor – pengotor lainnya dari kisi – kisi struktur, sehingga secara fisik bentonit tersebut menjadi lebih aktif. Untuk keperluan tersebut asam sulfat dan asam klorida adalah zat kimia yang umum digunakan. Selama proses bleaching


(38)

tersebut, Al, Fe, dan Mg larut dalam larutan, kemudian terjadi penyerapan asam ke dalam struktur bentonit, sehingga rangkaian struktur (frame work) mempunyai area yang lebih luas. Proses pelepasan Al dari bentonit disajikan dalam persamaan berikut ini :

(Al4)(Si8)(O20)(OH)4 + 3 H+ (Al3)(Si8) O20(OH)2 + Al3+ + 2 H2 (Al

O 4)(Si8)(O20)(OH)4 + 6 H+ (Al2)(Si8) O20(OH)2 + 2 Al3+ + 4 H2

(Al

O Pada kondisi diatas, separuh dari atom Al berpindah dari struktur bersama dengan gugus hidroksida. Menurut Thomas Hickey, dan Stecker, atom – atom Al yang tersisa masih terkoordinasi dalam rangkaian tetrahedral dengan 4 atom oksigen tersisa.(Supeno Minto,2009)

Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tertrahedral membuat kisi kristal bermuatan negatif pada permukaan kristal, sehingga dapat dinetralisir oleh ion hidrogen. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi pelarutan lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut ini :

2)(Si8)(O20)(OH)4 + 3 H+ Al3+ + (Al)(Si8H4)O (Al

20


(39)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Peralatan 3.1.1. Alat – alat

Merk 1. Neraca analitik digital. AND 2. Gelas Erlenmeyer. Pyrex

3. Gelas Beaker. Pyrex

4. Pipet tetes.

5. Inductively Couple Plasma. Liberty RL 6. Spatula.

7. Kertas saring. Whatman 934-AH

8. Pipet volume. Pyrex

9. Labu ukur. Pyrex

10.Gelas ukur. Pyrex

11.Statif.

12.Hot Plate. Maspion

13.pHmeter. Hanna 14.Corong.

15.Buret Pyrex

16.Desikator

17.Oven Memmert

18.Ayakan 200 mesh

19.Magnetik Stirer Barnstead 20.Botol Aquadest


(40)

3.1.2 Bahan

1. Residu Spent lye 2. Aquadest

3. NaOH 1 N

4. Larutan Standart Fe+ 5. Gas argon.

1000 mg/l

6. HNO

7. Bentonit pengaktifan H 3(p)

2SO 8. Bentonit tanpa pengaktifan H

4(p)

2SO 3.2 Prosedur Percobaan

3.2.1 Perlakuan Sampel Residu Spent lye. 4(p)

1. Ditimbang 20 gram residu Spent lye, dimasukkan kedalam beaker glass. 2. Dilarutkan dengan aquadest pada labu takar 100 mL.

3. 50 mL residu gliserin dimasukkan kedalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL HNO

4. Dipanaskan sampai ½ volume awal 3(p)

5. kemudian sampel dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkan dengan labu ukur 50 mL sampai tanda batas

6. Diatur pH nya 2 – 4 dengan NaOH

7. Hasil dianalisa kandungan ion Fe dengan alat ICP

3.2.2 Pembuatan Larutan Baku Fe

3.2.2.1 Pembuatan larutan baku Fe 5 ppm

1. Dipipet 5 ml larutan baku Fe 1000 ppm kedalam labu ukur 1000 mL. 2. Ditambahkan air suling sampai tanda batas.

3.2.2.2 Pembuatan larutan baku Fe 0.0; 0.25; 0.50; 0.75; 1.0 mg/L

1. Dipipet 0, 5, 10, 15, 20, mL larutan baku Fe 5 ppm kedalam labu ukur 100 mL.


(41)

2. Ditambahkan air suling sampai tanda batas sehingga di peroleh kadar Fe 0; 0.25; 0.5; 0.75; 1 mg/L

3. Dimasukkan masing –masing larutan kerja kedalam gelas erlenmeyer 250mL.

Preparasi bentonit

1. Bentonit diayak dalam ayakan 200 mesh.

2. Bentonit dikeringkan dalam oven pada suhu 100 - 110o 3. Didinginkan dalam desikator.

C selama 2 jam.

3.2.4 Pembuatan NaOH 1 N

1. Ditimbang NaOH 4 gram kemudian dimasukkan dalam beaker glass 2. Dilarutkan dengan aquadest.

3. Dimasukkan kedalam labu takar 100 mL dan di encerkan sampai tanda batas.

3.2.5 Pengaktifan bentonit dengan H2SO

1. Bentonit terlebih dahulu dihaluskan dan diayak dengan ayakan ukuran 200 mesh.

4(p)

2. Bentonit 200 mesh ini kemudian ditimbang sebanyak 20 gram dan dimasukkan kedalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 200 ml H2SO 3. Dipanaskan pada suhu 100

4(p) o

C – 110o

4. Kemudian didinginkan selama 3 jam dan disaring

C sambil diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam

5. Endapan dicuci dengan aquadest sampai pH filtrat netral. 6. Endapan kemudian di keringkan dioven pada suhu 100 – 110o

7. Kemudian dihaluskan kembali dalam ayakan ukuran 200 mesh.

C di oven selama 2 jam


(42)

2.3.6 Perlakuan terhadap sampel dengan Menggunakan bentonit hasil pengaktifan kontak H2SO4(p)

1. Ditimbang 1 gram bentonit hasil pengaktifan kontak H

berdasarkan variasi jumlah penggunaan bentonit 1%, 2%, 3%, 4%, 5%(w/v).

a. Untuk jumlah penggunaan bentonit 1 %(w/v).

2SO4(p)

2. Kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 0,5 jam dan disaring dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan 100 mL residu spent lye.

3. Filtrat ditampung dan diambil 50 mL lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.

4. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3

5. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas dan diatur pH = 3 dengan NaOH.

dan dipanaskan sampai ½ volume awal

6. Dianalisa Kandungan Fe dengan Inductively Couple Plasma. b. Untuk jumlah penggunaan bentonit 2 %(w/v).

1. Ditimbang 2 gram bentonit hasil pengaktifan kontak H2SO4(p) dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan 100 mL residu spent lye.

2. Kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 0,5 jam dan disaring 3. Filtrat ditampung dan diambil 50 mL lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.

4. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3

1. Ditimbang 3 gram bentonit hasil pengaktifan kontak H

dan dipanaskan sampai ½ volume awal

5. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas dan diatur pH = 3 dengan NaOH.

6. Dianalisa kandungan Fe dengan Inductively Couple Plasma. c. Untuk jumlah penggunaan bentonit 3 %(w/v).

2SO4(p) dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan 100 mL residu spent lye.


(43)

2. Kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 0,5 jam dan disaring 3. Filtrat ditampung dan diambil 50 mL lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.

4. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3 dan dipanaskan sampai ½ volume awal

5. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas dan diatur pH = 3 dengan NaOH.

6. Dianalisa kandungan Fe dengan Inductively Couple Plasma. d. Untuk jumlah penggunaan bentonit 4 %(w/v).

1. Ditimbang 4 gram bentonit hasil pengaktifan kontak H2SO4(p) dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan dengan 100 mL residu Spently. 2. Kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 0,5 jam dan disaring 3. Filtrat ditampung dan diambil 50 mL lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.

4. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3 dan dipanaskan sampai ½ volume awal

5. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas dan diatur pH = 3 dengan NaOH.

6. Dianalisa kandungan Fe dengan Inductively Couple Plasma. d. Untuk jumlah penggunaan bentonit 5 %(w/v).

1. Ditimbang 5 gram bentonit hasil pengaktifan kontak H2SO4(p) dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan dengan 100 mL residu Spently. 2. Kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 0,5 jam dan disaring 3. Filtrat ditampung dan diambil 25 mL lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.

4. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3 dan dipanaskan sampai ½ volume awal

5. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 50 mL dan diencerkansampai tanda batas dan diatur pH = 3 dengan NaOH.


(44)

(diulangi hal yang sama untuk bentonit tanpa pengaktifan dengan variasi jumlah penggunanaan bentonit 1%, 2%, 3%, 4%, 5%).

3.3. Bagan Penelitian

3.3.1 Pemeriksaaan logam Fe Residu Spently dengan alat ICP Residu Spently

20 g

Dimasukkan kedalam beaker glass

Dilarutkan dengan aquadest pada labu takar 100 mL

Dimasukkan 50 mL kedalam erlenmeyer

Ditambahkan 5 mL HNO Dipanaskan sampai ½ volume awal

3(p)

Diencerkan dalam labu takar 50 mL.

Diatur pH = 3 dengan NaOH Hasil dianalisa kandungan ion Fe dengan alat ICP


(45)

3.3.2 Pembuatan larutan baku Fe 5 ppm Larutan standart Fe 1000 ppm

Dipipet 5 mL larutan standart Fe 1000 ppm Dimasukkan kedalam labu ukur 1000 mL Ditambahkan air suling sampai tanda batas

Larutan Fe 5 ppm


(46)

3.3.3 Pengaktifan Bentonit dengan H2SO4(p)

20 gram bentonit berukuran rata- rata 200 mesh

.

Ditambahkan 200ml H2SO4(p)

Dipanaskan suhu 100

o - 110o

Larutan koloid bentonit

C sambil diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam

Dinginkan selama 3 jam Disaring

Endapan Filtrat

Dicuci dengan aquadest sampai pH filtrat netral

Disaring

Endapan Filtrat

Dikeringkan suhu 100o – 110o Dihaluskan dalam ukuran 200 mesh

C


(47)

Hasil

3.3.4 Preparasi Bentonit

20 gram bentonit berukuran rata- rata 200 mesh

Dikeringkan didalam oven 100oC - 110o

Bentonit tanpa pengaktifan


(48)

3.3.5 Penyerapan Ion Fe oleh bentonit

a. Variasi jumlah penggunanaan bentonit 1%(w/v)

1 gram bentonit pengaktifan H2SO

Dimasukkan kedalam beaker Glass 4(p)

Dicampurkan dengan 100 ml residu Spent lye

Diaduk dengan magnetik stirer selama 30 menit.

Disaring

Filtrat Endapan

Ditampung 50 ml dalam erlenmeyer Ditambahkan 5 mL HNO

Dipanaskan sampai ½ volume awal 3(p)

Dimasukkan dalam labu takar 50 ml

Diencerkan dengan aquadest sampai tanda batas Diatur pH = 2 – 4 dengan NaOH

Dianalisa dengan ICP


(49)

Diulang hal yang sama untuk bentonit tanpa pengaktifan variasi jumlah penggunanaan bentonit 1 %(w/v).

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Dan Pengolahan data percobaan

Data hasil pengukuran daya serap ion Fe bentonit pengaktifan H2SO4(p) dan tanpa pengaktifan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4

Tabel 4.3 : Hasil Pengukuran Daya Serap Bentonit Pengaktifan H2SO4(p)

Jumlah Penggunaan

Bentonit

terhadap Kadar Logam Fe. Konsentrasi Akhir (ppm)

Rata - rata

Fe Teradsorbsi

(%)

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 2.63548 2.08286 1.12479 0.37206 0.96982 2.37208 2.18736 1.15019 0.35749 0.91834 2.89888 2.29186 1.17559 0.34292 0.86686 2.63548 2.18736 1.15019 0.35749 0.91834 44.617 54.034 75.829 92.487 80.702

Tabel 4.4: Hasil Pengukuran Daya Serap Bentonit Tanpa Pengaktifan Kadar Logam Fe.

Jumlah Penggunaan

Bentonit

Konsentrasi Akhir (ppm)

Rata - rata

Fe Teradsorbsi

(%)

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 3.12614 2.58366 1.64559 0.65148 1.02494 3.31124 2.48621 1.73489 0.61934 1.05437 3.49634 2.38876 1.82426 0.68362 1.08380 3.31124 2.48621 1.73489 0.65148 1.05437 30.416 47.754 63.542 86.309 77.843


(50)

0 500 1000 1500 2000 2500

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Konsentrasi Larutan Standart Fe (mg/L)

In

ten

ist

as L

ar

u

tan

S

tan

d

ar

t F

e (

c/

s)

4.1.1. Data Intensitas Larutan Standart Besi ( Fe )

Tabel 4.5 Data Intensitas Larutan Standart Besi ( Fe ) Konsentrasi

(mg/L)

Intensitas rata – rata (c/s)

0 0

0.25 493.2

0.5 973.4

0.75 1464.3

1 2098.2

Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fe

4.1.2. Pengolahan Data Ion Fe

4.1.3. Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square Hasil pengukuran Intensitas larutan seri standar unsur Fe pada Tabel 4.1. diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis


(51)

linier. Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metode Least Square dengan data pada Tabel 4.3.

Tabel 4.6 Penurunan persamaan garis regresi untuk penentuan konsentrasi unsur Besi (Fe) berdasarkan pengukuran Intensitas larutan standar Besi(Fe)

No Xi Yi (Xi-X) (Yi-Y) (Xi-X)2 (Yi-Y)2 104 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0 0 - 0.5 - 1005.82 0.25 101.16739 502.91 2 0.25 493.2 - 0.25 - 512.62 0.0625 26.27793 128.155

3 0.5 973.4 0 32.42 0 0.10516 0

4 0.75 1464.3 0.25 458.48 0.0625 21.02039 114.62

5 1 2098.2 0.5 1092.38 0.25 119.32941 546.19

∑ 2.5 5029.1 0 64.84 0.625 267.90028 1291.875

∑ xi 2.5

x = = = 0.5 n 5

∑ yi 5029.1

y = = = 1005.82 n 5

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

y = ax + b

Dimana :

a = slope b = intersept

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Least Square sebagai berikut :


(52)

∑ (Xi – X)(Yi – Y) a =

∑ (Xi – X )

a = 0.625

= 2067

b = y - ax

= 1005.82 – 2067(0.5) = - 27.68

Maka persamaan garis yang diperoleh adalah : y = 2067 x - 27.68 2

b = y - ax

Dengan mensubstitusikan harga-harga yang tercantum pada Tabel 4.3. pada persamaan ini diperoleh :


(53)

4.1.4. Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

∑ (Xi – X ) ( Yi – Y ) r =

[ ∑ (Xi – X )2∑ ( Yi – Y )2 ]

r =

[ (0.625) (267.90028. 10 1/2

Koefisien korelasi untuk unsur Besi ( Fe ) adalah :

1291.875

4 ) ]1/2

=

[ 167.437675 . 10 1291.875

4 ]1/2

= 0,9983


(54)

4.1. 5. Penentuan Daya Adsorpsi Bentonit

Daya serap bentonit hasil pengaktifan dengan H2SO4(p) dan tanpa pengaktifan dengan variasi penggunaan bentonit berdasarkan hasil pengukuran adalah :

Daya absorpsi = (Fe awal) – (Fe akhir) x 100 Fe awal

 Untuk Variasi Penggunaan Bentonit Pengaktifan H2SO4(p) 1 %

Daya absorpsi = (4.75865) – (2.63548) x 100 % 4.75865

= 44.617 %


(55)

4.1. 6. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Bentonit

Jumlah ion Fe yang terserap bentonit hasil pengaktifan asam ditentukan dengan persamaan :

x Co – Ci m m

V

Keterangan : x = jumlah materi yang terserap m

m = berat absorben v = volume sampel

Co = Konsentrasi awal Fe Ci = Konsentrasi akhir Fe

 Untuk Variasi Penggunaan Bentonit Pengaktifan H2SO4(p) 1 %

x (4.75865) – (2.63548) mg/L m 1 g

x 0.01 L

= 0.0212 mg / g


(56)

4.1.7.1. Rancangan Acak Lengkap Untuk data Kapasitas Adsorpsi Bentonit Langkah – langkah perhitungan :

(∑ Ti) Faktor Koreksi (FK) =

n Jumlah Kuadrat (JK) Umum = Xi

2

2

Jumlah Kuadrat Perlakuan = ∑ Ti – FK

2

Kuadrat tengah (KT) Perlakuan = JK Perlakuan t – 1

JK Galat _ FK (r)

Jumlah Kuadrat Galat = JK Umum – JK Perlakuan

Kuadrat tengah (KT) Perlakuan =

t (r – 1) Koefisien Keragaman = √ JK Galat

Rata – rata total Keterangan :

∑ Ti : Total seluruh data Xi : Data hasil pengamatan Ti : Total perlakuan

r : Banyak Ulangan t : Banyak Perlakuan


(57)

Ho : Apabila tidak ada pengaruh bentonit pengaktifan dengan H2SO4(p) dan Tanpa pengaktifan terhadap kapasitas adsorpsi bentonit.

Ha : Apabila ada pengaruh bentonit pengaktifan dengan H2SO4(p) dan Tanpa pengaktifan terhadap kapasitas adsropsi bentonit.

4.1.7.1 Rancangan Acak Lengkap Untuk data Kapasitas Adsorpsi Bentonit Pengaktifan dengan Asam :

d. b Umum = t(r) -1 = 14 d. b Perlakuan = t – 1 = 4 d. b Galat = t(r-1) = 10

(∑ Ti)2 (0.1944)

Faktor Koreksi (FK) = = = 0.00252 n 5 x 3

JK Umum = Xi

2

2 - FK

= [(0.0212)2 + (0.0239)2 + (0.0186)2 + (0.0134)2 + (0.0129)2 + (0.0124)2 + (0.0121)2 + (0.0120)2 + (0.0119)2 + (0.0109)2 + (0.011)2+ (0.011)2 + (0.0076)2 + (0.0077)2 + (0.0078)2

Jumlah Kuadrat Perlakuan = ∑ Ti

] – 0.00252

= 0.00284 – 0.00252 = 0.00032

2

= 0.00847 _ 0.00252 3

= 0.00282 – 0.00252 = 0.0003

Jumlah Kuadrat Galat = JK Umum – JK Perlakuan = 0.00032 - 0.0003

_ FK (r)


(58)

= 0.00002

Kuadrat tengah (KT) Perlakuan = JK Perlakuan t - 1 0.0003 =

(5 – 1) = 0.000075

JK Galat Kuadrat tengah (KT) Galat =

t (r – 1) 0.00002 =

10 = 0.000002

Kuadrat Tengah Perlakuan F Hitung =

Kuardrat Tengah Galat 0.000075

=

0.000002 = 37.5


(59)

4.1.7.2 Rancangan Acak Lengkap Untuk data Kapasitas Adsorpsi Bentonit Tanpa Pengaktifan:

d. b Umum = t(r) -1 = 14 d. b Perlakuan = t – 1 = 4 d. b Galat = t(r-1) = 10

(∑ Ti)2 (0.1608)

Faktor Koreksi (FK) = = = 0.00172 n 5 x 3

JK Umum = Xi

2

2 - FK

= [(0.0163)2 + (0.0145)2 + (0.126)2 + (0.0109)2 + (0.0114)2 + (0.0118)2 + (0.0104)2 + (0.0101)2 + (0.0098)2 + (0.0103)2 + (0.0103)2 + (0.0102)2 + (0.0075)2 + (0.0074)2 + (0.0073)2

Jumlah Kuadrat Perlakuan = ∑ Ti

] – 0.00172

= 0.00181 – 0.00172 = 0.00009

2

= 0.00541 _ 0.00172 3

= 0.0018 – 0.00172 = 0.00008

Jumlah Kuadrat Galat = JK Umum – JK Perlakuan = 0.00009 - 0.00008

_ FK (r)


(60)

= 0.00001

Kuadrat tengah (KT) Perlakuan = JK Perlakuan t - 1 0.00008 =

(5 – 1) = 0.000027

JK Galat Kuadrat tengah (KT) Galat =

t (r – 1) 0.00001 =

10 = 0.000001

Kuadrat Tengah Perlakuan F Hitung =

Kuardrat Tengah Galat 0.000027

=

0.000001 = 27


(61)

4.2 Pembahasan.

Dari daftar ANAVA (lampiran 1) untuk kapasitas adsorpsi bentonit pengaktifan dengan H2SO4(p) dilihat bahwa harga F hitung > F Tabel. Nilai F Hitung sebesar 37.5 adalah lebih besar daripada nilai F Tabel pada taraf 5 % dan 1 % sebesar 3.48 dan 5.98. Perbedaan perlakuan dikatakan berbeda sangat nyata. Sehingga berarti hipotesa nol (Ho) ditolak dan hipotesa alternatif (Ha) diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kosentrasi H2SO4(p) terhadap kapasitas adsorpsi bentonit hasil pengaktifan H2SO4(p).

Pada grafik pengaruh jumlah penggunaan bentonit pengaktifan dengan H

Dari daftar ANAVA (lampiran 2) untuk kapasitas adsorpsi bentonit Tanpa pengaktifan dilihat bahwa harga F hitung > F Tabel. Nilai F Hitung sebesar 27 adalah lebih besar daripada nilai F Tabel pada taraf 5 % dan 1 % sebesar 3.48 dan 5.98. Perbedaan perlakuan dikatakan berbeda sangat nyata. Sehingga berarti hipotesa nol (Ho)l ditolak dan hipotesa alternatif (Ha) diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh bentonit Tanpa Pengaktifan terhadap kapasitas adsorpsi bentonit.

2SO4(p) terhadap % Fe teradsorpsi (lampiran 3), terlihat jumlah penggunaaan bentonit dengan pengaktifan H2SO4(p) dari 1 % sampai 4 % memperlihatkan daya serapnya semakin meningkat dengan daya serapnya masing – masing yaitu 44.617 % ; 54.034 ; 75.829 ; 92.487. Hal ini di sebabkan dengan penambahan H2SO4(p) melarutkan dan mencuci kation – kation logam alkali dan alkali tanah seperti Ca2+, Na+, K+, Mg2+ yang menutupi pori – pori adsorben dan pengotor – pengotor yang lain yang ada dalam struktur bentonit. Hal ini mengakibatkan terbukanya pori – pori yang tertutup, sehingga akan menambah luas permukaan adsorben dan akan meningkatkan daya serap adsorben. Serta menggantikan dengan H+. Yang mana H+ lebih mudah dipertukarkan dengan kation yang lain. Sedangkan pada


(62)

jumlah penggunaan bentonit diaktifkan H2SO4(p) yang ke 5 % daya serapnya kembali berkurang menjadi 80.702 %. Hal ini menunjukkan bahwa bentonit tersebut sudah mencapai titik optimum.

Pada grafik pengaruh jumlah penggunaan bentonit tanpa pengaktifan terhadap % Fe teradsorpsi (lampiran 4), terlihat jumlah penggunaan bentonit dengan tanpa pengaktifan dari 1 % sampai 4 % memperlihatkan daya serapnya semakin meningkat dengan daya serapnya masing – masing yaitu 30.416 % ; 47.754 ; 63.542 ; 86.309. dapat kita bandingkan dengan bentonit yang diaktifkan. Bahwa terlihat perbedaan yang signifikan antara yang di aktifkan dengan yang tidak diaktifkan. Karena bentonit yang tidak diaktifkan tersebut masih memiliki beberapa pengotor sehingga menutupu pori – pori dari adsorben tersebut. Sedangkan pada jumlah penggunaan bentonit tanpa pengaktifan yang ke 5 % daya serapnya kembali berkurang menjadi 77.843 %. Hal ini menunjukkan bahwa bentonit tersebut sudah mencapai titik optimum.


(63)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Bentonit yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dapat memberikan daya serap optimum pada jumlah penggunaan 4 % dengan penurunan kadar ion Fe sebesar 92.487%. Pada bentonit tanpa pengaktifan dapat memberikan daya serap optimum pada jumlah penggunaan 4 %, dengan penurunan kadar Fe nya sebesar 86.309 %

5.2.Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana pengaktifan bentonit alam secara fisika, yaitu dengan pemanasan, dan dengan memvariasikan ukuran mesh dari bentonit alam untuk menurunkan kadar Fe didalam residu spent lye.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous I. 2006. Palm Oil Refinery . http // www. andrew. cmu. edu/ userjitkangl/ palm%20oil/Refinery%20of%20Palm%200ii.htm. diakses tanggal 22 Maret 2009

Anonimous IV. 2006. Glycerine. www. Pioneerthinking.com/glycerine.html. 22 Maret 2009

Austin, T. 1985. Shen rve’s Chemistry Process Indutries. Edisi ke empat. McGraw Hill Book Company. New york

Azwar. (1997). Pengantar Ilmu Kesehatan. Renika Cipta. Jakarta

Siti, Amina. Spektrometri Emisi. Pelatihan dan Keahliaan Analisis Kimia bahan Nuklir secara Sepktrofotometri, PUSDIKLAT BATAN. Serpong. 1997 Bhat, S.G. 1990. Oleic Acid A Value Added Product From Pal Oil. The

Conference Chemistry Technology. PORIM. kuala Lumpur

Brahmana,H.R., dkk.1991. Sintesa Ester Sukrosa Asam Lemak Dari Beberapa Minyak yang dapat Dimakan Sebagai Pengemulsi Dalam Bahan Makanan dan Kosmetik. LP USU. Medan

Elisabeth, J. 1999. Modifikasi Minyak dan Lemak, Teknologi dan Aplikasi Dalam Industri Pangan dan Kimia. Seminar : Peranan Teknologi Hasil Pertanian Dalam Industri Penyediaan Bahan Baku Industri Pangan dan kimia. Medan

Minto, Supeno. 2009. Bentonit Terpilar dan Aplikasi : Kimia Anorganik . Cetakan 1 Medan USU Press. 2009

Richtler, M.J. KanutJ. 1984. Challenge to A Nature Industry, Marketing and Economics of Oleochemical in Western Europe. J.Am.Oil.Chem.Soc. 61 (1) : hal 160 – 165

Yulia, Kantasubrata. Validasi Metode. Ketidakpastian Pengukuran Hasil Uji Laboratorium. PUSDIKLAT BATAN. Serpong. 2003


(65)

Zulkarnaen, Wrdoyo S., Marmer,D.H. 1990. Pengkajian Pengolahan dan Pemanfaat Bentonit dari Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur Sebagai Bahan Penyerap dan Bahan Lumpur Bor. Buletin PPTM Vol. 12. No.6. Jakarta. Hal 9 - 12

LAMPIRAN 1

Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan bentonit Pengaktifan dengan H2SO4(p)

Perlakuan(t)

terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit

Ulangan(r)

Total (mg/g) (mg/g)

Rata -rata

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 0.0212 0.0134 0.0121 0.0109 0.0076 0.0239 0.0129 0.0120 0.0110 0.0077 0.0186 0.0124 0.0119 0.0110 0.0078 0.0637 0.0387 0.0360 0.0329 0.0231 0.0212 0.0129 0.0120 0.0109 0.0077

Total 0.1944 0.0647

Daftar ANAVA Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 5 % 1 % Perlakuan Galat Percobaan Umum 4 10 14 0.0003 0.00002 0.00032 0.000075 0.000002

37.5** 3.48 5.98

Ket : * nyata


(66)

LAMPIRAN 2

Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan bentonit Tanpa Pengaktifan terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit

Perlakuan(t) Ulangan(r) Total (mg/g) (mg/g) Rata -rata

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 0.0163 0.0109 0.0104 0.0103 0.0075 0.0145 0.0114 0.0101 0.0103 0.0074 0.0126 0.0118 0.0098 0.0102 0.0073 0.0434 0.0341 0.0303 0.0308 0.0222 0.0145 0.0114 0.0101 0.0103 0.0074

Total 0.1608 0.0537

Daftar ANAVA Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 5 % 1 % Perlakuan Galat Percobaan Umum 4 10 14 0.00008 0.00001 0.00009 0.000027 0.000001

27** 3.48 5.98

Ket : * nyata


(67)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah Penggunaan Bentonit Pengaktifan H2SO4(p)

%

F

e T

er

ad

so

rp

si

LAMPIRAN 3

Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Pengaktifan Dengan H2SO4(p) Terhadap % Fe Teradsorpsi


(68)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah Penggunaan Bentonit Tanpa Pengaktifan

%

F

e T

er

ad

so

rp

si

LAMPIRAN 4

Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Tanpa Pengaktifan Terhadap % Fe Teradsorpsi


(1)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Bentonit yang diaktifkan dengan H2SO4(p) dapat memberikan daya serap

optimum pada jumlah penggunaan 4 % dengan penurunan kadar ion Fe sebesar 92.487%. Pada bentonit tanpa pengaktifan dapat memberikan daya serap optimum pada jumlah penggunaan 4 %, dengan penurunan kadar Fe nya sebesar 86.309 %

5.2.Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana pengaktifan bentonit alam secara fisika, yaitu dengan pemanasan, dan dengan memvariasikan ukuran mesh dari bentonit alam untuk menurunkan kadar Fe didalam residu spent lye.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous I. 2006. Palm Oil Refinery . http // www. andrew. cmu. edu/ userjitkangl/ palm%20oil/Refinery%20of%20Palm%200ii.htm. diakses tanggal 22 Maret 2009

Anonimous IV. 2006. Glycerine. www. Pioneerthinking.com/glycerine.html. 22 Maret 2009

Austin, T. 1985. Shen rve’s Chemistry Process Indutries. Edisi ke empat. McGraw Hill Book Company. New york

Azwar. (1997). Pengantar Ilmu Kesehatan. Renika Cipta. Jakarta

Siti, Amina. Spektrometri Emisi. Pelatihan dan Keahliaan Analisis Kimia bahan Nuklir secara Sepktrofotometri, PUSDIKLAT BATAN. Serpong. 1997 Bhat, S.G. 1990. Oleic Acid A Value Added Product From Pal Oil. The

Conference Chemistry Technology. PORIM. kuala Lumpur

Brahmana,H.R., dkk.1991. Sintesa Ester Sukrosa Asam Lemak Dari Beberapa Minyak yang dapat Dimakan Sebagai Pengemulsi Dalam Bahan Makanan dan Kosmetik. LP USU. Medan

Elisabeth, J. 1999. Modifikasi Minyak dan Lemak, Teknologi dan Aplikasi Dalam Industri Pangan dan Kimia. Seminar : Peranan Teknologi Hasil Pertanian Dalam Industri Penyediaan Bahan Baku Industri Pangan dan kimia. Medan

Minto, Supeno. 2009. Bentonit Terpilar dan Aplikasi : Kimia Anorganik . Cetakan 1 Medan USU Press. 2009

Richtler, M.J. KanutJ. 1984. Challenge to A Nature Industry, Marketing and Economics of Oleochemical in Western Europe. J.Am.Oil.Chem.Soc. 61 (1) : hal 160 – 165

Yulia, Kantasubrata. Validasi Metode. Ketidakpastian Pengukuran Hasil Uji Laboratorium. PUSDIKLAT BATAN. Serpong. 2003


(3)

Zulkarnaen, Wrdoyo S., Marmer,D.H. 1990. Pengkajian Pengolahan dan Pemanfaat Bentonit dari Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur Sebagai Bahan Penyerap dan Bahan Lumpur Bor. Buletin PPTM Vol. 12. No.6. Jakarta. Hal 9 - 12

LAMPIRAN 1

Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan bentonit Pengaktifan dengan H2SO4(p)

Perlakuan(t)

terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit

Ulangan(r)

Total (mg/g) (mg/g)

Rata -rata

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 0.0212 0.0134 0.0121 0.0109 0.0076 0.0239 0.0129 0.0120 0.0110 0.0077 0.0186 0.0124 0.0119 0.0110 0.0078 0.0637 0.0387 0.0360 0.0329 0.0231 0.0212 0.0129 0.0120 0.0109 0.0077

Total 0.1944 0.0647

Daftar ANAVA Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 5 % 1 % Perlakuan Galat Percobaan Umum 4 10 14 0.0003 0.00002 0.00032 0.000075 0.000002

37.5** 3.48 5.98

Ket : * nyata


(4)

LAMPIRAN 2

Rancangan Acak Lengkap Pengaruh Jumlah Penggunaan bentonit Tanpa Pengaktifan terhadap Kapasitas Adsorpsi Bentonit

Perlakuan(t) Ulangan(r) Total (mg/g) (mg/g) Rata -rata

I II III

1 % 2 % 3 % 4 % 5 % 0.0163 0.0109 0.0104 0.0103 0.0075 0.0145 0.0114 0.0101 0.0103 0.0074 0.0126 0.0118 0.0098 0.0102 0.0073 0.0434 0.0341 0.0303 0.0308 0.0222 0.0145 0.0114 0.0101 0.0103 0.0074

Total 0.1608 0.0537

Daftar ANAVA Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel 5 % 1 % Perlakuan Galat Percobaan Umum 4 10 14 0.00008 0.00001 0.00009 0.000027 0.000001

27** 3.48 5.98

Ket : * nyata


(5)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah Penggunaan Bentonit Pengaktifan H2SO4(p)

%

F

e T

er

ad

so

rp

si

LAMPIRAN 3

Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Pengaktifan Dengan


(6)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah Penggunaan Bentonit Tanpa Pengaktifan

%

F

e T

er

ad

so

rp

si

LAMPIRAN 4

Grafik Pengaruh Jumlah Penggunaan Bentonit Tanpa Pengaktifan Terhadap % Fe Teradsorpsi