tidak mempunyai uang, pada saat yang bersamaan Konsumen ditawari oleh pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan Kredit Tanpa Agunan karena Konsumen
tidak memiliki uang untuk biaya rumah sakit akhirnya Kredit tersebut diambil juga tanpa memikirkan kemampuan untuk membayarnya.
Tujuan pengawasan bank tidak dimaksudkan untuk menggantikan manajemen bank dalam melakukan dan mengambil keputusan bisinis. Sebagai
suatu unit ekonomi yang mandiri, bank tetap diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan demi memelihara kesinambungan eksistensinya. Batasan
dan nilai-nilai yang mungkin diberikan dimaksudkan untuk membantu manajemen dalam menjalankan kegiatan bank, yaitu dalam arti memengaruhi pemikiran dan
perilaku manajemen sehingga kegiatannya diarahkan pada tujuan yang dikehendaki bersama.
Meskipun ada pengaturan-pengaturan, arah pengembangan yang ingin dicapai bank sepenuhnya merupakan perwujudan dari keputusan independen yang
diambil oleh manjemen. Pengaturan ini dibuat bukan untuk menjadi dinding pembatas yang menyebabkan terhentinya perkembangan bank, akan tetapi sebagai
upaya untuk menghindari suatu kondisi bank yang tidak sehat.
C. Perlindungan Nasabah Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan
Perjanjian Baku
Perlindungan Konsumen adalah perlindungan dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Cakupan perilaku tersebut mengisyaratkan bahwa
tujuan dari peraturan OJK ini bukan hanya melindungi kepentingan konsumen
industri jasa keuangan dan masyarakat, namun disisi lain juga menjaga pertumbuhan lembaga dan industri sektor jasa keuangan.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa Bank dengan Nasabah merupakan kedua pihak yang saling membutuhkan, dengan demikan sudah
semestinya kedudukan kedua pihak harus seimbang, Namun kenyataanya secara fakta dan secara hukum, konsumen ada dalam posisi yang lemah dibanding
dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, antara lain ditunjukan adanya kurang kuatnya daya tawar konsumen kurang paham dan kurang pengetahuan atas
produkjasa yang ditawarkan, sedangkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan lebih kuat posisi tawarnya.
Sebagai ilustrasi konsumen dititik lemah: Perjanjian Kredit Bank A dengan Debiturnya dibuat dalam bentuk formulir yang telah dibakukan. Calon debitur
hanya dimintakan persetujuannya atas kalusula-klausula yang telah dibuat oleh Bank A. Apabila calon debitur setuju dengan isi perjanjian, maka akan
menandatangani surat perjanjian kredit tersebut. Sedangkan apabila calon debitur menolak klausula-klausula yang ada dalam surat perjanjian kredit, maka tidak
perlu menandatangani surat perjanjian tersebut. Akan tetapi debitur tersebut berada dalam posisi lemah karena debitur sangat membutuhkan dana yang
diberikan oleh bank melalui kredit. Oleh sebab itu debitur tidak banyak menuntut kepada bank karena takut bank tidak akan mencairkan kredit yang dimohonkan
tersebut. Demikian pula pada saat penandatanganan debitur tidak membaca klausula-klausula yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut, melainkan
langsung menandatangani surat perjanjian kredit.
Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan metode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan
cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakaan pilihan yang tidak menguntungkan
karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapai situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak tinggal
diam, tetapi begantung juga pada sistem ekonomi yang berlaku disetiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian baku di
Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada pengusaha, melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.
93
Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha umunya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara
berkembang sebagai dasar penerapan prinsip ekonomi, yaitu: dengan usaha sedikit mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar
mungkin.
94
93
Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 2
Perkembangan perjanjian baku dinegara-negara berkembang berbeda dengan negara-negara maju. Pada umumnya negara berkembang ialah negara
bekas jajahan. Dengan demikian penerapan syarat-syarat baku lebih diwarnai oleh perasaan senasib dan sepenanggungan. Jika terjadi perselisihan mengenai akibat
yang timbul dari penerapan syarat-syarat baru, kedua belah pihak masih dapat berunding mencari penyelesaian adil menurut adat mereka sendiri walaupun tanpa
mengubah teks syarat-syarat perjanjian yang telah dibakukan. Di samping itu,
94
Ibid.,hal. 4
negara ikut melindungi warganya, bukan konsumen melainkan juga pengusahanya melalui perundang-undangan dan lembaga peradilan. Penerapan syarat-syarat
baku semacam ini dikuti juga di Indonesia.
95
Pada umunya bentuk perjanjian baku adalah suatu format perjanjian tertulis yang sudah disiapkan salah satu pihakkreditur, sudah berisi naskah lengkap
dengan pasal-pasalnya, susunannya dan klausulnya sudah baku, beberapa bagian masih kosong, biasanya tentang isian: No. PK, tanggal, identitas para pihak,
jumlah pinjaman, jangka waktu, berapa kali angsuran, cara pembayaran, jenis agunan, sudah ditentukan sedemikian rupa maka debitur harus mengikutitidak
bisa mengubah. Pengertian perjanjian baku yang menjadi pembahasan disini adalah
perjanjian baku sesuai dengan penjelasan atas Peraturan OJK tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, yaitu Perjanjian baku sebagaimana
dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk,
maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk danatau layanan kepada Konsumen secara massal. Sejalan dengan penjelasan tersebut
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen vide Pasal 1 Ayat 10 Undang-undang
Perlindungan Konsumen.
95
Ibid.,hal. 5
Adapun beberapa bentuk klausula baku yang biasanya berisikan: 1.
Klausula baku biasanya menyangkut kewajiban debitur berupa paket, mislakan paket tersebut berisikan bahwa harus pasang asuransi dan sudah
ditentukan perusahaan asuransi tertentu
2. Bisa juga tentang tunduk dan patuhnya debitur pada ketentuan kreditur yang
akan diterbitkan dikemudian hari. 3.
Atau kreditur tidak bertanggung jawab atas titipan angsuran ke petugas bank atau bendahara atau kepada agen.
Pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
1. Kesepakatan
Kesepakatan berlandaskan kesetaraan para pihak bisa terbentuk sejak awal dimulainya hubungan hukum apabila di dalamnya terdapat keseimbangan, adil,
wajar, transparan dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. PUJK diharuskan memenuhi kelimanya dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen termasuk
klausula baku. Sebelum lahirnya era perlindungan konsumen setiap orang berhak untuk
membuat perjanjian dengan siapa, dan bebas menentukan isi perjanjian, dan bila sudah sepakat, perjanjian yang dibuat mengikat para pihak dan berlaku sebagai
undang-undang vide Pasal 1338 KUH Perdata. Karenanya mereka yang sudah menandatangani, terikat untuk melakukan isi perjanjian. Asas kebebasan
berkontrak kemudian dimanfaatkan yang menjadikan perjanjian baku ditentukan sepihak kreditur dan pihak lainnya debitur dalam posisi yang lemah. Kini
setelah era perlindungan konsumen yang hadir oleh karena banyaknya kekecewaan terhadap pelaksanaan klausula baku yang merugikan konsumen.
Dengan banyaknya yang mencari perlindungan dari akibat ‘kebebasan’ yang timpang, muncul pendapat bahwa kebebasan tetap dijunjung tinggi namun
kebebasan harus dibatasi untuk menjaga keseimbangan hubungan antar individu dan masyarakat, di sini kemudian masuk peran pemerintah sebagai regulator
untuk mengatur keseimbangan. Keseimbangan dalam membuat perjanjian, misalnya dalam hal Konsumen
telah memberikan informasi dan dokumen yang jujur dan tidak menyesatkan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyimpan dan menggunakan informasi dan
dokumen tersebut semata-mata untuk kepentingan Konsumen. Keadilan dalam membuat perjanjian, misalnya dalam hal Konsumen telah sepakat untuk
membayar produk danatau layanan dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan juga harus memberikan produk danatau layanan dimaksud
sesuai dengan perjanjian. Sebagai contoh kewajaran dalam membuat perjanjian, misalnya penetapan harga atau biaya yang dikenakan atas produk danatau
layanan harus sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
96
Yang dimaksud dengan “transparansi” dalam huruf ini adalah pemberian informasi mengenai produk danatau layanan kepada Konsumen, secara jelas,
lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti.
97
96
Penjelasan Peraturan OJK No.1POJK.072013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 21
Disini PUJK harus transparan atas semua fitur-fitur produknya, akurat, jujur, jelas, tidak menyesatkan,
97
Ibid., Pasal 2
menggunaan kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti konsumen.
Pasal 7 Perjanjian KPR Bank Panin mengatakan bahwa dalam hal terjadi kelebihan pembayaran, maka nasabah debitur tidak berhak untuk memintanya
kembali.
98
Hal tersebut kini bertentangan, karena menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli.
99
2. Kecakapan
Walaupun kesepakatan sudah memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku, namun apabila ada pihak yang belum dewasa atau tidak cakap atau tidak
berwenang, maka perjanjian bisa dibatalkan. Pasal 330 KUH Perdata ‘Belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin’. Pasal 1330 KUH Perdata ‘Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: orang-
orang yang belum dewasa, mereka yang dibawah pengampuan. Wewenang sendiri terkait dengan kewenangan jabatan; misalnya pimpinan cabang, bila tidak ada
surat kuasa direksi, perikatannya bisa dibatalkan. Meskipun terlihat sepele, kecakapan tetap harus diperhatikan. Sebagai
contoh ada beberapa bank yang melayani pinjaman dengan debitur “belum dewasa” walaupun yang bersangkutan sudah mandiri, punya usaha, dan pegawai
atau ada kepala cabang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tapi tidak
98
Diana Saraswati Purnamasari, Analisa Perjanjian Baku Bank Panin Bandung Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, 2011 hal. 89
99
Peraturan OJK Op.Cit., Pasal 22 Ayat 3
memiliki surat kuasa dari direktur. Perjanjian yang memuat hal-hal tersebut perlu dihindarkan karena bentuk perjanjian seperti itu terancam untuk dibatalkan.
3. Hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, bahwa diperkenankan memperjanjikan sesuatu yang akan datang tapi tidak boleh bertentangan dengan undang-Undang.
Misalkan, bank berhak untuk meminta pembayaran atas seluruh hutang termasuk denda dan biaya yang telah disepakati dan tertera diperjanjian ini, akan terjadi
sebagai akibat dari tidak terbayarnya hutang debitur. Adapun hal yang dilarang misalkan untuk menjamin kreditnya debitur
menyerahkan seluruh harta miliknya yang sekarang ada dan yang dikemudian hari akanada, termasuk harta warisan yang betul-betul menjadi bagiannya secara sah.
Adapun yang menjadi dasar hukum hal tersebut adalah Pasal 1334 KUH Perdata ‘barang-barang yang baru akanada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu
perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjian sesuatu hal mengenai
warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 179 dan 178. 4.
Sebab yang halal Sebab yang halal dapat dilihat pada Pasal 1337 KUH Perdata yang
menyatakan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau keteriban umum. Hal ini
kemudian diimplementasikan kedalam Pasal 22 Peraturan OJK No.1POJK.072013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan
juga Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen bahkan pada ayat 3 menentukan bahwa klausula tersebut batal demi hukum.
Adapun larangan-larangan yang termuat adalah: a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen,
kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha
Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab
Pelaku Usaha Jasa Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi
kegunaan produk danatau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan,
lanjutan danatau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk danatau
layanan yang dibelinya; danatau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Offering Letter Agar terpenuhinya keempat syarat sahnya suatu perjanjian maka sudah
kewajiban bagi kreditur untuk memberikan surat penawaran offering letter kepada calon debiturnya. Offering letter bermanfaat bagi kedua belah pihak dalam
melakukan tawar menawar dalam usaha mencapai suatu kesepakatan. Dengan demikian, Johannes Ibrahim dalam bukunya Bank sebagai Lembaga Intermediasi
dalam Hukum Positif menyebutkan bahwa perjanjian bank tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian baku, dengan pertimbangan bahwa:
100
1. Dalam praktik sebelum nasabah debitur menandatangani perjanjian kredit,
bank menyerahkan terlebih dahulu surat penawaran offering letteratas fasilitas pinjaman atau kredit yang telah disetujuinya. Surat penawaran
dimaksudkan sebagai suatu pendahuluan untuk dasar perundingan yang menyebutkan secara ringkas, besar dan jenis fasilitas yang akan diberikan,
bunga, jaminan yang disyaratkan, provisi, dan syarat lain yang dianggap penting sehubungan dengan perjanjian pemberian pinjaman.
2. Surat penawaran dimaksudkan dalam butir 1 dapat diterima, ditolak, atau
terdapat perubahan – perubahan disesuaikan dengan keinginan calon debitur. Di sini masih dimungkinkan untuk diadakan negosiasi antara pihak
bank dengan calon debitur.
3. Dengan mempertimbangkan surat penawaran dan persyaratan – persyaratan
yang tercantum di dalamnya, bila debitur tidak berkeberatan lagi, berarti telah menyatakan menerima penggunaan format perjanjian yang ditawarkan
bank.
4. Subjek dan objek dari perjanjian kredit bank, selalu berbeda, disesuaikan
dengan kebutuhan calon debitur. Sehingga perjanjian kredit bank tidak mungkin memiliki suatu pola yang sama walaupun terdapat kesamaan yang
satu dan lainnya.
Kemudian ditambahkannya bahwa Perjanjian kredit bank dan perumusan klausula – klausula yang terdapat di dalamnya, sangat tergantung dari kebutuhan
calon debitur secara pribadi, dan bank harus dapat mengantisipasinya dengan cepat. Debitur dan bank merupakan mitra untuk mencapai kemanfaatan bagi
kedua belah pihak, dan tiada satu pun yang dirugikan. Untuk itu, sepatutnya perumusan klausula perjanjian kredit dapat dinegosiasi oleh kedua belah pihak,
dan perundang-undangan membatasi sebagai kaidah hukum yang bersifat mengatur optional saja.
101
100
Johannes Ibrahim, 2004. Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, Bandung : CV. Utama, hal. 115.
101
Johannes Ibrahim., Op.Cit.,hal. 117.
81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan