Pedagang Kaki Lima PKL sebagai Survival Strategy

258 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Dari data-data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor informal, utamanya pedagang kaki lima PKL memiliki kontribusi ekonomi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi anak-anak atau cucu. Banyak juga di antara mereka yang memiliki tabungan dan sebagian hasil berjualan diinvestasikan untuk membeli rumah, tanah, mobil, sepeda motor, dan peralatan elektronik lainnya. Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, bahkan juga pengemis. Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga memberikan sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal. Sumbangan sektor informal, khususnya PKL kepada PAD bisa lebih besar dari data yang dilaporkan, oleh karena diduga masih banyak aktivitas sektor informal yang tidak terjangkau dan tidak terdaftar oleh pemerintah lokal. Pendek kata, sektor informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan mencari penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu, bagi masyarakat golongan miskin merupakan cara mempertahankan kelangsungan hidup survival strategy. Hal ini sejalan dengan penelitian Sookram and Watson 2008 yang menyimpulkan bahwa sektor informal, termasuk di dalamnya pedagang kaki lima merupakan mekanisme survival khususnya bagi kaum miskin.

C. Pedagang Kaki Lima PKL sebagai Survival Strategy

Strategi bertahan hidup merupakan ciri khas dari kelompok, masyarakat, atau komunitas yang terpinggirkan. Mereka yang hidupnya semata-mata tergantung dari pekerjaan 259 MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL tersebut akan mempertahankan mati-matian pekerjaan yang mereka geluti termasuk jika harus menentang atau melawan negara. Banyak kasus orang-orang terpinggirkan atau yang disingkirkan, mempertahankan rumahnya, tempat tinggalnya, atau alat-alat produksi untuk memperoleh pendapatan. Para petani mempertahankan ladang atau sawahnya, para pensiunan veteran perang mempertahankan rumah dinas atau asrama yang lama dihuninya, warga masyarakat mempertahankan rumah tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun ditempatinya meskipun pada akhirnya terbukti bahwa tanah yang digunakan selama ini ternyata bukan miliknya, para nelayan nekat melaut pada musim yang tidak bersahabat dengannya meskipun sudah dilarang oleh pemerintah setempat, penduduk dekat hutan nekat mengambil umbi-umbian atau buah-buahan, karena dengan cara itulah mereka bisa makan, dan para pedagang kaki lima PKL tetap bersikukuh berdagang di tempat yang sudah lama mereka gunakan untuk mengais rezeki meskipun sudah dilarang bahkan digusur oleh pemerintah setempat. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuat mereka bertahan dan berani mengambil resiko betapa pun beratnya. Hidup penuh resiko dan inilah yang membuat mereka bertahan. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, seperti pendidikan yang kurang, modal pas-pasan, keterampilan tidak ada, akses kredit juga tidak ada, maka satu-satunya jalan bagi kelompok masyarakat seperti itu adalah “bonek”, bondo nekat untuk berjuang mempertahankan hidupnya demi keluarga yang mereka cintai. Situasi dan kondisi yang tertekan dan menekan mereka, membuat kelompok masyarakat kurang mampu ini bergerak keluar dari belenggu kemiskinan, sekadar untuk “hidup”. Terlepas dari persoalan kenekatan, pedagang kaki lima PKL sebagai bagian dari kehidupan masyarakat marginal, memiliki etos kewirausahaan yang tidak kalah tinggi 260 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang dibandingkan dengan para pengusaha sektor formal. Sebagaimana hasil penelitian Zakik 2006, para PKL yang rendah pendidikannya, modal relatif kecil, serta manajemen ekonomi bertumpu pada keluarga mampu mengangkat hidupnya ke taraf kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Sistem pemasaran yang digunakan adalah sistem jemput bola, yakni mendekatkan diri dengan konsumen. Fakta demikian, menurut Zakik 2006, menunjukkan bahwa PKL mempunyai etos kewirausahaan yang tinggi, mandiri, dan tidak tergantung kepada bantuan pihak lain. Namun diakui bahwa hidup itu tidak mudah. Hidup itu gampang-gampang susah, dan mencari penghasilan juga tidak mudah. Namun sesulit apa pun asal “tangan gelem kemlawe” mau bekerja pasti akan dapat diperoleh pendapatan. Hal ini tergantung pada orientasi nilai seseorang atau masyarakat mengenai sesuatu. Orientasi nilai dipahami sebagai suatu konsepsi yang umum dan bersistem tentang alam, tentang hubungan manusia dengan manusia dan tentang yang seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya diinginkan, sebagaimana mereka itu dapat dikaitkan dengan hubungan manusia-lingkungan dan antar manusia Marzali 2005:122. Konsep orientasi nilai ini dikembangkan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck, yang kemudian disingkat dengan KS. Konsep orientasi nilai ini oleh Koentjaraningrat diperkenalkan dalam khasanah sosial antropologi di Indonesia dengan istilah orientasi nilai budaya. Dalam orientasi nilai budaya ini, masalah hidup dan bagaimana memandang hidup dipahami sesuai dengan orientasi nilai budaya yang dipilih. Kerangka orientasi nilai budaya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. 261 MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL Tabel 13. Kerangka Orientasi Nilai Budaya Masalah Hidup Orientasi Nilai Budaya Hakikat dan sifat hidup Hidup adalah buruk Hidup adalah baik Hidup adalah buruk, tetapi harus diperbaiki Hakikat Kerja Kerja adalah untuk hidup Kerja adalah untuk mencari kedudukan Kerja adalah untuk menambah mutu karya Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu Masa lalu Masa kini Masa depan Hakikat hubungan manusia dengan alam Tunduk pada alam Mencari keselarasan hidup dengan alam Menguasai alam Hakikat hubungan manusia dengan manusia Memandang kepada tokoh- tokoh atasan Mementingkan rasa ketergantungan pada sesama Mementingkan rasa tidak tergantung pada sesama Sumber: Marzali 2005:125. Bagi orang-orang tertentu, hidup itu baik dan kerja dipahami sebagai cara untuk mencari kedudukan. Para politisi atau pengusaha yang tidak puas dengan status dan kedudukannya, berusaha untuk bekerja mengumpulkan kekayaan dan berjuang agar dapat memasuki dunia politik, bekerja di politik atau setidaknya mendukung aliran politik tertentu, dengan harapan di kemudian hari dapat memperoleh kedudukan sebagai wakil rakyat di Senayan, menjadi anggota DPRD di daerah atau bisa menjadi Gubernur, Walikota, atau Bupati. Bagi orang-orang dari kelompok masyarakat menengah bawah, misalnya pedagang kaki lima PKL, mungkin memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan kerja mereka pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja berarti mereka tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia dan 262 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang selama manusia hidup, dia harus bekerja Anoraga 2001:24. Para PKL “survive” karena mereka bekerja. Dalam hal waktu, mereka tidak melihat masa lalu, demikian pula masa depan kehidupannya akan jadi apa juga tidak terpikirkan sebelumnya. Yang mereka pikirkan adalah masa kini. Sekarang bekerja, mereka bisa makan. Sekarang tidak bekerja, mereka tidak makan. “Siapa yang peduli dengan kita”, demikian sering diucapkan para pedagang kaki lima yang bekerja di jalanan. “Kalau bukan kita, siapa yang akan memberi makan”, demikian ungkapan para pedagang kaki lima. Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup inilah yang menjadi motivasi pedagang bekerja sebagai pedagang kaki lima PKL. Responden yang diteliti menyatakan bahwa menjadi pedagang kaki lima PKL merupakan pekerjaan satu-satunya. Seperti diungkapkan mbah Salim 67 tahun, pedagang barang rongsokan di Kokrosono, berikut ini. “mboten wonten pekerjaan malih pak, nggih niki ingkang saged kulo lampahi dados pedagang kemawon…nopo malih kulo mpun sepuh…kolo mben kulo nate narik becak taksih kiyat amargi tenogo saget nglampahi, sakniki mpun mboten saget” tidak ada pekerjaan lainnya pak, ya ini yang bisa saya lakukan sebagai pedagang saja…apalagi saya sudah tua…dahulu pernah menjadi tukang becak karena tenaga masih kuat, sekarang sudah tidak kuat lagi wawancara dengan mbah Salim, Minggu, 10 Oktober 2010. Hanya mengandalkan hidup dari berdagang, menurut sebagian PKL tidaklah cukup. Masa depan yang tidak dapat diprediksikan dengan baik, membuat mereka berpikir unuk merancang pekerjaan lain atau bekerja sambilan. Kadang- kadang bantuan istri untuk turut bekerja juga diperlukan. Satrio Wibowo 29 tahun misalnya, salah seorang PKL yang mengais rezeki di Sampangan, dibantu istrinya dalam memenuhi 263 MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL kebutuhan keluarga, dengan bekerja di pabrik. Berikut ini penuturan Satrio Wibowo. “bekerja sebagai pedagang bukan satu-satunya pak…saya pernah berjualan sate biawak dan ular…sekarang ini jualan sate kambing…itu pun menurut saya tidak cukup…untung istri mau mengerti dan bekerja di pabrik…ya sekedar untuk menambah penghasilan keluarga” wawancara dengan Satrio, Minggu, 17 Oktober 2010. Ketika mengalami penggusuran, ada beberapa pedagang kaki lima yang banting haluan untuk dapat menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Pak Armis 45 tahun, pedagang yang cukup lama menempati lokasi Basudewo, adalah salah satu contoh pekerja yang kreatif. Sebelum bekerja sebagai pedagang bensin eceran sekaligus membuka usaha tambal ban sepeda dan sepeda motor, pak Armis pernah bekerja pula sebagai sopir. Setelah terjadi penggusuran besar-besaran di Basudewo pada bulan Desember 2010, pak Armis akhirnya pindah ke lokasi PKL Kokrosono dengan bekerja sebagai pengrajin mebel. “Saya ini seorang perantau pak…kerja apa saja pernah saya jalani, jadi sopir, jualan pakaian keliling, jual bensin, membuka usaha perbengkelan…sebenarnya jual bensin sambil usaha tambal ban lumayan pak hasilnya, per hari saya bisa dapat Rp75.000,00…bisa menghidupi keluarga. Tapi pak…sejak lokasi usaha digusur dan diratakan dengan alat-alat berat, saya sempat bingung mau kerja apalagi…untung pak Achmad, ketua PKL Basudewo bersedia mengalah mau pindah ke Kokrosono dengan menempati kios di gedung H, akhirnya saya memilih menjadi pengrajin mebel…ternyata lumayan hasilnya mas dan mencari bahan pembuatan mebel juga tidak susah” wawancara dengan pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011. 264 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Pak Armis memang seorang pekerja keras. Ia termasuk orang yang tidak mudah putus asa. Pekerjaan apa saja pernah dilakukan. Setelah digusur dari tempatnya berjualan, ia memilih bekerja sebagai pengrajin mebel hingga kini. Ketika ditanya, mengapa memilih sebagai pengrajin mebel, padahal keterampilan untuk itu belum ia punyai, berikut jawabannya. “sebelum digusur, sehari-hari saya berdagang kan dekat dengan pengrajin meubel yang juga menjalankan usaha di Basudewo, jadi tahu bagaimana mereka membuat kursi, meja, dan almari…ya secara tidak sengaja saya mengamati cara mereka bekerja pak…ee, tidak tahunya saya tertarik pada pekerjaan tersebut, ketika saya digusur…ya alhamdulillah…saya bisa…Tuhan Maha Adil pak, ketika hambanya membutuhkan…saya diberi jalan” wawancara dengan pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011. Situasi pasar yang tidak menentu, membuat PKL memilih strategi dengan variasi jenis pekerjaan yang membuatnya dapat bertahan hidup. Hal ini juga dialami pak Armis. Pekerjaan baru sebagai pengrajin mebel ternyata juga belum menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena sepinya pembeli apalagi reputasi pak Armis sebagai pengrajin mebel belum dikenal. Itulah sebabnya, pak Armis masih mempertahankan pekerjaan lama, yaitu membuka bengkel sepeda motor bersama adiknya di lokasi lama di Basudewo. “Akhir-akhir ini pembeli sepi pak, maka supaya dapur tetap “ngebul” keperluan hidup terpenuhi saya membuka usaha lama, yaitu usaha bengkel sepeda motor bersama adik saya”, demikian ungkap pak Armis. Dalam kasus pedagang kaki lima di Semarang, ditemukan suatu kenyataan bahwa setiap orang sesungguhnya dapat menemukan cara untuk menghadapi tantangan agar dapat bertahan hidup. Hal ini berkaitan dengan strategi survival. 265 MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL White sebagaimana dikutip Ibrahim dan Murni Baheram 2009 menyebutkan tiga jenis strategi survival, yaitu: 1. strategi survival sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat bertahan hidup, 2. strategi konsolidasi yaitu strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial, 3. strategi akumulasi, yaitu strategi pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan pemupukan modal. Strategi survival tersebut ditempuh individu atau kelompok masyarakat, tergantung pada status sosial dan kondisi ekonominya. Strategi apa yang ditempuh juga berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan. Bagi kelompok masyarakat marginal, termasuk di dalamnya PKL, jenis strategi survival yang pertama dan kedua yang dipilih. Kalau pun ada yang menempuh strategi ketiga, yaitu akumulasi, tidaklah banyak. Pak Haji Mustaqim merupakan contoh PKL sukses yang mewakili strategi ketiga. Ia yang hanya bekerja sebagai pedagang alat-alat pertanian, pertukangan, dan rumahtangga di Kokrosono, tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi juga kebutuhan sosial, seperti berinteraksi dengan tetangga dalam asosiasi rukun tetangga RT dan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial dan agama. Bahkan dari pekerjaan yang ditekuni tersebut, pak Haji bersama istrinya dapat menabung dan membeli barang-barang simbol status kelas menengah ke atas, seperti sepeda motor, motor roda tiga, rumah, dan perhiasan. Contoh lain adalah pak Muriman, pedagang gado-gado di Sampangan, pak Mulyono pedagang alat-alat pertanian, pertukangan, dan rumah tangga di Kokrosono, dan mbok Sador 266 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang yang berjualan nasi pecel di bundaran Simpang Lima. Tentu saja masih banyak PKL yang sukses dalam bisnisnya. Tidak seperti halnya pak Haji Mustaqim, pak Muriman, pak Mulyono, dan mbok Sador, sebagian besar pedagang kaki lima PKL memiliki strategi pertama, yaitu survival dan strategi kedua, yakni konsolidasi, yang semuanya ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup. Strategi survival atau bertahan hidup seseorang memang bermacam-macam. Satrio misalnya, dibantu istrinya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ia sendiri ketika sebelum digusur, bekerja sebagai penjual sate biawak dan ular, dan setelah penggusuran, beralih menjadi penjual sate kambing. Pak Armis, yang dahulu bekerja sebagai penjual bensin eceran dan usaha tambal ban, sekarang ini bekerja sebagai pengrajin mebel. Hal ini menunjukkan bahwa 1 pedagang kaki lima memiliki daya tahan yang luar biasa ketika menghadapi tantangan dan persoalan hidup serta mereka mampu keluar dari kesulitan, 2 mata pencaharian baru yang mereka tekuni juga tidak jauh dari usaha sebelumnya, yaitu di sekitar usaha ekonomi sektor informal. Sesuai dengan sistem orientasi nilai budaya Kluckhohn sebagaimana dikembangkan oleh Koentjaraningrat, hidup memang dipahami para pedagang kaki lima sebagai sesuatu yang buruk, tetapi masih bisa diperbaiki kalau ingin tetap hidup. Demikian pula yang dialami para pedagang kaki lima yang terkena proyek pembangunan. Mereka tidak mudah putus asa, dan segera beralih pada pekerjaan lainnya yang masih berada pada usaha sektor informal.

D. Rangkuman

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4