208
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
A. Motif Pedagang Kaki Lima PKL
Sektor informal PKL perkotaan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan implementasi model pembangunan barat
yang tidak ramah terhadap masyarakat golongan bawah yang miskin, tidak terampil
un-skill, dan berpendidikan rendah. Menurut Sutomo 1993, munculnya sektor informal
perkotaan menunjukkan
bahwa penerapan
model pembangunan di barat dimana pertumbuhan industri di kota
yang diharapkan dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi dan mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang berpindah
dari pedesaan, ternyata tidak cocok dengan kondisi Indonesia, karena proses pembangunan yang terjadi, terbukti tidak disertai
dengan transformasi sektoral dari agraris ke sektor industri atau formal.
Rachbini dan Hamid 1994:121 dalam penelitiannya mengenai ekonomi informal perkotaan di Surabaya dan Jakarta,
menyimpulkan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewirausahaan
yang mereka miliki. Ada tiga faktor yang menyebabkan mereka masuk ke sektor informal.
Pertama, tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha sektor ini.
Kedua, persyaratan modal relatif kecil. Ketiga, potensi keuntungan cukup baik. Penelitian
Rachbini dan Hamid 1994 juga menemukan bahwa banyak dijumpai istri pegawai dan karyawan rendahan membuka usaha
sektor informal sebagai usaha sampingan keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini tampak
bahwa usaha sektor informal yang dilakukan para ibu dan karyawan rendahan, terbukti berperan sebagai penyangga
ekonomi keluarga di sektor formal yang subsisten.
209
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Catatan Mustafa juga menunjukkan hal serupa. Sektor informal menjadi tempat berlindung bagi komunitas penduduk
Suralaya yang mayoritas beretnik Betawi, yang telah dimarginalisasi atau dipinggirkan oleh kekuatan dunia luar
yang dominan dan perubahan sosial yang tak dapat dihindari di wilayah di mana mereka berdomisili Mustafa 2008:102.
Alisjahbana 2006:3-9 dalam penelitiannya, mengemuka- kan tujuh faktor yang menyebabkan atau melatarbelakangi
para urban memilih sektor informal sebagai aktivitas pekerjaan untuk menggantungkan hidup.
Pertama, terpaksa atau tiada pekerjaan lain. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mau tidak mau dan suka tidak suka,
satu-satunya pilihan yang ada adalah bekerja di sektor informal. Sebagian responden yang diwawancarai, menyatakan bahwa
mereka terjun di sektor informal bukan karena tertarik, melainkan karena keadaan terpaksa demi untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Pekerjaan ini merupakan satu-satunya pekerjaan yang bisa digunakan untuk memperoleh penghasilan,
sehingga dilakukan oleh para PKL.
Kedua, dampak pemutusan hubungan kerja PHK. Tidak sedikit yang menjadi PKL karena terkena pemutusan hubungan
kerja PHK ketika terjadi krisis moneter. Dampak krisis moneter 1997 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis
lainnya menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan memberhentikan sebagian besar karyawannya. Di antara
karyawan yang diberhentikan, ada yang memperoleh pesangon dan ada juga yang tidak. Bagi mereka yang memperoleh
pesangon, dengan berbekal sedikit modal mereka terjun ke jalan menjadi PKL. Pilihan menjadi PKL barangkali merupakan
pilihan sementara, tetapi ketika banyak diantara mereka yang telah menikmati pekerjaan dan hasilnya, maka menjadi PKL
merupakan satu-satunya pilihan guna menyambung hidup.
210
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Ketiga, mencari rezeki halal. Di mata golongan masyarakat miskin perkotaan, gengsi tampaknya tidak lagi dihiraukan.
Ketika tidak ada upaya lain yang lebih baik, maka PKL menjadi kunci penyelamat. Yang penting bagi mereka adalah mencari
rezeki secara halal sesuai dengan ketentuan agama, norma hukum, dan tata tertib masyarakat. Daripada mereka
melakukan pekerjaan haram atau tidak patut, misalnya meminta-minta, menipu, atau merampok, lebih baik mereka
bekerja sebagai pedagang kaki lima.
Keempat, mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Banyak pekerja pabrik atau perusahaan yang memilih keluar
dari pekerjaannya dengan menekuni usaha sendiri. Mereka yang memiliki keterampilan, misalnya membuat stempel
memilih menjadi PKL karena merasa tidak senang bekerja di pabrik. Bagi mereka, bekerja dengan orang lain dipandang
hanya menjadi beban. Mereka melirik kaki lima sebagai tempat mengais rezeki, di mana mereka bisa mengatur pekerjaannya
sendiri. Profit yang diperoleh bersifat langsung dan dapat dinikmati segera. Hasil atau keuntungan tidak dapat dinikmati
segera, jika mereka bekerja di pabrik atau perusahaan. Bahkan dengan melepaskan diri dari genggaman kaum kapitalis, para
PKL dapat meningkatkan etos kewirausahaannya.
Kelima, menghidupi keluarga. Sejumlah PKL banyak yang berjualan VCD, kaset, striker, topi, kacamata, dan asesoris
lainnya. Berdagang barang-barang tersebut dipandang para PKL sebagai pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan.
Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, umumnya hasil atau keuntungannya digunakan untuk menghidupi keluarga,
membiayai sekolah anak-anaknya, membantu biaya sekolah adik-adiknya, atau bahkan mengirimi uang kepada orangtua
yang ada di desa.
Hal ini sesuai dengan penelitian Sethuraman 1981 yang menemukan bahwa sebanyak 72,29 pekerja sektor informal
211
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
melakukan usahanya dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Resmi 1995:63 menemukan hal yang sama bahwa
PKL bekerja tiap hari tidak lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari anggota keluarganya. Adanya tanggungan keluarga
yang harus dihidupi menjadi motivasi kuat mengapa para PKL mampu bertahan di jalan menghadapi kekerasan dari aparat
Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP.
Keenam, pendidikan rendah dan modal kecil. Banyak orang yang memilih menjadi PKL karena tidak membutuhkan
keahlian dan keterampilan khusus, sehingga siapapun dapat masuk kesana. Sebagaimana diungkapkan Firdausy 1995:1,
bahwa sektor informal mempunyai karakteristik usaha yang relatif tidak memerlukan modal besar, keterampilan tinggi,
relatif mudah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat beresiko kecil. Dengan demikian, para urban memilih menjadi
PKL, selain karena tidak membutuhkan syarat pendidikan, keahlian, dan keterampilan khusus, juga tidak membutuhkan
modal yang besar. Justru semangat dan daya tahan yang tinggi yang diperlukan bagi siapapun yang berhasrat masuk menjadi
PKL merupakan motif utama mengapa para urban tetap bertahan di jalan.
Ketujuh, kesulitan kerja di desa. Langkanya kesempatan kerja di desa dan tiadanya kesempatan kerja di kota bagi yang
tidak berpendidikan dan tidak terampil, menjadi alasan mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL. Bagi kaum
urban atau migran, kota merupakan tujuan akhir ketika mereka tidak dapat tertampung di desa, dan kota, meskipun padat,
masih bisa dicari titik celahnya, untuk dimasuki oleh para urban dengan menjadi pedagang kaki lima PKL. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Mustafa 2008:9 bahwa kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal, karena
ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenuhi di desa.
212
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tidak jauh berbeda dengan beberapa hasil penelitian tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para
urban bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pedagang kaki lima, motif para pedagang kaki lima PKL yang bekerja di
Semarang pun bervariasi. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh motif mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL, yaitu
1 modal kecil atau terbatas, 2 ingin usaha mandiri, 3 tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai, 4 sudah menjadi tradisi
keluarga, 5 daripada menganggur, 6 bekerja lebih mudah, dan 7 karena usia sudah tua.
Modal kecil atau terbatas menjadi motif dominan mengapa pedagang kaki lima PKL bekerja pada sektor informal dan
nekat berdagang di daerah terlarang. Seperti diakui Minasat 49 tahun , pedagang aneka loster atau ventilasi cor yang berlokasi
di Sampangan: “ya, bagaimana lagi ya mas, karena modal kecil dan usaha ini lumayan besar keuntungannya, maka saya nekat
bekerja sebagai pedagang yang menempati tepi jalan ini” wawancara dengan Minasat, 20 Juni 2010.
Kecilnya modal sebagai alasan PKL berdagang di tepi jalan juga dibenarkan bu Hermin 42 tahun: “modal saya kecil mas,
saya dan keluarga butuh hidup…sehingga terpaksa bekerja sebagai pedagang nasi dengan membuka lapak di Sampangan”
wawancara dengan bu Hermin, 20 Juni 2010.
Ketika ditanya, mengapa Satrio Wibowo 29 tahun bekerja sebagai pedagang kaki lima, jawabannya adalah karena ingin
usaha sendiri. Sebagai seorang pedagang, Satrio berkeinginan untuk membuka rumah makan megah di tengah kota, sebuah
cita-cita yang bukan tidak mungkin akan dapat terwujud asal keinginan tersebut didukung oleh kerja keras.
Mbah Sabar 60 tahun yang sudah puluhan tahun berdagang es tape santan di Basudewo memiliki modal yang
tidak begitu banyak untuk menjalankan usahanya. Modal kerjanya hanya 1,5 juta rupiah dan yang menarik, mbah Sabar
213
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
tidak pernah hutang. “Wis dicukup-cukupke mas, wong cilik yo ngene iki isane
”, demikian tutur mbah Sabar. Menurut mbah Sabar, berapa pun uang yang dipunyai akan habis, sehingga
dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting adalah bagaimana
cara mengelola uang tersebut. “Kita harus pandai-
pandai mengaturnya”, kata mbah Sabar. Meskipun memiliki penghasilan yang tidak seberapa, mbah Sabar dalam
berdagang es tape santan, dibantu seorang anak laki-laki dalam melayani pembeli. Anak ini bukan anaknya sendiri, tetapi
mbah Sabar sangat memperhatikan kebutuhannya. Dalam seharinya anak tersebut diberi upah Rp10.000,00, sedangkan
untuk makan, minum, dan tidur ditanggung oleh mbah Sabar.
Keinginan untuk mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain dalam bekerja, merupakan dorongan atau motif
mengapa banyak orang terjun ke sektor informal, khususnya bekerja sebagai pedagang kaki lima PKL. Mbah Sumiyati 65
tahun misalnya, yang beralamat di jalan Dorowati 6, memilih berjualan nasi gule di Kokrosono. Ketika ditanya mengapa
menjadi PKL yang beradagang nasi gule di Kokrosono, mbah Sum, panggilan akrabnya, memberi jawaban demikian: “saya
sudah tua mas…mau kerja apalagi, bisanya ya jualan nasi, modalnya tidak banyak, tetapi keuntungannya lumayan”
wawancara dengan mbah Sum, Minggu, 3 Oktober 2010.
Pada awal memulai usahanya, mbah Sum membutuhkan modal 3 juta rupiah, untuk beli gerobak 2 juta rupiah dan
peralatan lainnya 1 juta rupiah. Kata mba h Sum, “ini belum
termasuk biaya untuk bahan dagangan”. Modal tersebut tidak pinjam, tetapi merupakan modal sendiri. Menurut mbah Sum,
dengan berjualan sendiri, meski ia dibantu seorang pelayan, mbah Sum merasa seperti majikan, tidak harus tergantung
kepad
a orang lain, apalagi menjadi “suruhan” pembantu orang lain. “Usaha mandiri lebih enak mas”, imbuh mbah Sum.
214
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Mbah Salim 67 tahun yang sebelumnya pernah menjadi tukang becak, memilih bekerja sebagai pedagang kaki lima,
karena selain sudah tua umurnya, juga tidak ada pilihan lain. “ya, bagaimana lagi mas, umur sudah tua…keterampilan tidak
ada, ya dagang saja mas. Begini ini mas, dagang kaca mata dan barang rongsokan, meskipun hasilnya kecil…yang penting bisa
untuk hidup…wawancara dengan mbah Salim, 3 Oktober 2010. Mbah Salim pasrah dengan nasibnya sebagai pedagang
kaki lima. Satu-satunya pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai pedagang kaki lima, apalagi jualan di Kokrosono ramai pembeli.
Jika dilihat dari etos kewirausahaan yang demikian tinggi, maka para PKL sesungguhnya dapat disebut sebagai pengusaha,
hanya saja mereka tidak tergolong pengusaha besar yang memiliki modal besar, mempunyai jumlah karyawan ribuan,
tempat produksi barang-barang permanen, memiliki jaringan ekonomi yang kuat, dan mempunyai akses terhadap birokrasi
pemerintah dan lembaga finansial. Para PKL memang memiliki modal, itu pun jumlahnya tidak banyak, demikian pula alat-alat
produksi yang dimiliki juga tidak memadai. Para pedagang nasi di Sampangan misalnya, alat-alat produksi yang dipunyai di
antaranya: meja, kursi, tempat nasi, sayur, dan lauk pauk, kompor gas, piring, sendok, garpu, dan peralatan lain yang
mendukung usahanya.
Tidak seperti halnya pengusaha besar yang memiliki tanah dan pabrik, para PKL yang berdagang nasi hanya mempunyai
lapak dan tanah untuk mendirikan lapak merupakan milik pemerintah. Tanah yang mereka tempati pun tidak memiliki
alas hak. Di Sampangan terdapat seorang pedagang yang menggunakan mobil untuk berdagang, yaitu penjual pakan
burung. Lainnya, menggunakan lapak yang mudah dibongkar untuk menjalankan usahanya.
Para pengusaha besar mempunyai jumlah karyawan ribuan, sedangkan para PKL hanya memiliki 2 hingga 3 orang yang
215
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
membantu mereka berdagang atau menjalankan usahanya. Banyak juga PKL yang tidak memiliki karyawan, karena
usahanya dilakukan secara mandiri atau sendiri tanpa bantuan orang lain, seperti halnya PKL liar yang berdagang di
Kokrosono.
Tidak jauh berbeda dengan para PKL yang berdagang di Sampangan, PKL yang menjalankan usaha di Basudewo dan
Kokrosono juga memiliki modal yang kecil. Rata-rata mereka tidak memiliki kios. Sedikit di antara mereka yang memiliki
kios semi permanen untuk berjualan. Di Basudewo hanya ada 7 orang pedagang yang memiliki kios semi permanen, yakni
seorang pedagang nasi, dan 2 orang yang menjalankan usaha bengkel sepeda motor, dan 4 orang pedagang mebel.
Dari sekian pedagang, ada di antara mereka yang menggunakan mobil dan sepeda motor roda tiga merk Tossa
untuk tempat berdagang. Di Basudewo ada 2 pedagang yang menggunakan mobil untuk berdagang, yakni pedagang
kebutuhan sehari-hari, seperti roti,
snack, air mineral, gula, rokok, dan lain-lain. Di Kokrosono hanya ada 1 orang yang
menggunakan mobil untuk berdagang dan 2 orang menggunakan sepeda motor roda tiga untuk berjualan. Lainnya
menggunakan lapak yang mudah dibongkar. Di Kokrosono kebanyakan pedagang berjualan dengan cara lesehan, yakni
menggelar tikar atau alas seadanya untuk menempatkan barang dagangan.
Inilah tipikal PKL, yang oleh penguasa kota dipandang sebagai pengganggu ketertiban, tetapi jika dilihat dari sisi
ekonomi, mereka adalah para pejuang dan entrepreneur yang
tangguh, sebab dengan modal kecil dan peralatan seadanya, mereka tetap mampu bertahan hidup. Mereka tidak mengenal
krisis, seperti halnya para pengusaha besar di Indonesia yang bangkrut gara-gara krisis moneter tahun 1997. Ini berarti
tingkat kompetisi dan keuletan para PKL tidak kalah
216
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dibandingkan para pengusaha besar, terbukti bisnis mereka masih berlanjut meskipun harus hidup dalam suasana was-was,
karena sewaktu-waktu bisa mengalami penertiban dan penggusuran dari Satpol PP.
Motif para pedagang kaki lima PKL menjalankan usaha perdagangan dan jasa informal umumnya berkaitan dengan
aspek ekonomi. Yang dimaksudkan dengan ekonomi dalam penelitian ini adalah bagaimana para pedagang kaki lima PKL
dengan sumber daya yang terbatas, seperti pendidikan yang umumnya rendah, keterampilan tidak ada, dan modal usaha
kapital kecil, dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus tergantung kepada orang lain. Para pedagang kaki lima PKL
yang menjalankan usaha di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono pada umumnya didorong untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, membeli pakaian, dan lain-lain.
Kebutuhan keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan minum, tetapi
juga untuk biaya pendidikan anak-anak. Seperti dituturkan pak Mulyono 47 tahun, pedagang alat-alat pertukangan,
pertanian dan rumah tangga yang sehari-hari berdagang di Kokrosono, di bawah ini.
“saya berdagang di sini…ya terpaksa pak, kalau tidak untuk memenuhi kebutuhan keluarga tidak mungkin saya
lakukan. Cari pekerjaan susah, saya sudah cukup tua, misalnya kerja di proyek…tenaga saya sudah tidak kuat
lagi, apalagi saya pernah sakit lumpuh, pernah hampir mati…ya kerja jualan seperti ini saja pak. Saya dan istri
harus menghidupi empat anak, semuanya sekolah, yang tiga sudah kuliah, sedangkan satunya yang paling kecil
masih di SMA. Bapak tahu send iri…bayar kuliah dan
sekolah sangat mahal…untung otak anak saya encer pak dan tahu diri kalau orang tuanya tidak punya. Saya tidak
pernah menabung, karena hasil penjualan, selain untuk kulakan, dipakai untuk makan sehari-hari dan memenuhi
kebutuhan kuliah dan sekolah anak-anak. Untuk bayar
217
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
uang gedung sumbangan pembinaan lembaga saja jutaan pak…saya harus utang dengan menggandaikan 6 sepeda
motor yang saya miliki” wawancara dengan Mulyono, tanggal 24 September 2011.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 15. Pak Mulyono sedang melayani pembeli
Sebab-sebab, motif, kondisi, latar belakang, atau alasan mengapa seseorang atau sekelompok orang terjun ke ekonomi
sektor informal sebagaimana sudah diuraikan di atas sebagian besar berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial, misalnya
persoalan PHK, pengangguran, kemiskinan, kewirausahaan, langkanya lapangan kerja, dan lain-lain. Para pedagang yang
bekerja sebagai PKL, rela berpanas-panas dan berhujan-hujan, semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga.
Motif lain sebagaimana dilihat Hernando de Soto, menghindari pajak misalnya, tidak terjadi di PKL yang diteliti.
Hernando de Soto sebagaimana dikutip Azuma and Grossman 2008 menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang
khususnya negara-negara miskin, beban pajak yang berat, fee, kinerja birokrasi yang buruk, dan dorongan penyuapan,
218
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menyebabkan seorang pengusaha masuk ke sektor informal. Demikian pula yang ditemukan Sookram and Watson 2008
bahwa kebanyakan penghasilan yang tidak dilaporkan dari sektor informal merupakan hasil dari upaya hati-hati untuk
menghindari pajak.
Sookram and Watson 2008 juga menyebutkan bahwa beban pajak yang tinggi, regulasi pemerintah yang membebani,
dan pertimbangan waktu, menyebabkan pengusaha terlibat dalam aktivitas sektor informal. Salah satu pedagang kaki lima
yang berjualan di Kokrosono, tepatnya di pinggir jalan dekat dengan bantaran sungai Banjir Kanal Barat, tampaknya dapat
digolongkan dalam kategori yang disebutkan Soto, Sookram dan Watson.
Sektor usaha ekonomi informal ini dilakukan oleh suami isteri, dan kadang dalam aktivitas penjualan dibantu oleh
putrinya yang sedang kuliah di sebuah universitas besar di Semarang. Di antara pedagang kaki lima yang lain, mereka
suami isteri secara sekilas, dapat digolongkan ke dalam pedagang kaki lima PKL kaya, karena: 1 PKL tersebut
berdagang dengan menggunakan dua mobil yang sifatnya mobile, dapat dipindahkan kemana saja, 2 barang
dagangannya, berupa peralatan rumah tangga, seperti pacul, bendo, sabit, drei, cetok, kunci dan gembok almari dan pagar,
kuas, pisau, gunting, meteran, dan lain-lain.
Setelah dilakukan wawancara yang mendalam, ternyata dugaan bahwa yang bersangkutan bekerja di jalanan adalah
untuk menghindari pajak, tidaklah benar. Orang Jawa mengatakan, “nek ndelok uwong, ojo didelok lahire wae”,
artinya kalau melihat orang jangan dilihat lahiriahnya saja. Pak Mul dan istri yang berdagang alat-alat pertukangan, pertanian,
dan peralatan rumah tangga lainnya ini, jika dilihat sepintas dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena barang
dagangan ditempatkan di dua mobil bekas miliknya, sementara
219
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
pedagang lainnya meletakkan barang-barang dagangannya di atas tanah hanya dengan beralaskan tikar atau terpal. Pada saat
diwawancarai, pak Mul sedang ditagih seorang pengusaha Cina, tetapi belum bisa bayar. “Nanti ya om, dagangannya baru sepi”,
kata pak Mul ketika ditagih pak Antoni, sang pemasok barang.
Pak Mul bisa membeli mobil, tetapi bukan mobil baru. Mobil dibeli dengan harga 25 juta rupiah, yang satu harganya
15 juta rupiah dan satunya lagi 10 juta rupiah. Mobil ini digunakan untuk mengangkut barang dagangan sekaligus untuk
“dasaran” atau tempat menjual barang.
“Panjenengan kalau melihat saya, pasti mengira saya orang kaya ya pa
k…Bapak percaya atau tidak, hingga kini saya belum punya rumah…rumah ada tetapi ngontrak pak. Saya
punya 4 anak, 2 di antaranya kuliah, 1 orang sekolah di SMA, dan seorang lagi masih duduk di bangku SD.
Penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak. Utang saya
banyak pak…tabungan uang saja saya tidak
punya. Memang
saya punya
6 sepeda
motor…semuanya saya gadaikan 5 juta rupiah untuk membayar kuliah anak saya. Saya juga utang 10 juta rupiah
untuk sewa kios di blok C Kokrosono. Untuk itu, saya harus utang rentenir, tiap bulannya harus membayar
Rp1.250.000,00 selama 1 tahun. Bapak bisa bayangkan
bagaimana beban yang harus saya tanggung” wawancara dengan Mulyono, 24 September 2011.
Pedagang kaki lima jenis ini, juga dijumpai di wilayah penelitian yang lain, yakni seorang pedagang pakan burung dan
ikan di Sampangan serta pedagang rokok dan makanan kecil di Basudewo.
Di Semarang, pedagang yang menggunakan mobil untuk berjualan juga banyak dijumpai di lokasi PKL Kartini, jalan
Kusumawardani, jalan Kelud Utara, dan beberapa tempat lainnya. PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil,
tidak hanya berdagang barang-barang peralatan rumah tangga
220
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan pertanian, tetapi juga berdagang sayur-sayuran, pakaian jadi, boneka, peralatan elektronika, dan yang lainnya.
Pedagang disebut terakhir ini, mulai marak di kota Semarang, terutama setelah PKL yang berdagang atau
menjalankan usaha di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan Pahlawan dipindahkan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno
pada tahun 2010. Pada akhir tahun 2011, PKL tidak terorganisasi yang biasa berjualan di jalan Menteri Soepeno
dipindah lagi ke lokasi baru, yaitu di depan Stadion Diponegoro.
Sikap akomodatif pemerintah kota Semarang, terutama sejak dipegang walikota yang baru, yaitu Soemarmo, membuat
para PKL leluasa berdagang apa saja dengan menggunakan lapak atau sarana berdagang yang bermacam-macam. Satu di
antaranya adalah berdagang dengan menggunakan mobil untuk berjualan. Para PKL yang menggunakan mobil sebagai sarana
berdagang dapat menjalankan usaha di lokasi PKL yang baru, yakni di jalan Menteri Soepeno yang kemudian pindah lagi ke
Stadion Diponegoro. Gambar berikut menunjukkan sepasang suami istri penjual beras dengan mobil sebagai sarana dagang.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 16. Seorang penjual beras dengan mobilnya
sedang melayani pembeli
221
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 17. Para pengunjung yang berdesak-desakan di
sentra PKL jalan Menteri Soepeno pada hari Minggu
Dalam perkembangannya, PKL mobile bertambah banyak,
terutama yang menjalankan usaha berdagang sayur-sayuran. Di Semarang, mereka yang berdagang sayur-sayuran jumlahnya
lebih dari 100 pedagang. “Benar pak, jumlahnya kurang lebih
ada 100 pedagang”, kata Sunarto. Di Pasar Projo Ambarawa, Kabupaten Semarang, para pedagang sayur-sayuran tersebut
jumlahnya kurang lebih 150 orang. Pagi sekali, sekitar jam 02.00 mereka sudah berkumpul di pasar untuk “kulakan” sayur-
sayuran dan jam 04.00 atau 05.00 mereka sudah meluncur mendekati para pelanggannya.
Dalam dua atau tiga tahun terakhir, di Semarang muncul fenomena baru, yaitu PKL yang berdagang dengan
menggunakan mobil untuk sarana berjualan. Mereka kebanyakan tidak termasuk PKL miskin yang bekerja sekedar
untuk bertahan hidup. Mobil yang dipakai bervariasi, ada yang menggunakan mobil Toyota Kijang, mobil Avanza, mobil
Suzuki Futura, mobil sedan, mobil Daihatzu Zebra, dan banyak di antaranya yang menggunakan motor roda tiga merek Tossa
yang sudah diubah bentuknya untuk keperluan berdagang.
222
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dagangan yang mereka jual bervariasi, mulai dari sayur- sayuran, buah-buahan, makanan kering, minuman, beras,
pakaian, hingga alat-alat perkakas rumah tangga dan pertanian.
Dari mobil yang digunakan, penampilan penjual, dan volume barang dagangan, tampak bahwa para pedagang ini
tidak tergolong kelompok masyarakat miskin. Setidaknya mereka membutuhkan modal besar untuk berdagang. Tidak
diketahui apakah mereka berjualan dengan menggunakan mobil untuk mencari keuntungan semata-mata karena sulitnya
bersaing dengan pelaku usaha sektor formal atau ada suatu strategi meraih untung tanpa dikenai pajak yang membebani
mereka. Jika mereka berdagang untuk mencari untung, dengan menghindari pajak, maka benar kiranya apa yang diteliti oleh
Sookram dan Watson bahwa banyak pengusaha terjun ke sektor informal agar dapat menghindari pajak.
Pedagang kaki lima mobile ini memiliki motif yang
bermacam-macam. PKL
yang sarana
berdagangnya menggunakan mobil, umumnya didasari oleh motif untuk
mendekati konsumen dalam arti ekonomi. Demikian juga PKL sayur-sayuran yang menggunakan sepeda motor, motif
utamanya adalah “jemput bola”, yaitu mendekati konsumen agar dagangannya cepat laku Handoyo 2011. Selain karena
cepat laku, pedagang sayur berdagang berkeliling, juga disebabkan oleh faktor lainnya, seperti mudah bergerak dari
satu tempat ke tempat lainnya, lebih bebas, tidak ada retribusi, dan tidak terpengaruh oleh cuaca dagangan tetap laku.Lama
kelamaan karena sering datang ke perumahan, maka pedagang sayur akhirnya memiliki pelanggan. Adanya pelanggan inilah
yang membuat kelangsungan usahanya tetap terjaga. Gambar berikut menunjukkan seorang pedagang sayur keliling yang
sedang melayani pembeli di sebuah perumahan.
223
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 18. Seorang Pedagang Sayur Keliling sedang
melayani pembeli
B. Kontribusi Ekonomi Sektor Informal dan Pedagang Kaki