223
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 18. Seorang Pedagang Sayur Keliling sedang
melayani pembeli
B. Kontribusi Ekonomi Sektor Informal dan Pedagang Kaki
Lima PKL Sektor informal, khususnya PKL, dalam sistem ekonomi
kontemporer modern bukanlah suatu gejala negatif sebagaimana argumen yang menolak PKL, tetapi lebih sebagai
realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional
Effendi 1997:1. Pedagang kaki lima PKL sebagai korban dari kelangkaan kesempatan kerja produktif di kota, sehingga PKL
dipandang sebagai jembatan terakhir bersama berkembangnya proses urbanisasi Mustafa 2008:57.
Dukungan mengenai peran positif dari PKL disuarakan pula oleh Morrell,dkk 2008:7 dalam kajiannya tentang sektor
informal di kota Surakarta dan Manado. Hasil penelitian di Surakarta menunjukkan bahwa aktivitas sektor informal tidak
hanya mengisi fungsi ekonomi, tetapi juga memberikan pendidikan, mobilitas sosial, dan meningkatkan jaminan bagi
224
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
anak-anak mereka. Harris sebagaimana dikutip Amin 2005 menunjukkan bukti bahwa efisiensi yang dimiliki oleh sektor
informal dapat mengurangi tingkat kemiskinan urban.
ILO juga menemukan bahwa sektor informal mampu menyerap migran pedesaan Amin 2005. Demikian pula,
Kutcha-Helbling sebagaimana dikutip Kayuni and Richard I.C. Tambulasi 2009:81 dalam sebuah penelitian tentang pedagang
kaki lima di Malawi, Afrika, mengungkapkan bahwa sejumlah besar sektor informal memiliki konsekuensi serius terhadap
aktivitas
sektor privat,
pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan, serta konsolidasi demokrasi. Kayuni and
Richard I.C. Tambulasi 2009 pun yakin bahwa sektor informal memainkan peran kritis dalam pembangunan sebuah bangsa.
Aspek positif dari sektor informal dan PKL khususnya, dapat dilihat dari kontribusi nyata yang diberikan sektor
informal terhadap penyerapan tenaga kerja, GDP, dan lain-lain. Meskipun banyak pihak yang memandangnya sebagai pencipta
kemacetan dan pengganggu ketertiban kota, namun sumbangan positif sektor informal dan PKL tidak diragukan.
Menurut catatan Bromley 2000, pedagang kaki lima street vendors berkontribusi pada aktivitas ekonomi dan
penyediaan layanan. Nirathron 2006 dalam penelitian tentang PKL di Bangkok menghasilkan tiga temuan 1 PKL
menciptakan kesempatan untuk memerangi kemiskinan, 2 PKL merupakan sarana untuk mengakumulasi modal, dan 3
PKL mendukung penghasilan dan keterampilan kewirausahaan.
Pada tahun 1993 World Bank melaporkan bahwa sektor formal hanya mampu menampung 32 dari populasi tenaga
kerja, sedangkan sisanya 68 ditampung di sektor informal. Becker 2004:3 menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor
informal adalah 70 di Sub Afrika Sahara, 62 di Afrika Utara, 60 di Amerika Latin, dan 59 di Asia. Ini menunjukkan
225
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
bahwa sektor informal menampung angkatan kerja lebih banyak daripada sektor formal.
Studi terbaru yang dilakukan oleh Schneider menunjukkan bahwa sektor informal di negara-negara berkembang memberi
kontribusi kepada GDP sebesar 20 hingga 70 Sookram and Watson 2008. Di Amerika dan Jepang, sumbangan sektor
informal terhadap GDP hanya 10, tetapi di negara-negara berkembang seperti Meksiko dan Thailand sumbangannya
kepada GDP jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 50 dan 70 Quintin 2008.
Gerxhani 2004 dalam penelitiannya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan studi Schneider dan Sookram
mengenai sumbangan sektor informal terhadap GNP. Di Asia, sumbangan sektor informal terhadap GNP sebesar 35, di
Amerika Latin sebesar 39, dan di Afrika sumbangannya sebesar 44. Data yang dikumpulkan UNESCAP dan UN-
HABITAT 2008 menunjukkan bahwa di Asia, sekitar 65 dari lapangan kerja
non-agricultural adalah di sektor pertanian dan kontribusi sektor informal terhadap PDRB Asia sebesar 31.
Di India, mayoritas besar tenaga kerja bermatapencaharian dari sektor informal Saha 2009. Hal ini dapat dilihat dari
survai nasional terbaru yang menginformasikan bahwa pada tahun 2004-2005 angkatan kerja sektor informal sebanyak 422
juta pekerja atau 92 dari total angkatan kerja sebesar 457 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja sektor informal tersebut,
mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima sebanyak 10 juta orang, 250.000 orang diantaranya ada di Mumbai.
Pedagang kaki lima ini, menurut Saha 2009 memainkan peran penting dalam perekonomian urban di India dengan
menyediakan pekerjaan, pendapatan, dan kontribusi lainnya. Tidak jauh dengan data pekerja sektor informal di India, di
Venezuela pekerja yang terjun ke sektor informal lebih dari
226
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
50 dan 30 di antaranya melakukan kegiatan perdagangan Jaffe, et al. 2007.
Di Vietnam, sektor informal berperan sebagai sumber matapencaharian dan peningkatan pendapatan setelah krisis
keuangan tahun 1998 Tran 2000. Di Bangkok, jumlah orang yang bekerja di sektor informal diperkirakan 390.600 pekerja,
26.733 orang diantaranya bekerja sebagai pedagang makanan jalanan Nirathron 2006. Seperti halnya di Vietnam, selama
krisis ekonomi di Thailand, PKL dipandang sebagai solusi bagi para penganggur dan biaya hidup yang tinggi. PKL dan sektor
informal lainnya berfungsi bagai busa
sponge yang mampu menyerap surplus tenaga kerja yang terlempar dari sektor
formal. Beberapa kajian dan penelitian di atas memberikan bukti
bahwa sektor informal dan pedagang kaki lima PKL merupakan pelaku ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh
dan kontribusinya cukup besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam perspektif makro, sektor informal dan
PKL memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi para migran
pedesaan maupun warga perkotaan, serta mengurangi atau menekan kemiskinan. Dalam perspektif mikro, sektor informal
dan
PKL meningkatkan
pendapatan bagi
pelakunya, memberikan jaminan kehidupan bagi keluarga dan anak-
anaknya, serta
memupuk dan
mengembangkan jiwa
kewirausahaan. Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sektor
informal di Indonesia masih mendominasi seluruh angkatan kerja. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, penduduk yang
menggantungkan diri pada sektor informal sebagai sumber utama pekerjaan dan penghasilan diperkirakan 60 dari total
tenaga kerja Suharto 2002:116.
227
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan sebagai pelumas ekonomi nasional. BPS menunjukkan bahwa
sektor informal menyumbang sekitar 74 terhadap kesempatan kerja pada tahun 1985, meskipun pada tahun-tahun berikutnya
cenderung berkurang, yaitu 72 pada tahun 1990, 65 pada tahun 1998, dan pada tahun 2002 turun lagi menjadi 49 dari
91.647.166 tenaga kerja Mulyanto 2007.
Pada tahun 1993, persentase rumahtangga miskin yang bekerja di sektor informal sangat tinggi, yakni 74 dari total
rumahtangga miskin Suharto 2002. Sektor informal Indonesia yang diwakili oleh usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM
menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto PDB tahun 2005 dan 19 persen dari total ekspor Samhadi 2006:33.
Meskipun diindikasikan sebagai perusahaan berskala kecil, tetapi kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan.
Pada tahun 2004, BPS memperkirakan bahwa jumlah entitas bisnis yang dikategorikan sebagai entitas non-legal usaha
mikro, kecil, dan menengah adalah 17 juta unit bisnis, dengan total pekerja informal 30 juta dan total produksi senilai Rp537
milyar Zen dan Restu Mahyuni ed 2007:42.
Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima PKL terhadap PDRB
Surabaya pada
tahun 2003
adalah sebesar
Rp292.363.548.750,00 atau 0,57 dari nilai total PDRB kota Surabaya Zakik 2006:103. Di kota Semarang, Dinas Pasar
menginformasikan bahwa pedagang kaki lima PKL menyumbang pendapatan asli daerah PAD sebesar 1,5 milyar
pada tahun 2004 dan tahun 2005 sumbangannya meningkat menjadi
6 milyar
rupiah Simpul
Semarang dalam
http:www.prakarsa-rakyat.orgartikelinisiatifartikel.php?aid =22432.
Pada tahun 2009, Pemkot Semarang mentargetkan pendapatan dari retribusi sewa lahan dan kebersihan PKL
sebesar Rp1.560.400.500,00
dan realisasinya
sebesar
228
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Rp1.394.308.200,00. Jika dibandingkan jumlah pendapatan asli daerah
PAD pada
tahun yang
sama sebesar
Rp1.369.670.792.942,00, maka persentase kontribusi ekonomi PKL terhadap PAD sebesar 0,102. Jumlah pendapatan dari
retribusi PKL pada tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan. Data pendapatan dari retribusi PKL dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 11. Pendapatan Pemkot Semarang dari Retribusi PKL Tahun
Target dalam Rupiah Realisasi dalam Rupiah
2009 1.560.400.500,00
1.394.308.200,00 2010
2.060.399.000,00 1.587.798.725,00
2011 2.517.949.401,00
1.684.885.650,00 2012
2.832.693.750,00 -
Sumber: Wawancara dengan Pak Azis Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Kota Semarang tanggal 31 Januari 2012
Realisasi retribusi PKL tahun 2011 di atas lebih besar daripada realisasi sumbangan ekonomi PKL tahun 2009 dan
2010. Realisasi retribusi PKL tersebut juga lebih tinggi daripada realisasi retribusi PKL tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana
dilaporkan Kamal 2008, retribusi PKL tahun 2001 sebesar Rp1,1 juta; tahun 2002 sebesar Rp1,3 juta; tahun 2003 sebesar
Rp1, 5 juta dan tahun 2004 sebesar Rp1,6 juta. Tahun 2004 retribusi PKL mencapai angka Rp1,6 juta melebihi realisasi
retribusi PKL tahun 2009 sebesar Rp1,4 juta. Namun dengan mengabaikan pengecualian pada tahun 2009, sumbangan
ekonomi PKL terhadap pendapatan asli daerah kota Semarang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ini artinya,
keberadaan PKL adalah riil memberi manfaat, sehingga fasilitasi dan pembinaan terhadap PKL sangat diperlukan agar mereka
dapat mengembangkan usahanya, demi memenuhi kebutuhan keluarga dan pada gilirannya memberi sumbangan positif bagi
perekonomian kota Semarang.
Sumbangan ekonomi PKL kepada pendapatan asli daerah PAD Kota Semarang, tidak hanya berasal dari PKL yang sudah
terorganisasi atau dilegalisasi oleh Pemkot, tetapi juga ditarik
229
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
dari PKL yang tidak terorganisasi atau liar. PKL Sampangan dan Basudewo yang pada saat penelitian tahun 2009-2011
dipandang liar, sesungguhnya mereka memiliki izin untuk berjualan yang dikeluarkan Camat setempat dan ditarik
retribusi sebesar Rp1.000,00 per hari. Retribusi ini dihentikan, sejak ada kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot pada
tahun 2009.
Selama tahun 2009-2011 terjadi beberapa kali penertiban dan penggusuran di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,
dengan tujuan supaya PKL bersedia pindah ke lokasi yang telah disediakan Pemkot, namun kebijakan Pemkot tersebut
ditentang dan diabaikan oleh PKL. Untuk memudahkan proses relokasi tersebut, Pemkot tidak menarik retribusi hingga
mereka bersedia pindah. PKL Basudewo yang akhirnya bersedia direlokasi ke sentra PKL Kokrosono, kini sudah ditarik retribusi
oleh Pemkot. “Sejak pindah ke sini, kita sudah ditarik iuran pak”, demikian ungkap pak Achmad wawancara dengan pak
Achmad, Rabu, 8 Pebruari 2012.
Penarikan retribusi kepada PKL, baik yang sudah terorganisasi maupun yang belum, menunjukkan bahwa PKL
memiliki kontribusi terhadap capaian pendapatan asli daerah PAD kota Semarang meskipun jumlahnya tidak terlalu
signifikan.
Meskipun tidak sebesar kontribusi ekonomi PKL Surabaya, tetapi sumbangan PKL Semarang cukup signifikan, karena
besaran retribusi PKL tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah kota untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Ini menunjukkan, bahwa meskipun sikap pemerintah kota terkadang ambivalen, tetapi keberadaan sektor informal,
khususnya PKL tetap diperhitungkan karena sumbangannya terhadap pendapatan asli daerah PAD cukup signifikan.
Jikalau tidak memberikan sumbangan yang besar dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah PAD seperti yang
230
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
diperlihatkan beberapa kota besar lainnya, namun penghasilan PKL dapat digunakan oleh pedagang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan mendukung kehidupan kelompok marginal lainnya, seperti tukang parkir, pengemis, dan
pengamen. Keberadaan PKL juga tidak membebani anggaran pemerintah kota, bahkan dilihat dari aspek penyerapan tenaga
kerja tidak terdidik, PKL memberi kontribusi dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan stabilitas ekonomi kota.
Dari penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, tampak bahwa kontribusi ekonomi PKL cukup signifikan untuk
membangun ekonomi keluarga dan masyarakat sekitar. Kontribusi yang paling dominan adalah membangun ekonomi
keluarga. Yang dimaksud dengan membangun ekonomi adalah bagaimana PKL yang secara sosiologis merupakan strata atau
lapisan kelas menengah ke bawah mampu memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menggunakan sumber daya
terbatas yang ia miliki.
Ekonomi adalah perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan
memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi
berbagai komoditi
untuk kemudian
menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada para individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat
Samuelson dan William D. Nordhaus 1994:5. Dalam konsep ekonomi ini terdapat komponen penting, yakni 1 individu
atau kelompok memiliki sumber daya yang terbatas atau langka, 2 keinginan dan kebutuhan individu atau kelompok
masyarakat tidak terbatas, 3 mereka dihadapkan pada berbagai pilihan, 4 untuk menggunakan sumber daya serta melakukan
kegiatan produksi dan konsumsi.
Pedagang kaki lima PKL sebagai salah satu pelaku ekonomi di sektor informal, dihadapkan pada keterbatasan
yang dimiliki, seperti pendidikan yang relatif rendah,
231
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
keterampilan yang kurang, tidak memiliki sumber daya yang memadai, misalnya tanah dan bangunan, sementara mereka
harus hidup dan menghidupi keluarganya, sehingga sesuai dengan konsep ekonomi tersebut, mereka harus memilih tetap
berada di kota dengan segala keterbatasan yang dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau harus kembali
ke desa asal tetapi dengan lapangan pekerjaan yang makin sempit yang belum tentu dapat menampung mereka.
Ini adalah sebuah dilema sekaligus pilihan sulit bagi para PKL. Umumnya para PKL sudah cukup lama tinggal di kota
Semarang dan sebagian besar telah berkeluarga dan mempunyai tanggungan keluarga. Pilihan yang mungkin bagi mereka
adalah tetap tinggal di kota meskipun terpaksa harus mencari pendapatan dengan memanfaatkan ruang publik yang dilarang
oleh pemerintah kota.
Sejak puluhan tahun yang lalu, utamanya setelah banyak berdiri perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan, maka
daerah Sampangan, yakni pasar dan sekitarnya sangat ramai menjadi lalu lintas kendaraan dan orang, tidak hanya pada pagi
hari tetapi juga pada malam hari. Ibarat sarang madu, Sampangan menjadi pilihan bagi para pedagang untuk
berjualan, demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sebelum terjadinya penggusuran besar-besaran pada bulan Maret 2010, wilayah Sampangan, khususnya daerah pinggir
sungai Kaligarang, cukup banyak para pedagang yang menjalankan aktivitas ekonomi, terutama adalah berdagang
nasi di malam hari. Jumlah pedagang pada saat penggusuran tidak kurang dari 30 orang. Atas nama proyek pembangunan
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjirkanal Barat, pemerintah provinsi Jateng memberi perintah kepada
pemerintah kota untuk membersihkan wilayah Sampangan yang padat dipenuhi para PKL. Alhasil, pada bulan Maret 2010,
PKL Sampangan digusur. Seluruh bangunan semi permanen
232
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan lapak mereka diratakan dengan tanah, dan sejak itu mereka pindah sementara ke arah selatan bergeser sedikit, kurang
lebih 15 meter dari lokasi semula.
Pasca penggusuran, pedagang yang menjalankan usaha pada malam hari tidak kurang dari 10 orang, tetapi dengan
berjalannya waktu kini sudah ada 15 orang yang masih berdagang nasi dan usaha lainnya pada malam hari. Mereka
yang berdagang pada malam hari di antaranya adalah warung tenda biru, warung sederhana, warung penyet monggo mampir,
warung lombok ijo mbak Tari, warung sate, warung ayam goreng bang Zuri, warung bebek goreng pak Ragil, warung
penyet mbak Yani, depot ayam goreng, warung nasi gandul, warung seafood Lamongan. Selain warung makan tersebut, juga
turut membuka usaha, yaitu penjual pakan burung dan penjual kue terang bulan.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 19. Para PKL Sampangan yang berdagang pada
malam hari
Pada siang hari, lapak yang ada digunakan PKL untuk berdagang gado-gado dan es cendol. Jumlah pedagang makanan
233
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
dan minuman ini tidak banyak. Sebagian besar lapak dimanfaatkan PKL untuk membuka usaha bengkel sepeda dan
sepeda motor, tambal ban, serta las listrik dan tukang drat. Sesuai kesepakatan para PKL, mereka berbagi tempat dan
waktu.
Mereka yang berdagang dan menjual jasa di siang hari boleh menggunakan lapak yang sama yang digunakan oleh
pedagang malam hari hanya sampai jam 15.00; sedangkan PKL yang berdagang pada malam hari baru akan menyiapkan barang
dagangan sore setelah aktivitas PKL siang hari sudah selesai. PKL yang berdagang pada malam hari biasanya selesai jam
23.00 atau ketika dagangannya sudah habis. Kebersihan lokasi berdagang ditanggung bersama. PKL yang berdagang pada siang
hari, selesai berdagang segera membersihkan sampah supaya PKL malam hari dapat berdagang dengan nyaman, begitu pula
sebaliknya, PKL malam hari selesai beraktivitas juga membersihkan lokasi berdagang dan membuang sampah.
“kita memang sudah ada kesepakatan pak, lapak bisa digunakan bersama oleh pedagang, bahkan siapa pun yang
ingin berdagang di sini…tentu tidak semuanya bisa tertampung…yang diutamakan adalah mereka yang
dahulu digusur dan boleh berdagang di sini. Aturannya, yang pagi dan siang boleh berdagang sampai jam 15.00 dan
mereka harus sudah membersihkan lapak, sedangkan malam harinya digunakan kita yang menjalankan usaha
warungan” wawancara dengan Agus, Minggu, 15 Januari 2012.
Pada malam harinya, mereka yang berdagang nasi tidak pernah sepi dari pembeli, apalagi lokasi sentra PKL Sampangan
ramai dan padat lalu lintas. Di sekitar lokasi tersebut, terdapat toko besar, seperti Super Swalayan yang juga tidak pernah sepi
dari pembeli. Toko-toko kecil juga ada, seperti toko alat tulis kantor, toko mebel, toko penjual onderdil motor dan mobil,
toko afdruk dan cetak foto, toko sandal dan sepatu, dan toko-
234
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
toko kecil lainnya. Di Sampangan juga terdapat Pusat Kebugaran dan Hiburan Karaoke, yang ramai dikunjungi
pengunjung pada malam hari. Adanya pom bensin juga menambah ramainya lokasi PKL Sampangan.
Lokasi PKL Sampangan yang strategis ini juga ditunjang oleh keberadaan perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan,
seperti Akademi Sekretaris Santa Maria, Akademi Komputer GEGA ALFABANK, Stikubank Semarang, IKIP Veteran,
Sekolah Tinggi Farming Semarang, Akademi Pelayaran Nasional AKPELNI Semarang, UNTAG Semarang, Akademi
Pariwisata AKPARI Semarang, dan Sekolah Tinggi Ekonomi Semarang dahulu bernama AKOP Semarang. Di Sampangan
dan sekitarnya juga terdapat warung makan yang ditata seperti café selain warung tenda PKL. Jumlahnya juga cukup banyak,
mulai dari warung nasi ayam goreng hingga warung nasi padang. Para mahasiswa yang berada di sekitar Sampangan
maupun mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan Akademi Kebidanan yang berada di Gunungpati turun ke Sampangan
untuk makan atau mencari pusat-pusat hiburan.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 20. Suasana PKL Sampangan yang padat lalu lintas
235
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Dokumen Pribadi. Gambar 21. Para PKL Sampangan yang berjualan di siang hari
Selain untuk menghidupkan perekonomian di wilayah Sampangan, usaha PKL Sampangan juga berkontribusi dalam
memenuhi kebutuhan keluarga PKL. Tukang parkir yang jumlahnya lebih dari 5 orang juga dapat merasakan keuntungan
dari aktivitas perdagangan yang dilakukan para PKL.
Pak Muriman 56 tahun merupakan salah seorang PKL yang cukup berhasil di wilayah Sampangan. Ia telah menikah
dua kali. Istri pertama meninggal dunia ketika ia sedang merintis usaha berdagang gado-gado. Dari pernikahan istri
pertama meninggal dunia dan istri kedua, ia dikaruniai 5 orang anak. Semuanya sudah sekolah, bahkan 2 di antaranya
sudah menikah. Bagi masyarakat Sampangan dan sekitarnya, gado-gado pak Man, demikian panggilan akrabnya, terbilang
enak.
Pak Man sudah menjalankan usaha jualan gado-gado sejak 20 tahun yang lalu. Pendapatan bersih pak Man tidak kurang
dari Rp100.000,00 per hari. Itu terjadi sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 yang lalu. Dari usaha berjualan
236
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
gado-gado, pak Man bisa membeli mobil Katana seharga Rp25.000.000,00, sebuah rumah di Gunung Talang, dan bisa
membelikan perhiasan bagi istrinya. Pada awal merintis usaha, modal pak Man Rp5.000.000,00. Tanah tempat usahanya dibeli
dengan harga Rp800.000,00 dan ia dirikan warung menghabiskan dana Rp5.000.000,00.
Sebelum krisis tahun 1997 aset pak Man tidak kurang dari Rp100.000.000,00. Sebelum terjadi penggusuran pada tahun
2009, pak Man menjual mobil Katana dan menggantinya dengan membeli mobil Kijang keluaran tahun 1980-an seharga
Rp10.000.000 dan dengan tambahan anggaran Rp10.000.000,00, mobil tersebut disulap menjadi mobil yang dapat dipakai untuk
mengangkut barang dan gado-gado yang akan dijual. Ketika ditanya mengapa mobil Katana dijual dan diganti mobil bekas
yang tahunnya lebih tua, pak Man menjawab seperti berikut.
”mobil Katana hanya bisa digunakan untuk mengangkut barang saja, setelah itu barang harus diturunkan,
dimasukkan, dan ditata di dalam lapak…ini tidak efisien mas, karena itu saya jual dan sebagai gantinya saya
membeli mobil kijang bekas…harganya sih murah hanya Rp10.000.000,00, tetapi saya desain menjadi tempat
berdagang, jadinya kalau dihitung ya…mobil itu senilai Rp20 jutaan. Mobil kijang ini lebih bermanfaat mas,
karena dapat saya gunakan untuk mengangkut barang sekaligus saya jadikan sebagai tempat untuk jualan,
sehingga saya bisa menghemat tempat. Lagipula kalau ada penertiban, saya bisa langsung membawa pulang mobil
tersebut
beserta barang-
barang dagangan
saya” wawancara dengan pak Muriman, 10 Desember 2010.
Setelah penggusuran pada bulan Maret 2009, pak Man yang biasanya berjualan di tepi bantaran sungai Kaligarang, untuk
beberapa saat memindah lokasi berjualan ke arah selatan satu kompleks dengan pasar Sampangan. Kios baru tersebut ia sewa
2 tahun senilai Rp10 juta. Untuk itu, ia harus menjual mobil kijang dan laku Rp16 juta. Sepinya pembeli membuat pak Man
kembali lagi ke tempat semula hingga kini. “Sekarang ini,
237
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
dagangan sepi mas…bisa dapat Rp50.000,00 per hari sudah hebat”, demikian pengakuan pak Man.
Dari hasil berjualan gado-gado, pak Man bisa menabung dan sebagian dibelikan sebidang tanah senilai Rp12 juta pada
tahun 2006. Dua anak sudah ia nikahkan, bahkan salah seorang menantunya sekarang turut membantu usaha dagang pak Man.
Meskipun tidak seramai dahulu, pak Man tetap berdagang di tepi bantaran sungai Kaligarang hingga kini. Warung yang
disewa pak Man kini sudah hancur rata dengan tanah sejak kepindahan pasar Sampangan ke lokasi baru, sehingga pak Man
kembali berdagang di jalanan untuk sementara waktu. Satu- satunya alasan mengapa pak Man tetap bertahan di jalanan,
adalah karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dua puluh lima tahun yang lalu wilayah Sampangan tidak begitu ramai. Perekonomian belum tumbuh seperti saat ini,
dikarenakan toko-toko besar dan kecil belum ada. Perguruan tinggi yang ada di sekitar Sampangan baru ada tiga, yaitu
Stikubank, Akpari, dan AKA. Pom Bensin yang menjadi tempat transit pengendara mobil dan sepeda motor belum dibangun.
Kini dengan telah berkembangnya toko-toko di Sampangan dan sekitarnya serta makin banyaknya perguruan tinggi yang
didirikan di sekitar Sampangan, menjadikan Sampangan sebagai sentra ekonomi penting selain pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi di kota Semarang.
Perekonomian yang tumbuh di wilayah Sampangan, dimungkinkan karena adanya pasar tradisional, Pom Bensin,
perguruan tinggi, dan puluhan toko di sekitarnya, selain dinikmati para PKL, juga dirasakan manfaatnya oleh tukang
parkir.
Pada siang hari di wilayah Sampangan terdapat 6 tukang parkir, seorang bekerja di depan toko Alfamart, 2 orang di
depan pasar, 1 orang di depan warung Soto pak Man, 1 orang di depan toko Swalayan Super, dan seorang lagi mengais rezeki di
238
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
depan PKL Sampangan di tepi bantaran sungai Kaligarang. Tukang parkir yang berjaga pada pagi hari di area PKL
Sampangan tidak begitu ramai, karena pada siang hari PKL yang berdagang hanya ada beberapa, seperti penjual gado-gado,
penjual minuman, penjual pakan burung, dan beberapa lainnya menjalankan jasa las dan bengkel sepeda motor.
Wilayah Sampangan sangat ramai, terutama pada malam hari. Pada saat ramai, tidak kurang dari 100 sepeda motor
diparkir di depan warung-warung makan di Sampangan. Biasanya warung ramai selama tiga hari, yakni hari Sabtu,
Minggu, dan Senen. Jika hanya diambil 3 hari saja, maka penghasilan
tukang parkir
per bulan
adalah 3x4x100xRp1.000,00 = Rp1.200.000,00 sebuah penghasilan yang
lumayan besar dibandingkan harus bekerja sebagai pelayan toko, yang pendapatan per bulan kurang dari Rp1.000.000,00.
Tanpa harus banyak kerja keras, dibandingkan para PKL yang menjual nasi, makanan, dan minuman; tukang parkir hanya
bermodalkan seragam kuning dan peluit bisa memperoleh penghasilan lebih baik. Sungguh ironi. Itulah kehidupan di
jalanan, yang terkadang jika dipahami rasanya tidak adil bagi PKL yang harus kerja keras dan membutuhkan modal untuk
membuka usahanya. Meskipun demikian, para pedagang tidak menaruh perasaan iri kepada tukang parkir. “Biarlah pak,
mereka juga butuh makan…rezeki sudah ada yang mengatur”, demikian ungkap mas Agus.
Penghasilan tukang parkir yang berjaga pada siang hari tidak sebesar pendapatan tukang parkir yang bertugas di malam
hari. Hal ini disebabkan 1 tidak semua lahan dipakai pedagang, 2 jumlah tukang parkir pada siang hari lebih
banyak, dan 3 pada siang hari hanya ada 2 pedagang nasi dan gado-gado, lainnya adalah penjual pakan burung, tukang tambal
ban, penjual minuman, tukang las, tukang drat, dan penjual bahan bangunan, yang pengunjungnya tidak seramai pembeli
pada malam hari.
239
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Bu Zuhri merupakan pedagang nasi ayam dan bebek goreng yang sudah cukup lama berjualan di Sampangan, yakni sejak
tahun 1993. Ia dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama, kedua, dan ketiga adalah perempuan, sedangkan bungsunya laki-laki.
Dari empat anak tersebut, dua sudah menikah, sedangkan dua lainnya belum. Tahun 2000 suami bu Zuhri meninggal dunia,
dan sejak saat itu ia harus menghidupi keluarganya sendirian. Dalam berdagang sehari-harinya, bu Zuhri dibantu oleh 2
orang anaknya dan seorang pembantu.
Penghasilan kotor bu Zuhri tiap harinya berkisar Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00. Dari penghasilan kotor
tersebut, ia dapat mengambil keuntungan bersih sebesar Rp200.000,00. Uang itu hanya cukup untuk mengontrak
rumah, yang dihuni oleh bu Zuhri, kedua anaknya, dua cucunya, dan seorang pembantu. Harta benda yang dipunyai bu
Zuhri tidak banyak, yakni satu sepeda motor untuk anak laki satu-satunya dan perhiasan.
Dahulu sebelum tempat berdagangnya digusur, bu Zuhri memiliki mobil bak terbuka
untuk mengangkut barang dagangan dan sepeda motor.
“Sebelum pindah ke sini, kita punya sebuah mobil bak terbuka
…tidak baru sih pak dan sepeda motor Honda Mega-Pro, tetapi karena penggusuran, mobil dan honda
dijual untuk membangun lapak di sini pak, ya saya mengalah akhirny
a dibelikan sepeda motor butut ini”, kata Agus, anak laki-laki satu-satunya wawancara dengan
Agus, tanggal 17 Desember 2010.
PKL Basudewo memiliki karakteristik yang berbeda dengan PKL Sampangan. Para PKL menempati area persis di tepi sungai
Banjir Kanal Barat, dari arah selatan dekat jembatan Lemahgempal menuju arah utara dekat jembatan Banjir Kanal
Barat. Pedagang kaki lima PKL yang menjalankan usaha di Basudewo jumlahnya kurang lebih 65 orang PKL, 36 orang di
antaranya berusaha sebagai pengrajin mebel, lainnya adalah penjual bambu, penjual es tape, penjual mie ayam, penjual
bensin eceran, penjual nasi, penjual anak ayam dan burung, penjual rokok dan makanan kecil, dan beberapa di antaranya
membuka usaha perbengkelan dan las mobil dan sepeda motor.
240
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sebelum terjadi penggusuran besar-besaran pada tahun 2010, aktivitas ekonomi di Basudewo berjalan seperti biasa.
Para pengrajin mebel yang kebanyakan berasal dari Mranggen Demak sehari-harinya tidak pernah sepi dari pembeli. Selain
harga mebel yang dijual relatif murah, juga kualitasnya tidak kalah dengan mebel yang dijual di toko-toko mebel di
Semarang. Demikian pula, mereka yang berdagang nasi, mie ayam, dan rokok tidak pernah sepi dari pembeli. Hal ini
dimungkinkan karena lokasi PKL Basudewo berada pada jalur lalu lintas ramai, yaitu berada di antara seberang perempatan
Lemah Gempal dan perempatan Banjir Kanal Barat. Di sebelah timur jalan Basudewo juga terdapat beberapa pedagang nasi,
pedagang pakan burung, penjual mebel, tukang cukur,
show room mobil, dan sebuah Sekolah Dasar, yang keberadaannya
turut mendukung keramaian suasana dan aktivitas di sekitar Basudewo.
Pak Achmad merupakan salah satu pedagang kaki lima PKL di Basudewo yang memiliki keuletan luar biasa. Sebelum
terdampar sebagai PKL, pak Achmad sebelumnya merupakan seorang tukang jahit. Sebelum berdagang di Basudewo, ia
merantau ke Jakarta dan menjadi tukang jahit dari perusahaan kain dan jahit ternama, yaitu Nyata Plaza. Dalam seminggunya,
ia bisa mengantongi uang tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Setelah tidak lagi dipakai Nyata Plaza, pak Achmad merantau
ke Surabaya dan Wonogiri, sebelum akhirnya berjualan nasi bersama istrinya di Basudewo di tepi sungai Banjir Kanal Barat.
Warungnya dibuat semi permanen, separo bahannya adalah batu bata, dinding selebihnya dari bambu dan beratapkan
genteng. Lantai warungnya bahkan sudah dikeramik. Untuk keperluan masak, mandi dan cuci, pak Achmad telah membuat
sumur di belakang warung, tepatnya di tepi sungai.
Pak Achmad menjadikan warung sebagai tempat usaha, juga sekaligus sebagai tempat tidur dan beristirahat bersama
istrinya. Penghasilan pak
Achmad per hari
adalah Rp100.000,00. Dari sisa-sisa tabungan dan usaha berjualan nasi,
pak Achmad bisa membelikan sepeda motor untuk anak- anaknya. Ia juga memiliki beberapa rumah, namun uang untuk
241
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
membeli rumah tersebut diambilkan dari tabungan selama ia bekerja sebagai penjahit di Jakarta. Rumah tersebut ditempati
anak-anaknya, sedangkan ia dan istrinya rela berdesak-desakan tidur di warung.
Dari berjualan nasi, pak Achmad bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dari tujuh anaknya, seorang sudah lulus
perguruan tinggi sekarang sudah menjadi guru, seorang kuliah di Undip, seorang lagi masih sekolah di SMA, dan
lainnya sudah bekerja. Selain memiliki 7 anak kandung, pak Achmad juga mengasuh seorang anak yang sehari-harinya
hidup menumpang bersama pak Achmad. Anak asuh inilah yang sehari-hari turut membantu usaha pak Achmad, selain
berdagang anak ayam dan burung. Sikap pasrah, “nrimo ing pandum
”, dan jiwa sosialnya yang tinggi, membuat pak Achmad memiliki banyak relasi dan masih bisa bertahan hidup
sebagai PKL.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 22. Warung makan pak Achmad di Basudewo
Selain pak Achmad, seorang pedagang kaki lima yang memiliki daya tahan luar biasa di Basudewo adalah pak
Suliman. Meskipun umurnya sudah 60 tahun, pak Suliman
242
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memiliki badan cukup kekar dan sehat. Pak “Leman”, panggilan akrabnya, adalah seorang pedagang lulusan SMEA, memiliki
seorang istri dan seorang anak sudah menikah. Selain sebagai pedagang bensin eceran dan makanan kecil, pak Leman juga
bekerja sebagai mandor atau bas borong bangunan. Sebelum jadi PKL, jauh sebelumnya pak Leman sudah bekerja sebagai
mandor bangunan, bahkan ia juga pernah menjadi penjual nasi. Ia menemani istri sebagai PKL di Basudewo kurang lebih
selama 12 tahun.
Seperti halnya pak Achmad, pak Leman juga memiliki warung sederhana, terbuat dari papan dan tripleks, lantainya
keramik bekas dan dindingnya dari genting bekas. Warung dibangun sendiri oleh pak Leman. Luas lahan yang ditempati
2x6 meter. Warung digunakan sebagai tempat usaha sekaligus juga tempat tidur, karena pak Achmad dan keluarga tidak
memiliki rumah sendiri, hanya menumpang kepada mertuanya.
Untuk membuka usaha dagang, pak Leman membuka tabungan senilai Rp5.000.000,00. Penghasilan pak Leman dari
berdagang bensin adalah Rp70.000,00 per hari. Dari bekerja sebagai pedagang, pak Leman bisa membeli sebuah sepeda
motor merek Honda Megapro. Kebutuhan keluarga pak Leman bisa dipenuhi dari berjualan bensin dan makanan kecil, seperti
diungkapkan berikut.
“dari jualan bensin dan usaha saya sebelumnya, selain bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya bisa
membeli sepeda motor Mega- Pro merek Honda pak, …istri
saya belikan kalung, gelang, dan cincin, tetapi karena ingin punya rumah sendiri, perhiasan istri saya jual dan laku
Rp2.500.000,00, lalu pada tahun 1985 saya belikan tanah senilai Rp1.500.000,00; tetapi dasar nasib lagi sial
pak…saya kena tipu, karena ternyata tanah yang dijual tersebut bukan milik penjualnya…ya hilanglah uang saya”
wawancara dengan pak Suliman, 11 Mei 2011.
Pak Leman termasuk salah seorang PKL Basudewo yang cukup berani dan mungkin boleh dikata agak dablek. Tempat
berdagangnya sudah digusur, tetapi demi menghidupi
243
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
keluarganya, pak Leman tetap berdagang di wilayah Basudewo, meskipun harus pindah tempat di sebelah timur jalan Basudewo
tidak jauh dari tempat berdagangnya semula.
“Saya memang sudah diberi tempat di Kokrosono, tetapi jauh dari rumah dan belum tentu laku pak; sedangkan di
sini sedikit-sedikit saya bisa dapat pe nghasilan…ya bisa
untuk hiduplah pak”, kata pak Leman.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 23. Pak Suliman dengan barang-barang dagangannya
Tidak seperti halnya lokasi PKL di Sampangan dan Basudewo yang cenderung agak rapi, lokasi PKL liar di
Kokrosono lebih semrawut. Lokasi PKL yang terletak di seberang jembatan Banjir Kanal Barat tersebut, memang
terbilang strategis. Sebelah barat menuju jalan Siliwangi yang sehari-hari ramai lalu lintasnya, ke arah timur menuju
Tugumuda juga ramai, dan demikian pula ke arah utara agak ke timur menuju jalan Indraprasta juga padat lalu lintas. Lokasi
PKL Kokrosono menuju utara hingga ke perumahan padat penduduk, seperti Surtikanti, Erowati, Tanggul Mas, Tanah
244
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Mas, dan lain-lain. Lokasi PKL Kokrosono tiap harinya tidak pernah sepi apalagi pada hari Sabtu dan Minggu.
Para PKL yang berdagang dan menjual jasa yang menjalankan aktivitas ekonomi jumlahnya tidak kurang dari
100 orang sebelum proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat dimulai. Kini, setelah proyek tersebut berjalan, jumlah
PKL berkurang, karena tepi jalan yang berbatasan dengan sungai sudah dipagari seng, sehingga banyak di antara mereka
yang tidak beroperasi lagi.
Sumber:Dokumen Pribadi Gambar 24. Suasana PKL Kokrosono sebelum proyek
normalisasi sungai dimulai
245
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 25. Suasana PKL Kokrosono setelah proyek
normalisasi sungai dimulai
Meskipun telah dimulai proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, para PKL Kokrosono masih berdagang seperti
biasa. Mereka yang berjualan barang-barang bekas, seperti kaset tape recorder bekas, kipas angin bekas, handphone bekas, dan
barang-barang elektronik lainnya masih berjualan meskipun harus berbagi dengan proyek. Gambar di atas menunjukkan, di
pinggir jalan berdekatan bantaran sungai yang sudah dipagari seng para pedagang tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pak Haji Mustaqim Abdul Rasyid 60 tahun merupakan salah seorang dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di
Kokrosono. Pak Haji yang sehari-hari berjualan ditemani sang istri, bekerja dengan menjual alat-alat pertukangan, rumah
tangga dan pertanian, seperti arit, bendo, gergaji, kunci pagar, gembok, drei, amplas, dan lain-lain. Dalam berdagang pak Haji
menggunakan sepeda motor roda tiga merk Tossa buatan China.
246
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pak Haji yang sudah berjualan kurang lebih 20 tahun lamanya telah menikmati hasil yang luar biasa, yang tidak
diduga oleh orang kebanyakan. Meskipun hanya berdagang di pinggir jalan, pak Haji bersama istri sudah 2 kali berangkat ke
tanah suci Mekah. Selain memiliki sebuah rumah, beliau juga mempunyai harta benda lainnya, seperti 2 sepeda motor,
televisi, perhiasan emas, dan yang lain.
Dari bekerja sebagai PKL, pak Haji memperoleh penghasilan kotor per hari tidak kurang dari Rp500.000,00 di
mana Rp100.000,00 ditabung, Rp35.000,00 untuk “sangu” uang
jajan 2 orang cucunya, dan sebagian lagi digunakan untuk makan dan kulakan. Pak Haji juga menyisihkan sebagian
penghasilannya, yakni 10 untuk sedekah atau amal sholeh. Berkaitan dengan amal sholeh ini, pak Haji menuturkan:
“Kerja memang sulit mas, dahulu kalau saya mau, saya bisa jadi tentara…mungkin jika berjalan lancar, pangkat saya
sekarang sudah Letnan Kolonel. Karena saya lebih suka berdagang, ya akhirnya seperti ini mas…jualan di pinggir
jalan, tetapi alhamdullilah bisa mencukupi kebutuhan istri, anak, dan cucu dan meskipun sedikit-sedikit saya bisa
menabung, beli sepeda motor, membelikan perhiasan untuk istri, dan yang penting pula bisa menunaikan ibadah
haji bersama istri ke tanah suci Mekkah. Rezeki saya lancar karena saya punya resepnya mas, yaitu harus berani
bersedekah
…”amal shodaqohe kudu lancar mas nek kepingin rezekine lancar
”. Sampai hari ini pun saya masih bisa berjualan dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga”
wawancara dengan pak Haji Mustaqim AR, 3 Agustus 2010.
Sosok pak haji Mustaqim dengan jiwa kedermawanannya menunjukkan bahwa ia memiliki apa yang disebut dengan
modal spiritual, meskipun sifatnya individual. Modal spiritual ini adalah kompetensi spiritual yang mengalirkan nilai-nilai,
seperti pelayanan, mementingkan orang lain, bijaksana, berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh
religi Tjondro Sugianto 2011. Nilai spiritual seperti pelayanan
247
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
dan mementingkan orang lain, dengan menyisihkan 10 dari penghasilan yang diperoleh pak Haji merupakan realisasi dari
penghayatannya sebagai pemeluk agama Islam.
Modal spiritual sesungguhnya tidak mesti berkaitan atau bersumberkan dari religi atau agama tertentu. Banyak juga
orang yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia, tetapi memiliki modal spiritual yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Sebagaimana diyakini Jauhari 2007, modal spiritual bukanlah masalah agama atau sistem
kepercayaan tertentu, melainkan merupakan suatu kecerdasan hati nurani yang diawali dengan pemenuhan kebutuhan akan
aktualisasi diri. Sebagaimana modal sosial yang dikaji dalam penelitian ini, modal spiritual juga memiliki peran dalam
peningkatan
kesejahteraan masyarakat,
sebagaimana diperlihatkan pak haji Mustaqim.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 26. Pak Haji Mustaqim dengan barang dagangannya
248
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam menjalankan usahanya, pak Haji Mustaqim tidak mengalami kesulitan dalam mencari barang dagangan. Relasi
sudah dibangun sejak ia berdagang. Arit dan bendo misalnya, bisa diperoleh hanya dengan menelepon pemasok ketika barang
habis terjual. Arit dan bendo ini biasanya dipesan dari Cepiring Kendal dan Muntilan Magelang. Kunci, gembok, drei, gergaji,
dan barang-barang sejenisnya, ia beli dari seorang pemasok yang berdomisili di Semarang. Pemasok barang mengantar
pesanan, setelah ditelepon pak Haji dan seketika itu pula barang-barang dibayar lunas.
Kata pak h aji,”hubungan saling percaya saja mas, begitu
barang habis, saya telepon dan datang kiriman barang yang saya minta”.
Rantai permintaan demand dan penawaran supply
berlangsung dengan baik, tidak hanya ketika terjadi jual beli di lokasi PKL, tetapi juga berlangsung pada saat pak haji kehabisan
barang dagangan. Tidak seperti halnya PKL yang lain, pak haji Mustaqim dalam membeli barang dagangan tidak pernah
berhutang, semuanya dibayar dengan uang kontan.
Ketika ditanya, mengapa tidak berhutang saja, pak haji memberi jawaban lugas: “orang hutang itu membuat kita
tidak bisa tidur mas, apalagi jika pada saat ditagih kita belum ada uang…wah bisa pusing dan stress kita”.
Pak Haji tergolong seorang PKL dengan jiwa wirausaha yang tinggi. Berkali-kali ia pindah tempat berjualan. Sebelum
digusur, pak haji pernah punya tempat usaha permanen di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Namun sejak bangunan tersebut
diratakan, barang-barang dagangan pak haji ditempatkan di kios atas sentra PKL Kokrosono dan disimpan di rumah.
Modal usaha yang digunakan untuk berjualan awalnya tidak banyak, sedikit demi sedikit berkembang hingga akhirnya ia
memiliki sarana untuk berjualan. Misalnya, yang semula tidak memiliki sarana motor roda tiga untuk berdagang, sejak tahun
2007 sudah bisa membelinya dengan harga Rp24 juta dan
249
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
berkat keuletan dan sifat hematnya, pak haji juga memiliki stok barang dagangan yang disimpan di rumah dan lokasi PKL
Kokrosono sebanyak 3 kios.
Selain pak haji Mustaqim, sosok lain yang juga cukup berhasil dalam menjalankan aktivitas ekonomi di Kokrosono
adalah pak Mulyono 47 tahun. Pak Mul mempunyai seorang istri dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang anak telah
berkeluarga, seorang lagi masih kuliah di Undip, dan lainnya masih sekolah di SMA dan SD. Pak Mul sudah bekerja cukup
lama di Kokrosono. Dua mobil bekas ia gunakan untuk tempat berdagang. Bersama istrinya, ia menjual aneka peralatan rumah
tangga, pertanian dan pertukangan.
Dari usaha perniagaan tersebut, pak Mul memperoleh penghasilan per harinya sekitar Rp300.000,00. Dari pendapatan
tersebut, Rp50.000,00 disisihkan untuk uang jajan anak- anaknya. Selain memiliki mobil untuk berdagang, pak Mul juga
mempunyai 6 sepeda motor. Sepeda motor tersebut kini digadaikan untuk pengembangan usaha. Dahulu pak Mul punya
sebuah rumah, tetapi karena usahanya hampir bangkrut, rumah tersebut dijual dan kini ia bersama keluarganya mengontrak
rumah di Taru Polo Raya Kelurahan Drono Semarang.
Meskipun acapkali disepelekan keberadaannya dan tidak jarang diusir ketika mereka menempati wilayah terlarang,
kontribusi ekonomi PKL tidak diragukan lagi. Contoh lain dari kontribusi ekonomi pedagang kaki lima PKL adalah peran
ekonomi yang dimainkan oleh pedagang nasi pecel di lokasi PKL jalan Menteri Soepeno sejak tahun 2012 pindah ke tepi
Bundaran Simpang Lima. Salah satunya adalah warung pecel mbok Sador.
Meskipun di tengah-tengah warung lain yang menjajakan nasi yang mungkin banyak diminati para pembeli, seperti nasi
sop kaki kambing, nasi soto Makasar, nasi seafood, nasi ayam dan bebek goreng, tetapi nasi pecel yang dijual mbok Sador
250
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tidak kalah disukai oleh para pembeli. Warung pecel mbok Sador ini semula berlokasi di jalan Pahlawan dekat dengan
bundaran Simpang Lima. Program SETARA yang digulirkan Walikota Semarang, membuat mbok Sador harus pindah
berdagang di lokasi baru, yaitu sentra PKL jalan Menteri Soepeno dan pindah lagi ke sentra PKL bundaran Simpang
Lima. Foto berikut memperlihatkan bagaimana anak mbok Sador berdagang.
Sumber: dokumen pribadi Gambar 27. Anak Mbok Sador dan pembantunya sedang
melayani Pembeli
Kebijakan SETARA atau Semarang Sejahtera dari walikota yang baru Soemarmo, yang salah satu programnya adalah
memperindah dan mempercantik kota dengan menata ruang publik kota agar bisa berperan sebagai
city walk, maka jalan- jalan dan trotoir, utamanya di sekitar bundaran Simpang Lima,
jalan Pahlawan, jalan Ahmad Yani, jalan Pandanaran, jalan Gajahmada, jalan Pemuda hingga wilayah Tugu Muda, harus
dibenahi dan ditata supaya menjadi tempat yang nyaman bagi warga kota. Demi keindahan kota, para PKL yang menempati
251
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
tepi jalan protokol tersebut harus dipindah. Salah satu PKL yang terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah mbok
Sador.
Ketika masih berdagang di jalan Pahlawan, pelanggan mbok Sador tidak kurang dari 100 orang per hari, padahal mbok Sador
buka dasar baru dimulai jam 17.30 dan berakhir jam 22.00 atau 23.00. Rata-rata pada jam tersebut, makanan yang dijual telah
habis. Dalam berdagang, mbok Sador dibantu seorang anak perempuan, menantu, cucu, dan 3 orang pelayan seorang pria
yang biasa melayani membuatkan minuman dan 2 perempuan yang biasa melayani menyampaikan nasi pecel. Mbok Sador
sudah berdagang nasi pecel sejak tahun 1993. Sekarang usahanya dilanjutkan oleh anak perempuannya.
Nasi yang dijual sesungguhnya tidak terlalu istimewa, yakni nasi pecel ditambah beberapa lauk daging sapi, paru-paru,
limpa, babat, telor, tahu, tempe, ikan asing gereh, sate telur puyuh, dan sate keong, serta krupuk dan bantal sebutan bagi
martabak kecil buatan mbok Sador, namun karena rasanya lumayan enak atau “pas di lidah” menurut penuturan beberapa
pelanggan dan harga yang dipatok relatif murah, maka pembelinya banyak berdatangan ke warung pecel mbok Sador.
Para pelanggan mbok Sador tidak hanya dari kalangan kelas bawah dan menengah, banyak di antaranya yang berasal dari
kelas atas ekonomi. Pelanggan kelas atas ini dapat ditilik dari mobil yang mereka kendarai, yang rata-rata tergolong mewah,
seperti Toyota Avanza, Honda CRV, dan mobil-mobil sedan versi baru. Mereka yang membeli juga tidak hanya orang Jawa,
tetapi juga warga etnis Cina.
Penghasilan kotor mbok Sador per hari berkisar antara Rp 3.000.000,00 hingga Rp4.000.000,00. Salah seorang cucu mbok
Sador yang membantu berjualan, digaji Rp1.200.000,00. Dari berdagang nasi pecel ini, mbok Sador bisa membeli 3 rumah,
sebuah sepeda motor dan sebuah sepeda motor roda tiga merek
252
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tossa. Daya tarik warung nasi pecel mbok Sador tidak hanya bagi para pelanggannya, yang meskipun sudah pindah ke lokasi
lain tetap datang membeli, tetapi juga menjadi magnet bagi tukang parkir, pengemis, pengamen, dan seorang penjual rokok
dan minuman.
Semula mereka bersama-sama mbok Sador menjalankan aktivitas di jalan Pahlawan, namun setelah jalan Pahlawan
dipercantik, mereka pindah bersama-sama di jalan Menteri Soepeno. Ketika mbok Sador pindah lagi ke Bundaran Simpang
Lima, mereka juga ikut pindah menyertainya. Ini menunjukkan bahwa mbok Sador merupakan magnit pencari sekaligus
pemberi rezeki bagi tukang parkir, pengemis, dan penjual rokok dan minuman.
Penghasilan tukang parkir dan pengemis yang menyertai mbok Sador pun tidak jauh berbeda ketika mereka menyertai
mbok Sador di lokasi lama. Pendapatan tukang parkir per hari tidak kurang dari Rp 100.000,00, demikian pula penghasilan
pengemis seorang ibu tua tidak kurang dari Rp 50.000,00 per hari; padahal jam kerja mereka juga sama dengan jam dagang
mbok Sador. Kurang lebih 6 jam beraktivitas, tukang parkir bisa membawa pulang Rp 2.700.000,00 per bulan setelah dikurangi
uang setoran ke pengelola parkir sebesar Rp10.000,00 per hari; sedangkan pengemis tersebut memperoleh penghasilan per
bulan rata-rata Rp 1.500.000,00. Penghasilan tukang parkir tersebut melebihi gaji pegawai negeri golongan IIIa yang
memiliki jam kerja 9 hingga 10 jam per harinya. Sementara itu, penghasilan seorang pengemis tersebut jauh melebihi upah para
sales promotion girl SPG di pasar Swalayan dan Mall di Semarang yang hanya Rp 900.000,00 hingga Rp1.000.000,00 per
bulan dengan jam kerja 9 hingga 10 jam per hari.
Keberadaan warung nasi pecel mbok Sador memang memberikan tuah bagi tukang parkir dan pengemis tua.
Memang rasanya tidak adil, mbok Sador yang berjualan dengan
253
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
modal uang, seperangkat alat untuk jualan, serta membayar retribusi untuk Dinas Pasar dan Paguyuban PKL, memperoleh
penghasilan harus dibagi dengan para karyawannya; sementara tukang parkir dan pengemis menikmati sendiri pendapatannya
yang mendompleng dari warung mbok Sador, tetapi itulah sisi kelebihan dari pedagang kaki lima, yang jika ramai
dagangannya memberikan sumbangan ekonomi yang tidak kecil, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi orang lain,
seperti tukang parkir dan pengemis.
Sumbangan pedagang nasi kepada pendapatan asli daerah PAD kota Semarang tidaklah terlalu signifikan, tetapi dengan
melubernya rezeki ke tukang parkir dan pengemis, berarti turut menghidupkan kegiatan ekonomi orang kecil lainnya.
Simpulannya adalah jika PKL sungguh-sungguh berusaha dalam mencari rezeki, ia akan dapat bertahan dan dampak ikutannya
adalah turut membangun ekonomi orang-orang di sekitarnya. Perputaran uang di zona pedagang kaki lima bisa menjadi lebih
besar lagi jika tempatnya ditata lebih rapi oleh pemerintah, pemasaran
marketing dan iklan didukung oleh pemerintah, dan kepada para PKL diberi kemudahan dalam mengakses
kredit untuk modal usaha. Relasi tidak langsung antara pedagang kaki lima mbok
Sador, tukang parkir dan pengemis, dapat dicermati pada gambar berikut.
Gambar 28. Relasi segitiga antara PKL, tukang parkir, dan pengemis.
Pedagang Kaki Lima
Tukang Parkir Pengemis
254
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kisah sukses PKL dialami pula oleh mbak Sri. Ia yang berjualan nasi kepala kakap di Jalan Kusumawardani Semarang
juga tergolong PKL yang memiliki kontribusi ekonomi cukup penting bagi keluarganya. Kios yang pada tahun 1994 dibeli
ayah mertuanya seharga Rp3.000.000,00 dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Setelah ayah mertuanya
meninggal dunia, mbak Sri meneruskan usaha berdagang nasi kepala kakap hingga kini.
Awal modal usaha untuk berdagang nasi tersebut tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Sekarang modal sehari-hari untuk
kulakan bahan dagangan berkisar antara Rp400.000,00 hingga Rp500.000,00. Kios yang digunakan mbak Sri adalah kios
warisan ayah mertua, sehingga dari hasil berjualan nasi kepala kakap tersebut ia harus membagi pendapatannya kepada ibu
mertua dan 3 bersaudara lainnya.
“kios ini bukan milik saya pak…tapi milik bersama ibu mertua, dan 3 saudara lainnya… hasil dari penjualan nasi
ini kita bagi bersama…ibu mertua saya beri Rp125.000,00 per hari, sedangkan 3 saudara lainnya mendapat bagian per
harinya Rp25.000,00, untuk kulakan Rp400.000,00 dan sisanya untuk saya dan suami…kalau misalnya pas ramai,
saya dapat pendapatan kotor Rp1.000.000,00 per hari, maka saya dan suami dapat Rp400.000,00…lumayan pak
bisa untuk menyekolahkan dua anak saya. Itu pas ramai pembeli, kalau sepi paling dapat Rp600.000,00 hingga
Rp700.000,00…ya tentu bagian saya makin kecil” wawancara dengan mbak Sri, Minggu, 13 November
2011.
Mbak Sri tidak sendirian berjualan di Jalan Kusumawardani Semarang. Di wilayah tersebut tidak kurang dari 30 orang yang
menjalankan usaha kuliner. Selain mbak Sri yang berdagang nasi kepala kakap, ada juga yang menjadi pedagang bakso,
pedagang mi ayam, pedagang makanan dan minuman, dan lain- lain. Di lokasi PKL Kusumawardani ini juga terdapat fasilitas
WC umum. Hanya untuk parkir memang tidak terlalu lebar.
255
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Di lokasi PKL ini terdapat seorang tukang parkir, yang penghasilannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
tukang parkir yang menyertai warung nasi pecel mbok Sador. Pak Santoso, demikian panggilan tukang parkir tersebut,
mengaku penghasilannya per hari tidak lebih dari Rp30.000,00. Dari penghasilan tersebut, Rp10.000,00 ia setorkan kepada
pihak pengelola parkir dan Dinas Perhubungan.
Terlepas dari berapa penghasilan tukang parkir tersebut, tampak bahwa keberadaan pedagang nasi dan PKL lainnya di
Kusumawardani ini selain memberi kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga mereka, juga memberi pendapatan
kepada tukang parkir. Relasi ekonomi pedagang kaki lima di Kusumawardani dan tukang parkir ini hampir mirip dengan
relasi pedagang nasi pecel dengan tukang parkir dan pengemis, hanya saja di wilayah Kusumawardani ini tidak ada pengemis
yang berkeliaran, apalagi menetap bersama para pedagang seperti halnya yang terjadi pada pedagang nasi pecel di jalan
Menteri Soepeno.
Tidak seperti halnya di sentra PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono yang tidak lagi memiliki kios permanen, kios di
Jalan Kusumawardani memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Meskipun dahulu kios dibuatkan pemerintah, ternyata
pemilik kios dapat menyewakan kepada pihak lain.
Menurut mbak Sri, harga kios bisa mencapai angka puluhan juta. “kios sebelah mau disewakan pak, harganya
tidak tanggung- tanggung…Rp25.000.000,00 per tahun,
dan pemiliknya minta 3 tahun sekalian, wah mahal ya pak”, cetus mbak Sri.
Persoalan sewa dan jual beli kios bukan hal baru di kalangan pedagang kaki lima. Di Sampangan, Basudewo,
Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya juga terjadi peristiwa serupa. PKL Basudewo yang pindah ke PKL Kokrosono pun
banyak yang menjual kiosnya, padahal kios tersebut bukan miliknya. Harganya pun tidak mahal, ada yang dijual
256
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Rp1.500.000,00 dan ada pula yang dijual dengan harga Rp3.000.000,00. Persoalan jual beli kios ini dituturkan oleh pak
Achmad berikut ini.
“Salah satu anggota kita pak Marlan diusir oleh pedagang lainnya, karena yang bersangkutan berbuat ulah dengan
menjual kios jatah anggota lainnya…tidak kurang dari 10 kios yang dijual kepada orang lain bukan anggota PKL
Basudewo…karena ulahnya, ia sempat dipukuli orang yang kena tipu
olehnya… sesungguhnya saya kasihan kepada pak Marlan, beliau juga sudah tua, usaha mebelnya
bangkrut lagi…tapi ya bagaimana lagi pak…biar jadi pelajaran bagi dia” wawancara dengan pak Achmad,
Minggu, 3 September 2011.
Di jalan Menteri Soepeno terdapat dua orang pedagang rujak. Dua-duanya adalah laki-laki. Semuanya berasal dari Jawa
Barat, namun sudah cukup lama berdagang di Semarang. Salah satunya adalah pak Ewok. Pak Ewok sudah berjualan rujak di
Semarang selama 40 tahun. Ia mengontrak rumah bersama 10 orang pedagang seharga Rp6.000.000,00 per tahun.
Dalam berdagang rujak, pak Ewok menggunakan sarana gerobak dorong. Pak Ewok termasuk pedagang yang ulet dan
memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Pak Ewok memiliki seorang istri dan 4 orang anak. Tiga anak sudah menikah dan
seorang lagi yang masih berumur 22 tahun hidup bersama ibunya di Kuningan Jawa Barat. Dari pendapatannya berjualan
rujak, pak Ewok bisa memodali istrinya membuka warung kecil di kampung, membeli tanah, dan 2 sepeda motor. Tiap bulan
pak Ewok mengirimi istrinya uang Rp1.000.000,00.
“saya berjualan sudah cukup lama pak, kurang lebih 40 tahun…dari dahulu ya berdagang rujak tidak ada yang
lain..lumayan bisa untuk hidup, mengirim uang untuk istri di kampung dan sedikit-sedikit bisa beli tanah dan
sepeda motor
”, ungkap pak Ewok wawancara dengan pak Ewok, Minggu, 13 November 2011
257
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Jumlah pedagang kecil di Semarang yang memiliki keuletan, etos kewirausahaan, dan pendapatan yang cukup
besar tentu masih banyak. Penelitian ini bukan penelitian kuantitatif, sehingga pedagang yang diambil sebagai responden
tidak banyak. Dari beberapa pedagang PKL tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa PKL memiliki kontribusi ekonomi
yang cukup signifikan, setidaknya bagi keluarganya.
Pendapatan pedagang kaki lima PKL bervariasi, mulai dari Rp70.000,00 hingga Rp4.000.000,00 per hari dan banyak di
antara mereka yang memiliki tabungan untuk kebutuhan mendesak dan keperluan hari tua. Data tentang pendapatan dan
tabungan investasi PKL dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 12. Pendapatan dan Tabungan Investasi yang dimiliki PKL No.
Nama Pendapatan
per Hari Rp
Tabungan Investasi
Tempat Berjualan
1. Muriman
100.000,00 Rumah, tanah,
mobil, perhiasan Sampangan
2. Bu Zuhri
700.000,00 Mobil, sepeda
motor, perhiasan Sampangan
3. Achmad
100.000,00 Rumah, Sepeda
motor, Perhiasan Basudewo
4. Sulaiman
Leman 70.000,00
Sepeda motor, perhiasan
Basudewo 5.
Haji Mustaqim
500.000,00 Rumah, motor
roda tiga, sepeda motor, televisi,
uang, perhiasan Kokrosono
6. Mulyono
300.000,00 Mobil, sepeda
motor, perhiasan Kokrosono
7. Bu Sador
3.000.000,00 -
4.000.000,00 Rumah, sepeda
motor, motor roda tiga,
perhiasan Jalan Menteri
Soepeno pindah ke
Simpang Lima
8. Mbak Sri
700.000,00 Sepeda motor,
perhiasan Jalan
Kusumawardani 9.
Pak Ewok 500.000,00
Tanah, sepeda motor
Jalan Menteri Soepeno
Sumber: Data Primer
258
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dari data-data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor informal, utamanya pedagang kaki lima PKL memiliki
kontribusi ekonomi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi
anak-anak atau cucu. Banyak juga di antara mereka yang memiliki tabungan dan sebagian hasil berjualan diinvestasikan
untuk membeli rumah, tanah, mobil, sepeda motor, dan peralatan elektronik lainnya.
Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, bahkan juga
pengemis. Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga memberikan sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.
Sumbangan sektor informal, khususnya PKL kepada PAD bisa lebih besar dari data yang dilaporkan, oleh karena diduga masih
banyak aktivitas sektor informal yang tidak terjangkau dan tidak terdaftar oleh pemerintah lokal. Pendek kata, sektor
informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan mencari penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan
sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu, bagi
masyarakat golongan
miskin merupakan
cara mempertahankan kelangsungan hidup
survival strategy. Hal ini sejalan dengan penelitian Sookram and Watson 2008 yang
menyimpulkan bahwa sektor informal, termasuk di dalamnya pedagang kaki lima merupakan mekanisme survival khususnya
bagi kaum miskin.
C. Pedagang Kaki Lima PKL sebagai Survival Strategy