Keterbatasan  alat tangkap  yang dimiliki nelayan  di Desa Pediwang, Desa Doro,  dan  Desa  Bori  merupakan  salah  satu  faktor  yang  cukup  dominan  yang
menyebabkan produktifitas hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Daya jelajah perahu  yang  digunakan  umumnya  terbatas,  dan  berimplikasi  pada  jumlah  dan
jenis  tangkapan  ikan  yang  makin  lama  makin  berkurang.  Rata-rata  penghasilan yang  diperoleh  nelayan  miskin  relatif  kecil  sehingga  hanya  untuk  memenuhi
kebutuhan  sehari-hari,  bahkan  bagi  nelayan  yang  memiliki  tanggungan  keluarga yang lebih besar, terpaksa hidup kekurangan. Disamping mengandalkan hasil laut
sebagai penopang kebutuhan keluarga, sebagian besar dari masyarakat nelayan di ketiga  desa  tersebut  juga  mengandalkan  hasil-hasil  perkebunan.  Rata-rata
masyarakat  nelayan  di  tiga  desa  memiliki  kebun  yang  menghasilkan  kelapa kopra yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan
Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara yang  bergerak  di  sektor  perikanan  rata-rata  kualitas  sumberdaya  manusianya
masih  rendah.  Umumnya  mereka  mengelola  usaha  perikanan  bersifat  turun temurun  dan  hanya  mengandalkan  kemampuan  fisik.  Tingkat  pendidikan  bukan
merupakan  keharusan  untuk  menjadi  nelayan,  namun  terpenting  bagi  mereka memiliki  kemauan  dan  motivasi  kerja.  Kondisi  ini  sangat  berpengaruh  terhadap
adopsi  teknologi  dan  penggunaan  teknologi  penangkapan  ikan  yang  ramah lingkungan.  Akibatnya  nelayan  di  Kabupaten  Halmahera  Utara  masih  tetap
menggunakan  bom  ikan  sesuai  dengan  kebiasaan  yang  turun-temurun  dari generasi  sebelumnya.  Hal  ini  sesuai  dengan  pendapat  Boeke  1983,  bahwa
aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.
Dari  sisi  konsumsi,  kehidupan  ekonomi  desa  tradisional  dibangun  atas  dasar “prinsip  swasembada”,  dimana  hampir  seluruh  kebutuhan  hidup  kesehariannya
diproduksidipenuhi  oleh  desa  tradisional  sendiri.  Kemampuan  desa  tradisional membangun  struktur  ekonomi  demikian,  karena  didukung  penuh  oleh  adanya
ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan- kebutuhan  yang  tak  terbatas  dan  bersahaja,  prinsip  produksi  pertanian  semata-
mata  untuk  keperluan  keluarga,  pengekangan  pertukaran  sebagai  alat  untuk memuaskan  kebutuhan,  serta  tidak  terlalu  berorientasi  kepada  laba  non  profit
oriented .
Selanjutnya,  Boeke  1983  menyatakan  bahwa  kehidupan  sosial masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka,
tidak  seperti  struktur  kehidupan  sosial  pada  masyarakat  perkotaan  dalam klasifikasi  yang  jelas  dan  terstruktur.  Masyarakat  desa  tradisional  yang  hidup  di
daerah-daerah  pertanian  pedalaman  hidup  dalam  komunitas-komunitas  yang cenderung  bersikap  “tertutup”,  serta  dengan  semangat  kelompok  yang  kuat,
karena  mereka  menganggap  bahwa  eksistensi  individu  terletak  di  dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.
Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh karena  itu,  karakteristik  usaha  nelayan  di  lokasi  penelitian  ini  masih  tergolong
skala  kecil  dengan  berbagai  permasalahan  yang  dihadapinya.  Kehidupan masyarakat  pada  3  desa  ini  masih  bersifat  tradisional  dan  memiliki  budaya  yang
lebih  mengagungkan  orang  yang  lebih  tua,  dan  sistem  kekerabatan  yang  masih kuat  berdasarkan  adat  istiadat  setempat.  Gaya  hidup  yang  cenderung  tradisional
masih  terlihat  di  Desa  Bori.  Dalam  menjalankan  kehidupannya,  rata-rata masyarakat  pada  3  desa  ini  memiliki  lahan  kebun  yang  ditanami  berbagai
tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa, yang  dipanen  dan  diolah  menjadi  kopra  setiap  4  bulan  sekali.  Untuk  kebutuhan
makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan
padi  ladang.  Untuk  kebutuhan  konsumsi  ikan,  masyarakat  3  desa  dapat  membeli dari  anggota  masyarakat  desa  yang  menangkap  ikan,  atau  melakukan
penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan
apabila  lebih,  dapat  dijual  kepada  anggota  masyarakat  lainnya  atau  ke  pedagang pengumpul.
Aspek  sosial  lainnya  yang  menggambarkan  karektersitik  masyarakat nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian
besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur  responden
mayoritas  antara  40-60  tahun,  menunjukan  profesi  di  sektor  perikanan  sebagai nelayan  tidak  menarik  bagi  kaum  muda.  Usaha  perikanan  yang  memerlukan
modal  dan  resiko  tinggi  menyebabkan  kaum  muda  di  tiga  desa  tersebut  lebih memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek.
Salah  satu  permasalahan  mendasar  bagi  pembangunan  kelautan  dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya
akses  permodalan  dari  lembaga  keuanganperbankan  formal.  Akibatnya  nelayan seringkali  terjerat  oleh  renteneer  yang  menawarkan  pinjaman  dengan  cepat  dan
mudah,  namun  diimbangi  dengan  tingkat  bunga  yang  tinggi.  Keterbatasan permodalan  ini  diperburuk  dengan  sistem  penjualan  yang  cenderung  dimonopoli
oleh  para  tengkulak  Purna,  2000.  Akibatnya  nelayan  kaum  muda  menganggap bahwa  profesi  sebagai  nelayan  tidak  menantang  dan  tidak  menarik.  Realitas
lingkaran  kemiskinan  nelayan  yang  mereka  amati  kaum  muda  juga  diduga menjadi  salah  satu  faktor  yang  menyebabkan  sektor  kelautan  dan  perikanan  ini
menjadi tidak menarik. Tingkat  pendidikan  tertinggi  masyarakat  nelayan  responden  adalah
tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa   tingkat pendidikan masih di  tingkat menengah  ke  bawah,  bahkan  banyak  yang  tidak  sekolah.  Kondisi  ini
menggambarkan  bahwa  SDM  di  ketiga  desa  tersebut  dapat  digolongkan  masih rendah.  Begitu  banyaknya  nelayan  tidak  sekolah,  menunjukkan  pendidikan  bagi
ke tiga desa tersebut  merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh pemerintah.  Pada  kondisi  dewasa  ini,  biaya  yang  dibutuhkan  untuk  bersekolah
pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini bisa  dipahami,  mengingat  rata-rata  pendapatan  responden  di  tiga  desa  lokasi
penelitian  sangat  rendah  yaitu  antara  Rp.800.000.-  hingga  Rp.1.350.000.- perbulan.
Secara  sosial-ekonomi-budaya  konsep  pembangunan  berkelanjutan mensyaratkan,  bahwa  manfaat  keuntungan  yang  diperoleh  dari  kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk  meningkatkan  kesejahteraan  penduduk  sekitar  kegiatan  tersebut,  terutama
mereka  yang  ekonomi  lemah,  guna  menjamin  kelangsungan  pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip
ini  sangat  mendasar,  karena  banyak  kerusakan  lingkungan  pesisir  misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya.
Faktor-faktor  sosial  budaya  masyarakat  nelayan  yang  berpengaruh terhadap  pelestarian  kemampuan  sumber  daya  perikanan  laut  antara  lain  adalah
sikap  menyatu  dengan  alam  atau  pasrah,  hal  ini  menyebabkan  perkembangan sumber  daya  perikanan  tidak  seimbang  dengan  pemanfaatan  perikanan  oleh
nelayan  yang  sebagian  besar  masih  menggunakan  alat  tangkap  bom  ikan. Sedangkan  apabila  menggunakan  alat  tangkap  moderen  dan  sikap  ingin
memanfaatkan  sumber  daya  perikanan  semaksimal  mungkin,  hal  ini  mungkin akan  menurunkan  kemampuan  sumber  daya  perikanan  yang  ada.  Tindakan  atau
kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna meningkatkan  taraf  hidup  mereka  tanpa  merusak  kemampuan  dan  kelestarian
sumber  daya  perikanan  dan  sumber  daya  alam  lainnya  di  wilayah  pantai  adalah melalui  izin  usaha  perikanan  yang  diberikan  kepada  para  pengusaha.  Langkah
operasional  Pemerintah  Daerah  untuk  meningkatkan  taraf  hidup  dan  kualitas sumber  daya  manusia  dan  untuk  perlindungan  dan  pelestarian  lingkungan  hidup
serta  pemahaman  nelayan  dalam  bidang  usahanya  adalah  dilakukan  dengan penyuluhan-penyuluhan  melalui  tenaga  lapangan  yang  ada  PPL  Perikanan.  Di
samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota Koperasi  Unit  Desa  Perikanan.  Keuntungannya  adalah  demi  kelancaran
pemasaran  dan  stabilnya  harga  serta  yang  tak  kalah  pentingnya  adalah  para nelayan  dapat  menikmati  SHU  sisa  hasil  usaha  dalam  bentuk  uang  yaitu  pada
masa nelayan dalam keadaan paceklik.
5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan