BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh
secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung Manurung, 2009. Menurut laporan dari AHA, sekitar 5,8 juta orang di Amerika
Serikat mengalami gagal jantung Lloyd-Jones et al., 2010. Menurut Depkes Indonesia 2009, pada tahun 2007, terdapat 13.395 pasien rawat inap dan
16.431 pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia mengalami gagal jantung pada tahun 2007 dengan Case Fatality Rate 13,42 peringkat kedua terbanyak
setelah infark miokard akut dengan Case Fatality Rate 13,49. Ketika terjadi penurunan cardiac output yang kronis, volume darah dalam
sistem kardiovaskular akan meningkat. Hal ini akan mengakibatkan penambahan cairan dalam tubuh yang berlebihan, dimana retensi cairan yang berlebihan yang
dikombinasikan dengan gagal jantung disebut dengan gagal jantung kongestif Mason, 1980.
Menurut WHO 2004, terdapat insidensi gagal jantung kongestif sebanyak 5,7 juta di dunia dan sebanyak 1,4 juta di Asia Tenggara. Prevalensi
gagal jantung kongestif diantara penduduk Amerika Serikat tahun 2005 adalah 2,5 dengan prevalensi pada laki-laki sebanyak 2,8 dan pada perempuan
sebanyak 2,2 Golanty dan Edlin, 2009. Pada tahun 2011, terdapat 755 pasien gagal jantung kongestif dewasa usia
≥ 20 tahun di unit rawat kardiovaskular RSUP H.Adam Malik Medan Waty dan Hasan, 2013.
Bentuk spesifik dari kerusakan fungsi jantung yang mengakibatkan gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yang umum, yaitu
berkurangnya kekuatan dari kontraksi ventrikel, kegagalan mekanik pada pengisian ventrikel selama fase diastol pada siklus jantung, dan overloading dari
ventrikel selama kontraksi jantung. Ketika aktivitas pompa jantung terganggu
dan mulai menjadi malfungsi, apakah melalui penyakit otot jantung primer atau melalui overloading kronis dari volume darah dan tekanan darah, tubuh sendiri
menyediakan pertolongan darurat dalam bentuk mekanisme kompensasi Mason, 1980. Mekanisme ini termasuk mekanisme Frank-Starling, perubahan
neurohormonal, dan perkembangan dari hipertrofi ventrikel dan remodeling Chatterjee dan Fifer, 2011. Mekanisme ini dirancang untuk membantu
ventrikel menangani fungsinya dan mempertahankan tingkat cardiac output yang normal. Gagal jantung kongestif dekompensasi terjadi ketika aksi penuh
mekanisme adaptif pun gagal untuk mempertahankan cardiac output dalam tingkat normal Mason, 1980.
Ketika cardiac output rendah, banyak refleks sirkulasi diaktivasi dengan seketika. Yang paling terkenal adalah refleks baroreseptor, dimana diaktivasi
oleh penurunan tekanan arteri Guyton, 2006. Vasokonstriksi dan retensi natrium merupakan respon yang tepat terhadap kehilangan volume sirkulasi.
Pada gagal jantung, ginjal bereaksi terhadap kehilangan cairan ekstraselular dan volume plasma.
Pada tahap akhir dari gagal jantung, retensi air dan garam ditingkatkan oleh karena efek dari aldosteron dan angiotensin II pada ginjal. Berdasarkan
prevalensi dari gejala dan tanda spesifik di gagal jantung sistolik dan diastolik, prevalensi edema adalah 30 pada gagal jantung diastolik dan 40 pada gagal
jantung sistolik Zile dan Brutsaert, 2002. Edema cairan ekstraseluler terjadi ketika ada penambahan cairan yang berlebih dalam ruang ekstraseluler.
Komponen terbanyak dalam cairan ektraselular adalah ion natrium, dimana terdapat paling banyak di plasma 142 mOsmL H2O daripada di interstisial
139 mOsmL H2O Guyton, 2006. Pada beberapa kasus, vasopressin dikeluarkan, mengakibatkan reabsorbsi
air bebas lebih jauh lagi. Dalam waktu yang cepat, peninggian resistensi sistemik, kongesti sistemik, edema dan hiponatremia menjadi manifestasi klinis Francis,
2002. Pada pasien gagal jantung, aktivasi neurohormonal yang berlebihan termasuk arginine vasopressin AVP, dimana mengakibatkan retensi air, akan
menimbulkan hiponatremia yang juga merupakan tanda dari terganggunya
perfusi ginjal Madan, Novak, dan Rich, 2011. Dalam gagal jantung, beberapa atau semua keperluan untuk ekskresi dari urin yang diencerkan maksimal
mungkin terganggu, membuka jalan menuju hiponatremia Sica, 2005. Hiponatremia merupakan komplikasi umum pada gagal jantung kongestif dan
merupakan abnormalitas elektrolit yang paling banyak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Prevalensi hiponatremia pada pasien gagal
jantung yang dihospitalisasi telah dilaporkan sebanyak 20-25. Pada pasien gagal jantung yang dihospitalisasi, hiponatremia telah menjadi prediktor poten
dari outcome yang buruk Balling et al., 2011. Menurut Nakamura et al. 2006, semakin parah derajat functional class
pada pasien gagal jantung kongestif, semakin meningkat tingkat plasma arginine vasopressin AVP yang dimiliki pasien tersebut. Pada pasien gagal jantung,
aktivasi neurohormonal yang berlebihan termasuk AVP, dimana mengakibatkan retensi air, akan menimbulkan hiponatremia yang juga merupakan tanda dari
terganggunya perfusi ginjal Madan, Novak, dan Rich, 2011. Pada penelitian yang dilakukan oleh Balling dan kawan-kawan, pasien gagal jantung dengan
derajat functional class III-IV lebih banyak mengalami hiponatremia dibandingkan dengan mengalami normonatremia Balling et al., 2011. Pada
penelitian Meta-Analysis Global Group in Chronic heart failure MAGGIC, pasien gagal jantung dengan derajat functional class NYHA II lebih banyak
mengalami normonatremia dibandingkan dengan yang mengalami hiponatremia Rusinaru et al., 2011. Akan tetapi pada penelitian International Collaborative
of NT-proBNP ditemukan pasien dengan kelompok derajat NYHA III dan
NYHA IV lebih banyak mengalami normonatremia dibandingkan dengan yang
mengalami hiponatremia Mohammed et al., 2010. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan kadar natrium darah dengan derajat functional class pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2011-2012.
1.2. Rumusan Masalah