EVALUASI PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI KOTA METRO

(1)

Oleh:

TRIANA APRISIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

IN THE METRO CITY

By.

TRIANA APRISIA

In order to realize the vision of Metro City to be Education City so Metro City Government since 2010 has launched Hours of Learning Communities Program, better known by the acronym JBM. But in its development, it has been 4 (four) years running but Hours of Learning Communities Program does not going well.

The powerlessness of the program include visible most of the people still do not know about the technical essence and Community Learning Program Hours Metro City. Also due to budget problems are not yet clear, the agenda of Hours Learning Communities Program has not been systematically compiled and then run intensive, citizen participation is still minimal, and yet the formation of institutional Hours Learning Communities at all levels of government and society.

The study was conducted to determine the performance/execution (achievement) Hours of Learning Communities Program in Metro City in 2010-2011. To measure progress (progress), which is associated with the goal of Hours of Learning Communities Program. To identify implementation problems in it. To see the effectiveness of Hours of Learning Communities Program, or see the difference that the program achieved.

This study is a descriptive study with a qualitative approach. The focus of his research on the activities of citizens of Metro City in the implementation of Hours Learning Communities Program. Collecting data using in-depth interviews (depth


(3)

(display data) as well as drawing conclusions and verification (conclusion drawing / verification).

From some of the problems that arise around the Clock Learning Communities Program, it can be said that this program includes policies failed because could not achieve its intended purpose. This indicates that the Hours of Learning Communities Program as it does not contain the principle of good approach in formulation of policies.


(4)

DI KOTA METRO

Oleh

TRIANA APRISIA

Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program Jam Belajar Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan singkatan JBM. Namun pada perkembangannya, sudah 4 (empat) tahun berjalan namun Program Jam Belajar Masyarakat ini tidak berjalan dengan baik.

Ketidakberdayaan program ini antara lain terlihat sebagian besar masyarakat masih belum tahu tentang esensi dan teknis Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro. Juga disebabkan karena masalah alokasi anggaran yang belum jelas, agenda Program Jam Belajar Masyarakat belum disusun secara sistematis dan kemudian dijalankan secara intensif, partisipasi warga masih minim, dan belum terbentuknya kelembagaan Jam Belajar Masyarakat di semua level Pemerintahan dan masyarakat.

Penelitian dilakukan untuk; (a) mengetahui capaian/pelaksanaan (achievement)

Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro pada tahun 2010 – 2013. (b) Untuk

mengukur kemajuan (progress), yang terkait dengan tujuan Program Jam Belajar Masyarakat. (d) Untuk mengidentifikasi masalah pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat. (e) Serta untuk melihat efektivitas Program Jam Belajar Masyarakat atau melihat perbedaan yang dicapai program tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitiannya pada aktivitas warga masyarakat Kota Metro dalam pelaksanaan Program Jam Belajar


(5)

dokumentasi/pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Program Jam Belajar Masyarakat (JBM) tidak berhasil mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Hal ini dilihat dari berbagai ukuran yaitu belum maksimalnya publikasi dan sosialisasi program kepada warga masyarakat, masih rendahnya partisipasi dan kesadaran warga masyarakat dalam mendukung program Jam Belajar Masyarakat, belum teralokasikannya dana penunjang baik dari pemerintah maupun swadaya masyarakat dan pihak swasta, belum terbentuknya struktur kelembagaan sampai pada tingkat yang paling bawah, yaitu RT/RW, serta belum adanya upaya penyiapan Sumber Daya Manusia yang baik.

Dari beberapa permasalahan yang muncul seputar Program Jam Belajar Masyarakat tersebut maka dapat dikatakan bahwa program ini termasuk kebijakan belum berhasil dikarenakan tidak bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa progran JBM tidak mengandung prinsip pendekatan yang baik dalam penyusunan formulasi kebijakannya.


(6)

(7)

(8)

i

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D Kegunaan Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Konsepsi Evaluasi ... 13

1 Pengertian Evaluasi ... 13

2 Pengertian Evaluasi Program ... 17

3 Dimensi dan Tahapan Evaluasi Program ... 20

4 Tujuan Evaluasi Program ... 23

5 Model Evaluasi Program ... 25

B. Konsepsi Kebijakan Publik ... 35

1 Pengertian Kebijakan ... 35

2 Pengertian Kebijakan Publik ... 39

3 Urgensi Kebijakan Publik ... 46

4 Tahap-tahap Kebijakan Publik ... 47

5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan ... 58

6 Implementasi Kebijakan ... 60

7 Kerangka Kerja Kebijakan Publik ... 73

8 Ciri-ciri Kebijakan Publik ... 74

9 Jenis Kebijakan Publik ... 75

10 Analisis Kebijakan Publik ... 78


(9)

ii

D. Kerangka Pemikiran ... 91

BAB III METODE PENELITIAN ... 94

A Tipe Penelitian ... 94

B. Fokus Penelitian ... 94

C. Jenis dan Sumber Data ... 95

D. Lokasi Penelitian ... 95

E. Teknik Pengumpulan Data ... 97

1 Wawancara Mendalam (Indepth Interview) ... 97

2 Focus Group Discussion ... 98

3 Observasi ... 99

4 Studi Kepustakaan/Dokumentasi ... 100

F. Teknik Pengolahan Data ... 100

G. Teknik Analisis Data ... 100

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 102

A. Gambaran Umum Kota Metro ... 102

1.Sejarah Kota Metro ... 102

2.Kondisi Geografis ... 104

B. Gambaran Umum Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro ... 106

1.Latar Belakang ... 106

2.Maksud dan Tujuan ... 108

3.Dasar Pelaksanaan ... 108

C. Jam Belajar Masyarakat ... 109

1.Pengertian ... 109

2.Penetapan Waktu Jam Belajar Masyarakat ... 109

3.Penyebarluasan Program Jam Belajar Masyarakat ... 110

D. Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat ... 111

1.Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat ... 111

2.Tindak Lanjut ... 119


(10)

iii

2.Monitoring ... 135

F. MASALAH PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI KOTA METRO... 136

1.Isi Dokumen Kebijakan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro . 136

2.Implementasi dan Problematika Program Jam Belajar Masyarakat ... 140

3.Pembentukan Kelembagaan Jam Belajar Masyarakat ... 152

4.Anggaran Penyelenggaraan Jam Belajar Masyarakat ... 157

G. ANALISIS PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI KOTA METRO ... 162

1.Karakteristik Keberhasilan Program Jam Belajar Masyarakat . 162

2.Kerangka Keberhasilan Program Jam Belajar Masyarakat ... 167

3.Menuju Kebijakan Ideal Dalam Program Jam Belajar Masyarakat ... 168

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 181

A. KESIMPULAN ... 183

B. SARAN ... 184

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program Jam Belajar Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan singkatan JBM.

Jam Belajar Masyarakat adalah suatu kegiatan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang ideal untuk mendorong proses pembelajaran anak dan warga belajar yang berlangsung dalam suasana pembelajaran yang kondusif guna mencapai prestasi secara optimal. (Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Metro, 2012:3).

Waktu pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat di wilayah Kota Metro minimal 2 (dua) jam setiap hari yakni antara pukul 18.00 sampai dengan 21.00 WIB. Sedangkan untuk penetapan waktu Jam Belajar Masyarakat di masing-masing wilayah kecamatan diatur lebih lanjut oleh Camat dengan memperhatikan situasi dan kondisi Kecamatan masing-masing.

Program ini juga bukan dimaknai bahwa seluruh masyarakat dalam suatu Rukun Tetangga harus belajar pada jam tersebut namun masyarakat diminta untuk menciptakan suasana efektif belajar dalam jangka waktu 2 (dua) jam dalam sehari. Dalam konteks keluarga, waktu jam belajar masyarakat tidak harus jam malam seperti ditentukan di kebanyakan Program Jam Belajar Masyarakat di berbagai daerah, melainkan dapat diatur sesuai


(12)

dengan pertimbangan waktu yang tepat dan disepakati setiap anggota keluarganya.

Pada intinya, Jam Belajar Masyarakat ini untuk mengontrol konsumsi anak-anak pelajar dan mahasiswa terhadap gencarnya hiburan yang datang dari berbagai media elektronik dan komunikasi saat ini. Anak-anak memang sangat rentan terhadap pengaruh media. Apakah itu media televisi, internet

ataupun handphone. Bahkan orang tua juga berperan serta membuka peluang

anak terpengaruh televisi. Orang tua yang punya waktu sedikit untuk anak-anaknya, anak yang sedang mengalami periode tak tenang (misalnya teror, perceraian dan kematian orang tua), anak yang biasa terkurung dalam rumah, anak yang sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah, orang tua yang kecanduan media, dan anak yang terjepit diantara orang tua yang berpisah berpotensi besar terpengaruh. Dampaknya, anak-anak seperti itu akan punya peluang untuk melampiaskan diri mengonsumsi media hiburan terlalu besar.

Pengendalian jam belajar masyarakat bagi siswa dan mahasiswa adalah hal yang menjadi persoalan ketika jam belajar banyak disita oleh berbagai media hiburan semacam televisi atau media yang terkoneksi lewat internet dan handphone. Media televisi adalah salah satu media hiburan yang hadir di

tengah-tengah keluarga sepanjang 24 jam. Kapan pun membuka channel

televisi pasti akan ditemukan stasiun yang tengah melek menawarkan siaran program yang sangat variatif. Semacam ancaman dan tantangan bagi para peserta didik, orangtua dan lembaga atau institusi pendidikan untuk mengatasinya.


(13)

Tabel 1. Pemilik Televisi di Wilayah Kota Metro

Kematan Luas

Wilayah

Jumlah Penduduk

Proyeksi Pemilik Televisi

1. Metro Selatan 14,33 14,254 87%

2. Metro Barat 11,28 25,529 93%

3. Metro Timur 11,78 35,405 95%

4. Metro Pusat 11,71 46,648 99%

5. Metro Utara 19,64 25,214 85%

Jumlah 68,74 147,050 89%

Sumber: (Data Proyeksi Masing-masing Kecamatan di Kota Metro, 2013).

Dari tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa jumlah pemilik pesawat televisi cukup besar. Asumsinya hampir setiap keluarga dipastikan memiliki televisi untuk menjadi media hiburan. Keberadaan media yang satu ini menjadi dilematika tersendiri bagi upaya peningkatan motivasi belajar anak. Karena tayangan-tayangan dari masing-masing stasiun televisi yang ada kadang positif bagi perkembangan anak namun kadang juga ada yang justru bisa merusak motivasi dan karakter anak-anak.

Untuk memantau proses JBM berjalan dengan baik, pihak Pemerintah Kota Metro membentuk tim pemantau yang akan bekerja sama dengan lurah dan ketua rukun tetangga (RT). Mereka akan memonitor apakah JBM berjalan dengan baik atau tidak. Jika ternyata tidak berjalan, akan dilakukan berbagai upaya dan pendekatan serta mencari solusi atas persoalan yang ada sehingga pada akhirnya JBM dapat berjalan baik.

Program Jam Belajar Masyarakat ini sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


(14)

dan dikuatkan lagi dengan Keputusan Walikota Metro Nomor 144/KPTS/D-3/2009 tentang Jam Belajar Masyarakat. Melalui Program Jam Belajar Masyarakat ini Pemerintah Kota Metro Meminta kepada seluruh masyarakat untuk mendukung pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat dengan cara mematikan televisi pada pukul 18.00 – 21.00 untuk kepentingan belajar anak.

Pada perkembangan selanjutnya, efektivitas Program Jam Belajar Masyarakat ini mulai mendapatkan sorotan dan kritikan. Program jam belajar yang dicanangkan Pemerintah Kota Metro, masih dinilai sebagian kalangan, sebatas formalitas belaka. Pasalnya, di lapangan pelaksanaanya masih kurang

optimal. (http://lampung.tribunnews.com/2011/06/21/

pencanangan-jam-belajar masih-formalitas).

Pihak DPRD Kota Metro pada tanggal 8 dan 9 Maret 2013 mengadakan Rapat Dengar Pendapat (hearing) dengan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pemuda Olahraga Kota Metro dimana salah satunya mengevaluasi pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat. Pihak legislatif menilai program ini belum dilaksanakan secara efektif oleh masyarakat dan belum didukung oleh kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah.

Dari hasil observasi di lapangan bahkan masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui adanya Program Jam Belajar Masyarakat ini. Hal ini dikarenakan minimnya sosialisasi oleh pemerintah. Sehingga informasi tentang program ini belum bisa menyentuh sampai ke tengah masyarakat dengan baik. Belum banyak langkah-langkah pemerintah untuk menyampaikan informasi pentingnya Jam Belajar Masyarakat. Bahkan


(15)

sebagian masyarakat menganggap program semacam itu hanya sekedar

seremonial untuk “pencitraan” semata. Komitmen pemerintah untuk

mencerdaskan masyarakat belum ditunjukkan dengan tanggung jawab yang sungguh-sungguh. Padahal jika sosialisasi terus menerus dilakukan maka secara perlahan perubahan mindset masyarakat tentang pentingnya Jam Belajar Masyarakat mulai akan terbangun. Beragam bentuk kegiatan

sosialisasi bisa dikelompokkan berdasarkan: metode penyampaian,

segmentasi maupun medianya.

Melihat kondisi ini ada dua substansi penting yang menjadi bahan informatif untuk dianalisis.

1. Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro telah berlangsung selama

kurang lebih 4 (empat) tahun sejak pertama kali dicanangkan pada Tahun 2009.

2. Program Jam Belajar Masyarakat merupakan jenis program yang sangat membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaannya karena domain pengaturannya ada dalam level keluarga, lingkungan Rukun Tetangga (RT), Lingkungan Kelurahan, dan masyarakat secara umum.

Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro ini merupakan kebijakan Walikota Metro yang direpresentasikan oleh dua dokumen, yaitu:

1. Surat Keputusan Walikota Metro Nomor 144/KPTS/D-3/2009 tentang

Waktu Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro


(16)

Setelah mengkaji kedua landasan kebijakan Jam Belajar Masyarakat tersebut dan kemudian dilengkapi dengan data hasil interview serta Focus Group Discussion (FGD) bersama warga, maka ada beberapa masalah terkait dengan rumusan dan pelaksanaan kebijakan tentang program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro, yaitu:

1. Keberadaan rumusan formal dalam Surat Keputusan Walikota Metro No. 144/KPTS/D-3/2009. Dalam rumusan Surat Keputusan tersebut memuat beberapa kekurangan dan kelemahan, yaitu:

a. Surat Keputusan Walikota Metro tentang Jam Belajar Masyarakat

terbuat terpisah dengan petunjuk teknis pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat yang telah disusun oleh tim Jam Belajar Masyarakat.

b. Anggaran pelaksanaan program Jam Belajar Masyarakat hanya

dibebankan pada APBD tahun anggaran 2009.

2. Sebagai implikasi dari permasalahan pertama maka munculnya persoalan kedua yaitu legalitas atau dasar hukum dari Buku Petunjuk Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro. Artinya Buku Petunjuk Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat yang ada belum memiliki payung hukum yang jelas dan bagaimana koneksitasnya dengan Surat Keputusan Walikota tersebut.

Secara teoritis menurut Mazmanian, Daniel A dan Sabatier (Wahab, 1997:1-2), suatu implementasi kebijakan publik/program ditentukan juga oleh karakteristik kebijakan publik. Karakteristik kebijakan meliputi: (1). Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah


(17)

kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. (2). Suatu kebijakan mesti memiliki kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. (3). Kejelasan besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut. Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial. (4). Kebijakan publik mensyaratkan kejelasan seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antara berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program. (5). Kebijakan harus didukung oleh kejelasan tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

Karakteristik kebijakan publik Jam Belajar Masyarakat Kota Metro belum menampilkan karakteristik kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh Mazmanian, Daniel A dan Sabatier di atas, seperti belum ada rincian kejelasan isi secara menyeluruh, yaitu masalah keberlanjutan pendanaan dan koneksitas antar kebijakan. Kemudian, kebijakan Jam Belajar Masyarakat belum memiliki kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. Selanjutnya, keterpautan dan dukungan antara berbagai institusi pelaksana belum ada. Bahkan, dukungan komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan Jam Belajar Masyarakat pun masih rendah. Kenyataan ini yang

kemudian mendorong perlunya review terhadap kebijakan Jam Belajar

Masyarakat di Kota Metro agar menjadi kebijakan yang komprehensif dan utuh.


(18)

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara

sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Dalam

bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna

implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai

tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut.

Evaluasi pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro ini penting untuk dilaksanakan mengingat program sejenis di beberapa daerah di Indonesia cenderung kurang berjalan efektif. Ada beberapa fenomena yang menggambarkan bahwa pelaksanaan program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro kurang efektif pelaksanaannya, yaitu:

1. Pada waktu jam belajar masyarakat antara pukul 18.00-21.00 justru banyak anggota keluarga yang tengah asyik menonton sinetron di televisi.

2. Saat yang sama juga masih banyak anak-anak pelajar yang menghabiskan

waktu bermain playstation, bermain gitar, dan sebagainya.

3. Dapat diungkapkan bahwa secara umum penentuan jam belajar bagi

masyarakat saat ini tinggal tulisan saja. Saat ini, susah didapati sekelompok warga yang masih konsisten menerapkan aturan yang


(19)

memiliki nilai sangat berarti ini. (Hasil survei Maarif Institut, di

Operasional RoomPemkot, Rabu (11-1).-Lampung Post).

Bagi Kota Metro sendiri, Program Jam Belajar Masyarakat ini memiliki arti yang strategis di bidang pendidikan, yaitu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan kecerdasan masyarakat. Upaya serius Pemerintah Kota Metro ini dapat dimaklumi karena melihat kondisi peningkatan pendidikan di Kota Metro berdasarkan indikator pendidikannya cenderung berjalan lambat. Hal ini bisa dicermati dari tabel Indikator Pendidikan Kota Metro di bawah ini:

Tabel 2. Indikator Pendidikan Kota Metro

Uraian 2007 2008 2009

Angka Melek Huruf (Persen)

97,26 97,26 97,36

Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)

9,80 9,80 9,80

Sumber : (Kota Metro dalam Angka, 2009)

Menurut informasi tabel 2, memang dari segi melek huruf masyarakat Kota Metro cenderung tinggi dan terus meningkat walaupun berjalan perlahan. Namun, di sisi rata-rata lama sekolah di Kota Metro dapat dikatakan masih rendah, yaitu rata-rata warga hanya menyelesaikan pendidikannya selama 10 tahun yang artinya rata-rata masyarakat Kota Metro hanya menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat SLTA.

Keberadaan Program Jam Belajar Masyarakat diharapkan dapat memacu motivasi warga untuk meningkatkan jenjang pendidikan. Dari


(20)

147.050 jiwa jumlah penduduk Kota Metro yang berada di tingkatan pendidikan dasar (SD) jumlahnya berkisar 20,32%. Jumlah ini cukup potensial sebagai obyek untuk peningkatan motivasi belajar masyarakat. Karena posisi level pendidikan di Sekolah Dasar merupakan dasar pembentukan karakter dan budaya yang cukup kuat bagi perkembangan anak pada fase-fase berikutnya. Jika dari kecil sudah terbentuk budaya belajar yang positif dalam diri anak-anak maka ketika sudah menapaki usia remaja anak akan memiliki karakter belajar yang lebih kuat lagi.

Adapun data penduduk Kota Metro berdasarkan tingkat pendidikannya sebagaimana tersaji dalam data berikut:

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kota Metro

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Lk Pr Jumlah

1. Tidak Punya Ijazah 15.35 16.02 15.68

2. Sekolah Dasar 19.52 21.15 20.32

3. SLTP Sederajat 17.32 21.67 19.46

4. SMU Sederajat 29.14 21.48 25.38

5. SMK Sederajat 7.00 6.08 6.55

6. D-1/D-2/D-3 2.79 6.07 4.40

7. D-4/S-1/S-3 8.88 7.53 8.21

Jumlah 100.00 100.00 100.00

Sumber: (Metro dalam Angka 2012)

Guna mendukung visi Kota Metro sebagai Kota Pendidikan dan agar Program Jam Belajar Masyarakat (JBM) yang telah dilakukan tetap konsisten dengan tujuan, prosedur dan berhasil dengan baik, saat ini perlu dilakukan


(21)

penilaian oleh pihak eksternal untuk mengkaji berbagai aspek yang berhubungan dengan Program Jam Belajar Masyarakat yang telah dilaksanakan tersebut. Kemudian, melalui studi ini diharapkan juga dapat ditemukan kelemahan-kelemahan, kemajuan-kemajuan, dan kemudian disusun rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro di masa akan datang. Untuk itu diperlukan data dan informasi sebanyak mungkin mengenai kondisi pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro, khususnya di lingkungan Kelurahan di Kota Metro setelah diberlakukan Program Jam Belajar Masyarakat.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“Apakah Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro sudah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui capaian/pelaksanaan (achievement) Program Jam

Belajar Masyarakat di Kota Metro pada tahun 2010 – 2013.

2. Untuk mengukur kemajuan (progress), yang terkait dengan tujuan

Program Jam Belajar Masyarakat.

3. Untuk mengidentifikasi masalah pelaksanaan Program Jam Belajar


(22)

4. Untuk melihat efektivitas Program Jam Belajar Masyarakat atau melihat perbedaan yang dicapai program tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna secara teoritis maupun praktis yaitu:

1. Secara Teoritis: Penelitian ini merupakan salah satu kajian terhadap kebijakan publik (public policy) khususnya yang berkaitan dinamika kebijakan, analisis kebijakan dan manajemen kebijakan.

2. Kegunaan Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi Pemerintah Kota Metro dalam proses evaluasi Jam Belajar Masyarakat (JBM).


(23)

A. Konsep Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi

Terkadang tidak semua orang menyadari bahwa setiap saat selalu melakukan pekerjaan evaluasi. Dalam beberapa kegiatan sehari-hari jelas-jelas telah mengadakan pengukuran dan penilaian. Di dalam istilah

asingnya, pengukuran adalah measurement, sedang penilaian adalah

evaluation, inilah diperoleh kata Indonesia evaluasi yang berarti menilai (tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu).

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan

“penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian

(assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil

kebijakan dalam arti satuan nilainya”. (Dunn, 1998:608). Lebih spesifik evaluasi adalah:

“Berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat

dari hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai maka memberikan sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi”. (Dunn, 1997:608).


(24)

Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralp Tyler (1950) dalam

Suharsimi (2003:3), yang menyatakan bahwa “Evaluasi merupakan sebuah

proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua orang ahli lain, yakni Cronbach dan Stufflebeam dalam Suharsimi

(2003:3), tambahan definisi tersebut adalah “Proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk

membuat keputusan.”

Menurut Hamid H. (2008:32) dalam Rusman (2009:93), bahwa

“Evaluasi kurikulum dan evaluasi pendidikan memiliki karakteristik yang tak terpisahkan”. Demikian pula dengan evalusi yang diartikan oleh berbagai pihak dengan berbagai pengertian. Hal tersebut disebabkan filosofi keilmuan yang dianut seseorang berpengaruh terhadap metodologi evaluasi dan pada gilirannya terhadap pengertian evaluasi.

Menurut Morrison dalam Rusman (2009:94), dan Arikunto (2004:1)

“Evalusi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang

bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk

menentukan alternative yang tepat dalam mengambil keputusan”. Menurut

Worthen dan Sanders (1979:1) “Evaluasi adalah mencari sesuatu yang berharga (worth)”. Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi


(25)

Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya. Menurut Dunn (2003:608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:

a. Fokus Nilai. Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan

atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

b. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”

maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program

tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau sejumlah masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

c. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan


(26)

masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

d. Dualitas Nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh mana berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dan dianggap sebagai intristik (diperlukan bagi dirinya) ataupun eksentris (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komprehensif yang di dalamnya meliputi pengukuran. Di samping itu, evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description). Baik yang didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) maupun bukan pengukuran (non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu program yang di evaluasi. Rusman (2009:94).


(27)

2. Pengertian Evaluasi Program

Evaluasi program adalah “suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program”. Arikunto (1999:290), sedangkan menurut Kirkpatrick (1996:3), bahwa “evaluasi program merupakan sebuah proses untuk mengetahui apakah sebuah program dapat direalisasikan atau tidak, dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya melalui rangkaian informasi yang

diperoleh evaluator”.

Apabila penulis membatasi pengertian tentang “program”, maka

program dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan”. Dari

uraian tersebut dapat ditangkap bahwa suatu kegiatan perlu direncanakan apabila kegiatan yang bersangkutan emang dipandang penting sehingga apabila tidak direncanakan secara matang boleh jadi akan menjumpai kesulitan atau hambatan.

Evaluasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan suatu program. Manfaat positif akan diperoleh apabila evaluasi dijalankan dengan benar dan memperhatikan segenap aspek yang ada dalam suatu program. Menurut Dunn (2003:609-611), mempunyai sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, yakni:

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam


(28)

menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknik, ekonomi, legal, sosial, subtantif). 3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis

kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja dapat member sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.

Patton dan Sawicki (1991) mengklasifikasikan metoda

pendekatan yang dapat dilakukan dalam penelitian evaluasi menjadi 6 (enam) yaitu:

1. Before and after comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan kondisi sesudahnya suatu kebijakan atau program diimplementasikan.

2. With and without comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan menggunakan pembandingan kondisi antara yang tidak mendapat dan yang mendapat kebijakan atau program, yang telah di modifikasi dengan memasukan perbandingan kriteria-kriteria yang relevan di tempat kejadian peristiwa (TKP) dengan program terhadap suatu TKP tanpa program.

3. Actual versus planed performance comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan membandingkan kondisi yang ada (actual) dengan ketetapan-ketetapan perencanaan yang ada (planned). 4. Experimental (controlled) models, metode ini mengkaji suatu objek

penelitian dengan melakukan percobaan yang terkontrol/dikendalikan untuk mengetahui kondisi yang diteliti.

5. Quasi experimental models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian

dengan melakukan percobaan tanpa melakukan

pengontrolan/pengendalian terhadap kondisi yang diteliti. Cost oriented models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian yang hanya didasarkan pada penelitian biaya terhadap suatu rencana. (Arikunto, 2002: 14 ).

Fungsi utama evaluasi, pertama memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh


(29)

kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nugroho (2004) mengatakan bahwa evaluasi akan memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik (Nugroho, 2004: 185).

Adapun definisi evaluasi program menurut para ahli yang lain yaitu,

menurut Arikunto (1999:290) (1) Evaluasi program adalah “suatu

rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat

keberhasilan program”. (2) Evaluasi Program adalah “kegiatan yang

dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan”, http://els.bappenas.go.id. (3) Evaluasi

program “merupakan alat bantu bagi pimpinan suatu organisasi dalam

membuat suatu keputusan dan sebagai suatu alat manajemen (management

tool)”, http://els.bappenas.go.id. (4) Evaluasi program adalah “langkah awal dalam supervise,yaitu mengumpulkan data yang tepat agar

dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula”

http://els.bappenas.go.id. (5) Evaluasi program merupakan “sebuah proses untuk mengetahui apakah sebuah proses dapat direalisasikan atau tidak dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya melalui


(30)

rangkaian informasi yang diperoleh evaluator”. (Kirkpatrick, 1996:3)

http://els.bappenas.go.id.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi program adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu program pemerintah yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif atau pilihan yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Dengan melakukan evaluasi maka akan ditemukan fakta pelaksanaan kebijakan publik dilapangan yang hasilnya bisa positif ataupun negatif. Sebuah evaluasi yang dilakukan secara professional akan menghasilkan temuan yang obyektif yaitu temuan apa adanya; baik data, analisis dan kesimpulannya tidak dimanipulasi yang pada akhirnya akan memberikan manfaat kepada perumus kebikan, pembuat kebijakan dan masyarakat.

3. Dimensi dan Tahapan Evaluasi Program

Menurut Beni Setiawan (1999:20) Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Bappenas, tujuan evaluasi program adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan program di masa yang akan datang. Menurut Beni Setiawan, (1999:20) dimensi utama evaluasi diarahkan kepada hasil, manfaat, dan dampak dari program. Pada prinsipnya yang perlu dibuat perangkat evaluasi yang diukur melalui empat dimensi, yaitu:


(31)

1. Indikator masukan (input) 2. Proses (Process)

3. Keluaran (output)

4. Indikator dampak (outcame)

Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan dari suatu program, oleh karena itu pengertian evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan tahapan siklus pengelolaan program sebagaimana gambar.1 berikut:

Gambar 1 : Siklus Evaluasi Program

---

Ex- Ante Implementasi Ex-Post Sumber: (Benni, 1999)

Program

Dampak Kebutuhan

Hasil


(32)

Menurut Gambar 1, evaluasi program memiliki tiga tahapan yang saling terkait dan bekerja dengan logika siklus. Ketiga tahapan evaluasi program tersebut adalah sebagai berikut:

a. Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE). Pada tahap perencanaan,

evaluasi sering digunakan untuk memilih dan menetukan priorotas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.

b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING). Pada tahap

pelaksanaan , evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

c. Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST) pada tahap pasca pelaksanaan evaluasi ini diarahkan untuk melihat apakah pencapaian

(keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah

pembangunan yang ingin dipecahkan. Evaluasi ini dilakukan setelah program berakhir untuk menilai relevansi (dampak dibandingkan masukan), efektifitas (hasil dibandingkan keluaran), kemanfaatan (dampak dibandingkan hasil), dan berkelanjutan (dampak dibandingkan hasil dan keluaran) dari suatu program.

Hubungan ketiga tahapan tersebut sangat erat, selanjutnya terdapat perbedaan metodologi dan evaluasi program yang berfokus kerangka anggaran dengan yang berfokus pada kerangka regulasi. Evaluasi program yang berfokus pada anggaran dilakukan dengan dua cara yaitu: penilaian


(33)

indikator kinerja program berdasarkan keluaran dan hasil dan studi evaluasi program berdasarkan dampak yang timbul. Cara pertama dilakukan melalui perbandingan indikator kinerja sasaran yang direncanakan dengan realisasi, informasi yang relevan dan cukup harus tersedia dengan mudah sebelum suatu indikator kinerja program dianggap layak. Cara yang kedua dilaksanakan melalui pengumpulan data dan informasi yang bersifat lebih mendalam (in depth evaluation) terhadap hasil, manfaat dan dampak dari program yang telah selesai dilaksanakan. Hal yang paling penting adalah mengenai informasi yang dihasilkan dan bagaimana memperoleh informasi, dianalisis dan dilaporkan. Informasi harus bersifat independen, obyektif, relevan dan dapat diandalkan.

4. Tujuan Evaluasi Program

Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006:48), tujuan khusus evaluasi program terdapat 6 (enam) hal, yaitu:

1. Memberikan masukan bagi perencana program.

2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan

tindak lanjut, perluasan atau penghentian program.

3. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi

atau perbaikan program.

4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan


(34)

5. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program, dan;

6. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program. Tujuan evaluasi program menurut Beni Setiawan (1999:20) adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan program di masa yang akan datang. Sudjana, tujuan evaluasi adalah untuk melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan secara bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat menyajikan 5 (lima) jenis informasi dasar sebagai berikut:

1. Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah pelaksanaan

suatu program harus dlanjutkan

2. Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.

3. Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar unsur program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang diberikan sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.

4. Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program

pendidikan sehingga para pembuat keputusan dapat menetukan paling menerima pengaruh dari pelayanan setiap program tentang individu,


(35)

kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling menerima pengaruh dari pelayanan setiap program.

5. Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai

permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi pengaruh program.

5. Model Evaluasi Program

Model evaluasi adalah model desain evaluasi yang dibuat oleh para ahli/pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan pembuatnya. Model ini dianggap standar. Disamping itu ahli evaluasi yang membagi evaluasi sesuai dengan misi yang akan dibawakannya serat kepentingan atau penekannya atau dapat juga disebut sesuai dengan paham yang dianut yang disebut pendekatan atau approach. Ada banyak model evaluasi, antara lain:

a. Model William N. Dunn

Mengikuti William N. Dunn (1999:608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apparaisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment). Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi member sumbangan pada aplikasi pada metode-metode analisis kebijakan


(36)

lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dan kebijakan, khususnya pada

implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan

pada sisi post tindakan, yaitu lebih pada “proses” perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah prosesnya sudah sesuai dengan prosedur yang telah disepakati.

Tabel 4. Tipe Evaluasi menurut Dunn

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Unit Pelayanan

Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

Unit biaya, Manfaat bersih,

Ratio Cost Benefit Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang

diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap. Efektivitas tetap

Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Kriteria Pareto, Kriteria Kaldor Hicks, Kriteria Rawls.

Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai-nilai kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survey warga Negara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai

Program publik harus merata dan efisien

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing

evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses. Evaluasi setelah kebijakan juga disebut sebagai

evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi


(37)

Secara spesifik Dunn (1999:612-634) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis.

Tabel 5. Pendekatan-pendekatan dalam evaluasi kebijakan versi Dunn

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk

Utama

Teknik

Evaluasi semu Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan publik

Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial.

Eksperimentasi sosial.

Akuntansi sistem sosial.

Pemeriksaan sosial.

Sintesis riset dan praktik.

Sajian grafik.

Tampilan tabel.

Angka indeks.

Analisis seri waktu terinterupsi.

Analisis seri terkontrol.

Analisis diskontinuregresi. Evaluasi

formal

Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan.

Tujuan dan sasaran pengambilan kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

Evaluasi perkembangan.

Evaluasi eksperimental.

Evaluasi proses retrospektif (ex-post).

Evaluasi hasil retrospektif. Pemetaan sasaran. Klarifikasi niali. Kritik nilai. Pemetaan hambatan.

Analisis dampak silang.

Discounting.

Evaluasi Keputusan Teoritis

Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan

Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam

merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

Penilaian tentang dapat tidaknya di evaluasi.

Analisis utilitas multi atribut

Brainstorming.

Analisis argumentasi.

Delphi kebijakan.

Analisis survey pemakai.


(38)

b. Model Sudjana

Sudjana, (2006:51) berpendapat bahwa model evaluasi terdapat enam model, yaitu:

1) Model evaluasi terfokus pada pengambilan keputusan (jenis inilah yang terbanyak digunakan).

2) Model evaluasi terhadap unsur-unsur program.

3) Model evaluasi terhadap jenis/tipe kegiatan program.

4) Model evaluasi terhadap proses pelaksanaan program.

5) Model evaluasi terhadap pencapaian tujuan program. 6) Model evaluasi terhadap hasil dan pengaruh program.

Kegunaan utama model ini adalah untuk mengkaji sejauhmana suatu Lembaga Penyelenggara dan Pengelola Pelayanan Program kepada masyarakat telah berhasil dilaksanakan misinya. Dalam konteks ini maka evaluasi pengaruh diawali dengan mempelajari misi-misi yang mengidentifikasi hasil-hasil utam program yang ingin dicapai dan/atau hasil-hasil program yang tidak tercapai, model ini pada awalnya dikembangkan untuk mengevaluasi proyek-proyek pengembangan Sumber Daya Manusia yang terdiri atas:

1) Pemantauan proyek untuk mengetahui efisiensi proyek-proyek

tertentu.

2) Evaluasi tentang keberhasilan atau kegagalan sementara suatu


(39)

3) Evaluasi yang mengkaji tujuan-tujuan jangka panjang suatu program dengan melihat keberhasilan dan kegagalan program dalam jangka panjang tersebut.

Sudjana (2000: 55) memaknai bahwa tujuan evaluasi adalah untuk melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan data yang diperlukan untuk mengambil keputusan secara bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat menyajikan 5 (lima) jenis informasi sebagai berikut:

1) Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah

pelaksanaan suatu program harus dilanjutkan.

2) Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.

3) Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar unsur program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang diberikan sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai. 4) Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program

sehingga para pembuat keputusan dapat menentukan tentang individu, kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling menerima pengaruh dari pelayanan setiap program.

5) Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai


(40)

c. Model Ernest R. House

Ernest R House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi evaluasi menjadi :

1) Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.

2) Model perilaku, dengan indikator utama adalah keefektifan dan keterjagaan kualitas.

3) Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah

keefektifan dan keterjagaan kualitas.

4) Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial.

5) Model kekritisan seni (art criticism) dengan indikator utama adalah standart yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.

6) Model review professional, dengan indikator utama adalah

penerimaan professional.

7) Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi.

8) Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas diversitas.

Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:

1) Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dan hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.


(41)

2) Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.

3) Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun

menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejarah

laboratorium.

4) Evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak

dalam waktu segera untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap

shot).

d. Model Wibawa

Menurut Wibawa, dkk (1993: 10-11), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu:

1) Eksplanasi.

Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini, evaluator dapat mengidentifikasikan masalah, kondisi, dam aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

2) Kepatuhan.

Melalui evaluasi dapat diketahuinapakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standart dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.


(42)

3) Audit.

Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4) Akunting.

Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

e. Model Riant Nugroho

Menurut Riant Nugroho (2011) pemahaman tentang evaluasi kebijakan biasanya bermakna sebagai evaluasi implementasi kebijakan dan atau evaluasi kinerja atau hasil kebijakan.

Gambar 2 : Dimensi Kebijakan Publik sebagai Fokus Evaluasi Kebijakan

Dari proses kebijakan pada gambar 2, terlihat bahwa selalu ada sisi evaluasi kebijakan dari setiap kebijakan publik. Sesungguhnya, evaluasi kebijakan publik memiliki 3 (tiga) lingkup makna yaitu, evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Karena ketiga komponen tersebutlah

Perumusan Kebijakan Implementasi Kebijakan

Lingkungan Kebijakan Kinerja Kebijakan


(43)

yang menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak.

Namun demikian konsep dalam konsep “evaluasi” sendiri selalu terkait dengan konsep “kinerja” sehingga evaluasi kebijakan publik pada

ketiga wilayah itu bermakna “kegiatan pasca”.

Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik berkenaan tidak hanya dengan hanya implementasinya melainkan berkenaan dengan perumusan, implementasi dan lingkungan kebijakan publik.

Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy (2011) mengikuti pernyataan Sofian Effendi yang mengatakan bahwa tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:

1) Bagaimana kinerja implementai kebijakan publik? Jawabannya

berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.

2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome implementasi kebijakan.

3) Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implemtasi kebijakan

publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk


(44)

variable-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat memasukkan sebagai variabel evaluasi.

Namun demikian ada beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai panduan pokok, yaitu:

1) Terdapat perbedaan tipis antara evaluasi kebijakan dan analisis kebijakan. Namun demikian, terdapat satu perbedaan pokok, yaitu analisis kebijakan biasanya diperuntukkan bagi lingkungan pengambil kebijakan untuk tujuan formulasi atau penyempurnaan kebijakan, sementara evaluasi dapat dilakukan oleh internal ataupun eksternal pengambil kebijakan.

2) Evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok, yaitu:

a) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk

meningkatkan kinerja kebijakan.

b) Yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat

kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.

c) Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.

3) Evaluator haruslah individu atau lembaga yang mempunyai karakter

professional, dalam arti menguasai kecakapan keilmuan,

metodologi, dan dalam beretika.

4) Evaluasi dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau


(45)

Dari kelima model evaluasi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya maka peneliti akan menggunakan model evaluasi William N Dunn dan Riant Nugroho dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa evaluasi implementasi kebijakan dibagi menjadi tiga menurut

timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan.

2. William N Dunn juga mengutarakan bentuk-bentuk utama evaluasi

berupa pemeriksaan sosial.

3. Menyebut dengan jelas evaluasi pelaksanaan program dalam konteks kesesuaian hasil dengan tujuan.

4. Riant Nugroho menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan bermakna

mengevaluasi elemen-elemen utama dalam kebijakan yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Ketiga elemen ini saling terkait dengan evaluasi kebijakan dan hasil akhirnya akan menentukan kinerja kebijakan.

B. Konsepsi Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan

Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan,


(46)

organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut:

a. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan.

b. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari

administrasi.

c. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan.

d. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan.


(47)

f. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit.

g. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu.

h. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi.

i. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci

lembaga-lembaga pemerintah.

j. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

Menurut Budi Winarno (2007 : 15), istilah kebijakan (policy term)

mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia” , “kebijakan ekonomi Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan grand design (Suharno :2009 : 11).

Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan

yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan.

Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada didalamnya. James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17)


(48)

mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action

followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).

Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.

Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok


(49)

atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.

2. Pengertian Kebijakan Publik

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang--undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.

Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilainilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.

Pada dasarnya meskipun tidak tertulis menurut Riant Nugroho (2011:11-15) dalam memahami kebijakan publik ada dua jenis aliran atau

pemahaman, yaitu Kontinentalis dan Anglo-Saxonis. Pemahaman


(50)

bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga kita melihatnya sebagai proses interaksi di antara institusi-institusi negara. Pemahaman anglo-saxon memahami bahwa kebijakan publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.

Masih menurut Riant Nugroho (2008), bagaimana dengan Indonesia? Kondisi objektif di Indonesia adalah dalam praktik administrasi publik, dan kebijakan publik identik dengan hukum. Kondisi ini dapat disimak dalam praktik pengembangan kualitas kebijakan di tingkat nasional (DPR, Departemen, dan lain-lain) maupun Daerah (DPRD, Pemda). Oleh karena itu, agenda yang paling utama adalah melakukan pengembangan kapasitas untuk

legal drafting. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir pengamatan, agenda untuk legal drafting mencapai 80% atau lebih, sementara agenda untuk membangun kapasistas untuk mengembangkan kebijakan publik yang bukan dalam makna hukum atau legal drafting, 20% atau kurang.

Pemahaman ini, sebagaimana dikemukakan di depan, tidak terpisahkan dari perjalanan historis negara Indonesia, yang mewarisi sistem administrasi publik Belanda. Bahkan, para founding fathers Indonesia, mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, hingga Djuanda, adalah intelektual dengan basis pengetahuan pendidikan Belanda.

Administrasi publik dalam konteks kepemerintahan yang baik menyangkut negara dan seluruh aktor atau lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem politik di dalamnya. Dengan konteks ini, secara sederhana


(51)

Kepemerintahan Global

pemahaman tentang administrasi publik dapat digambarkan dalam empat tingkatan pokok yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3 : Lima Jenjang Administrasi Publik

Hal ini dikutip dari Riant Nugroho (2011:88) bahwa dari gambar tersebut, administrasi publik dapat didefinisikan menjadi lima tingkatan pengelompokan, yaitu birokrasi, pemerintahan, negara, dan governance yang lingkupnya adalah keseluruhan sistem politik dan global governance. Model ini dikembangkan dari model pemahaman administrasi publik David Bresnik, guru besar administrasi publik pada City University, New York, yang menyebutkan sebagai setting of an administrative game yang terdiri atas (dari yang paling terdalam hingga terluar): bureau, agency, superagency, political executive, political system (legislative, judicial, public opinion), dan social system (Bresnick, 1982).

Governance

Negara

Pemerintahan birokrasi


(52)

Kebijakan publik menurut Riant Nugroho (2011:68) adalah keputusan otoritas Negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Dimana tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya Negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya Negara.

Riant Nugroho (2011:52-54) menyatakan satu hal yang perlu dicatat, beberapa ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan sebagai kata ganti policy. Perlu ditekankan, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena (ke)bijaksana(an) adalah salah satu dari ciri kebijakan publik yang unggul. Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy. Dimana pelajaran ini mengajarkan kepada kita, kehidupan bersama harus diatur. Bukan sekedar diatur, melainkan diatur oleh peraturan yang berlaku untuk semuanya dan berlaku mengikat semuanya. Setiap pelanggar akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukannya, dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.

Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik. Jadi, apakah kebijakan adalah hukum? Benar, tetapi tidak hanya itu. Sebelum mendefinisikan, mari kita lihat apa pendapat para pakar tentang kebijakan publik.

Sedangkan Riant Nugroho (2008:55) merumuskan definisi kebijakan publik secara sederhana yakni “kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk


(53)

mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.”

Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang ini, dan menolak yang itu.

Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno (2002: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008 : 6) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan

antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak

beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.


(54)

Menurut Nugroho, ada dua karakteristik dari kebijakan publik, yaitu:1) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur, karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh. Menurut Woll sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:2) menyebutkan bahwa kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009: 19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do or not to do” ( apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik

adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan

pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.

Terdapat beberapa ahli yang mendefiniskan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik. Begitupun dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003: 1) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk


(55)

memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009: 19) memberikan definisi kebijakan publik sebagai “ the autorative allocation of

values for the whole society”. Definisi ini menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam


(56)

ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

3. Urgensi Kebijakan Publik

Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah. Studi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye, sebagaimana dikutip Sholichin Abdul Wahab (Suharno: 2010: 14) sebagai berikut:

“Studi kebijakan publik mencakup menggambarkan upaya

kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan)

maupun dampak yang tidak diharapkan.”

Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 16- 19) dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa kebijakan publik penting atau urgen untuk dipelajari, yaitu:

a. Alasan Ilmiah

Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh

pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses

perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat (dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent


(57)

variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika fokus perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik.

b. Alasan professional

Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari.

c. Alasan Politik

Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.

4. Tahap-tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda.


(1)

185

perguruan tinggi, kalangan profesional dan organisasi masyarakat lainnya.

5. Perlu daerah percontohan penerapan Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro di satu wilayah terkecil kelurahan.

6. Perlunya mengkaji kembali rentang waktu belajar masyarakat dari pukul 18.00-21.00 WIB karena dirasakan oleh masyarakat terlalu panjang untuk tahap awal pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat.

7. Tim Jam Belajar Masyarakat pada setiap tingkatan dibuat menjadi sebuah Forum Lintas Pelaku (FLP) program Jam Belajar Masyarakat yang lebih luas pelibatan elemen masyarakatnya.

2. Penyebaran Informasi/Sosialisasi Program Jam Belajar Masyarakat

a. Perlunya sosialisasi secara utuh tentang esensi Program Jam Belajar Masyarakat kepada masyarakat bukan saja sosialisasi yang sifatnya himbauan mematikan televisi, game, playstation, dan alat lainnya dari pukul 18.00-21.00 WIB.

b. Perlunya intensitas sosialisasi Program Jam Belajar Masyarakat ke masyarakat lapisan paling bawah secara terprogram, kontinyu, degan strategi dan media/alat sosialisasi yang dipandang efektif untuk dilakukan oleh Tim Jam Belajar Masyarakat baik Tingkat Kota, kecamatan, Kelurahan maupun oleh Pemerintah sendiri.

c. Perlunya sinergitas sosialisasi dengan Dinas/Instansi dan elemen masyarakat terkait.


(2)

186

3. Kelembagaan Tim Jam Belajar Masyarakat

a. Perlunya percepatan pembentukan kelembagaan Tim Jam Belajar Masyarakat baik di Tingkat Kecamatan, Kelurahan serta Tim Jam Belajar Masyarakat di Tingkat RT dan RW sebagai prioritas kerja Tim Jam Belajar Masyarakat Kota Metro.

b. Tim Jam Belajar Masyarakat Kota Metro untuk fokus dalam suksesnya pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro untuk melakukan koordinasi intensif antar Tim Jam Belajar Masyarakat, melakukan gerakan sosialisasi secara kontinyu, serta monitoring dan evaluasi program Jam Belajar Masyarakat secara periodik.

c. Penguatan kelembagaan Tim Jam Belajar Masyarakat yang sudah dan akan terbentuk dengan melakukan pelatihan, sosialisasi maupun lainnya yang diperlukan supaya Tim Jam Belajar Masyarakat solid dan kuat dalam melakukan kerja-kerjanya.

d. Perlu pelibatan elemen masyarakat secara luas dan langsung serta memiliki kepedulian terhadap sektor pendidikan dalam pembentukan Tim Jam Belajar Masyarakat di semua tingkatan.

4. Anggaran Program Jam Belajar Masyarakat

a. Perlunya dukungan pengalokasian amggaran APBD untuk Program Jam Belajar Masyarakat baik dalam perencanaan program, program-program pendukung pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat, kegiatan sosialisasi, monitoring dan evaluasi Program Jam Belajar Masyarakat.


(3)

187

b. Perluna dukungan anggaran untuk Tim Jam Belajar Masyarakat Kecamatan, Kelurahan terutama tim Jam Belajar Masyarakat di tingkat RT dan RW untuk pengadaan alat sosialisasi, kegiatan sosialisasi, kegiatan pendukung Program Jam Belajar Masyarakat seperti kelompok belajar warga, kegiatan monitoring dan evaluasi Program Jam Belajar Masyarakat.

5. Evaluasi dan Monitoring Program Jam Belajar Masyarakat

a. Perlunya evaluasi dan monitoring yang dilakukan secara kontinyu oleh Tim Jam Belajar Masyarakat.

b. Perlunya disusun strategi monitoring dan evaluasi partisipatif dalam pelaksanaan program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro.

6. Partisipasi masyarakat atas Program Jam Belajar Masyarakat

a. Perlu pelibatan aktif semua elemen masyarakat secara langsung baik dalam pembentukan Tim Jam Belajar Masyarakat maupun agenda-agenda strategis pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat.

b. Perlunya pembentukan relawan-relawan Jam Belajar Masyarakat / Satuan Tugas (Satgas) Jam Belajar Masyarakat atau sejenisnya yang berasal dari ide-ide masyarakat berbasis tingkat RT dan RW.

c. Perlunya mendorong berdirinya kelompok-kelompok belajar warga masing-masing RT/RW untuk mendukung pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2008. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Abdul Wahab, Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Jakarta:

Rineka Cipta.

Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Anderson, James E. 1979. Public Policy-Making. USA: Michigan University. Arikunto, Suharsimi, dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2004. Evaluasi Program

Pendidikan, Pedoman Teoritis bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bresnick, David. 1982. Public Organizations and Policy: An Experimental Approach to Public Policy and Its Execution. USA: Scott Foresman & Co. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada, Media Group. Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua.

Jogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dwidjowiyoto dan Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Gramedia.

……….,2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang- Modelmodel Perumusan, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Kumpotindo, Gramedia.

Edwards, George C. 1980. Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press.

Ekowati, Mas Roro Lilik. 2005. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Edisi Revisi. Bandung: PT Rosdakarya.


(5)

Erwan Agus Purwanto, Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasinya, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gava Media.

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Hamid, Edy Suandi dan Malian, Sobirin. 2008. Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi, dan Saran. Yogyakarta: UII Press.

House, Ernest R. 1980. Evaluating with Validity. California: Sage Publications. Hoogwood, Brian W & Gunn, Lewis A. 1985. Policy Analysis for the Real World.

USA: Oxford University Press.

Islamy, Irfan. 2004. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Matthew B Miles dan A Michael Huberman, Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992.

Analisis Data Kualitatif (Qualitative Data Anallysis-Sage

Publication,Inc). Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Miles, Matthew B & Hubberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis. Sage Publication.

Moleong, Lexy.J. 2001. Metodologi Penelitian Kulitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nugroho, Riant. 2011. Public Policy Dinamika Kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen Kebijakan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Patton, Sawicki. 1991. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. Prentice Hall.

Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

Setiawan, Beni. 1999. Agenda Pendidikan Nasional. Yogjakarta: Ar-Ruz Media. Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharno. 2008. Prinsip-Prinsip Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta: UNY Press. Suharno. 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. UNY Press.

Sudjana, Djudju. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Rosdakarya.


(6)

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta.

Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.

Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Edisi/Cetakan Kedua. Jogjakarta: Media Pressindo.

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus). Jogjakarta: Caps Publishing.

……….. 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Dokumen:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.

Keputusan Walikota Metro Nomor 144/KPTS/D-3/2009 tentang Jam Belajar Masyarakat.

Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Metro, 2012. Pedoman Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro.

Media:

www.bappenas.go.id www.lampungpost.com www.metrokota.go.id lampung.tribunnews.com www.wikipedia.org


Dokumen yang terkait

Program Informasi Televisi dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Masyarakat (Studi Korelasional Mengenai Program “Metro Kini” di Metro TV dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Masyarakat Kelurahan Parhorasan Nauli Kota Pematangsiantar)

1 45 122

IMPLEMENTASI PROGRAM BUS SEKOLAH GRATIS DI KOTA METRO (Studi Di Sekretariat Daerah Kota Metro)

14 50 69

EVALUASI KINERJA GURU PASCA PROGRAM SERTIFIKASI GURU DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI KOTA METRO

3 24 73

MOTIF MASYARAKAT MENONTON PROGRAM ACARA ”JAM MALAM” DI TELEVISI (Studi Deskriptif Motif Masyarakat Surabaya Menonton Program Acara ”Jam Malam” di Trans 7).

0 2 86

TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI RW 9 KELURAHAN GUNUNGKETUR PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA.

0 1 213

Polres Metro Amankan Jalannya Malam Takbir di Kota Metro

0 0 1

Program Informasi Televisi dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Masyarakat (Studi Korelasional Mengenai Program “Metro Kini” di Metro TV dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Masyarakat Kelurahan Parhorasan Nauli Kota Pematangsiantar)

0 0 12

PROGRAM INFORMASI TELEVISI DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN INFORMASI MASYARAKAT (STUDI KORELASIONAL MENGENAI PROGRAM “METRO KINI” DI METRO TV DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN INFORMASI MASYARAKAT KELURAHAN PARHORASAN NAULI KOTA PEMATANGSIANTAR) SKRIPSI

0 0 16

MOTIF MASYARAKAT MENONTON PROGRAM ACARA ”JAM MALAM” DI TELEVISI (Studi Deskriptif Motif Masyarakat Surabaya Menonton Program Acara ”Jam Malam” di Trans 7)

0 0 21

Evaluasi Penyelenggraan Program Pendampingan Belajar Masyarakat (PBM) di Program Studi Pendidikan Akuntansi - USD Repository

0 1 15