30
perlakuan istimewa,
sementara perempuan
sulit mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka sudah
berusaha dengan sungguh-sungguh.
Ketiga,
Woman’s place or social perspective model model tempat perempuan atau model perspektif
sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah
mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada perempuan.
2.3.1.Teori Ketidakadilan Gender
Di samping model kesenjangan gender yang diungkap Chliwniak di atas, penyisihan kepada
perempuan juga
dapat diidentifikasi
oleh teori
ketidakadilan gender. Sebetulnya sistim dan struktur yang tidak adil gender tidak hanya merugikan
perempuan namun juga laki –laki. Meskipun demikian
rupanya perempuan lebih mengalami dampak negatif yang parah. Beberapa teori ketidakadilan gender dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Menyisihkan hak
– hak perempuan
Ada beberapa mekanisme proses penyisihan hak –
hak perempuan karena perbedaan gender. Misalnya, karena
kekuasaan atau
kebijakan pemerintah,
keyakinan pada tradisi, melanjutkan kebiasaan dan asumsi ilmu pengetahuan. Contohnya, diterapkan
31
revolusi hijau yang memfokuskan pada pengembangan pertanian yang ditangani oleh laki
–laki mengakibatkan perempuan tersisih dan menjadi miskin. Untuk para
guru taman
kanak –kanak dan pekerja pabrik,
perempuan biasanya diberi upah yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja
di bidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menerima
upah di sektor publik, misalnya di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Hal ini juga menjadikan
perempuan tergantung
secara ekonomi
kepada suaminya Yaqin,2005.
b. Gender dan Subordinasi
Pelaksanaan peran
gender cenderung
menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi karena
adanya realita
“dominasi”, dan
menempa tkannya pada “posisi nomor duasub-
ordinasi”. Hal ini terjadi karena faktor –faktor yang telah terkonstruksi secara sosial. Ada anggapan bahwa
perempuan irasional dan emosional sehingga tidak mampu tampil sebagai pemimpin. Oleh karena itu
muncul sikap untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak penting. Bentuk sub-ordinasi yang
sangat menonjol misalnya semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai “pekerjaan rumah tangga” yang
dilakukan oleh perempuan dianggap lebih rendah dari
32
“pekerjaan produksi” yang dikuasai atau didominasi oleh laki
–laki Mutali’in,2001
c. Gender dan “triple peran”
Pada masyarakat Indonesia, perempuan sebagai
istri harus mengerjakan berbagai pekerjaan dalam rumah
tangga. Meskipun
demikian, dalam
perkembangan keadaan terutama untuk mengisi pembangunan,
perempuan juga
harus menyumbangkan tenaganya sekaligus mencari nafkah
bagi keluarga, namun perannya hanya dihargai sebagai pencari nafkah tambahan. Akibatnya, perempuan
harus berperan sebagai istri sekaligus ibu, pengelola rumah tangga, dan sebagai tenaga kerja; perempuan
harus berperan rangkap tiga atau juga disebut sebagai “triple peran”. Curahan waktu dan tenaga yang
dihabiskan oleh perempuan untuk mengerjakan tiga bidang
pekerjaan tersebut
jauh lebih
berat dibandingkan dengan laki
–laki. Meskipun demikian, secara ekonomi dan secara sosial statusnya di dalam
masyarakat dianggap kurang berharga dan rendah Mutali’in 2001,Handayani dan Sugiaarti,2002.
d. Gender dan pelabelan