Arsitektur dan Desain Interior Hunian Kolonial Belanda di Indonesia

9 Ada ruko yang memiliki dua lantai, ada juga ruko satu lantai dengan pembagian sebagai berikut: Kalau dua lantai area publik di bawah berdagang, area privat dan semi privat di atas hunian. Kalau satu lantai area publik di depan tempat berdagang, area privat dan semi privat di belakang ruang keluarga, dsb. Bisa juga dua lantai: berdagang dan hunian di bawah, gudang di atas. Ruang pada fungsi hunian biasanya altar doa, ruang tengah dan ruang makan, ruang tamu, ruang tidur, dapur dan kamar mandi. Sedangkan pada fungsi berdagang biasanya toko, gudang, dan tempat karyawan. Mayoritas ruko tidak memiliki ruang tamu karena tamu diterima di toko. Selain dari bentuk, fungsi dan organisasi ruang, pengaruh budaya Cina pada ruko dapat dijumpai pada elemen hias dan konstruksi. Misalnya pada bentuk atap pelana yang ujungnya menjulang ke atas, hiasan dekoratif pada dinding dan puncak atap, serta penggunaan bahan bangunan dinding bata dan atap genteng. Pada awal perkembangannya detail-detail konstruksi dan ragam hias di ruko sarat dengan gaya arsitektur Cina. Akan tetapi setelah akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sudah terjadi percampuran dengan sistem konstruksi mulai memakai kuda-kuda pada konstruksi atapnya dan ragam hias campuran dengan arsitektur Eropa. Bahkan pada pertengahan abad ke-20 sampai akhir abad ke-20 corak arsitektur Cinanya sudah hilang sama sekali. Ruko identik dengan pembagian ruang yang memiliki innercourt. Namun tidak semua ruko Pecinan hanya memiliki satu innercourt. Ada juga yang memiliki multicourt menyerupai Shi He Yuan di Cina yang memiliki halaman-halaman terbuka dikelilingi bangunan di empat sisi. Karena itu bisa saja susunan ruang rumah dari depan ke belakang menjadi: toko-halaman-ruang tamu-ruang duduk- halaman-ruang makan-halaman-kamar-halaman-kamar.

2.2 Arsitektur dan Desain Interior Hunian Kolonial Belanda di Indonesia

10 Bangunan kolonial Belanda di Indonesia pada awalnya tidak dirancang secara khusus oleh arsitek. Banyak bangunan baru yang dibangun dengan mengikuti desain bangunan Belanda yang sudah dibangun di Indonesia atau Belanda, sehingga seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna dan kondisi alam setempat. Akan tetapi lama-kelamaan desain bangunan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan dikerjakan oleh para pekerja lokal, dan lebih banyak lagi bangunan yang dirancang secara khusus oleh arsitek. Apabila dicermati, organisasi ruang dari bangunan bergaya klasik Belanda seperti pada gambar di bawah sering diaplikasikan pada bangunan hunian kolonial Belanda di Indonesia disebut juga Indisch-Belanda . Ternyata konsepnya serupa dengan arsitektur tradisional Jawa Frick 1997:64, yaitu cenderung simetris. Hanya orientasi peletakan kiri- kanandepan belakangnya saja yang berbeda. Gambar 2.1 kiri: Rumah Jawa Tradisional Gambar 2.2 kanan: Rumah Indisch-Belanda Sumber: Heinz Frick. Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. Bangunan Eropa asli sebenarnya tidak memiliki teras karena di negara asalnya udara dingin. Penghawaan dan pengkondisian suhu ruangan didapat dari bukaan berupa jalusi, jendela, roster, bovenlicht, akibat dari luas dan tinggi ruangan, serta tebalnya dinding. Ornamen hias khas Belanda yang sering dipakai sangat beragam, mulai dari tanaman, binatang, sampai manusia. Selain dari segi organisasi ruang, pengaruh budaya Belanda yang masuk ke Indonesia adalah modernisasi, yang dapat dilihat dari penggunaan material serta konstruksi bangunan. Material yang digunakan biasanya bata merah dan semen untuk dinding bangunan, material logam untuk tiang penahan dan ornamen hias, ubin atau semen untuk lantai, dan kaca untuk jendela. Ukuran ruangan biasanya besar dan tinggi skala cenderung monumental. Apabila ruangan luas biasanya langit-langit semakin tinggi. Konstruksi atap biasanya berbentuk limas dengan material genteng dan penambahan dinding semen atau ornamen pada puncak atap. 11

2.3 Arsitektur dan Desain Interior Hunian Jawa