Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Atas Peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) Menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Beserta Akibat Hukumnya

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013

Harsono, Boedi, Hukum Agraria di Indonesia : Himpunan

Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta : Djambatan, 2002

---, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta :

Djambatan, 2008

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2007

Parlindungan, A.P., Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria

dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bandung : CV.

Mandar Maju, 1991

---, Pendaftaran Tanah Indonesia (Berdasarkan P.P. No. 24

Tahun 1997 Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P. No. 37 Tahun 1998)), Bandung : CV.

Mandar Maju, 1999

Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia : Sudut Telaah dari Sudut

Pandang Praktisi Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,


(12)

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007

Sihombing, Irene Eka, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan

Tanah untuk Pembangunan, Jakarta : Universitas Trisakti, 2005

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 1986

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 2006

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Sutedi, Adrian, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Zendrato, Mariati, Bahan Ajar Pendaftaran Tanah (Pemahaman Terhadap

Perlindungan Hukum dan Kepastian Hak Atas Tanah), Medan,

2016

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1973 Tentang Pengawasan Pemindahan Hak-Hak atas Tanah

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah


(13)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Peralihan Hak Guna Bangunan Tertentu di Wilayah Tertentu

C. Internet

http://adln.lib.unair.ac.id

http://irmadevita.com/2016/peralihan-hgb-karena-jual-beli-harus-selesai-dalam-8-hari-kerja/

http://m.detik.com/finance/properti/d-3149849/mau-urus-izin-hgb-sekarang-bisa-online-dan-selesai-2-hari

http://www.bpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/kementerian-atrbpn-terbitkan-aturan-percepatan-layanan-peralihan-hgb-61949


(14)

BAB III

PERANAN PPAT DALAM PERALIHAN HAK GUNA BANGUNAN BESERTA AKIBAT HUKUMNYA

A. Tinjauan Umum Mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

1. Pengertian PPAT

Sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan Hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan Hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan sesuatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan ini disebut Pejabat).

Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Untuk diketahui, bahwa dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, tanggal 19 Juli 1988, maka PPAT ini diangkat dan/atau ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kemudian setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tertanggal 23 Maret 1961, maka tentang Pendaftaran Tanah berjalan berlaku ± 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1951 tersebut dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu penyempurnaan dan karenanya dengan keputusan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tanggal 8 Juli 1997, tentang Pendaftaran Tanah,


(15)

klitisosnya Pasal 65 dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.21

Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.

Dan juga berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”.

Akhirnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, tertanggal 5 Maret 1998, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundangan mengenai jabatan PPAT yang telah ada tetap berlakunya sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti Peraturan Pemerintah ini.

Perlu diketahui bahwa adanya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 pada hakekatnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang dikehendaki oleh Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Sebagai pelaksanaan dari pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah


(16)

Peraturan Pelaksanaan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998, tertanggal 30 Maret 1998 tentang ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan Pembuat Akta Tanah ditegaskan di dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, khususnya dalam Pasal 1 ayat 1, ditentukan :

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat Akta otentik mengenai Hak Atas Tanah atau Hak milik atasSatuan Rumah Susun.”22

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.23

2. Keharusan untuk dibuatkan akta

Pada mulanya, dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, serta memberikan suatu hak baru atas tanah, harus dibuktikan di hadapan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Akta dimaksud bentuknya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Bagaimana kenyataannya?


(17)

Pada kenyataannya bahwa dengan meningkatnya pembuatan perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah secara di bawah tanah atau tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang menurut peraturan perundangan yang berlaku, sehingga mengakibatkan usaha-usaha untuk mengadakan pengawasan secara seksama oleh pemerintah.

Karenanya maka tahun 1973, oleh Menteri Dalam Negeri telah diterbitkan. Instruksi Menteri Dalam Negeri, dengan Nomor 27 Tahun 1973, tertanggal 22 Desember 1973, tentang Pengawasan Pemindahan Hak-hak atas tanah, bersambung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor Ba 1/661/1174, tertanggal 9 Januari 1974.

Dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor Ba 1/661/1174 dimaksud, maka setiap pemindahan hak yang tidak dibuktikan dengan sesuatu akta, yang dibuat oleh / di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tidak akan dapat didaftarkan haknya sehingga kepada pemilik yang baru tidak diberikan tanda bukti hak / sertifikat. Hal ini adalah suatu kerugian bagi pemilik tanah yang baru, karena ia tidak akan mempunyai Tanda Bukti Hak yang kuat atas tanah yang dimilikinya itu.

3. Tugas dan wewenang PPAT

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 2 ayat (1), maka seorang PPAT, bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai Hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan dasar bagi


(18)

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Adapun perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :

a. Jual beli tanah-tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai

b. Tukar menukar Hak atas Tanah c. Hibah Hak atas Tanah

d. Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng) e. Pembagian hak bersama

f. Pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas MIR g. Pemberian Hak Tanggungan

h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan24

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang PPAT mempunyi kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum tentang hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Kewajiban PPAT, di samping tugas pokok ialah :

1. Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya. 2. Menyimpan asli dari akta-akta yang dibuatnya.25

24Mariati Zendrato, Op.cit., Hal 40-41


(19)

Kewenangan seorang PPAT :

1. Untuk melaksanakan tugas sebagai dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, maka, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai Hak atas tanah dan hak milik rumah susun yang terletak di dalam daerah kerja. (Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 37/1998)

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya berwenang membuat akta tanah atau hak milik rumah susun yang terletak di daerah kerja. (Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 37/1998)26

4. Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Pasal 1 angka 1).

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara)

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan


(20)

membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 1 angka 2).

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus)

Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus) hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya (Pasal 1 angka 3).

4. Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti)

Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti) yaitu yang menggantikan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berhalangan sementara, misalnya karena cuti (Pasal 38 ayat (3)).

Yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah :

1. Notaris,

2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah,


(21)

3. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

4. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Agraria.27

5. Honorarium seorang PPAT

PPAT Khusus melaksanakan tugasnya tanpa memungut biaya. Sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, menentukan bahwa :

1. Barang jasa (Honorarium) seorang PPAT dan PPAT 0.

2. PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.

3. Dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Untuk sementara, termasuk uang jasa (Honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1% dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.

6. Bentuk Akta

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 khususnya dalam Pasal 21, ditentukan bahwa :

Ayat 1 :

“Bentuk Akta PPAT ditetapkan oleh Menteri.” Ayat 2 :


(22)

“Semua jenis akta PPAT diberi nomor urut yang berulang, pada permulaan tahun Tahwin.”

Untuk diketahui, bahwa untuk memenuhi syarat otentik suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Negara Agraria/Pertanahan.28

7. Daerah Kerja dan Formasi PPAT

Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya”.

Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat memilih satu wilayah kerjanya, dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang satu tahun untuk memilih sejak diundangkannya Undang-undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah


(23)

kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang.29

Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain. Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal tempat tugasnya, melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang bersangkutan.30

Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tertanggal 30 Maret 1994 Nomor 4 tahun 1999, maka ditentukan bahwa :

Ayat 1 :

29

A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Indonesia (Berdasarkan P.P. No. 24 Tahun 1997 Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P. No. 37 Tahun 1998)), Bandung : CV. Mandar Maju, 1999, Hal 193


(24)

Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri untuk setiap denah kerja PPAT mempertimbangkan factor-faktor sebagai berikut :

a. Jumlah kecamatan di daerah yang bersangkutan.

b. Tingkat perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan.

c. Jumlah bidang tanah yang sudah bersertifikat di daerah yang bersangkutan.

d. Frekuensi peralihan Hak di daerah yang bersangkutan dan program mengenai pertumbuhannya.

e. Jumlah rata-rata akta PPAT di daerah kerja yang bersangkutan.

Ayat 2 :

Formasi PPAT ditetapkan secara periodik dan ditinjau kembali, apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor penentu sebagaimana dimaksud ayat 1.

8. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT a. Riwayat Pengangkatan Seorang PPAT

Pada mulanya khusus untuk pengangkatan dan pemberhentian para Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 dilakukan oleh Menteri Agraria dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1961 tertanggal 7 September 1961.

Untuk kemudian pada tanggal 5 Maret 1998, diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tertanggal 5 Maret 1998,


(25)

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang khusus pasal 5 ayat (1), ditentukan

“Pejabat Pembuat AktaTanah, diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.”

Pasal 5 ayat (2) ditentukan

“Pejabat Pembuat Akta Tanah diangkat untuk suatu Daerah Kerja tertentu.”

b. Pengangkatan seorang PPAT

Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 4 Tahun 1999 tertanggal 30 Maret 1999, ditentukan bahwa :

Ayat 1 :

Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT, yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Ayat 2 :

Ujian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan untuk memenuhi formasi PPAT di Kabupaten atau Kotamadya tertentu yang formasi PPAT belum terpenuhi.

Ayat 3 :

Materi ujian PPAT terdiri dari : - Hukum Tanah Nasional - Pendaftaran Tanah - Peraturan Jabatan PPAT


(26)

- Pembuatan Akta PPAT

c. Syarat untuk dapat diangkat menjadi seorang PPAT

Sesuai dengan pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tertanggal 5 Maret 1998, ditentukan bahwa :

1. Berkewarganegaraan Indonesia

2. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun

3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh Industri Kepolisian Setempat.

4. Belum pernah dihukum penjara, karena melakukan kejahatan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap.

5. Sehat jasmani dan rohani

6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notaris atau Program Khusus PPAT yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Tinggi. 7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara

Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

d. PPAT dapat merangkap atau dilarang jabatan/Profesi

Seorang PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasihat Hukum. (Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 37/1998)

Seorang PPAT merangkap jabatan atau profesi : 1. Pengacara atau advokat

2. Pegawai Negeri atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara / Daerah.


(27)

e. Pemberhentian seorang PPAT

Seorang PPAT berhenti menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena :

1. Meninggal dunia, atau

2. Telah mencapai usia 65 tahun

3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain dari pada daerah kerjanya sebagai PPAT, atau

4. Diberhentikan oleh Menteri

5. (Periksa Pasal 8n ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 1998). 6. Sedangkan di dalam pasal 8 ayat 2, ditentukan :

“PPAT sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT, apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana, dimaksud dalam pasal 5 ayat 3, huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.”

f. Pemberhentian dengan hormat dari Jabatan PPAT

Seorang PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :

1. Permintaan sendiri

2. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, karena kesehatan badan, atau kesehatan jiwanya setelah dinyatakan oleh team pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.


(28)

3. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT

4. Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau ABRI.

(Periksa Pasal 10 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998) Sedangkan sesuai dengan Pasal 10 ayat 2, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, menentukan bahwa seorang PPAT diperhatikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena :

1. Melakukan pelanggaran berat, terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT.

2. Dijatuhi hukuman kurungan / penjara, karena melakukan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Untuk diketahui bahwa untuk PPAT, PPAT Sementara dan PPAT Khusus yang berhenti dari jabatannya, kecuali karena pemberhentian sementara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tertanggal 5 Maret 1998, wajib menyerahkan protokol PPAT-nya kepada PPAT, PPAT

Sementara atau kepada Kepala Kantor Pertanahan


(29)

(Periksa Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999, tertanggal 30 Maret 1999, Khusus pada Pasal 10 ayat (1)).31

9. Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, tertanggal 5 Maret 1998, khususnya dalam pasal 15 ditentukan bahwa :

Ayat 1 :

“Sebelum menjalankanjabatannya, PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan.”

Ayat 2 :

“PPAT Khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf C tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.”

Ayat 3 :

“PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, tidak pula mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerahkerjanya yang baru.”32

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya,


(30)

tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru.33

Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :

“Demi Allah Saya bersumpah”

“Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia”.

“Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undanganlainnya”.

“Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib, cermat, dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”.

“Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat PPAT”.

“Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”.


(31)

“Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada siapapun juga”.34

10. Pelaksanaan PPAT

Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :

a. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tandatangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.

b. PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk.

c. Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.


(32)

d. Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.

e. PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.

f. Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi, dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat.

g. PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang membuat akta apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.35

11. Yang menandatangani Akta PPAT

Semua Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai terurai tersebut di atas, harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan para saksi, yang dibuat dalam rangkap 4 yaitu :


(33)

a. 1 helai (yang asli) bermaterai Rp 6.000,- khusus untuk Hypotheek, akta asli harus bermaterai 1% dari uang jaminan (= Hypotheeksom) untuk disimpan dalam protokol Pejabat.

b. 1 helai bermaterai Rp 6.000,- untuk keperluan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah.

c. 1 helai untuk keperluan lampiran izin (bila diperlukan izin). d. 1 helai untuk yang berkepentingan.

12. Larangan membuat Akta PPAT

Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah harus menolak membuat Akta Peralihan Hak atau Pembebanan Hutang, dengan jaminan Hak atas Tanah apabila :

a. Hak atas tanah dimaksud dalam keadaan sengketa. b. Hak atas tanah dalam sitaan.

c. Hak atas tanah itu dikuasai Negara, tanah bekas kepunyaan orang asing, apabila lewat 1 tahun sejak yang bersangkutan menjadi orang asing.

d. Yang mengalihkan hak ternyata bukan pemiliknya atau kurunnya. e. Yang menerima hak ternyata bukan berhak untuk memiliki hak atas

tanah itu. Misalnya :

• Orang asing kecuali untuk Hak Pakai.

• Badan Hukum untuk Hak Milik, kecuali Badan Hukum tertentu, sebagai tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1965.


(34)

g. Bidang tanah itu, ternyata terletak di luar wilayah kerja PPAT tersebut. h. Apabila tanah-tanah dimaksud :

• Telah ada sertifikatnya, tetapi tidak dapat ditunjukkan kepada Pejabat.

• Belum membayar biaya pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah.

• Belum dicocokkan dengan Badan Tanah yang ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah. i. Di samping itu, seorang PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT

sendiri suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua menjadi pihak dalam perbuatan Hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.

j. Untuk diketahui, bahwa sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa yang berwenang untuk membuat akta tanah, hanya para Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, dilarang siapa saja untuk membuat Akta Tanah, apabila isi itu tidak ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

k. Demikian juga pada Kepala Desa dilarang untuk menguatkan perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961. Apabila perjanjian itu tidak miliki aktanya oleh Pejabat Pembuat Akta, khusus untuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan, ataupu Hak Guna Usaha.


(35)

13. Ketentuan Peralihan

Sesuai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, maka dengan Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundangan mengenai jabatan PPAT, yang telah ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan peraturan ini.36

B. Akibat Hukum

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, maka jual beli juga harus dilakukan para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat akta. Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut, pihak yang memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak tersebut, sedangkan pihak yang menerima harus memenuhi syarat subjek dari tanah yang akan dibelinya itu, serta harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Adapun fungsi akta PPAT dalam jual beli, sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 bahwa Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 (sekarang PP No. 24 Tahun 1997) secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Akan tetapi, dalam PP No. 24


(36)

Tahun 1997, disebutkan bahwa pendaftaran jual beli hanya boleh dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya, sedangkan tanpa akta PPAT seseorang tidak akan memperoleh sertifikat, meskipun jual belinya sah menurut hukum. Oleh karena itu, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT wajib mendaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga.37

Setelah pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan, tidak begitu saja persoalan di antara kedua belah pihak selesai, melainkan kemungkinan pihak-pihak lain pun terkait di dalamnya, disebabkan semula adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak dalam transaksi jual beli tanah tersebut. Apabila PPAT dituntut oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan ataupun diminta sebagai saksi di Pengadilan, maka hal tersebut hanya sebatas dimintakan keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya, disamping itu PPAT pun dapat meminta perlindungan hukum/upaya pembelaan kepada IPPAT sebagai suatu organisasi profesi dimana ia bernaung.

Dalam hal ini, posisi PPAT sebatas sebagai saksi dan PPAT tidak bertanggunggugat atas ketidakbenaran materiil yang dikemukakan oleh para pihak, apabila kesalahan disebabkan oleh para pihak. Tetapi apabila PPAT terbukti bersalah, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana, juga tidak tertutup kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak yang dirugikan secara perdata.38

37

Adrian Sutedi, Op.cit., Hal 79-81 38

Mahatman Filiano Sutawan, “Tanggunggugat Notaris Selaku PPAT Dalam Sengketa Perdata Jual Beli Hak Milik Atas Tanah”, diakses darihttp://adln.lib.unair.ac.id, pada tanggal 27 Oktober


(37)

BAB IV

AKIBAT PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 ATAS PENUNJUKAN WILAYAH-WILAYAH TERTENTU

TERHADAP WILAYAH DI LUAR YANG DITETAPKAN

A. Peralihan Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Guna Bangunan tersebut kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria secara tegas menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hal ini juga disesuaikan dengan yang telah ditentukan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa :

“ Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi


(38)

syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Ketentuan ini selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang menentukan :

Ayat (1) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Ayat (2) Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena :

a. Jual-beli;

b. Tukar-menukar;

c. Penyertaan dalam modal;

d. Hibah;

e. Pewarisan.

Ayat (3) Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Ayat (4) Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual-beli kecuali jual-beli melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ayat (5) Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang.


(39)

Ayat (6) Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Ayat (7) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dan pemegang Hak Pengelolaan.

Ayat (8) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dan pemegang Hak Milik yang bersangkutan.

Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa undang-undang secara tegas membedakan syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dengan Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan atau di atas Hak Milik terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas Tanah Hak Milik, karena pemberian tersebut lahir dari perjanjian, maka sebagai konsekuensi dari sifat perjanjian itu sendiri, yang menurut ketentuan Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku di antara para pihak, yaitu Pemegang Hak Milik dan Pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah tersebut, termasuk peralihannya.

Sebagaimana halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha, peralihan Hak Guna Bangunan ini pun wajib didaftarkan. Ketentuan mengenai pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan juga diatur dalam ketentuan yang sama seperti halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha, yaitu mulai dari Pasal 37 hingga Pasal 46 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.


(40)

Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan :

a. Peralihan Hak Guna Bangunan, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang.

Dengan demikian, berarti setiap peralihan Hak Guna Bangunan, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat dihadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar, atau hibah ini, dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum di hadapan PPAT, berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya.

Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai Hak Guna Bangunan yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.

b. Dengan demikian berarti, agar peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus memastikan kebenaran mengenai Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut, dan


(41)

mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut.

PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut. Dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan, atau tidak ada, maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut.39

B. Pelayanan Peralihan Hak Guna Bangunan

Dalam rangka meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia yang berdasarkan survei Bank Dunia masih berada di peringkat 109 dari 180 negara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) memangkas waktu mengurus izin Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi hanya 2 hari dari sebelumnya sekitar 30 hari. Ini khusus untuk HGB dengan luas di bawah 5.000 meter persegi (m2).

Izin HGB pun bisa diajukan secara online. Kemudahan ini diatur dalam Peraturan Menteri ATR Nomor 8 Tahun 2016 (Permen ATR 8/2016) yang baru ditandatangani Menteri ATR, Ferry Mursyidan Baldan.

“Berkaitan dengan tugas kami, kami sudah siapkan Permen ATR Nomor 8 Tahun 2016 yang mempercepat proses HGB menjadi 2 hari, juga menyiapkan online. Ini untuk HGB di bawah 5.000 m2, jadi mudah,” kata Ferry, usai Rapat Koordinasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (24/2/2016).


(42)

Ferry menjamin, HGB bisa diselesaikan dalam 2 hari. Apalagi pihaknya telah menunjuk Kepala Kantor BPN sebagai PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Khusus agar proses perizinan HGB bisa lebih cepat. “Prosesnya paling lama 2 hari dengan PPAT-nya, bahkan kami punya ketentuan bisa menunjuk PPAT Khusus, yaitu Kepala Kantor. In case butuh langkah cepat, fungsi itu ada di Kepala Kantor,” paparnya.

Kemudahan ini sebenarnya hanya disiapkan untuk Jakarta dan Surabaya yang menjadi lokasi survei kemudahan berusaha oleh Bank Dunia. Tetapi, agar pelayanan ini bisa dirasakan lebih luas, Ferry menambahkan Bandung, Semarang, dan Yogyakarta untuk memperoleh kemudahan perizinan HGB. Dengan demikian, perizinan HGB yang bisa diurus online hanya 2 hari ini bisa dinikmati di 5 kota.

“Bukan hanya di Jakarta dan Surabaya, kami masukkan juga dalam Permen itu Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Ini bukan hanya untuk menjawab survei Bank Dunia, tapi juga supaya manfaat pelayanannya dirasakan oleh masyarakat,” imbuh Ferry.

Dia menambahkan, masyarakat juga bisa mendapatkan informasi pertanahan, mengecek sampai di mana berkas-berkas perizinan yang diajukannya, hingga status dan nilai tanah secara online.

“Kita sudah mulai online dari pengecekan, status, informasi. Juga berkaitan dengan peta, sebaran bidang tanah berdasarkan jenis haknya. Kita juga beri informasi penyebaran titik transaksi jual beli tanah, dan informasi zona nilai tanah,” tuturnya.


(43)

Sebelumnya diberitakan, Jokowi mengaku merasa malu terkait dengan kemudahan berbisnis di Indonesia hanya berada di peringkat ke 109. Sementara Negara seperti Thailand di peringkat 49, Malaysia peringkat 18, dan Singapura peringkat 1.40

Berdasarkan uraian di atas, untuk permasalahan pada Pasal 1 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016, adalah bahwa ruang lingkup Peraturan Menteri ini hanya mengatur pelayanan peralihan Hak Guna Bangunan tertentu karena jual beli, di Wilayah tertentu, yang meliputi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Surabaya. Dan juga Peraturan Menteri tersebut hanya berlaku pada Hak Guna Bangunan yang dialihkan kepada badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang 100% (seratus persen) sahamnya berasal dari modal dalam negeri, dan luas tanahnya sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi). Lantas, bagaimana dengan Wilayah yang tidak tercantum pada Peraturan Menteri tersebut? Dan juga bagaimana dengan ketentuan mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yang tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri tersebut?

Maka, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah, bagi wilayah di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri tersebut dan juga peralihan Hak Guna Bangunan yang tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri tersebut masihlah mengikuti peraturan lama yang mengatur mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yaitu Pasal 38

Undang-40Michael Agustinus,

Mau Urus Izin HGB? Sekarang Bisa Online dan Selesai 2 Hari”, diakses dari


(44)

http://m.detik.com/finance/properti/d-3149849/mau-urus-izin-hgb-sekarang-bisa-online-dan-undang No. 5 Tahun 1960 yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa peralihan Hak Guna Bangunan harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.

Untuk keperluan pendaftaran, berdasarkan Pasal 34 ayat 4 s/d 8 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, peralihan Hak Guna Bangunan harus dibuktikan dengan bukti peralihan sebagai berikut :

1. Peralihan Hak Guna Bangunan karena tukar menukar, penyertaan modal, jual-beli kecuali jual beli melalui lelang, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). 2. Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita

Acara Pelelangan.

3. Pewarisan dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

4. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.

5. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dalam rangka pendaftaran peralihan hak, maka dokumen-dokumen yang wajib dilampirkan adalah sebagai berikut :


(45)

1. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya.

2. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak.

3. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

4. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak. 5. Bukti identitas penerima hak.

6. Sertifikat hak atas tanah.

7. Izin pemindahan hak, terhadap pemindahan hak pakai atas tanah Negara dan/atau apabila didalam sertifikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah memperoleh izin dari instansi yang berwenang.

8. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

9. Bukti pelunasan pembayaran PPH.

Ketentuan peralihan Hak Guna Bangunan di atas pada umumnya dapat memakan waktu sekitar 30 hari sampai 1,5 bulan untuk dapat menyelesaikan proses peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dan mendapatkan izin/sertifikat Hak Guna Bangunan.

Namun sekarang, untuk meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia dan untuk memajukan pembangunan, serta sebagai salah satu


(46)

Nomor 8 Tahun 2016 ini, sekarang semua proses peralihan Hak Guna Bangunan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat, yaitu dengan uraian :

1. Pengecekan sertifikat dilakukan di Kantor Pertanahan dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan pengecekan. (Pasal 3)

2. Pembayaran BPHTB dan PPh dilakukan pada instansi yang berwenang dan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (Pasal 4)

3. Pembuatan Akta Jual Beli dan penyampaiannya dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan permbuatan akta. PPAT yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikenakan sanksi. Untuk percepatan pembuatan akta jual beli, dapat ditunjuk PPAT Khusus yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. (Pasal 5)

4. Pendaftaran peralihan hak dilakukan di kantor pertanahan setelah pengecekan sertifikat, pembayaran BPHTB dan PPh, dan pembuatan Akta Jual Beli. Pemohon yang melakukan peralihan hak wajib menyerahkan bukti pembayaran pajak atau membuat surat pernyataan bahwa telah membayarkan setoran pembayaran BPHTB dan PPh ke kantor instansi yang berwenang. Jika surat pernyataan tidak benar, maka permohonannya dinyatakan batal demi hukum. Namun, apabila surat pernyataan benar, maka Kepala Kantor Pertanahan langsung melakukan proses pendaftaran peralihan hak tanpa melakukan pengecekan


(47)

pembayaran BPHTB dan PPh. Pendaftaran peralihan hak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan pendaftaran peralihan hak. (Pasal 6)

5. Pembayaran PBB dilaksanakan secara bersamaan dengan pendaftaran peralihan hak. Pembayaran PBB dapat dilakukan oleh Pemohon dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja. (Pasal 7)

6. Permohonan pelayanan pengecekan sertifikat dan pelayanan pendaftaran peralihan hak diterima setelah memenuhi persyaratan permohonan. Dalam hal persyaratan permohonan belum lengkap, maka petugas loket menginformasikan secara tertulis kepada pemohon mengenai berkas-berkas yang harus dilengkapi. Permohonan yang telah memenuhi persyaratan, kepada pemohon diberikan tanda terima. (Pasal 8)

Maka, seluruh proses sejak permohonan, ditargetkan selesai hanya dalam waktu 8 hari kerja. Seperti yang diulas di duajurai.co, Menteri Ferry Mursyidan Baldan berjanji kemudahan untuk mengurus HGB ini ke depannya akan bisa dinikmati oleh semua kota di seluruh Indonesia. “Tapi ini akan berlaku untuk semua secara perlahan di semua kota. Akan ada direktori yang menyebutkan kota yangsudah menggunakan proses digitalisasi,” ucapnya.

Beberapa kota di luar Jawa yang sedang disiapkan untuk menggunakan perizinan HGB secara online dengan waktu pengurusan yang singkat antara lain Lombok, Mataram, dan Gorontalo. “Lombok, Mataram, Gorontalo juga kami siapkan,” pungkasnya.


(48)

Ulasan artikel di bpn.go.id, menjelaskan percepatan layanan meliputi lima kegiatan yakni pengecekan sertifikat, pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh), pembuatan Akta Jual Beli, pendaftaran peralihan hak, dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (Pasal 2).

Pengecekan sertifikat di Kantor Pertanahan paling lama satu hari sejak diterimanya permohonan (Pasal 3). Pembayaran BPHTB dan PPh dilakukan pada instansi yang berwenang dapat dilakukan paling lama dua hari kerja (Pasal 4).

Sementara untuk proses pembuatan akte jual beli dan pendaftarannya yang dilakukan oleh PPAT diberi waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan pembuatan akta. Jika tidak memenuhi ketentuan, maka dapat ditunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Khusus (Pasal 5). Dalam hal PPAT tidak memenuhi jangka waktu tersebut, maka akan ditindak secara khusus.

Lantas, bagaimana kalau ternyata berkas yang disampaikan tidak lengkap atau bermasalah? Karena dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 ini hanya menekankan pada kewajiban PPAT, dan tidak memberikan ruang bagi kelalaian yang diakibatkan oleh para pihak yang hendak bertransaksi.

Mengenai kemungkinan penolakan karena adanya sengketa, konflik, perkara ataupun masalah hukum lainnya, hanya diperuntukkan bagi pelayanan permohonan balik nama saja.


(49)

Pendaftaran peralihan hak baru bisa dilakukan setelah adanya pengecekan sertifikat, pembayaran BPHTB dan PPh dan pembuatan Akta Jual Beli. Untuk mempersingkat waktu, Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung memproses pendaftaran tanpa melakukan pengecekan pembayaran BPHTB dan PPh (validasi). Sebagai gantinya, pemohon membuat surat pernyataan bahwa pemohon telah melakukan pembayaran dan apabila diketahui tidak benar, maka permohonannya dinyatakan batal. Pendaftaran peralihan hak dilakukan dalam dua hari kerja sejak diterimanya permohonan.

Seluruh jangka waktu penyelesaian layanan terhitung sejak penerimaan berkas lengkap dan pembayaran biaya telah lunas terbayar. Tidak berlaku apabila diketahui adanya sengketa, konflik, perkara atau masalah hukum lainnya. Jika dinyatakan lengkap. Pemohon akan diberi tanda terima.

Di zaman yang sudah serba online ini, Pasal 11 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 juga memfasilitasi pelayanan pengecekan sertifikat dan pendaftaran peralihan hak pada kantor pertanahan secara elektronik (online). Masyarakat bisa mendapatkan informasi pertanahan, mengecek sampai di mana berkas-berkas perizinan yang diajukannya, hingga status dan nilai tanah secara online.

Dari pengecekan status, informasi, juga berkaitan dengan peta, sebaran bidang tanah berdasarkan jenis haknya, informasi penyebaran titik


(50)

transaksi jual beli tanah, dan informasi zona nilai tanah semuanya bisa dilihat oleh masyarakat secara online.41

Dalam rangka membangun sistem pelayanan publik yang berlandaskan pada prinsip keterbukaan serta memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses informasi, Badan Pertanahan Nasional RI menyediakan layanan akses informasi pertanahan secara online.

Layanan informasi ini disediakan dalam berbagai bentuk media informasi, yaitu KiosK atau anjungan informasi mandiri, website BPN RI, SMS Informasi Pertanahan serta aplikasi BPN Go Mobile pada perangkat berbasis android.

1. KiosK

KiosK merupakan anjungan informasi mandiri yaitu suatu media informasi pertanahan yang tersedia di lobby atau ruang pelayanan Kantor Pertanahan. Melalui KiosK, masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi secara mandiri dan gratis tanpa harus antri untuk bertemu petugas di loket.

Informasi yang tersedia pada KiosK antara lain informasi jenis layanan pertanahan beserta persyaratan, jangka waktu serta alur proses penyelesaiannya, informasi biaya layanan serta simulasinya, informasi bekas permohonan, informasi pegawai, informasi PPAT serta informasi jadwal LARASITA.

41

Irma Devita, “Peralihan HGB Karena Jual Beli Harus Selesai Dalam 8 Hari Kerja”, diakses dari http://irmadevita.com/2016/peralihan-hgb-karena-jual-beli-harus-selesai-dalam-8-hari-kerja/,


(51)

Di samping itu, KiosK juga menyajikan informasi hasil layanan pertanahan yang meliputi jumlah penerbitan setifikat, jumlah nilai jual beli, jumlah nilai Hak Tanggungan, dan jumlah nilai BPHTB/PPh, serta menjadi media bagi masyarakat atau pengguna layanan untuk menyampaikan pengaduan.

2. Website

Media informasi online lainnya adalah website resmi BPN RI,

www.bpn.go.id. Melalui website ini disediakan berbagai fitur serta

informasi terkait dengan tugas pokok dan fungsi BPN RI. Terkait dengan layanan pertanahan, tersedia 2 fitur layanan informasi yaitu informasi tentang jenis layanan pertanahan beserta persyaratan, jangka waktu, alur proses penyelesaiannya dan informasi biaya layanan beserta simulasinya, serta informasi tentang berkas permohonan.

a. Informasi syarat, waktu, proses dan biaya layanan

Informasi ini menjelaskan tentang berbagai jenis layanan pertanahan yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia, yang meliputi layanan pendaftaran tanah pertama kali (sertifikasi tanah hak milik adat/tanah Negara), pemeliharaan data pendaftaran tanah (perubahan subjek/pemegang hak maupun objek hak atas tanah), pencatatan dan informasi pertanahan, pengukuran bidang tanah serta layanan pengaturan dan penataan pertanahan.

Pada fitur ini, dapat diperoleh informasi mengenai persyaratan, jangka waktu serta alur proses dari setiap layanan serta dapat menghitung biaya layanan melalui simulasi biaya.


(52)

b. Informasi berkas permohonan

Layanan ini merupakan salah satu wujud komitmen BPN RI menyelenggarakan layanan publik yang transparan dan akuntabel serta menyediakan sistem layanan publik yang dapat diakses dengan mudah, bebas biaya dan cepat.

Melalui fasilitas ini, masyarakat dapat memperoleh informasi status penyelesaian berkasnya. Untuk melakukan pencarian berkas, pemilik berkas harus mengisi form yang tersedia dengan benar dan memiliki nomor PIN yang diberikan oleh Kantor Pertanahan untuk setiap berkas permohonan. Nomor PIN ini dapat dilihat pada kuitansi pembayaran berkas permohonan yang diberikan yang diberikan kepada pemohon dan tercetak di bawag barcode.

Informasi yang bisa diperoleh adalah informasi tanggal masuk berkas, jenis kegiatan, tanggal update berkas terakhir, status permohonan (Selesai/Masih dalam Proses), nama pemilik, serta nama dan alamat penerima berkas.

Dengan pelayanan ini, masyarakat diharapkan dapat mendapat kemudahan dalam mendapatkan informasi status berkas permohonannya cepat, mudah diakses tanpa mengabaikan akurasi dan keamanan data.

3. Aplikasi BPN Go Mobile

Selain informasi melalui SMS Pertanahan “2409”, terdapat juga aplikasi BPN Go Mobile yang tersedia pada perangkat komunikasi berbasis software Android. Ini merupakan inovasi layanan yang dilaksanakan oleh


(53)

Kantor Pertanahan Kota Surabaya II, untuk mempermudah masyarakat mendapatkan informasi dengan cepat dan murah.

Melalui aplikasi BPN Go Mobile ini, masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai persyaratan dan biaya layanan pertanahan, jadwal LARASITA serta informasi permohonan.42

42

Badan Pertanahan Nasional, “Layanan Informasi Online”, diakses dari


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Peralihan Hak atas tanah menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Maka, peralihan hak atas tanah ini tidak lagi dilakukan di hadapan Kepala Adat ataupun Kepala Desa, melainkan harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dan juga bahwa berdasarkan UUPA, peralihan Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Guna Bangunan tersebut kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.


(55)

2. Peranan PPAT dalam Peralihan Hak Guna Bangunan adalah merekam segala perbuatan yang terjadi dalam peristiwa jual beli tanah untuk memindahkan hak atas tanah dari satu pihak ke pihak lainnya dalam bentuk akta jual beli tanah. Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut, pihak yang memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak tersebut, sedangkan pihak yang menerima harus memenuhi syarat subjek dari tanah yang akan dibelinya itu, serta harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Dan apabila PPAT dituntut oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan ataupun diminta sebagai saksi di Pengadilan, maka hal tersebut hanya sebatas dimintakan keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya, disamping itu PPAT pun dapat meminta perlindungan hukum/upaya pembelaan kepada IPPAT sebagai suatu organisasi profesi dimana ia bernaung. Dalam hal ini, posisi PPAT sebatas sebagai saksi dan PPAT tidak bertanggunggugat atas ketidakbenaran materiil yang dikemukakan oleh para pihak, apabila kesalahan disebabkan oleh para pihak. Tetapi apabila PPAT terbukti bersalah, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana, juga tidak tertutup kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak yang dirugikan secara perdata.

3. Akibat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 atas penunjukan wilayah-wilayah tertentu terhadap wilayah-wilayah di luar yang ditetapkan adalah bahwa wilayah di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri tersebut di atas, masih mengikuti peraturan lama yang mengatur mengenai peralihan Hak


(56)

Guna Bangunan yaitu Pasal 38 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang mengatur mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yang pada umumnya dapat memakan waktu sekitar 30 hari sampai 1,5 bulan untuk dapat menyelesaikan proses peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dan mendapatkan izin/sertifikat Hak Guna Bangunan.

B. Saran

1. Pemerintah dapat mengembangkan sistem pelayanan peralihan Hak Guna Bangunan berdasarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 secara lebih luas lagi, melebihi Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam berinvestasi, dan berbisnis, serta untuk memajukan pembangunan di Indonesia.

2. PPAT harus dapat memenuhi ketentuan untuk menyelesaikan proses pembuatan Akta Jual Beli dan pendaftarannya secara tepat waktu agar Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 yang dikeluarkan, dapat berjalan efektif dan untuk menghindarkan PPAT dari sanksi yang akan dikenakan apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut. 3. PPAT harus menolak pembuatan Akta Jual Beli apabila diketahui surat

pernyataan telah melakukan pembayaran BPHTB dan PPh dari pemohon adalah tidak benar, dan juga apabila diketahui adanya sengketa, konflik, perkara, atau masalah hukum lainnya, maka permohonan pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan dinyatakan batal.


(57)

BAB II

PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997

A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.

Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.11

Pengertian peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilik semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam


(58)

hal ini subjek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).12

Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan diterangkan sebagai berikut :

a. Pewarisan tanpa wasiat

Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal, maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.

b. Pemindahan hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa :

• Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak kepada adiknya dan lain sebagainya.

• Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain.

• Jual beli yaitu tanah tersebut dijual kepada pihak lain. Acara jual beli banyak tergantung dari status subjek yang ingin menguasai tanah dan status tanah yang tersedia misalnya apabila yang memerlukan tanah merupakan suatu Badan Hukum Indonesia sedangkan tanah yang


(59)

tersedia berstatus Hak Milik maka secara acara Jual Beli tidak bisa dilaksanakan karena akan mengakibatkan jual belinya batal demi hukum, karena Badan Hukum Indonesia tidak dapat menguasai tanah Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek, cara peralihan hak dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh.

• Tukar menukar antara bidang tanah yang satu dengan bidang tanah yang lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur uang dengan suatu pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/harga tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama.

• Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar atas nama beberapa orang sehingga untuk lebih memperoleh kepastian hukum, para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah yang mereka miliki bersama-sama.

• Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan tersebut.

• Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai contoh, tanah yang akan dialihkan kepad suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan status hak milik, ini tidak bisa


(60)

dilakukan karena Badan Hukum Indonesia bukanlah subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah dengan status hak milik.

• Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan dialihkan tersebut susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut merupakan jaminan pada bank yang sudah dieksekusi lalu mau dijual.

• Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset perseroan yang diambil alih tersebut.

Jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT, yang bertugas untuk membuat aktanya, dengan demikian perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan PPAT terpenuhi. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya, pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, letak tanah tersebut berada, dengan tujuan :

• Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

• Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan


(61)

hukum mengenai bidang-bidang tanah tertentu dan Satuan Rumah Susun yang terdaftar.

• Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Peralihan hak atas tanah dapat hapus dikarenakan sebagai berikut :

a. Berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan sebagaimana ditetapkan dalam sertifikat haknya menjadi hapus.

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang karena tidak dipenuhinya oleh pemegang hak yang bersangkutan kewajiban-kewajiban tertentu atau dilanggarnya suatu larangan, tidak dipenuhinya syarat-syarat atas kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian pemberian pemegang hak dan putusan pengadilan.

c. Bila subjek hak tidak lagi memenuhi syarat atau tidak dipenuhinya suatu kewajiban dalam waktu satu tahun pemindahan / peralihan hak milik atas tanah tidak dilepaskan atau tidak dialihkan, maka hapus karena hukum. d. Dilepaskan atau diserahkan dengan sukarela oleh pemegang haknya. e. Pencabutan haknya.

f. Tanah yang bersangkutan musnah, karena proses alamiah ataupun bencana alam.

g. Tanahnya diterlantarkan.13

B. Tinjauan Umum Mengenai Hak Atas Tanah

Untuk memahami pengertian dari “hak-hak atas tanah” harus diawali dari pengertian “tanah” dan “tanah hak”, baru kemudian berlanjut


(62)

tentang kewenangan yang diberikan Negara kepada seseorang dan/atau badan hukum atas tanah itu.

Tanah adalah permukaan bumi dan pemerintah mengatur hubungannya dengan manusia sehingga timbullah hak atas tanah tersebut. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.14

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk :

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai.

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.15

Melalui uraian di atas, maka hak-hak atas tanah yang akan dibahas adalah hak-hak atas tanah yang bersifat primer yang terdiri dari :


(63)

a. Hak Milik

Hak milik atas tanah berdasarkan UUPA tidak sama dengan hak eigendom berdasarkan BW atau sekalipun hampir sama juga tidak persis sama dengan hak milik menurut Hukum Adat. Perbedaan dimaksud tidak lain bahwa hak milik berdasarkan UUPA tidak diperkenalkan sebagai hak kebendaan dimana pemegang haknya diberi keleluasaan mengambil nikmat dengan lebih mengutamakan kepentingan individu si pemilik dari kepentingan sosial/masyarakat, demikian pula hak milik berdasarkan UUPA itu tidak melekat atasnya hak ulayat sebagaimana pada Hukum Adat, tetapi hak menguasai Negara.

Berhubung sampai saat ini ketentuan-ketentuan tentang hak milik belum diatur dengan undang-undang (sebagaimana perintah Pasal 50 UUPA) maka untuk mencermati hal-hal yang berkaitan dengan hak milik itu belum dapat dilakukan rinci apalagi disebutkan pada pasal 56 UUPA bahwa sebelum Undang-undang Hak Milik itu terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.

Memberlakukan ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat semestinya yang harus dipahamkan adalah hak adat yang bersesuaian dengan kepentingan nasional dan Negara, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia (masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila) sebagaimana disebutkan pada pasal 5 UUPA. Jika tidak demikian, maka


(64)

pemberlakuan ketentuan Hukum Adat itu menjadi bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA yang dimaksud.

Ciri hak milik sebagaimana disebut pada Pasal 20 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang mempunyai fungsi sosial.16Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung

terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.17

Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas. Pertama, yaitu asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, yaitu asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.18

16

Mariati Zendrato, Loc.cit. 17Urip Santoso, Op.cit., Hal 90-91


(65)

Dalam pengertian, jika dibanding dengan hak lain, hak milik itulah yang lebih kuat dan penuh. Hal itu terlihat dalam wujud konkritnya bahwa hak milik itu penggunaannya yang lebih luas, nilai tanggungannya lebih tinggi jika dijadikan sebagai objek hak tanggungan, pembayaran ganti kerugiannya akan lebih besar jika menjadi objek pencabutan/pelepasan hak dan nilai jualnya pun lebih mahal serta haknya tetap penuh, tidak dipengaruhi oleh waktu penggunaannya. Bahkan di atas tanah hak milik itu berdasarkan kesepakatan/perjanjian otentik dapat diterbitkan hak lain seperti hak guna bangunan, hak pakai atau hak sewa yang diberikan kepada subjek lain yang memenuhi syarat.

Berfungsi sosial harus diartikan, selain sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 UUPA, dikerjakan/digunakan atau tidak tanah tersebut harus didasarkan pada pertimbangan atas dua kepentingan sekaligus yang berkesiambangan yaitu kepentingan individu si pemilik dan kepentingan sosial masyarakat yang bersifat dwi tunggal, juga harus diperhatikan letaknya. Jika karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang hak milik wajib memberi jalan keluar, jalan air, dan kemudahan lain bagi pekarangan yang terkurung itu sebagaimana yang berlaku juga terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diatur pada Pasal 13, 31, dan 51 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.


(66)

Subjek dari hak milik sebagaimana ditetapkan pada Pasal 21 UUPA harus memenuhi asas kebangsaan (prinsip nasionalitas) yaitu warga Negara Indonesia tunggal dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia) tertentu saja berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yaitu bank-bank Negara, badan koperasi pertanian, lembaga sosial, dan lembaga keagamaan.

Hak penggunaan (right to use) hak milik itu luas jika dibanding dengan hak-hak lainnya namun harus tunduk kepada planning yang sudah ditetapkan. Hak untuk mengalihkan/beralih dan dijadikan objek hak tanggungan (right of disposal) dari hak milik tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Hak Guna Usaha

Hak guna usaha dalam UUPA merupakan hak yang baru yang tidak terdapat di dalam Hukum Adat, namun tidak sama dengan hak erf’pacht dalam BW yang merupakan hak kebendaan. Ketentuan-ketentuan pokok tentang hak guna usaha dalam UUPA telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (tanah Negara) guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan dalam jangka waktu 25 atau 35 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun dan kemudian dapat diberikan pembaharuan hak. Pembaharuan hak itu adalah pemberian hak yang sama pada pemegang


(67)

hak atas tanah yang telah dimilikinya sesudah jangka waktu tersebut atau perpanjangan hak.

Khusus hak guna usaha dalam rangka penanaman modal asing (PMA), jangka waktu perpanjangan hak dan pembaharuan hak tersebut dapat dimohon sekaligus pada awal permohonan hak asalkan dibayar uang pemasukan kepada Negara sekaligus dan dengan syarat-syarat lainnya.

Subjek hak guna usaha adalah warga Negara Indonesia tunggal dan badan hukum Indonesia, jika karena sesuatu sebab subjek itu tidak lagi memenuhi syarat tersebut, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak guna usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat, jika tidak, haknya menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara.

Tanah yang dapat diberikan untuk hak guna usaha adalah tanah Negara, dalam pengertian (sesuai dengan Pasal 4 PP No. 40/1996) bahwa dapat juga diberikan tanah yang telah diperuntukkan untuk kawasan hutan tetapi dengan ketentuan harus terlebih dahulu dilepas/dikeluarkan dari kawasan hutan, baru kemudian dapat diberikan hak guna usaha.

Demikian pula tanah hak, jika akan diberikan hak guna usaha, di atasnya harus lebih dahulu dilepaskan hak atas tanah tersebut sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Khusus jika sebelumnya berupa tanah hak guna usaha, ada di atasnya tanaman dan/atau bangunan milik subjek pada hak guna usaha terdahulu dengan atas hak yang sah, dapat diberi


(68)

ganti kerugian yang dibebankan kepada subjek hak guna usaha yang baru. Pemegang hak guna usaha berkewajiban :

1. Membayar uang pemasukan kepada Negara;

2. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

3. Mengusahakan sendiri tanah hak guna usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

4. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal hak guna usaha;

5. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan hak guna usaha;

7. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna usaha kepada Negara sesudah hak guna usaha tersebut hapus;

8. Menyerahkan sertifikat hak guna usaha sertifikat yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;

9. Apabila hak guna usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak guna usaha wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dengan biaya sendiri dan jika Pemerintah yang melaksanakannya atas biaya


(69)

bekas pemegang hak guna usaha tersebut, namun jika bangunan/tanaman dan benda-benda dimaksud masih diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanah seperti pemberian hak guna usaha yang baru, maka kepada bekas pemegang hak guna usaha diberikan ganti kerugian oleh pemegang hak guna usaha yang tersebut;

10. Jika tanah hak guna usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lainnya, letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang hak guna usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.

Luas areal hak guna usaha minimum 5 hektar dan maksimum tidak ada ditentukan (Pasal 28 UUPA) tetapi pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, dinyatakan jika subjeknya perorangan (WNI), batas maksimum 25 hektar tetapi jika subjeknya badan hukum Indonesia, akan ditetapkan menteri dengan memperhatikan bidang usaha dan daya gunanya. Penegasan UUPA (Pasal 28) bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Ini tidak berarti bahwa tanah-tanah yang kurang dari 25 hektar, pengusahaannya boleh dilakukan dengan sesuka hati ataupun diterlantarkan yang bisa mengakibatkan hapusnya hak tersebut.


(70)

Penegasan UUPA diatas dikaitkan dengan Pasal 7 UUPA tentang larangan latifundia, tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang paradok sekalipun tidak ada batas maksimum khususnya yang subjeknya badan hukum Indonesia. Karena semakin luas areal benarti dengan investasi dan pengusahaannya yang modern akan menyediakan lapangan kerja yang semakin luas, yang jelas tidak akan merugikan kepentingan umum, malahan sebaliknya.

c. Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan dalam UUPA juga merupakan hak baru yang tidak dikenal dalam Hukum Adat, namun tidak seperti hak opstal dalam BW sebagai suatu hak kebendaan.

Ketentuan-ketentuan pokok tentang hak guna bangunan dalam UUPA telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri seperti tanah hak milik orang lain, tanah hak pengelolaan, dan tanah Negara dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA) dan dapat diberi pembaharuan hak di atas tanah yang sama (Pasal 25 PP No. 40/1996).

Ketentuan-ketentuan inilah yang diberlakukan atas hak guna bangunan di atas tanah Negara, sementara hak guna bangunan di atas tanah hak milik dan tanah hak pengelolaan harus berdasarkan persetujuan


(1)

sekunder, dan tersier yang dikumpulkan, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisis data kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis, serta metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.

Dari penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan bahwa peralihan hak atas tanah dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Peranan PPAT dalam peralihan hak guna bangunan adalah merekam segala perbuatan yang terjadi dalam peristiwa jual beli tanah untuk memindahkan hak atas tanah dari satu pihak ke pihak lainnya dalam bentuk akta jual beli tanah. Dan juga peralihan hak guna bangunan pada umumnya dapat memakan waktu sekitar 30 hari sampai 1,5 bulan untuk mendapatkan izin/sertifikat hak guna bangunan sedangkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Indonesia Nomor 8 Tahun 2016, maka hanya dibutuhkan 8 hari kerja untuk menyelesaikan keseluruhan prosesnya.

Kata Kunci : Peralihan Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pemimbing I


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya dan telah memberikan penulis kekuatan serta kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) ATAS PERALIHAN HAK GUNA BANGUNAN (HGB) MENURUT PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 BESERTA AKIBAT HUKUMNYA”.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, dukungan, semangat, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penasihat Akademik penulis dari awal semester hingga akhir semester;

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(3)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara;

7. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria sekaligus Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak yang sudah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini diselesaikan dengan baik;

8. Ibu Mariati Zendrato, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu atas segala bantuan, kritikan, bimbingan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;

9. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Teristimewa untuk keluarga yang sangat penulis sayangi yaitu Lie Tjan Fong (Kakek), Lie Tjak Joen (Nenek), Lie Pik Jung (Papa), Tio Mei Jong (Mama), dan Cindy Melosa (Kakak), serta keluarga besar penulis, terima kasih atas kasih sayang, motivasi, kesabaran, pengorbanan, bantuan, dan terutama doa kalian semua yang sangat berarti bagi penulis, khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(4)

11. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu Jesseline Tiopan, Paula Kosim, Edelin Patricia, Sarah Dominica, Lona Oktavia, Giani Anes, Fawwaz Ghina, dan Anike Putri, terima kasih atas waktu dan bantuannya;

12. Teman-teman stambuk 2013 lainnya, terima kasih atas bantuannya kepada penulis selama ini;

13. Teman-teman baik penulis yaitu Katherina dan Jessie Sheila yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk semangat dan menghibur penulis pada saat penulisan skripsi, terima kasih banyak;

14. Kakak-kakak Senior yang selalu memberikan informasi kepada penulis tentang pengerjaan skripsi;

15. Teman-teman di luar kampus yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 20 Desember 2016

VALENTINA CANDORA 130200305


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ………...i

Abstrak ………ii

KataPengantar ………...iv

Daftar Isi ………...vii

BAB I PENDAHULUAN ...………...1

A. Latar Belakang ...………1

B. Rumusan Masalah ...………..6

C. Tujuan Penulisan ………...7

D. Manfaat Penulisan ……….7

E. Metode Penelitian ………..8

F. Keaslian Penulisan ………...10

G. Sistematika Penulisan ………..11

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 ...13

A. Tinjauan Umummengenai Peralihan Hak atas Tanah ……....13

B. Tinjauan Umum mengenai Hak atas Tanah …….…………...17

BAB III PERANAN PPAT DALAM PERALIHAN HAK GUNA BANGUNAN BESERTA AKIBAT HUKUMNYA…………..40

A. Tinjauan Umum mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)……….40


(6)

3. Tugas dan Wewenang PPAT ……….43

4. Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah ………45

5. Honorarium Seorang PPAT ………...47

6. Bentuk Akta ………...47

7. Daerah Kerja dan Formasi PPAT ………..48

8. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT ………..50

9. Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT ………...55

10.Pelaksanaan PPAT ……….57

11.Yang Menandatangani Akta PPAT ………...58

12.Larangan Membuat Akta PPAT ………59

13.Ketentuan Peralihan ………...61

B. Akibat Hukum ……….61

BAB IV AKIBAT PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 ATAS PENUNJUKAN WILAYAH-WILAYAH TERTENTU TERHADAP WILAYAH-WILAYAH DI LUAR YANG DITETAPKAN………63

A. Peralihan Hak Guna Bangunan ………...63

B. Pelayanan Peralihan Hak Guna Bangunan ………..67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………80

A. Kesimpulan ………..80

B. Saran ………82


Dokumen yang terkait

Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat

2 68 132

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

6 97 144

Tinjauan Yuridis Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Mengacu Kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Pejabat Negara Yang Berperan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dan Ban

1 41 152

Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak dalam Peralihan Hak Atas Tanah oleh Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

9 135 135

Mekanisme Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai

3 77 78

Tinjauan Hukum mengenai Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Hak atas Tanah terhadap Warga Negara Asing dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

0 19 104

Tinjauan Atas Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Cianjur

0 6 1

Prinsip Kehati-Hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Tanah yang Belum Bersertifikat

0 3 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat

0 0 23

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

0 0 16