Tinjauan Hukum terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak pada Perjanjian Gadai (studi pada Perum Pegadaian Cabang Medan)

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PARATE EKSEKUSI

ATAS BENDA BERGERAK DALAM PERJANJIAN GADAI

(Studi pada Perum Pegadaian Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh: Rizka Mauliyan

060200078

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PARATE EKSEKUSI

ATAS BENDA BERGERAK DALAM PERJANJIAN GADAI

(Studi pada Perum Pegadaian Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh: Rizka Mauliyan

060200078

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196204211988031004 Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Runtung, S.H, M.Hum

NIP. 19511101985031022 NIP.195008081980021001


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Alhamdullilah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak pada Perjanjian Gadai (studi pada Perum Pegadaian Cabang Medan)”

Tujuan penulis menulis skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan program studi Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan ini dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing I;

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I; 3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan II; 4. Bapak M. Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III;

5. Bapak Prof. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata;


(4)

6. Bapak M. Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing II;

7. Ibu Puspa Melati, SH, M. Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Dagang;

8. Bapak Keleleung Bukit, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis; 9. Seluruh dosen beserta Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan;

10.Instansi terkait dalam hal ini Kantor Wilayah Pegadaian I Medan yaitu Bapak Fajrir Khalidi, S.E selaku Asisten Manajer Operasional dan Bapak Lintong Panjaitan selaku Ka. Humas Perum Pegadaian Kanwil I Medan dimana Penulis telah melakukan riset untuk menyelesaikan skripsi ini; 11.Papa (Makmur Pulungan), Mama (Hamidah Panggabean) serta adikku

(Fetty Novian Pulungan) yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian, semangat, bimbingan dan memberikan bantuan moril dan materil yang tak henti-hentinya;

12.Tengku Dimas Pramana ‘bib’ yang penulis sayangi yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan dukungannya selama ini.

13.Sahabat-sahabatku dikampus: Uun ‘bebun’ yang senantiasa menemani dan menyemangati penulis, Siti’chubby’ yang selalu muncul dan hilang sesuka hatinya (hehe,,), Lesly ‘eci’, S.H. yang telah memberikan panggilan sayang yang baru kepada penulis, Dina Kristina ‘cute’ yang selalu siap sedia ingin mengantarkan penulis untuk menjumpai Dosen Pembimbing, Putri ‘puput’, S.H. yang telah memberikan banyak bantuan bagi penulis


(5)

dalam mengerjakan skripsi, serta teman seperjuangan penulis di kos no.418: Dewi Marpaung, Octris Pratiwi dan Annisa Lubis;

14.Teman-temanku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2006 lainnya (Nina Wanda Hasibuan, Ulfa Hayati Nasution, Ayu Nasution, Aztrini Lailatul Mina, Faradila Yulistari Sitepu, S.H., Aiz Tyas, S.H., M. Firnanda, Sudirman Naibaho dan Ahmad ‘solop’);

15.Dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam pembuatan penulisan hukum ini, penulis ucapkan banyak terima kasih.

Mengingat bahwa sifat ilmu pengetahuan adalah dinamis dan akan terus mengalami perkembangan, sementara skripsi ini tidak dapat dikatakan sempurna maka Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan sebelumnya Penulis memohon maaf bilamana terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati.

Akhir kata Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan kelancaran dalam menjalankan hidup dikemudian hari. Harapan Penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khusunya dan Masyarakat pada umumnya.

Medan, Maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN GADAI A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai 1.Dasar Hukum Gadai ... 18

2. Pengertia Gadai ... 21

B. Objek Jaminan Gadai 1. Objek Jaminan Gadai menurut ketentuan KUH Perdata ... 27


(7)

C. Perjanjian Gadai sebagai Perjanjian Assesoir dari Perjanjian

Utang Piutang ... 36

D. Parate Eksekusi pada Jaminan Gadai ... 46

BAB III PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN A. Terjadinya Perjanjian Gadai antara Kreditur dan Debitur pada Perum Pegadaian ... 55

B. Hak Dan Kewajiban Kreditur dan Debitur dalam Perjanjian Gadai pada Perum Pegadaian ... 61

C. Pelunasan Pinjaman Kredit pada Perum Pegadaian ... 63

D. Timbulnya Hak Pemegang Gadai (Kreditur) Melakukan Parate Eksekusi ... 66

E. Peraturan Perum Pegadaian Mengenai Pelaksanaan Parate eksekusi ... 69

F. Pelaksanaan Parate Eksekusi... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... viii


(8)

ABSTRAK

Kebutuhan akan dana akhir-akhir ini dirasakan sangat penting. Adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan dana segar dengan proses yang mudah dan tidak berbelit-belit merupakan suatu dambaan setiap masyarakat. Hadirnya Perum Pegadaian sejak lebih dari 100 (seratus tahun) yang lalu dirasakan sangat membantu perkembangan perekonomian rakyat Indonesia yang menganut ekonomi kerakyatan. Sesuai dengan ciri hak kebendaan yang mengharuskan pemegang gadai menguasai barang jaminan gadai tersebut, maka Pegadaian dalam melaksanakan kegiatannya juga memegang barang jaminan gadai tersebut. Namun, bagaimanakah bila debitor (nasabah) melakukan wanprestasi? Seperti yang telah di atur di dalam KUH Perdata juga, apabila dalam perjanjian gadai si debitor wanprestasi, maka kreditor berhak untuk menjual barang tersebut tanpa perantaraan hakim untuk mendapatkan pelunasan piutangnya (parate eksekusi). Dari uraian di atas penulis mengemukakan masalah yang ingin di bahas yaitu mengenai peraturan parate eksekusi itu di dalam Perum Pegadaian. Dan apakah pengembalian piutang Perusahaan melalui parate eksekusi dirasakan sangat membantu.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku dari perpustakaan, penulis juga melakukan penelitian dan wawancara langsung kepada Asisten Manajer Operasional Kantor Cabang Perum Pegadaian Medan di Kantor Wilayah I Pegadaian Medan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Penulis di peroleh hasil bahwa Perum Pegadaian dalam melaksanakan lelang barang jaminan berdasarkan pada Pedoman Operasional Kantor Cabang dan Surat Edaran No. 48/Op.1.00211/2003 tentang Lelang Barang Jaminan. Dalam hal ini yang menjadi kreditor adalah Perum Pegadaian sedangkan yang menjadi debitor adalah nasabah Pegadaian. Lelang dilaksanakan ketika waktu pengembalian pinjaman telah jatuh tempo dan debitor belum juga melunasi atau mencicil pembayaran pinjamannya beserta bunga/sewa modal. Maka pemegang gadai berhak untuk melakukan lelang di muka umum (parate eksekusi). Sebelum melakukan lelang, pemegang gadai wajib memberitahukan kepada nasabah bahwa barangnya akan di lelang. Peraturan mengenai lelang barang jaminan ini memiliki banyak kesamaan dengan KUH Perdata. Melalui cara parate eksekusi ini kreditor lebih mendapatkan kemudahan dalam mengambil pelunasan piutangnya dari debitor yang wanprestasi. Namun hendaknya debitor tetap membayar pinjamannya dengan tepat waktu walaupun dengan pelelangan barang jaminan gadainya hutangnya akan lunas. Sehingga dengan lancarnya aktivitas pinjam meminjam ini (dalam artian tidak ada kredit macet) perekonomian kita diharapkan semakin meningkat.


(9)

ABSTRAK

Kebutuhan akan dana akhir-akhir ini dirasakan sangat penting. Adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan dana segar dengan proses yang mudah dan tidak berbelit-belit merupakan suatu dambaan setiap masyarakat. Hadirnya Perum Pegadaian sejak lebih dari 100 (seratus tahun) yang lalu dirasakan sangat membantu perkembangan perekonomian rakyat Indonesia yang menganut ekonomi kerakyatan. Sesuai dengan ciri hak kebendaan yang mengharuskan pemegang gadai menguasai barang jaminan gadai tersebut, maka Pegadaian dalam melaksanakan kegiatannya juga memegang barang jaminan gadai tersebut. Namun, bagaimanakah bila debitor (nasabah) melakukan wanprestasi? Seperti yang telah di atur di dalam KUH Perdata juga, apabila dalam perjanjian gadai si debitor wanprestasi, maka kreditor berhak untuk menjual barang tersebut tanpa perantaraan hakim untuk mendapatkan pelunasan piutangnya (parate eksekusi). Dari uraian di atas penulis mengemukakan masalah yang ingin di bahas yaitu mengenai peraturan parate eksekusi itu di dalam Perum Pegadaian. Dan apakah pengembalian piutang Perusahaan melalui parate eksekusi dirasakan sangat membantu.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku dari perpustakaan, penulis juga melakukan penelitian dan wawancara langsung kepada Asisten Manajer Operasional Kantor Cabang Perum Pegadaian Medan di Kantor Wilayah I Pegadaian Medan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Penulis di peroleh hasil bahwa Perum Pegadaian dalam melaksanakan lelang barang jaminan berdasarkan pada Pedoman Operasional Kantor Cabang dan Surat Edaran No. 48/Op.1.00211/2003 tentang Lelang Barang Jaminan. Dalam hal ini yang menjadi kreditor adalah Perum Pegadaian sedangkan yang menjadi debitor adalah nasabah Pegadaian. Lelang dilaksanakan ketika waktu pengembalian pinjaman telah jatuh tempo dan debitor belum juga melunasi atau mencicil pembayaran pinjamannya beserta bunga/sewa modal. Maka pemegang gadai berhak untuk melakukan lelang di muka umum (parate eksekusi). Sebelum melakukan lelang, pemegang gadai wajib memberitahukan kepada nasabah bahwa barangnya akan di lelang. Peraturan mengenai lelang barang jaminan ini memiliki banyak kesamaan dengan KUH Perdata. Melalui cara parate eksekusi ini kreditor lebih mendapatkan kemudahan dalam mengambil pelunasan piutangnya dari debitor yang wanprestasi. Namun hendaknya debitor tetap membayar pinjamannya dengan tepat waktu walaupun dengan pelelangan barang jaminan gadainya hutangnya akan lunas. Sehingga dengan lancarnya aktivitas pinjam meminjam ini (dalam artian tidak ada kredit macet) perekonomian kita diharapkan semakin meningkat.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat bergantung pada kegiatan perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi yang baik akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, dan sebaliknya apabila terjadi penurunan pertumbuhan perekonomian maka juga akan berdampak turunnya kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak hanya akan berdampak pada kehidupan perekonomian, tapi juga berdampak pada kehidupan politik, sosial, dan budaya. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Pertumbuhan perekonomian di Indonesia berkembang seiring dengan bertambahnya kebutuhan akan kredit. Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perkonomian dirasakan semakin meningkat. Maka dari itu diperlukan kredit-kredit lancar dari lembaga-lembaga kredit yang ada agar dana yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan usahanya dapat berjalan dengan lancar.

Pembangunan ekonomi termasuk di dalamnya politik ekonomi dari suatu Negara, memegang peranan penting dalam penentuan dan cara-cara pemberian kesempatan pemberian kredit oleh lembaga-lembaga kredit. Dalam pemberian kredit diperlukan jaminan atas kredit yang diberikan. Di Indonesia adanya lembaga jaminan yang sederhana, sebagai jaminan kredit kecil yang diberikan kepada pengusaha kecil, petani kecil, telah diusahakan. Semuanya itu


(11)

dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana, prosedur yang gampang, syarat yang tidak memberatkan dan dengan jaminan yang ringan saja, yang memungkinkan mereka memperoleh kredit dengan gampang dan cepat untuk mengembangkan usahanya.

Masyarakat sering menjumpai kesulitan dalam memperoleh kredit dari bank, hal ini disebabkan karena banyaknya syarat-syarat yang harus di penuhi, prosedur yang berbelit-belit serta waktu yang panjang untuk menunggu cairnya kredit tersebut. Maka untuk memastikan masyarakat memperoleh kredit dengan mudah, pemerintah menetapkan Lembaga Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian melalui Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1990 dengan tujuan yang tercantum dalam pasal 5 ayat (2) PP No. 10 tahun 1990:

“(2) Perusahaan bertujuan :

a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai;

b. pencegahan praktek ijon, pegadaian gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.” 1

Untuk lebih mengenal Lembaga Pegadaian ini, kita harus mengetahui sejarah awal berdirinya Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian terlebih dahulu. Pegadaian pada awalnya adalah lembaga keuangan yang didirikan oleh Belanda, kemudian Pemerintah dengan adanya Stb. No 131 tahun 1901 pada tanggal 12 Maret tahun 1901 mengambil alih Lembaga Pegadaian yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda dengan pendirian pertama di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 1 April 1901. Tanggal 1 April kini dianggap sebagai hari lahir Pegadaian.

1

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian


(12)

Berdasarkan kenyataan di atas, maka peran Pegadaian sebagai lembaga pembiayaan dalam era sekarang dan masa akan datang tetap penting untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi rakyat baik di kota maupun di pedesaan. Pengalamannya bergelut dengan masyarakat kecil sejak 100 tahun yang lalu menjadikan sangat akrab dalam menggalang ekonomi kerakyatan. Masyarakat kecil umumnya masih terbelakang dan dalam kondisi seperti ini peranan pegadaian sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat kecil semakin penting untuk menyediakan kredit berskala kecil, cepat, bunga ringan dan tidak berbelit.

Sejak dilakukannnya pembenahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awal pemerintahan Orde Baru maka Perusahaan Negara Pegadaian tanggal 1 Agustus 1969 berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian. Selanjutnya melalui PP no. 10 tahun 1990 yang berlaku sejak tanggal 10 april 1990 status Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian sehingga tanggung jawab menjadi lebih besar karena orientasi dari perusahaan ini disamping memberikan pelayanan kepada masyarakat juga sudah bersifat profit motif yaitu mencari keuntungan.

Dalam pemberian kredit di Pegadaian, Pegadaian sebagai pemegang gadai dan nasabah sebagai pemberi gadai mengadakan perjanjian kredit yang dituangkan dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Perjanjian gadai adalah perjanjian riil, oleh karena sebagaimana ditentukan dalam pengertian gadai itu sendiri, gadai hanya ada, manakala benda yang akan digadaikan secara fisik telah dikeluarkan


(13)

dari kekuasaan pemberi gadai.2

2

Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2007. Hlm 77

Oleh karena itu dalam setiap perjanjian gadai diikuti oleh penyerahan benda (dalam hal ini benda bergerak) sebagai jaminan atas peminjaman uang yang diberikan oleh penerima gadai kepada pemberi gadai. Didalam SBK tercantum perjanjian yang harus disepakati oleh kedua belah pihak mengenai nilai taksir atas benda yang digadaikan, bunga pinjaman, tanggal jatuh tempo serta tanggal pelelangan benda yang digadaikan tersebut apabila barang tersebut tidak di tebus dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Prosedur dalam peminjaman dan pelunasan kredit gadai di Pegadaian sangat mudah dan tidak berbelit-belit, karena tidak memerlukan proses yang panjang dan juga tidak melibatkan banyak pihak, cukup dilakukan oleh kreditur dan debitur di kantor Pegadaian. Berbeda dengan peminjaman kredit dengan jaminan fiducia ataupun hak tanggungan yang melibatkan notaris, PPAT, ataupun Badan Pertanahan Nasional.

Setiap pemberian kredit harus diikuti dengan suatu penjaminan guna pengamanan kredit yang telah diberikan. Dalam hal terjadi perjanjian kredit, debitur menyerahkan benda gadai sebagai jaminan atas pelunasan hutang-hutangnya terhadap kreditur. Jaminan adalah penting demi menjaga keamanan dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.


(14)

Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai.

Namun, tetap saja tidak semua kredit yang telah dicairkan pasti akan di lunasi, selalu saja ada kredit macet karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Di dalam perjanjian gadai, apabila debitur wanprestasi atau tidak dapat melunasi hutang-hutangnya atau tidak mampu menebus barangnya sampai habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka pihak pemegang gadai berhak untuk melelang barang gadai tersebut dan hasil dari penjualan lelang tersebut sebagian untuk melunasi hutang kreditnya, sebagian lagi untuk biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan sisanya diberikan kepada si pemberi gadai.

Untuk memastikan Perum Pegadaian tidak mengalami kerugian akibat adanya kredit macet tersebut, maka Perum Pegadaian telah menentukan tanggal pelelangan atas benda jaminan tersebut.

Di dalam pasal 3.9.2.9 NBW Belanda juga disebutkan :

“Apabila yang berutang lalai melunasi hutangnya, maka pemegang berhak untuk menjual bendanya dan mengambil pelunasannya”


(15)

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menelaah mengenai pelaksanaan parate eksekusi atas jaminan benda bergerak tersebut, apakah dengan pelaksanaan parate eksekusi piutang Perum Pegadaian dapat terpenuhi semuanya, dan bagaimana jika barang yang di lelang tidak laku di pasaran sehingga mengakibatkan kerugian bagi Perum Pegadaian.

B. Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan masalah di dalam skripsi ini, maka penulis memberikan batasan-batasan masalah yang akan dibahas lebih lanjut berkenaan dengan “Tinjauan Hukum Terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak dalam Perjanjian Gadai”, yaitu :

1. Bagaimanakah timbulnya hak pemegang gadai dalam melaksanakan parate eksekusi?

2. Bagaimanakah efektivitas parate eksekusi terhadap jaminan gadai dalam hal terjadinya wanprestasi?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, tujuan yang ingin di capai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah timbulnya hak pemegang gadai dalam melaksanakan parate eksekusi.

2. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas parate eksekusi terhadap jaminan gadai dalam hal terjadinya wanprestasi.


(16)

Pada umumnya suatu penulisan yang di buat diharapkan dapat memberikan manfaat, begitu juga yang diharapkan dari penulisan ini agar dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Secara akademik penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu, khususnya mengenai parate eksekusi di dalam perjajian gadai

2. Secara praktis penulisan ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian selanjutnya.

3. Menambah wawasan ilmiah baik secara khusus berkenaan dengan penulisan maupun hal umum lainnya.

4. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam hal ini sarjana hukum.

D.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya. Dimana tulisan ini pada awalnya adalah berdasarkan pemikiran dari penulis ketika melihat perkembangan lembaga jaminan di Indonesia dewasa ini. Sehingga tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain. Karena itu keaslian tulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.


(17)

E.Tinjauan Kepustakaan 1. Gadai pada Umumnya

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdapat beberapa jenis penjaminan, diantaranya hipotek, gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung (tanggung renteng) dan lain-lain. Selain itu di luar KUH Perdata juga terdapat jenis penjaminan lainnya diantaranya jaminan dalam bentuk Hak Tanggungan dan Fiducia. Mengenai jaminan gadai sendiri di atur dalam buku II bab XX pasal 1150 s/d pasal 1161. Istilah gadai sendiri berasal dari terjemahan kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Menurut pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.” 3

Pengertian gadai yang tercantum dalam pasal 1150 KUH Perdata ini sangat luas, tidak hanya mengatur pembebanan jaminan atas benda bergerak, tetapi juga mengatur kewenangan kreditur untuk mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi barang gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya4

3

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 297

4

H. Salim HS, perkembangan hukum jaminan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 34

. Secara umum pengertian gadai dapat didefinisikan sebagai berikut:


(18)

“Kredit yang diperoleh dengan memakai jaminan barang-barang berharga seperti: emas permata, berlian, dan lain sebagainya.”5

1. Peraturan pemerintah no 7 tahun 1969 tentang perusahaan jawatan pegadaian

Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan umum Pegadaian. Dasar berdirinya Perum Pegadaian adalah:

2. Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1970 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1969 tentang perusahaan jawatan pegadaian 3. Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk

Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian

2. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai dan Pemberi Gadai

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan pemegang gadai (pandnemer). Pandgever yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada pemegang gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Kewajiban dan tanggung jawab dari pemegang gadai dan pemberi gadai adalah6

a) Kewajiban pemegang gadai/kreditur, yaitu: :

5

M. Manullang, pengantar ekonomi perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm 213 6


(19)

1) bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya;

2) harus memberitahukan Pemberi Gadai, jika benda gadai dijual; 3) bertanggungjawab terhadap penjualan benda gadai

b) Kewajiban pemberi gadai/debitur, yaitu:

1) Pemberi Gadai diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan guna keselamatan barang gadainya

Di samping itu hak yang dimiliki oleh pemegang gadai dan pemberi gadai adalah:

a) Pemegang Gadai mempunyai hak:

1) penguasaan benda gadai, namun tidak mempunyai hak untuk memiliki benda gadai;

2) dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi), sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya titel eksekutorial. Penerima Gadai/ Pemegang Gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya penetapan Pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita ataupun mendahului dengan penyitaan;

3) menjual benda gadai dengan perantaraan hakim, dimana kreditur dapat memohon pada hakim untuk menentukan cara penjualan benda gadai;


(20)

4) mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai;

5) retensi (menahan) benda gadai, bilamana selama hutang pokok, bunga, dan ongkos-ongkos yang menjadi tanggungan belum dilunasi maka si berhutang/debitur maka debitur tidak berkuasa menuntut pengembalian benda gadai;

6) untuk didahulukan (kreditur preferen) pelunasan piutangnya terhadap kreditur lainnya, hal tersebut diwujudkan melalui parate eksekusi ataupun dengan permohonan kepada Hakim dalam cara bentuk penjualan barang gadai.

b) Pemberi Gadai tetap mempunyai hak milik atas Benda Gadai.

3. Benda Jaminan dalam Gadai

Menurut pasal 1130 KUH Perdata, seluruh kekayaan debitur baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, telah menjadi jaminan atas segala utang-utang debitur.7 Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan perorangan dan jaminan kebendaan.8

7

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, op.cit, hlm 291 8

Subekti, jaminan-jaminan untuk pemberian kredit menurut hukum Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, 1982, hlm 25

Jaminan perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Ia bahkan dapat diadakan diluar (tanpa) pengetahuan debitur tersebut. Sedangkan jaminan kebendaan dapat dilakukan antara kreditur dan debitur, juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin utang-utang debitur


(21)

dengan cara menyendirikan bagian dari kekayaan debitur sebagai jaminan untuk pembayaran utang debitur.

Dalam jaminan kebendaan terdapat jenis jaminan gadai. Dalam pasal 1152 KUH Perdata ditentukan bahwa yang menjadi benda jaminan gadai adalah benda-benda bergerak. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang dapat digadaikan adalah benda bergerak yang berupa:

a) Benda bergerak yang berwujud

b) Benda bergerak yang tidak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aan toonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama).9

Di dalam praktek Perum Pegadaian biasanya menerima barang-barang seperti emas, permata, barang elektronik, dan kendaraan bermotor. Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai.

Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai.

9

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Jogjakarta, 1981, hlm 98


(22)

4. Parate Eksekusi

Parate eksekusi adalah suatu bentuk eksekusi yang di kenal dalam jaminan kebendaan. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa titel eksekutorial (tanpa perlu perantaraan) disebut parate eksekusi. Parate eksekusi terdapat di dalam pasal 1155 KUH Perdata:

“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya pendapatan penjualan tersebut.10

Tetapi pasal 1155 ini merupakan ketentuan yang bersifat mengatur (aanvullend). Para pihak di beri kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan di muka umum atau di bawah tangan.

11

a. Penjualan barang gadai harus atau mesti dilakukan di muka umum melalui penjualan lelang (executoriale verkoop) atau the right to sale under execution.

Menurut M. Yahya Harahap, S.H. pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata mengatur prinsip-prinsip pokok mengenai parate eksekusi:

b. Ketentuan pokok penjualan barang gadai di muka umum bersifat “mandat memaksa” (imperatief mandaat) atau mandatory instruction yang diberikan undang-undang kepada pemegang gadai/kreditur dalam

10

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 298 11

Djaja S. Meliala, perkembangan hukum perdata tentang benda dan hukum perikatan, Bandung, Nuansa Aulia hlm 47


(23)

kedudukan eigenmachtige verkoop berdasarkan pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata.12

F. Metode Penulisan

1. Sifat / Bentuk Penulisan

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan parate eksekusi atas benda bergerak dalam perjanjian gadai. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Penulisan bertujuan meletakkan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perdata. Kemudian dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu penelitian ini berupaya untuk melihat bagaimana pihak-pihak yang terkait rensponsif dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang terkait dengan itu.

2. Data

a) Data Primer

Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta melalui wawancara secara terarah dan sistematis dengan pihak yang dipandang mengetahui serta memahami tentang obyek yang diteliti yaitu yang diperoleh dari lokasi penelitian di Kantor Perum Pegadaian Medan.

12

M. Yahya Harahap, ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata, sinar grafika, Jakarta, 2006, hlm 218


(24)

b) Data Sekunder

Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh tidak secara langsung, tapi diperoleh melalui studi pustaka, literatur, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.

c) Data tersier

Yaitu berupa kamus, bahan dari internet dan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Metode Penelitian

Dalam memperoleh data dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, dilakukan penelitian dengan metode-metode sebagai berikut:

a) Penelitian kepustakaan (Library Research)

Dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan yang berhubungan dengan topik yang di bahas dari berbagai buku dan literatur.

b) Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui riset yang dilakukan di Perum Pegadaian Cabang Medan melalui wawancara langsung dan pengambilan data langsung dari Perum Pegadaian Cabang Medan.


(25)

G.Sistematika Penulisan

Secara sistematika dalam penyusunan skripsi ini penulis membaginya dalam 4 (empat) bab, yaitu:

Bab I : Pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran awal sebagai pengantar untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini selanjutnya. Dalam bab I ini dibagi lagi ke dalam beberapa sub bab yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini penulis membahas mengenai “Tinjauan Perjanjian Gadai’ yang di bagi dalam empat sub bab, yaitu: dasar hukum dan pengertian gadai, objek jaminan gadai menurut KUH Perdata dan Perum Pegadaian, perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang.

Bab III : Dalam bab ini penulis mencoba memaparkan mengenai “Tinjauan Hukum Terhadap Parate Eksekusi atas Benda Bergerak” yang di bagi dalam enam sub bab, yaitu: terjadinya perjanjian gadai, hak dan kewajiban kreditur dan debitur, pelunasan pinjaman kredit, timbulnya hak pemegang gadai untuk melakukan eksekusi, peraturan perum pegadaian mengenai pelaksanaan parate eksekusi, dan pelaksanaan parate eksekusi.

Bab IV : Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan penulis dalam skripsi ini. Dalam bab ini penulis menarik


(26)

kesimpulan yang menjawab permasalahan yang di maksud dan beberapa saran sebagai kontribusi pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khusunya Hukum Perdata.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN GADAI A.Dasar Hukum dan Pengertian Gadai

1. Dasar hukum gadai

Dasar hukum mengenai gadai dapat dilihat dalam beberapa peraturan, diantaranya:

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

b) Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian dan Peraturan pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.

c) Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian No.Opp.2/67/5 tentang Pedoman Opersional Kantor Cabang Perum Pegadaian yang diterbitkan pada tanggal 6 Nopember 1998 sebagai pengganti Buku Tata Pekerjaan (BTP)

Ad.a) gadai didalam KUH Perdata

Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX pasal 1150 s/d 1161. Beberapa hal yang diatur di dalam pasal 1150 s/d pasal 1161 KUH Perdata diantaranya:

1) Pasal 1150 KUH Perdata mengatur tentang pengertian gadai yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.


(28)

2) Pasal 1151, perjanjian gadai sebagai perjanjian konsensuil dapat dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokoknya

3) Pasal 1152 mengenai objek jaminan gadai dan batalnya perjanjian pokok gadai apabila objek jaminan gadai tidak berpindah kepada kreditur

4) Pasal 1153 mengenai surat pemberitahuan penggadaian benda bergerak tak bertubuh.

5) Pasal 1154 mengenai larangan kepada kreditur untuk memiliki benda gadai apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, melainkan kreditur harus melakukan penjualan di depan umum terlebih dahulu. 6) Pasal 1155 mengenai pelaksanaan parate eksekusi apabila debitur atau

pemberi gadai tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutangnya.

7) Pasal 1156, kreditur dapat meminta kepada hakim untuk menentukan cara untuk melakukan penjualan barang jaminan dalam hal debitur wanprestasi.

8) Pasal 1157, kreditur bertanggung jawab atas hilangnya atau kemerosotan barang gadai yang terjadi karena kelalaiannya.

9) Pasal 1158 mengenai bunga atas piutang yang digadaikan

10)Pasal 1159 mengenai debitur yang tidak berhak menuntut barang gadainya apabila belum melunasi pinjaman pokoknya ditambah bunga pinjaman.


(29)

11)Pasal 1160, barang gadai tidak dapat dibagi-bagi walaupun utangnya berada diantara para ahli waris ataupun piutangnya diantara para ahli waris kreditur.

Ad.b) Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian dan Peraturan pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa Pegadaian pada awalnya merupakan suatu lembaga keuangan milik Hindia Belanda. Untuk pertama kalinya pada tanggal 12 Maret 1901 S 1901 A 901 No.131 diadakan ketentuan tentang jawatan pegadaian (Pandhuisdienst), yang realisasinya berupa sebuah jawatan Pegadaian di Sukabumi. Peraturan-peraturan jawatan Pegadaian berturut-turut diadakan dalam S 1905 No. 490 (Reglement voor den pandhuisdient), S 1928 No. 64 (wijziging van voorschriften betreffende de pandhuisdienst), S 1928 No. 81 (pandhuis reglement).

Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah meningkatkan status Pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang dituangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990. Perubahan dari PERJAN ke PERUM ini merupakan tonggak penting dalam pengelolaan Pegadaian yang memungkinkan terciptanya pertumbuhan Pegadaian yang bukan saja makin meningkatkan kredit yang disalurkan, nasabah yang dilayani


(30)

pendapatan dan laba perusahaan. Dan peraturan mengenai Pegadaian yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 200.

Ad.c) Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian No.Opp.2/67/5 tentang Pedoman Opersional Kantor Cabang Perum Pegadaian yang diterbitkan pada tanggal 6 Nopember 1998 sebagai pengganti Buku Tata Pekerjaan (BTP)

Buku Pedoman Operasional Kantor Cabang ini adalah pedoman para karyawan Pegadaian dalam melaksanakan kegiatan gadai di Kantor Cabang (KC) maupun di Unit Pembantu Cabang (UPC) Pegadaian.

2. Pengertian Gadai

Gadai adalah salah satu bentuk lembaga jaminan yang di akui di Indonesia. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga pengertian gadai, yaitu:

1. Meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman;

2. Barang yang diserahkan sebagai tanggungan utang;

3. Kredit jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat di perpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yang bersangkutan. 13

Sedangkan menurut kamus hukum, gadai adalah peminjaman uang dengan menyerahkan suatu barang bergerak sebagai jaminan; perjanjian gadai ini

13

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm 326


(31)

merupakan suatu perjanjian assesoir.14 Istilah gadai sendiri berasal dari terjemahan kata pand (bahasa belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Dalam kamus hukum juga terdapat pengertian pand (gadai), yaitu gadai, boroh, suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkannya kepadanya oleh debitur dan yang memberikan kekuasaan kepada si kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada para penagih lainnya.15

“gadai adalah salah satu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya;dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Peraturan mengenai gadai di atur di dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Pengertian gadai tercantum dalam pasal 1150 KUH Perdata dan artikel 1196 vv, title 19 buku III NBW. Pengertian gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata adalah:

16

1. Gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur

Dari beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan:

2. Objek yang bisa digadaikan adalah benda bergerak

3. Benda yang digadaikan harus dikeluarkan dari kekuasaan debitur

4. Kreditur mempunyai hak untuk mengambil pelunasan sendiri atas benda yang digadaikan tersebut apabila debitur wanprestasi

14

J.C.T. Simorangkir, kamus hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), hlm 52 15

Ibid, hlm 119 16


(32)

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa benda yang digadaikan tidak boleh tetap berada di bawah kekuasaan debitur, tetapi haruslah berada di bawah kekuasaan kreditur (asas imperatif), adanya pelanggaran terhadap asas ini menyebabkan hak gadai tidak sah (illegal).17

Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, atau pun yang kembali atas kemauan si berpiutang.”

Pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan. Begitu pula dalam pelaksanaan perjanjian hal yang paling penting adalah suatu itikad baik untuk melakukan prestasi atas perjanjian tersebut. Namun, tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk melakukan prestasinya, hal tersebut bisa dikarenakan adanya wanprestasi ataupun karena adanya kelalaian/ketidaksengajaan. Sehingga untuk menjamin terpenuhinya piutang kreditur, maka dalam gadai benda bergerak yang sebagai objek jaminan gadai harus berada di bawah kekuasaan kreditur. Asas ini di sebut asas inbezitzeteling. Hal ini di atur di dalam Pasal 1152 KUH Perdata,

“hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga tentang siapa telah di setujui oleh kedua belah pihak.

18

Namun, yang harus diperhatikan adalah bahwa hak menguasai barang dalam hal gadai, tidak meliputi hak untuk memakai barang itu.19

17

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 217 18

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, op.cit, hlm 297 19

Wirjono Prodjodikoro, hukum perdata tentang hak atas benda, (Jakarta, PT. Intermasa, 1986), hlm 154

Sehingga walaupun kreditur berhak atas kekuasaan benda yang digadaikan, namun hanya sebatas menguasai saja, tetapi tidak untuk memakai, memiliki ataupun untuk menikmati barang tersebut. Hak kreditur untuk menahan barang jaminan gadai di sebut hak retensi.


(33)

Untuk lebih mengenal lembaga gadai, dapat dilihat pada sifat-sifat gadai, diantaranya:20

1. Jaminan gadai mempunyai sifat accessoir (perjanjian tambahan). Artinya, jaminan gadai bukan hak yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok (perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur)

2. Jaminan gadai memeberikan hak preferen. Kreditur sebagai penerima gadai mempunyai hak yang didahulukan (hak preferen) terhadap kreditur lainnya. Artinya bila debitur cidera janji atau lalai maka kreditur penerima gadai mempunyai hak untuk menjual jaminan gadai tersebut dan hasil penjualan digunakan terutama untuk melunasi hutangnya.

3. Jaminan gadai mempunyai hak eksekutorial. Pemegang gadai (kreditur0 atas kekuasaan sendiri (eigen machtige verkoop) mempunyai hak untuk menjual benda yang digadaikan apabila debitur cidera janji dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk melunasi hutang debitur.

4. Hak gadai tak dapat dibagi-bagi. Artinya dengan dilunasinya sebagian hutang maka tidak menghapus sebagian hak gadai. Hak gadai tetap melekat pada seluruh bendanya.

5. Benda gadai dalam kekuasaan kreditur. Benda gadai harus berada di luar atau di tarik dari kekuasaan pemberi gadai (debitur). Hal ini disebut inbezzitstelling. Dengan kata lain benda yang digadaikan harus berada dalam kekuasaan kreditur sebagai pemegang gadai.

20

Megarita, perlindungan hukum terhadap pembeli saham yang digadaikan, (Medan, USU Press, 2007), hlm 29


(34)

6. Hak gadai berisi hak untuk melunasi hutang dari hasil penjualan benda gadai. Sifat ini sesuai sifat jaminan pada umumnya yaitu hak yang bersifat memberikan jaminan untuk pelunasan uang apabila si berutang atau debitur cidera janji dengan mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda jaminan itu, bukan hak untuk memiliki benda yang dijamin. Segala janji memberikan hak kepada kreditur untuk memiliki benda gadai adalah batal demi huku m.

Kata “gadai” dalam undang-undang digunakan dalam 2 (dua) arti, pertama-tama untuk menunjuk kepada bendanya (benda gadai, vide Pasal 1152 KUH Perdata), kedua tertuju kepada haknya (hak gadai, seperti pada pasal 1150 KUH Perdata).21 Hak gadai sebagai hak kebendaan (zakenlijkrecht) selau melekat atau mengikuti bendanya (droit de suite). Seperti yang diutarakan oleh Djaja S. Meliala, S.H., M.H. bahwa hak gadai sebagai hak kebendaan akan selalu melekat atau mengikuti bendanya, bahkan hak gadai akan tetap ada, meskipun kepemilikan atas benda tersebut jatuh ke tangan orang lain.22

1. Hak kebendaan itu adalah hak absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan kepada setiap orang. Hak perorangan adalah hak efektif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, ia hanya dapat dipertahankan melakukan terhadap debitur itu saja.

Hak gadai sebagai hak kebendaan mempunyai beberapa perbedaan dengan hak perseorangan, yaitu:

21

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007), hlm 89

22


(35)

2. Hak kebendaan mempunyai sifat droit de suite, artinya hak itu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada. Dalam hak perorangan sebaliknya mempunyai kekuatan yang sama atas hak-hak lainnya, tanpa memperhatikan saat kelahirannya.

3. Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya, hak itu dapat dialihkan diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Hak perorangan memberikan wewenang terbatas kepada pemiliknya. Ia hanya dapat menikmati apa yang menjadi miliknya dan tidak dapat dialihkan kecuali dengan persetujuan pemiliknya.

4. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas sedangkan hak perorangan terbatas.

Selanjutnya dalam praktek pembedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan itu tidak mutlak lagi. Dengan kata lain sifat-sifat yang bertentangan itu tidak tajam lagi. Pada tiap-tiap hak kita mendapatkan adanya hak kebendaan dan hak perorangan, bahwa titik beratnya saja yang berlainan. Mungkin pada hak kebendaan atau sebaliknya.23

1. Aturan Dasar Pegadaian (ADP)

Perum Pegadaian dalam kegiatannya menyalurkan dana kepada nasabah memakai beberapa pedoman peraturan, diantaranya:

ADP merupakan peraturan dasar yang menjadi acuan bagi Perum Pegadaian dalam melaksanakan kegiatannya. ADP ini telah ada sejak

23


(36)

zaman Hindia Belanda yang di atur di dalam Stb. No. 81 tahun 1928 pada tanggal 29 Maret tahun 1928

2. Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian No.Opp.2/67/5 tentang Pedoman Opersional Kantor Cabang Perum Pegadaian yang diterbitkan pada tanggal 6 Nopember 1998 sebagai pengganti Buku Tata Pekerjaan (BTP)

3. Buku Peraturan menaksir (BPM)

Yaitu buku petunjuk teknis menaksir barang-barang jaminan.

4. Peraturan-peraturan lainnya yang dikeluarkan sebagai pelengkap peraturan-peraturan di atas.

B.Objek Jaminan Gadai

1. Objek jaminan gadai menurut ketentuan KUH Perdata

Jaminan yang lahir karena undang-undang merupakan jaminan yang keberadaannya di tunjuk undang-undang, tanpa adanya perjanjian para pihak, yaitu yang di atur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan milik debitur baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.

Jaminan yang lahir dari undang-undang adalah: 1. Hipotik

2. Credietverband

3. Gadai 4. Fidusia


(37)

5. Penanggungan

Hukum jaminan berdasarkan objeknya dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Hukum jaminan dengan objek benda bergerak, dapat dibedakan lagi atas

benda tetap dan benda bergerak.

2. Hukum jaminan dengan objek benda tetap adalah hipotik dan Credietverband.

3. Hukum jaminan dengan benda bergerak, yaitu gadai dan fidusia.

4. Hukum jaminan dengan objek perorangan yaitu jaminan pribadi (personal guaranty) dan jaminan perusahaan (corporate guaranty).24

Didalam pengertian gadai dalam KUH Perdata telah disebutkan bahwa yang menjadi objek jaminan gadai itu adalah benda-benda bergerak, baik benda bergerak yang berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud. Seperti yang dituliskan oleh Megarita, bahwa benda yang dapat digadaikan adalah semua benda bergerak yang berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud, seperti:

1. Benda bergerak berwujud contohnya seperti: kenderaan bermotor seperti mobil, sepeda motor, mesin-mesin seperti mesin jahit, mesin pembajak sawah, mesin diesel/pembangkit listrik, pompa ait dan segala jenis mesin lainnya, lukisan yang berharga, kapal laut yang berukuran di bawah 20 m kubik, persediaan barang (stok), inventaris kantor/restoran, barang bergerak lain yang memiliki nilai.

24


(38)

2. Benda bergerak tidak berwujud, contohnya surat-surat berharga seperti: tabungan deposito berjangka, sertifikat deposito, wesel, promes, konosemen, obligasi, saham-saham, resipis yaitu tanda bukti penyetoran uang sebagai saham, ceel yaitu tanda penerimaan penyimpanan barang di gudang, piutang.25

Untuk surat-surat berharga yang digadaikan selain barang tersebut harus diletakkan di bawah kekuasaan kreditur, juga harus di sertai surat kuasa untuk memperpanjang atau mencairkan bila terjadi debitur wanprestasi. Khusus gadai atas piutang, kreditur sebagai penerima gadai harus memberitahukan kepada cessus (debitur dari piutang yang dialihkan). Pemberitahuan ini mutlak karena perbuatan hukum dalam menerima gadai piutang baru selesai dengan adanya pemberitahuan kepada cessus. Kalau pemberitahuan belum dilakukan maka hak gadai belum beralih kepada kreditur baru.26

Penyerahan barang yang digadaikan baik benda yang bergerak yang berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud dilakukan dengan penyerahan nyata, seperti yang tercantum dalam Pasal 1152 jo. Pasal 1153 KUH Perdata. Sedangkan untuk benda-benda tidak berwujud yang berupa tagihan atas order dilakukan dengan endossement disertai penyerahan nyata (Pasal 1152 bis KUH Perdata).27

Meletakkan gadai atas surat aan order menimbulkan permasalahan, karena surat-surat tersebut sebenarnya hanya merupakan kertas yang berisikan bukt i (memberikan legitimasi) tentang perbuatan hukum yang menunjukkan

25

Megarita, Op.Cit, hlm 30, yang dikutip dari Sutarno, aspek-aspek hukum perkreditan

pada bank, (Jakarta, Alfabeta, 2004), hlm 230 26

Ibid, hlm 31 27


(39)

orang tertentu kepada siapa suatu perikatan harus di lunasi, dengan hak untuk memindahtangankannya kepada orang lain harus melalui endossement. Mengingat bahwa tanpa endossement hak yang di kandung dalam suray aan order tidak dapat dilaksanakan (hak tagihnya) maka sudah sewajarnyalah kalau penyerahan surat tagih seperti itu kepada pemegang gadai harus disertai dengan endossement. Penyerahan disini bukanlah penyerahan yang mengakibatkan pemegang gadai menjadi pemilik namun hanya menjelaskan bahwa kreditur berkedudukan sebagai pemegang gadai saja.

Kedudukan pemegang gadai adalah lebih kuat daripada kedudukan pemegang fidusia, karena benda jaminan gadai berada dalam penguasaan kreditur, sehingga kreditur dapat terhindar dari itikad tidak baik oleh debitur. Ukuran itikad baik di sini adalah bahwa pemegang gadai menduga bahwa benda jaminan gadai tersebut adalah milik pemberi gadai. Jika pemegang gadai beritikad jahat atau benda gadai adalah benda yang hilang dan atau benda yang di curi oleh pemberi gadai, maka yang dilindungi adalah pemilik sebenarnya, ini berlangsung selama 3 tahun (Pasal 1977 KUH Perdata).28

2. Objek jaminan gadai pada Perum Pegadaian

Perum Pegadaian adalah lembaga keuangan bukan Bank yang bergerak dalam usaha penyaluran kredit atas dasar hukum dimana syarat jaminannya adalah barang bergerak sesuai dengan Pasal 1152 yang berbunyi, “hak gadai atas benda bergerak dan atas piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadai di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak”. Bunyi pasal diatas sesuai dengan apa yang

28


(40)

diterapkan pada Perum Pegadaian Wilayah Medan, yaitu Pegadaian hanya menerima barang bergerak saja sebagai jaminan hutang dan barang jaminan berada di bawah kekuasaan Pegadaian.

Barang-barang yang diterima sebagai jaminan gadai di Perum Pegadaian, adalah:29

1. Kain, seperti: a) Bahan pakaian

b) Kain, sarung, seprei, permadani, ambal 2. Barang perhiasaan (logam dan permata), seperti:

a) Emas/perak/platina b) Berlian

c) Batu mulia 3. Kendaraan, seperti:

a) Mobil

b) Sepeda motor c) Sepeda

4. Barang rumah tangga, seperti: a) Perabotan rumah tangga b) Elektronik

c) Gerabah

Barang yang tidak boleh diterima sebagai jaminan gadai: 1. Barang-barang milik pemerintah, seperti:

29


(41)

a) Senjata api, senjata tajam b) Pakaian dinas

c) Perlengkapan ABRI

2. Perlengkapan yang mudah busuk, seperti: a) Makanan dan minuman

b) Obat-obatan c) Tembakau

3. Barang yang berbahaya dan mudah terbakar, seperti: a) Korek api

b) Mercon (petasan/mesiu) c) Bensin

d) Minyak tanah e) Tabung berisi gas

4. Barang yang sukar di taksir nilainya, seperti: a) Barang purbakala

b) Historis

5. Barang yang di larang peredarannya, seperti:

Ganja, opium, madat, heroin, senjata api dan sejenisnya.

6. Barang yang tidak tetap harganya dan sukar ditetapkan taksirannya, seperti:

a) Lukisan b) Buku


(42)

a) Barang yang disewa-belikan

b) Barang yang diperoleh melalui hutang dan belum lunas c) Barang titipan sementara (konsinyasi)

d) Barang yang tidak diketahui asal usulnya

e) Barang-barang yang bermasalah (barang curian, penggelapan, penipuan, dll)

f) Pakaian jadi

g) Bahan yang pemakaiannya sangat terbatas dan tidak umum h) Ternak/binatang

Sedangkan penggolongan barang jaminan ditetapkan berdasarkan besarnya uang pinjaman (UP) dan tempat penyimpanannya. Penggolongan berdasarkan UP sebagai berikut:

1. Golongan A 2. Golongan B 3. Golongan C 4. Golongan D

Untuk memudahkan pengelolaan penyimpanan barang jaminan, maka penggolongan barang jaminan di bagi dalam beberapa “Rubrik”. Yaitu:

1. Kain (Kn) terdiri dari:

a) Pakaian;

b) Kain, sarung, seprei, ambal; c) Dan sejenisnya


(43)

a) Emas; b) Perak; c) Berlian; d) Jam tangan;

3. Gudang (G) terdiri dari:

a) Sepeda motor; b) Sepeda; c) Alat/perabot;

b) Perlengkapan (elektronik, gerabah) 4. Mobil (M) terdiri dari:

a) Sedan; b) Minibus; c) Mobil niaga;

d) Jeep, Truck, Pick Up.

Berdasarkan golongan dan rubrik barang jaminan tersebut, maka penggolongan barang jaminan disusun sebagai berikut:

a) Akn --- A Kain b) AK --- A Kantong c) AG --- A Gudang d) BK --- B Kantong e) BG --- B Gudang f) CK --- C Kantong g) CG --- C Gudang


(44)

h) DK --- D Kantong i) DG --- D Gudang j) DM --- D Mobil

Besarnya bunga/sewa modal berdasarkan golongan barang jaminan, yaitu:

Gol Uang Pinjaman (UP) Sewa Modal/15 hari

A Rp. 200.000 s/d Rp.150.000 0,75%

B Rp.151.000 s/d Rp. 500.000 1,2%

C Rp.505.000 s/d Rp. 20.00.000 1,3% D Rp. 20.500.000 s/d Rp. 1.000.000.000 1% Sumber: Brosur Pegadaian

C.Perjanjian Gadai Sebagai Perjanjian Accessoir Dari Perjanjian Utang Piutang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.30

30

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 458

Sedangkan perjanjian yang di atur di dalam pasal 1313 KUH Perdata, yaitu bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan


(45)

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.31

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat-syarat perjanjian itu sendiri di atur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal”32

Penjelasan dari pasal yang di atas adalah sebagai berkut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Menurut Salim HS ada empat macam teori yang menjawab mengenai waktu terjadinya kesepakatan, yaitu:33

1) Teori ucapan (uitingstheorie)

Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

2) Teori pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mngirimkan telegram.

3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie)

31

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hal 338 32

Ibid, hlm 339 33

Salim H.S, Pengantar hukum perdata tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), (selanjutnya di sebut Salim H.S II), hlm 162


(46)

Teori pengetahuan berpndapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya accaptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak di ketahui secara langsung).

4) Teori penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

b. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemapuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang-orang yang melakukan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wewenang untk melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perubatan hukum: (1) anak di bawah umur (minderjarigheid), (2) orang-orang yang di taruh di bawah pengampuan.

c. Adanya objek perjanjian (onderwerp der overenkomst)

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat di nilai dengan uang.


(47)

Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Begitu juga dalam perjanjian gadai, syarat umum yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata haruslah di penuhi. Kedua syarat yang pertama di sebut juga sebagai syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir di sebut sebagai syarat objektif, karena berkaitan dengan objek yang sedang diperjanjikan. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Namun, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan batal dengan sendirinya tanpa harus meminta putusan dari Hakim di Pengadilan.

Dalam perjanjian gadai barang telah dapat di lihat jelas bahwa suatu hal tertentu yang antara lain adalah menggadaikan barang, di mana lembaga penggadaian menilai barang jaminan penggadai dan memberikan pinjaman sesuai dengan nilai barang yang digadaikan. Dengan tidak adanya suatu hal tertentu yang terwujud dalam kebendaan yang telah ditentukan yang merupakan objek dalam suatu perjanjian, maka jelaslah perjanjian tidak pernah ada sehingga tidak pernah pula menerbitkan perikatan di antara para pihak (yang bermaksud membuat perjanjian tersebut).34

34

Gunawan Widjaja, memahami prinsip keterbukaan (aanvullend recht) dalam hukum


(48)

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:35

1. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

2. Perjanjian Cuma-cuma

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

3. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

4. Perjanjian Bernama (Benoemd)

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Biasanya perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.

5. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd)

Perjanjian ini adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian

35

Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 66


(49)

pemasaran, perjanjian kerja sama. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.

6. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.

7. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

8. Perjanjian Konsensual

Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

9. Perjanjian Riil

Perjanjian Riil adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.

10.Perjanjian Liberatoir

Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

11.Perjanjian Pembuktian

Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.


(50)

Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.

13.Perjanjian Publik

Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas.

14.Perjanjian Campuran

Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

Dari berbagai jenis perjanjian di atas dapat perjanjian gadai dapat kita kategorikan sebagai perjanjian riil, karena timbulnya suatu perjanjian gadai itu adalah dengan adanya penyerahan barang bergerak kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya.

Mengenai sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accesoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok.36

36

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hukum jaminan di Indonesia pokok-pokok hukum

jaminan dan jaminan perorangan, (Yogyakarta; Liberty, 1980) (selanjutnya ditulis Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan II), hlm 124

Maksudnya adalah bahwa perjanjian gadai itu adalah perjanjian tambahan yang mana perjanjian pokoknya adalah perjanjian pinjam meminjam uang. Adanya perjanjian accesoir ini adalah juga agar pihak


(51)

debitur tidak dapat melalaikan prestasi yang harus dilakukannya karena pihak kreditur memegang bendanya sebagai jaminan atas pelunasan hutang yang merupakan perjanjian pokoknya.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja ada dua hal yang dapat kita lihat di dalam perjanjian gadai, yaitu:

1. Sebagai suatu bentuk perjanjian yang melahirkan perikatan tanpa Schuld tetapi dengan Haftung, pihak pemberi jaminan kebendaan dalam bentuk gadai tersebut, sama sekali tidak memiliki kewajiban atau utang pokok, yang harus dipenuhi, walau demikian dengan pemberian jaminan kebendaan tersebut, ia telah mengikatkan harta bendanya untuk di sita dan di jual untuk di ambil pelunasannnya terlebih dahulu guna memenuhi piutang kreditur.

2. Sebagai suatu bentuk perjanjian yang merupakan ikutan terhadap perikatan pokok yang mendahuluinya, keabsahan dan eksistensi gadai sepenuhnya pada keabsahan atau eksistensi dari perikatan pokok yang pembayaran utangnya di jamin dengan gadai tersebut.37

Konsekuensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir adalah:

1. Bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa. Tetapi perjanjian pokoknya sendiri (biasanya berupa perjanjian hutang piutang/kredit) tetap berlaku, kalau ia di buat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut (kalau

37


(52)

tidak ada dasar preferensi yang lain) berkedudukan sebagai kreditur konkuren belaka.

2. Hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi sebaliknya pengoperan perikatan pokok meliputi pula semua accessoirnya, dalam mana termasuk—kalau ada—hak gadainya. Yang demikian sesuai dengan ketentuan pasal 1533 KUH Perdata.38

Pada dasarnya perjanjian atas kebendaan (disini yang dimaksud perjanjian gadai) adalah perjanjian untuk melepaskan sebagian kekuasaan pemilik (pemberi gadai) atas barang gadai (demi keamanan kreditur) yaitu dengan mencopot kekuasaannya untuk menyerahkan / mengoperkan benda itu.39

1. Adanya tergantung pada perjanjian pokok

Kedudukan perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditur. Gadai sebagai perjanjian yang bersifat accesoir memperoleh akibat-akibat hukum seperti halnya perjajian accesoir yang lain, yaitu:

2. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. 3. Jika perjanjian pokok batal,ikut batal

4. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok.

38

J. Satrio, Op. Cit, hlm 101 39


(53)

5. Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus.40

Jika kita melihat hubungan hak gadai dengan peralihan hak milik, di dalam KUH Perdata terdapat tiga hal yang menjadi dasar atau sumber peralihan hak gadai dari seorang kreditur lama sebagai pemegang gadai kepada kreditur baru. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cessie. Cessie pada dasarnya salah satu bentuk penyerahan yang ditentukan dalam pasal 613 ayat (1), yang harus dibuat dalam bentuk tertulis. Dengan demikian berarti cessie adalah bentuk penyerahan piutang atas nama yang menurut ketentuan pasal 584 KUH Perdata mengikuti suatu peristiwa hukum tertentu.

2. Subrogasi. Subrogasi ini adalah suatu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh seorang pihak ketiga, yang memberikan kepada pihak ketiga ini, penggantian hak demi hukum atas setiap pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga ini kepada kreditur dari debitur. Dengan dilakukannya pembayaran tersebut maka pihak ketiga ini demi hukum menjadi kreditur-debitur dengan segala hak-hak istimewanya.

3. Novasi, yang mengambil bentuk agak berbeda oleh karena di dalam novasi sebenarnya sama sekali tidak terjadi penggantian kreditur (semata-mata). Dalam novasi, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1413 KUH Perdata, dapat terjadi:

40


(54)

1. Penggantian perikatan lama dengan perikatan baru dengan kreditur dan debitur yang sama

2. Penggantian debitur dengan perikatan baru yang menghapuskan kewajiban debitur lama berdasarkan perikatan yang lama

3. Penggantian kreditur dengan perikatan baru yang menghapuskan kewajiban debitur lama berdasarkan perikatan yang lama.

Dengan konstruksi hukum yang demikian berarti dalam novasi seluruh hak-hak istimewa, hak-hak jaminan kebendaan, serta hak-hak ikutan lainnya, yang melekat pada perikatan pokok tidaklah demi hukum turut beralih kepada kreditur baru.41

D. Parate Eksekusi pada Jaminan Gadai

Dalam hubungan perutangan di mana ada kewajiban berprestasi dari debitur dan hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan perhutangan yang sudah dapat di tagih (opeisbaar) jika debitur tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal; hak eksekusi) terhadap harta kekayaan debitur yang di pakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara penjualan / mencairkan benda-benda jaminan dari kreditur dimana hasilnya adalah untuk pemenuhan debitur. Penjualan dari benda-benda tersebut dapat terjadi melalui penjualan di muka umum karena adanya janji/beding lebih dahulu (parate

41


(55)

eksekusi) terhadap benda-benda tertentu yang di pakai sebagai jaminan. Hak

pemegang gadai untuk menjual barang dengan kekuasaan sendiri ini tidak tunduk pada aturan umum tentang eksekusi yang di atur dalam Hukum Acara Perdata (R.V.), akan tetapi di atur secara khusus, seperti halnya dengan hypoteek (pasal 1178 KUH Perdata jo. Pasal 7 ayat 2 PMA no.15 tahun 1961).42

Menurut kamus hukum, pengertian parate eksekusi adalah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang bisa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.43

“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya pendapatan penjualan tersebut.

Dalam parate eksekusi tidak diperlukan adanya titel eksekutorial atau suatu putusan dari Hakim di Pengadilan.

Pengaturan Parate eksekusi di atur dalam Pasal 1155 KUH Perdata:

44

Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 di atas dapat di pahami bahwa Parate Eksekusi timbul ketika syarat-syaratnya terpenuhi, syarat tersebut adalah sebagai berikut:

45

1. Hak Parate Eksekusi baru timbul, ketika para pihak tidak memperjanjikan lain mengenai cara untuk melakukan penjualan barang gadai tersebut, hal

42

Mariam Darus Badrulzman, Op. Cit, hlm 60 43

Sudarsono, kamus hukum, (Jakarta; Rineka Cipta, 2007), hlm 339 44

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op. Cit, hlm 298 45


(56)

ini terkait dengan sifatnya yang menambahkan (aanvullendrecht). Dengan kata lain parate eksekusi ini merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang atau demi hokum (by law) dan tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu, tetapi akan terderogasi juga oleh berbagai pihak (pact sunt servanda).

2. Parate executie otomatis timbul pada saat pemberi gadai wanprestasi. Dengan kata lain hak untuk mengeksekusi otomatis menjadi sempurna saat debitur melakukan wanprestasi. Mengenai wanprestasi yang diisyaratkan dalam Pasal 1155 KUH Perdata, dirumuskan sebagai berikut:

a) Setelah tenggat waktu yang ditentukan lampau. Hal ini merujuk pada anak kalimat “…setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan…” yang tertuju pada perjanjian dengan batas akhir (verval termijn).

b) Setelah dilakukan peringatan (somasi) untuk membayar, dalam hal perjanjian yang tidak ditentukan mengenai tenggat waktunya, merujuk pada anak kalimat “…atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti…”

Pengaturan wanprestasi ini dihubungkan dengan kata “atau” sehingga patut dipahami bahwa ketentuan ini bersifat alternatif. Bila dalam perjanjian telah ditentukan batas waktu, maka secara otomatis hak ini “matang” ketika jangka waktu yang ditentukan tersebut lampau, sedangkan apabila tidak ditentukan mengenai waktu yang ditentukan


(57)

barulah syarat kedua dapat berjalan, yaitu wajib bagi kreditur untuk memberikan peringatan (someer) kepada debitur, karena dengan peringatan tersebut hak parate eksekusi tersebut menjadi ”matang”. Dalam praktek dewasa ini verval termijn menjadi klausul yang wajib dalam setiap perjanjian, bila merujuk pada ketentuan pasal ini adalah terjadi kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap hukum dalam praktek, karena terkesan suatu parate eksekusi menjadi “afdol” ketika pihak kreditur telah memperingatkan (somasi) debitur agar memenuhi janjinya. Padahal telah dijelaskan perumusan wanprestasi tersebut bersifat alternatif, tapi dalam praktek bersifat kumulatif, bila kita melihat dari sisi kehati-hatian (dalam dunia Perbankan disebut prinsip Prudential Banking), maka hal tersebut bisa dipahami, tapi dari sisi kepastian hukum dan waktu maka hal tersebut menjadi tidak logis dan bertentangan dengan hukum yaitu ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata.

3. Untuk penjualan tersebut tidak disyaratkan adanya titel eksekutorial. Pemegang gadai dapat melakukan penjualan tanpa perantara pengadilan, tanpa perlu minta bantuan juru sita, tanpa perlu mendahuluinya dengan suatu sitaan. Pemegang gadai disini menjual atas kekuasaannya sendiri. 4. Penjualan harus dilakukan di depan umum menurut kebiasaan-kebiasaan

setempat dan syarat-syarat yang lazim berlaku (lelang). Adapun tujuan penjualan dimuka umum ini, anak kalimat terakhir Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan “…dengan tujuan agar jumlah hutang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu”.


(58)

Terlepas dari tujuan yang diatur dalam pasal tersebut, bila dikaitkan dengan ketentuan pasal 155 ayat (2) bahwa persyaratan penjualan dimuka umum tersebut terdapat pengecualiannya, asalkan syarat-syarat pasal 1155 ayat (2) tersebut terpenuhi. Sehingga patutlah dipahami bahwa inti dari penjualan barang gadai adalah untuk mendapatkan harga pasar.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab satu bahwa parate eksekusi di atur di dalam Pasal 1155 KUH perdata, maka dapat kita simpulkan bahwa kewenangan untuk menjual sendiri pada gadai timbul karena ditetapkan oleh undang-undang. Janji demikian mengandung kekuasaan untuk menjual benda-benda yang dijaminkan itu di muka umum dan kewenangan untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Janji demikian harus didaftarkan dalam register umum, sedang penjualan lelangnya harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1155 KUH Perdata. Yaitu harus dilakukan di muka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat, dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Dengan demikian, pemegang gadai selain daripada mempunyai hak tagih yang didahulukan, juga mempunyai hak mengambil pelunasan yang disederhanakan.46

Namun, sebelum melaksanakan parate eksekusi pemegang gadai harus memastikan dulu bahwa pemberi gadai telah diberikan peringatan (somatie) menurut cara-cara yang telah ditentukan. Kewajiban kreditur memberitahukan

46


(59)

penjualan barang gadai kepada debitur, di atur dalam Pasal 1156 ayat (2) KUH Perdata:

1. Pemberitahuan wajib dilakukan kreditur, sehingga sifatnya imperatif; 2. Pemberitahuan selambat-lambatnya pada hari berikutnya dari tanggal

penjualan;

3. Bentuk pemberitahuan: a) Dengan telegram, atau

b) Dengan pos atau surat tercatat:;

4. Tidak memberitahu atau lalai memberitahu kepada debitur dalam jangka waktu yang ditetapkan Pasal 1156 KUH Perdata:

a) Kreditur dikualifikasikan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH)

b) Dengan demikian, cukup alasan bagi debitur menuntut ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata kepada kreditur (pemegang gadai).47

Walaupun hak menguasai benda gadai tersebut berada di tangan kreditur, namun ketika terjadinya wanprestasi dan benda tersebut harus di lelang, maka kreditur dilarang untuk memiliki barang gadai tersebut, melainkan harus menjualnya di depan umum (Pasal 1154 KUH perdata).

“apabila si berutang atau si pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tak diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan

Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal”48

47

M.Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 220 48


(60)

Hal di atas di sebut sebagai vervalbeding yaitu janji yang memberi hak kepada pemegang gadai untuk memiliki barang yang digadaikan apabila pemberi gadai wanprestasi adalah janji batal (vervalbeding).49

1. Tidak membutuhkan title eksekutorial dalam melaksanakan hak nya / eksekusi

Dapat disimpulkan bahwa hak untuk menjual di atas kekuasaan sendiri, menguntungkan pemegang gadai dalam dua hal:

2. Dapat melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) tak peduli adanya kepailitan dari debitur (diluar kepailitan) karena dia tergolong separatis.50

Mengenai gadai atas saham dalam pelaksanaan parate eksekusinya dapat dilakukan menyimpang dari aturan penjualan di muka umum, sesuai dengan yang terdapat di dalam Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata:

“jika barang gadainya terdiri atas barang-barang perdagangan atau efek-efek yang dapat diperdagangkan di pasar atau di bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.”51

1. Penjualan barang-barang perdagangan, dapat dilakukan di pasar (market) tempat di mana barang-barang sejenis itu diperdagangkan;

Dari isi pasal di atas dapat kita lihat:

49

M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 220 50

Sri soedewi masjchoen sofwan, Op. Cit, hlm 281 51


(61)

2. Penjualan efek yang dapat diperdagangkan di bursa; dapat dilakukan penjualan di bursa;

3. Syarat sahnya penjualan: harus dilakukan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang tersebut.52

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa keistimewaan dari parate eksekusi adalah:

1. Penjualan tanpa melibatkan debitur

Hal ini terkait dengan adanya kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali “onherroepelijk”, kepada kreditur untuk menjual atas kekuasaannya sendiri. Yang didapat dengan diperjanjikan dengan tegas (seperti hipotik dan Hak Tanggungan) atau karena telah diberikan oleh undang-undang (seperti Gadai dan Fidusia)

2. Penjualan tanpa perantara/melalui Pengadilan

Hal ini terkait dengan kuasa mutlak sebagaimana telah dijelaskan di atas dan juga doktrin “eksekusi yang disederhanakan dan murah”. Terbayang apabila prosedur penagihan dilakukan melalui/perantara Pengadilan (baik dengan proses penetapan maupun gugatan) sampai dengan proses sitaan dan eksekusi, jelas akan memakan waktu yang lama belum lagi apabila debitur melakukan verzet-verzetnya. Maka untuk memberikan kepastian

52


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis ambil dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Hak gadai adalah hak yang melekat pada benda bergerak baik benda bergerak yang berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud. Adanya hak gadai ini merupakan salah satu bentuk jaminan yang diakui di Indonesia. Hak gadai pada benda bergerak mengakibatkan benda yang dijadikan objek gadai harus lepas dari kekuasaan debitur sebagai pemberi gadai beralih menjadi di bawah kekuasaan kreditur sebagai pemegang gadai. Penyerahan objek gadai ini diwajibkan oleh undang-undang (pasal 1152 KUH Perdata), apabila hal ini dilanggar maka hak gadai itu akan hapus dengan sendirinya. Apabila oleh para pihak tidak diperjanjikan lain maka kreditur berhak untuk mengambil sendiri pelunasan atas piutangnya apabila debitur wanprestasi. Pengambilan pelunasan sendiri oleh kreditur dilakukan dengan cara melakukan pelelangan di muka umum setelah tenggat waktu yang ditentukan telah lampau. Pengambilan pelunasan oleh kreditur sendiri di sebut dengan parate eksekusi yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur tanpa memiliki titel eksekutorial. Perum Pegadaian dalam melaksanakan kegiatannya di bidang penjaminan benda bergerak juga mengenal parate eksekusi apabila debitur (nasabah) wanprestasi dengan tidak membayar tepat pada waktunya. Dalam melakukan parate eksekusi diwajibkan bagi


(2)

kreditur untuk menyampaikan pemberitahuan lelang kepada debitur yang barang jaminannya akan dilelang. Apabila tidak dilakukan pemberitahuan maka debitur berhak untuk menuntut kreditur di muka Hakim.

2. Parate eksekusi sebagai cara yang diambil oleh debitur dalam mengambil pelunasan piutangnya sendiri sebenarnya merupakan suatu keuntungan bagi kreditur yang memberikan pinjaman dengan jaminan gadai. Hal ini dikarenakan kreditur dapat dengan mudah mengambil pelunasan atas piutangnya tanpa harus memintakan titel eksekutorial dari Hakim atas benda jaminan gadai tersebut. Kemudahan yang didapatkan kreditur ini sebenarnya merupakan konsekuensi lembaga gadai sebagai lembaga jaminan khusus yang sifatnya memberikan kemudahan dan kedudukan didahulukan bagi kreditur dalam mendapatkan pelunasan hak tagihnya. Perum Pegadaian sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peranan penting dalam membantu perekonomian Indonesia yang masih bersifat kerakyatan, sehingga apabila dalam menjalankan kegiatannya terdapat kendala-kendala yang dapat mempengaruhi kekayaan Perusahaan tentu dapat berpengaruh juga terhadap perekonomian Negara. Adanya lembaga Parate Eksekusi ini sangat membantu Perum Pegadaian dalam mengembalikan piutangnya dari debitur yang wanprestasi. Pelaksanaan Parate Eksekusi dalam bentuk pelelangan di muka umum terbukti efektif dalam pengembalian piutang Perusahaan. Namun, tidak berarti Pegadaian mengutamakan cara pelelangan di muka umum ini sebagai upaya pelunasan piutang perusahaan. Pelunasan hutang oleh debitur dengan tepat waktu adalah hal yang diharapkan oleh


(3)

Perum Pegadaian dalam setiap pemberian pinjaman kredit. Karena dengan dibayar tepat waktu maka piutang dapat dikembalikan dengan cepat tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan pelelangan lagi.

B.Saran

Saran penulis di dalam skripsi ini adalah:

1. Kreditur sebagai pemegang gadai dalam memberikan gadai hendaklah memperhatikan keadaan ekonomi debitur. Sehingga dengan adanya lembaga gadai dapat meningkatkan kehidupan perekonomian debitur pada awalnya dan meningkatkan kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia selanjutnya. Apabila debitur melakukan wanprestasi dalam pemberian pinjaman kredit, kreditur hendaknya dapat memastikan bahwa debitur telah tahu bahwa barang jaminannya akan dilelang. Sehingga apabila debitur masih memungkinkan untuk memenuhi prestasinya barang jaminan yang akan dilelang tersebut dapat dilelang. Dan apabila debitur memang tidak mampu untuk melunasi hutangnya, debitur mengetahui bahwa barangnya akan dilelang dan debitur dapat meminta sisa uang kelebihan dari hasil pelelangan tersebut.

2. Debitur sebagai pemberi gadai hendaknya tahu resiko yang dihadapi apabila meminjam uang dengan jaminan benda gadai, karena apabila debitur wanprestasi maka barang jaminan yang digadaikan dapat dilelang oleh kreditur. Debitur hendaklah dapat mempergunakan uang yang dipinjamnya dengan sebaik-baiknya sehingga apabila telah jatuh tempo barang jaminannya dapat diambil kembali dari kekuasaan kreditur. Karena dengan


(4)

dikembalikannya pinjaman oleh debitur dengan tepat waktu, berarti perputaran uang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terus berjalan dalam artian tidak ada kredit macet yang menyebabkan lambannya gerak roda perkonomian Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Badrulzaman, Mariam Darus(1998). Hukum Jaminan Indonesia. Jakarta: Elips. ________________________(1991). Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Cipta

Karya Abadi.

Harahap, M.Yahya(2006). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

H.S., Salim(2004). Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja(2007). Hak istimewa, gadai, dan hipotek. Jakrta: Kencana.

Manullang, M.(1989). Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: Liberty Megarita(2007., Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Saham yang Digadaikan.

Medan: USU Press.

Meliala. Djaja S.(2007). Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan. Bandung: Nuansa Aulia.

Prodjodikoro, Wirjono(1986). Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda. Jakarta: Intermasa.

Satrio, J. (2007). Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen(1981). Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.

______________________________(1980). Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.

Subekti(1982). Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Subekti, R. & Tjitrosudibio,R.(2001). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.


(6)

B.Kamus

Departemen Pendidikan Nasional(2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarsono(2007). Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Simorangkir, J.C.T.(2007). Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. C. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1990 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian

Aturan Dasar Pegadaian Staatblaad No. 81 Tahun 1928

Surat Edaran No. 48/Op.1.00211/2003 Tentang Lelang Barang Jaminan di Pegadaian

D.Internet