Eksistensi Parate Eksekusi Dalam Perjanjian Gadai Di Perum Pegadaian Kota Medan
EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM
PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA
MEDAN
TESIS
Oleh
DESSY HAMRINA
087011035/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN
GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
DESSY HAMRINA
087011035/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Dessy Hamrina
Nomor Pokok : 087011035
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Ketua
Notaris. Syahril Sofyan, SH, MKn Notaris. Syafnil Gani, SH, M.Hum Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
(4)
Telah diuji pada : Tanggal 4 Agustus 2010
______________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Anggota : 1. Notaris. Syahril Sofyan, SH, MKn
2. Notaris. Syafnil Gani, SH, M.Hum
3. Prof . Dr. M. Yamin, SH, MS, CN
(5)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dessy Hamrina
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 30 Juli 1986
Alamat : Jln. Karya Wisata Komp. Johor Indah Permai
Blok L-19 Medan
PENDIDIKAN
1993-1999 : SD AL – AZHAR MEDAN 1999-2001 : SLTPN 28 MEDAN
2001-2004 : SMA KEMALA BHAYANGKARI I MEDAN
2004-2008 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA MEDAN
2008-2010 : PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(6)
EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN
Dessy Hamrina∗)
Prof.Dr. Suhaidi, SH, MH.∗∗) Notaris Syahril Sofyan, SH, Mkn.∗∗)
Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum.∗∗)
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang ini telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Indonesia satu-satunya lembaga pegadaian yang resmi dan didirikan oleh pemerintah dinamakan Perusahaan Umum Pegadaian (Perum Pegadaian), gadai dalam Perum Pegadaian berbeda dengan gadai dalam KUHPerdata maupun Hukum Adat. Jika debitur wanprestasi Perum Pegadaian diberikan kekuasaan untuk melakukan parate eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan. Selain itu Perum Pegadaian juga mempunyai aturan tersendiri mengenai parate eksekusi yang berbeda dengan lembaga jaminan lainnya. Dalam proses pelaksanaan parate eksekusi hambatan yang biasanya muncul adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap tanggal jatuh tempo dan tanggal lelang serta kesalahan administrasi dari pihak Perum Pegadaian.
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat analitis deskriptif. Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Gadai yang terjadi pada Perum Pegadaian tidaklah sama dengan gadai yang dimaksud di dalam KUHPerdata, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya Perum Pegadaian masih mengacu/ berlandaskan pada KUHPerdata. Di dalam KUH Perdata Pasal 1155-1156 berisi tentang 2 (dua) cara penyelesaian masalah jika debitur wanprestasi, yaitu dengan parate eksekusi dan melalui putusan hakim (pengadilan), akan tetapi dalam prakteknya parate eksekusi yang selalu digunakan. Karena dianggap lebih mudah, murah, dan tidak melalui proses yang berbelit-belit. Parate eksekusi pada Perum Pegadaian diatur dalam Opp.2/67/5 dan Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian No.48/Op1.00211/2003. Proses pelaksanaan parate eksekusi atau lelang pada Perum Pegadaian dilakukan sendiri oleh Perum Pegadaian, bukan melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Hambatan yang timbul dalam pelaksanaan parate eksekusi yang datang baik dari nasabah maupun dari pihak Perum Pegadaian (eksternal dan internal), yaitu kurangnya kesadaran masyarakat
∗) Mahasiswi Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
∗∗) Dosen Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
(7)
terhadap tanggal jatuh tempo dan tanggal lelang serta kesalahan administrasi dari pihak Perum Pegadaian sendiri dalam hal penyampaian surat pemberitahuan jatuh tempo yang terkadang tidak sampai tepat pada waktunya. Biasanya masalah yang ada diselesaikan secara musyawarah.
(8)
ABSTRACT
Pawning Department (Pawnshop) is the only institution in Indonesia, an official Pawnshop founded by the government, pledge in a pawnshop. Pawnshop differ in Civil Code and Customary Law. If the debtor defaulted Pawnshop given the power to do parate execution without going through court decisions. In addition Pawnshop also has its own rules regarding the execution of different parate with other guarantee agencies. In the implementation process of parate execution barriers that usually arises is the lack of public awareness of the mature date and the date of the auction as well as administrative errors of the Pawnshop.
The research in this thesis is analytical descriptive. The research is applied in this research is a normative juridical approach, research that refers to the norms of law, contained in laws and regulations relevant to the issues under study is then connected to the data and the living habits amongst the people.
Pawn's in the Pawnshop is not the same with Pawn’s lien referred to the Civil Code, but in the process of implementation, Pawnshop still refers to the Civil Code. In the Civil Code Section 1155-1156 contains about 2 (two) ways to solve the problem if a debtor is in default, that is with parate execution and through the decision of the court, but in practice it is always used parate execution. Because it is considered easier, cheaper, and not through a convoluted process. Parate execution at Pawnshop Opp.2/67/5 and regulated in the Directors Circular Pawnshop No.48/Op1.00211/2003. Parate execution process execution at the Pawnshop, pawnshop done the execution by their own, not through the Office of Accounts Receivable and Auction Service (KP2LN). Obstacles that arise in the implementation of parate execution that comes from customers or from the Pawnshop, namely the lack of public awareness of the mature date and the date of the execution as well as administrative errors Pawnshop own party in terms of delivery of the notification mature letter sometimes not come in time. Usually the problem is solved by deliberation between the parties.
(9)
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-NYA sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Karya ilmiah dalam bentuk tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan, sehingga Penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan tesis yang berjudul “EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM
PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN”.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh karenanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut secara khusus Penulis sampaikan kepada para dosen pembimbing yaitu : Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan tesis ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen penguji yaitu : Bapak Prof. Dr. M. Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum yang telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis.
Demikian juga rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan dengan hormat kepada :
(10)
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat kepada Penulis selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. Beserta seluruh Staf / Pegawai di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.
6. Bapak Lintong Panjaitan, SE, Humas & Hukum Kanwil Perum Pegadaian Medan, beserta seluruh pihak yang membantu Penulis dalam melakukan penelitian di Perum Pegadaian cabang Medan Utama.
(11)
7. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Mama tercinta Hj. Sawalina Sani, Ayahanda M. Yunus Harahap, SH (berharap tesis ini bisa menjadi pengobat luka..takkan lelah echy berusaha untuk membahagiakan dan membuat bangga mama dan ayah), Papa Hamzah Akmin (suatu hari nanti pa), dua jagoan kecilku Andhika dan Irhamna (senyum kecil kalian selalu menghapus lelahku), keluarga besar H. Thantawi Jauhari, Oma Hj. Maryam, sepupu-sepupuku tercinta terutama Anggi dan Lia, Kak Del (terima kasih atas semangat dan doa yang selalu diberikan).
8. Orang-orang tersayang, sahabat-sahabat terbaikku Lia, Putri, Ginting (yang selalu ada untukku dan memberi semangat), Yola, Azmi (kebersamaan ini takkan pernah berakhir), Kak Icha, Kak Ipeh (terima kasih untuk setiap nasehat, semangat, dan telinga untuk mendegar setiap keluh kesahku), Kodok (yang selalu mengahantuiku, tuntas sudah janjiku), Bang Adi (terima kasih untuk semua motivasi dan semangat yang amat berarti), Geng boi : Adis, Junita, Fitri, Bang Ali (akhirnya kita bisa selesai sama-sama...semangat boi!!!), Kak Meri, Kak Tina, Irma dan teman-teman grup c yang tak bisa Penulis sebuutkan namanya satu persatu (terima kasih untuk semua dukungan dan semangat yang diberikan), serta semua rekan-rekan Mahasiswa di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008.
Penulis menyadari bahwa apa yang Penulis peroleh ini masih banyak kekurangannya, tidak lain karena kemampuan Penulis yang terbatas. Namun
(12)
demikian, harapan Penulis tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada diri Penulis, tetapi juga kepada masyarakat, khususnya masyarakat dilingkungan pendidikan hukum. Semoga penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi rekan-rekan praktisi hukum demi tegaknya supremasi hukum di negeri ini. Amin.
Medan, September 2010 Penulis,
Dessy Hamrina
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR SKEMA ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Permasalahan ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13
1. Kerangka Teori ... ... 13
2. Konsepsi ……... 18
G. Metode Penelitian ... 20
(14)
2. Lokasi dan Populasi Penelitian ... 21
3. Teknik Pengumpulan Data... 22
4. Sumber Data... 22
5. Analisa Data ... 23
BAB II. PERATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN ... 25
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Gadai... 25
1. Pengertian Perjanjian Gadai... 25
2. Sifat Umum Gadai.. ... 36
3. Objek dan Subjek Gadai ... 42
4. Terjadinya Hak Gadai ... 47
B. Tinjauan Umum Pegadaian ... . 48
1. Sejarah Pegadaian ... 48
2. Struktur Organisasi Kantor Cabang Medan Utama 54
3. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian ... 69
C. Peraturan Parate Eksekusi Dalam Perjanjian Gadai di Perum Pegadaian Kota Medan ... 76
(15)
BAB III. PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN
KOTA MEDAN ... 82
A. Prosedur Pemberian Gadai di Perum Pegadaian... 82
B. Prosedur Parate Eksekusi di Perum Pegadaian ... 96
BAB IV. HAMBATAN YANG TIMBUL PADA PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN... 114
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. Kesimpulan ... 120
B. Saran... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 124 LAMPIRAN
(16)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penetapan Uang Pinjaman 86
Tabel 2 Tarif Sewa Modal 87
(17)
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1 Struktur Organisasi 57
Skema 2 Prosedur Pemberian Kredit Gadai 95
(18)
DAFTAR SINGKATAN KATA
A.D.P : Aturan Dasar Pegadaian
B.A.L : Berita Acara Lelang
B.A.P : Berita Acara Pemeriksaan
B.G : Buku Gudang
B.K : Buku Kredit
B.J : Barang Jaminan
B.P.B.J : Buku Pemeriksaan Barang Jaminan
B.P.M : Buku Peraturan Menaksir
B.S.L : Barang Sisa Lelang
D.R.P.L : Daftar Rincian Penjualan Lelang
F.P : Formulir Pinjaman Pegawai
F.P.K : Formulir Permintaan Kredit
H.P.S : Harga Pasar Setempat
Kacab : Kepala Cabang
Kanda : Kepala Daerah
Kasep : Barang jaminan yang sudah jatuh tempo
Kitir : Nomor barang jaminan
K.C.A : Kredit Cepat Aman
K.P.K : Kuasa Pemutus Kredit
Krasida : Kredit Angsuran Sistem Gadai Kreasi : Kredit Angsuran Sistem Fidusia
Krista : Kredit Usaha Rumah Tangga
(19)
OPP : Operasional Pemasaran
P.A : Pemeliharaan dan Asuransi
R.B.S.L : Register Barang Sisa Lelang
S.B.K : Surat Bukti Kredit
S.H : Surat hilang
S.M : Sewa modal
T.P.L : Tim Pelaksana Lelang
U.G : Uang Gadai
(20)
EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN
Dessy Hamrina∗)
Prof.Dr. Suhaidi, SH, MH.∗∗) Notaris Syahril Sofyan, SH, Mkn.∗∗)
Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum.∗∗)
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang ini telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Indonesia satu-satunya lembaga pegadaian yang resmi dan didirikan oleh pemerintah dinamakan Perusahaan Umum Pegadaian (Perum Pegadaian), gadai dalam Perum Pegadaian berbeda dengan gadai dalam KUHPerdata maupun Hukum Adat. Jika debitur wanprestasi Perum Pegadaian diberikan kekuasaan untuk melakukan parate eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan. Selain itu Perum Pegadaian juga mempunyai aturan tersendiri mengenai parate eksekusi yang berbeda dengan lembaga jaminan lainnya. Dalam proses pelaksanaan parate eksekusi hambatan yang biasanya muncul adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap tanggal jatuh tempo dan tanggal lelang serta kesalahan administrasi dari pihak Perum Pegadaian.
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat analitis deskriptif. Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Gadai yang terjadi pada Perum Pegadaian tidaklah sama dengan gadai yang dimaksud di dalam KUHPerdata, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya Perum Pegadaian masih mengacu/ berlandaskan pada KUHPerdata. Di dalam KUH Perdata Pasal 1155-1156 berisi tentang 2 (dua) cara penyelesaian masalah jika debitur wanprestasi, yaitu dengan parate eksekusi dan melalui putusan hakim (pengadilan), akan tetapi dalam prakteknya parate eksekusi yang selalu digunakan. Karena dianggap lebih mudah, murah, dan tidak melalui proses yang berbelit-belit. Parate eksekusi pada Perum Pegadaian diatur dalam Opp.2/67/5 dan Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian No.48/Op1.00211/2003. Proses pelaksanaan parate eksekusi atau lelang pada Perum Pegadaian dilakukan sendiri oleh Perum Pegadaian, bukan melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Hambatan yang timbul dalam pelaksanaan parate eksekusi yang datang baik dari nasabah maupun dari pihak Perum Pegadaian (eksternal dan internal), yaitu kurangnya kesadaran masyarakat
∗) Mahasiswi Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
∗∗) Dosen Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
(21)
terhadap tanggal jatuh tempo dan tanggal lelang serta kesalahan administrasi dari pihak Perum Pegadaian sendiri dalam hal penyampaian surat pemberitahuan jatuh tempo yang terkadang tidak sampai tepat pada waktunya. Biasanya masalah yang ada diselesaikan secara musyawarah.
(22)
ABSTRACT
Pawning Department (Pawnshop) is the only institution in Indonesia, an official Pawnshop founded by the government, pledge in a pawnshop. Pawnshop differ in Civil Code and Customary Law. If the debtor defaulted Pawnshop given the power to do parate execution without going through court decisions. In addition Pawnshop also has its own rules regarding the execution of different parate with other guarantee agencies. In the implementation process of parate execution barriers that usually arises is the lack of public awareness of the mature date and the date of the auction as well as administrative errors of the Pawnshop.
The research in this thesis is analytical descriptive. The research is applied in this research is a normative juridical approach, research that refers to the norms of law, contained in laws and regulations relevant to the issues under study is then connected to the data and the living habits amongst the people.
Pawn's in the Pawnshop is not the same with Pawn’s lien referred to the Civil Code, but in the process of implementation, Pawnshop still refers to the Civil Code. In the Civil Code Section 1155-1156 contains about 2 (two) ways to solve the problem if a debtor is in default, that is with parate execution and through the decision of the court, but in practice it is always used parate execution. Because it is considered easier, cheaper, and not through a convoluted process. Parate execution at Pawnshop Opp.2/67/5 and regulated in the Directors Circular Pawnshop No.48/Op1.00211/2003. Parate execution process execution at the Pawnshop, pawnshop done the execution by their own, not through the Office of Accounts Receivable and Auction Service (KP2LN). Obstacles that arise in the implementation of parate execution that comes from customers or from the Pawnshop, namely the lack of public awareness of the mature date and the date of the execution as well as administrative errors Pawnshop own party in terms of delivery of the notification mature letter sometimes not come in time. Usually the problem is solved by deliberation between the parties.
(23)
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang diketahui, saat ini bangsa kita perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan ekonomi. Segala upaya untuk menanggulangi permasalahan ekonomi telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya sampai saat ini belum dapat dinikmati secara merata dan membawa perubahan yang berarti bagi rakyat. Dewasa ini Negara Republik Indonesia yang dikenal sebagai Negara yang sedang berkembang, dengan giatnya melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilaksanakan melalui suatu Pola Pembangunan Nasional yang merupakan rangkaian program pembangunan yang menyeluruh, terarah, terpadu dan berlangsung terus menerus.1 Pembangunan di segala bidang yang sedang dilaksanakan tersebut mempunyai tujuan akhir yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, tentunya Negara Republik Indonesia memerlukan modal yang siap dipergunakan, agar pembangunan dapat terlaksana dengan baik dan berjalan lancar di segala bidang.2 Demikian juga halnya dengan masyarakat Indonesia itu sendiri, baik dari golongan ekonomi menengah keatas maupun golongan ekonomi lemah juga memerlukan modal berupa uang untuk
1
Esther Million, Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai, Tesis, PPS USU, Medan, 2004, hal. 1.
2 Ibid.
(24)
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk membuka atau memperluas bidang usahanya. Tetapi tidak semua lapisan masyarakat itu mempunyai modal berupa uang yang cukup untuk menjalankan kegiatannya tersebut, oleh karena itu diperlukan dana segar berupa pinjaman untuk membantu kegiatannya.3
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang ini telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi lintah darat atau yang biasa dikenal dengan rentenir dengan memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran). Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman, mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.4
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah memberikan solusi dengan membentuk lembaga yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang sepantasnya seperti misalnya lembaga keuangan perbankan yang sudah banyak meorientasikan bidang/kegiatan usahanya dibidang perkreditan. Tetapi ruang lingkup perkreditan pada bank ini kebanyakan hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi menengah keatas, hal ini tidak terlepas dari tujuan lembaga keuangan perbankan yang dalam memberikan kredit tersebut tentunya menginginkan adanya keuntungan. Keuntungan ini diperoleh pihak bank melalui
3
Ibid. hal. 2. 4
(25)
penerapan suku bunga yang relatif tinggi, yang tentunya hanya mampu dipenuhi oleh masyarakat ekonomi menengah keatas.5 Disamping itu untuk melakukan pinjaman melalui lembaga keuangan perbankan ada kalanya melalui sistem birokrasi yang panjang dan rumit serta harus melakukan koordinasi dengan berbagai instansi lainnya, seperti Notaris, PPAT, Kantor Badan Pertanahan, dan berbagai instansi lainnya.6
Berbeda halnya dengan masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk dijadikan jaminan di bank. Oleh karena itu, pemerintah membentuk suatu lembaga perkreditan yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan prosedur yang sederhana, cepat dan tanpa urusan yang berbelit-belit. Lembaga pegadaian merupakan lembaga yang resmi dan tepat serta cocok untuk berperan melaksanakannya. Di Indonesia satu-satunya lembaga pegadaian yang resmi dan didirikan oleh pemerintah dinamakan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tercantum landasan pembangunan ekonomi Indonesia dan sekaligus sebagai pedoman dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasal tersebut memberikan gambaran bahwa sistem perekonomian yang dianut bangsa Indonesia adalah sistem perekonomian campuran, artinya dalam melaksanakan program-program pembangunan diberikan kesempatan untuk diusahakan oleh swasta, akan tetapi
5
Ibid. 6
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia ,PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 44.
(26)
program pembangunan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara guna menghindari perlakuan sewenang-wenang terhadap rakyat banyak. 7
Lembaga pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum, merupakan salah satu realisasi dari pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan pinjaman modal pada masyarakat dengan sistem hukum gadai. Lembaga ini memberikan peluang besar kepada masyarakat yang tidak mampu mengikat kredit dengan pihak bank. Masyarakat akan memperoleh kemudahan dalam meminjam uang dari pemerintah melalui lembaga pegadaian ini, karena barang yang digunakan sebagai jaminan adalah barang bergerak yang dimilikinya. Jaminan sangat penting demi menjaga keamanan dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Masyarakat yang ingin mendapatkan pinjaman biasanya hanya perlu membawa benda begerak miliknya yang akan dijadikan sebagai jaminan kepada Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Pegawai Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang berwenang akan menentukan besarnya jumlah uang pinjaman yang dapat diberikan sesuai dengan benda yang digadaikan. Setelah disepakati jumlah uang pinjamannya dan benda jaminan gadai juga telah diserahkan kepada Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian maka masyarakat akan langsung menerima uang pinjaman tersebut. Sedangkan barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai atau
7
(27)
kreditur. Asas ini disebut asas inbezitzeteling, yang merupakan syarat mutlak dalam perjanjian gadai.8 Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur.
Jadi pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit, seperti yang diketahui kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelunasan dengan baik.9 Tetapi tidak terbatas semata-mata atas dasar integritas debitur saja, jaminan diperlukan disini untuk lebih meyakinkan kreditur sekaligus menjadi pegangan bagi kreditur bila dikemudian hari debitur wanprestasi.
Masyarakat yang melakukan pinjaman dengan menyerahkan benda miliknya sebagai jaminan gadai disebut debitur atau pemberi gadai sedangkan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang memberikan pinjaman dengan menguasai benda milik masyarakat disebut kreditur atau penerima gadai.
Pada kenyataannya lembaga ini dapat diterima masyarakat sebagai suatu mitra dalam mendapatkan pinjaman. Meskipun banyak lembaga keuangan yang menawarkan pinjaman atau kredit, namun Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian tetap menjadi pilihan masyarakat yang membutuhkan dana, karena lembaga ini
8
Salim HS, Op.cit., hal. 37. 9
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Adithya Bakti, bandung, 1993, hal. 95-96.
(28)
mampu menyediakan dana secara cepat dengan prosedur yang mudah dan sederhana. Hal ini sesuai dengan semboyan dari Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian itu sendiri yaitu, “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Adapun tujuan Pegadaian adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai jaminan.10 Sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan pada waktu pemberian pinjaman, debitur mempunyai kewajiban melakukan pelunasan pinjaman yang telah diterima. Debitur dapat melunasi kewajibannya setiap saat tanpa harus menunggu jatuh tempo. Selama pinjaman belum dilunasi atau benda jaminan belum ditebus, maka benda jaminan masih tetap berada dalam penguasaan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, dan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian bertanggung jawab untuk menjaga dan melindunginya. Apabila debitur telah melakukan pelunasan terhadap hutangnya dengan disertai pemenuhan kewajiban yang lain, maka Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian berkewajiban menyerahkan kembali benda jaminan tersebut kepada debitur dalam keadaan baik seperti pada waktu penyerahannya.
Kehadiran Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang didirikan pemerintah mengusung peran sosial yang cukup jelas, yaitu membantu pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, meski peran lain sebagai perusahaan, juga terus ditingkatkan. Bagi masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah keberadaannya merupakan pilihan yang sangat tepat untuk memperoleh dana atau
10
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung, 1991, hal. 57.
(29)
kredit. Selain itu juga Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian sangat berpengaruh untuk menghapus bank gelap, praktek ijon, riba dan lain-lain yang sifatnya lintah darat dan hanya menambah beban dan masalah bagi masyarakat ekonomi lemah.11 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pembangunan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka program mengentaskan kemiskinan.12
Perjanjian gadai yang dilakukan di lingkungan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian secara umum didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku ke-II KUHPerdata dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, juga secara khusus didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yaitu Keputusan Direksi Perum Pegadaian Opp.2/67/5 tentang Pedoman Operasional Kantor Cabang Perum Pegadaian. Dan diatur pula didalam Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian No.48/Op1.00211/2003.
Pada prinsipnya jangka waktu gadai adalah, minimal 15 hari dan maksimum 120 hari, penentuan jangka waktu gadai ini diatur dengan Keputusan Direksi Perum Pegadaian dan dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian. Di dalam Surat Edaran Nomor: SE.16/Op.1.00211/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Direksi Nomor: 020/Op.1.00211/01.13 Sejak terjadinya perjanjian
11
Muhammad Syukron Yamin Lubis, Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Atas Benda Jaminan, Tesis, PPS USU , Medan, 2007, hal. 3.
12
Ibid. 13
(30)
gadai antara pemberi gadai dengan penerima gadai, maka sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para pihak.14 Kewajiban pemberi gadai adalah membayar pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan yang ditentukan oleh penerima gadai. Didalam Surat Bukti Kredit (SBK) telah ditentukan tanggal mulainya kredit dan tanggal jatuh temponya atau tanggal pengembalian kredit.
Di dalam perjanjian gadai, apabila debitur wanprestasi atau tidak dapat melunasi hutang-hutangnya atau tidak mampu menebus barangnya sampai lewat jangka waktu yang telah ditentukan, dan telah mendapat pemberitahuan berupa somasi dari pihak kreditur namun tetap tidak dihiraukan,15 maka pihak pemegang gadai berhak untuk melelang barang gadai tersebut dan hasil dari penjualan lelang tersebut sebagian untuk melunasi hutang kreditnya, sedangkan sebagian lagi untuk biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut dan jika masih ada sisanya maka diberikan kepada si pemberi gadai atau debitur. Karena biasanya barang gadai itu nilai jualnya jauh lebih tinggi atau lebih besar dari hutang ataupun pinjaman debitur. Sebagaimana yang tertera di dalam Surat Bukti Kredit (SBK), yaitu: “jika sampai dengan tanggal jatuh tempo pinjaman tidak dilunasi/diperpanjang, maka barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang sudah ditentukan.”
Ketentuan tentang lelang ini diatur di dalam Pasal 1155 KUHPerdata. Eksekusi gadai pada dasarnya bersifat sederhana. Pasal 1156 KUHPerdata menjelaskan mengenai eksekusi melalui title eksekutorial yang dapat dimohonkan
14
Ibid, hal. 51. 15
(31)
kepada hakim. Pemegang gadai atau kreditur dapat memohon kepada hakim agar barang gadainya dapat dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim. Selain itu, pemegang gadai juga dapat memohon kepada hakim untuk memiliki barang gadai tersebut dengan harga yang ditentukan oleh hakim untuk kemudian diperhitungkan dengan utang pemberi gadai atau debitur. Selain itu dalam KUHPerdata, dikenal juga eksekusi sederhana, yang disebut dengan “Parate eksekusi” yang diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata. Melalui parate eksekusi, pemegang gadai dapat melaksanakan eksekusi atau penjualan barang-barang gadai tanpa perantaraan pengadilan, ataupun tanpa perlu meminta bantuan juru sita. Pemegang di sini dapat menjual atas kekuasaan sendiri atas objek gadai tersebut, apabila debitur wanprestasi terhadap perjanjian pokoknya. Pasal 1155 KUHPerdata juga mengatur tentang dasar alasan pemegang gadai melakukan eksekusi yaitu:
a. debitur cedera janji melaksanakan kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam perjanjian, atau
b. apabila tenggang waktu pemenuhan kewajiban tidak ditentukan dalam perjanjian, debitur dianggap melakukan cedera janji memenuhi kewajiban setelah ada peringatan untuk membayar.16
Apabila kedua ketentuan tersebut diatas terpenuhi, barulah timbul hak pemegang gadai melakukan eksekusi. Berbeda dengan jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan bila debitur wanprestasi penyelesaian dilakukan melalui pengadilan.
16
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 218.
(32)
Sedangkan dalam perjanjian gadai pada Perum Pegadaian bila debitur wanprestasi mereka lebih suka menyelesaikannya melalui parate eksekusi karena dianggap lebih efektif dan efisien. Selain itu Perum Pegadaian juga mempunyai aturan tersendiri mengenai parate eksekusi yang berbeda dengan lembaga jaminan lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih lanjut mengenai
“EKSISTENSI PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN KOTA MEDAN”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peraturan parate eksekusi dalam perjanjian gadai yang berlangsung
di Perum Pegadaian Kota Medan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Kota Medan?
3. Hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Kota Medan?
(33)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui peraturan parate eksekusi dalam perjanjian gadai yang berlangsung di Perum Pegadaian Kota Medan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Kota Medan.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian yang diperoleh ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian dan kepustakaan tentang eksistensi parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum dan praktisi hukum dapat memberikan pemahaman dan pedoman dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian.
(34)
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa belum ada penelitian dengan judul : “Eksistensi Parate Eksekusi Dalam Perjanjian Gadai Di Perum Pegadaian Kota Medan”. Akan tetapi terdapat suatu penelitian tesis yang dilakukan oleh Esther Million, mahasiswi Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul “ Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai”. Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:
1. Bagaimana tugas dan fungsi Pegadaian sebagai lembaga pembiayaan dalam pemberian kredit dengan sistem gadai?
2. Bagaimana prosedur pemberian kredit dengan sistem gadai dilakukan pada lembaga pembiayaan Pegadaian?
3. Upaya apa yang dilakukan lembaga pembiayaan Pegadaian dalam penyelamatan kredit bermasalah?
Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian diatas terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
(35)
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.17
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tententu terjadi.18 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.19
Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut.20
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 6.
18
Ibid, hal.122. 19
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, hal. 6.
20
Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.
(36)
Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan konsep.21
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.22 Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Roscoe Pound yaitu “law as a tool of social engineering” (hukum sebagai alat atau sarana rekayasa/pembaharuan sosial), yang menyatakan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.23 Menurutnya hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum, artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa.24 Dan harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Menurut Pound hukum itu ditandai sebagai suatu teknik (rekayasa) sosial (social engineering) di dalam suatu masyarakat politik yakni negara. Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak memihak
21
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19. 22
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.
23
Imran Nating, Hukum Kodrat, Postivisme, Utilitarianisme, Mahzab Sejarah, www.filsafathukumuntar.multiply.com, diakses 23 Maret 2010.
24
Mulhadi, Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, Medan, 2005, hal. 9.
(37)
antara kepentingan-kepentingan individual yang satu terhadap yang lain.25 Idealnya keadilan ini didukung oleh paksaan, dan paksaan disini digunakan oleh Negara demi kontrol sosial yaitu untuk menjamin keamanan sosial, dan memajukan kepentingan umum sebaik-baiknya.
Rosce Pound merupakan salah satu penganut mazhab sociological jurisprudence yang menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.26 Berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Teori ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empirik (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua-duanya adalah sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya di legalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara.27
Di Indonesia sendiri teori ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Alasannya oleh karena lebih
25
Ibid, hal. 10. 26
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke X, Bandung, 2007, hal. 66
27
(38)
menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula).28 Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop dan policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal.29 Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya.
Sama hal nya dengan pilihan penyelesaian masalah dalam pegadaian bila debitur melakukan wanprestasi pada umumnya lebih banyak melaluli parate eksekusi gadai karena dianggap prosesnya lebih cepat dan mudah. Seiring berjalannya waktu dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Pegadaiaan juga tampil lebih modern dengan berbagai macam produk dan layanan, yang mengemas pemberian pinjaman dalam bentuk gadai dengan kemasan dan kesan yang berbeda namun tetap berpijak pada dasar hukum gadai yang terdapat dalam KUHPerdata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kaedah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya dengan baik, seperti misalnya pemberi gadai tidak membayar pokok pinjaman dan sewa modalnya, maka lembaga pegadaian dapat memberikan somasi kepada pemberi gadai agar dapat melaksankan prestasinya sesuai dengan yang dijanjikan. Apabila somasi itu telah dilakukan selama 3 (tiga) kali dan tidak dihiraukan, maka lembaga pegadaian dapat
28
Ibid, hal. 79. 29
(39)
melakukan pelelangan terhadap benda gadai. Sedangkan dalam prakteknya, penerima gadai tidak memberikan teguran kepada debitur yang lalai melaksanakan kewajibannya. Ketentuan ini hanya terhadap benda gadai yang nilainya sangat kecil, tetapi jika uang gadainya besar, maka terhadap debitur yang lalai, pihak penerima gadai memberikan somasi kepada debitur. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata, pelaksanaan eksekusi atas barang gadai, telah ditentukan secara limitatif dan imperatif dengan cara dan bentuk tertentu.
Pada kenyataannya tidak sama halnya dengan penyelesaian dalam jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan, dalam jaminan gadai jika debitur wanprestasi, kreditur lebih suka melakukan penyelesaian dengan cara parate eksekusi bukan melalui pengadilan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum mengikuti perkembangan masyarakat, apa yang telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat dan dianggap baik bagi masyarakat akhirnya timbul menjadi sebuah hukum dalam masyarakat itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri hukum dibuat sebagai alat untuk mengatur masyarakat, namun kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Oleh karena itu hukum harus bisa mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, yang selama ini sering terabaikan.
(40)
2. Konsepsi
Konsep merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dengan observasi, antara abstraksi dan realita.30
Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,31 yang disebut dengan definisi operasional.
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut:
1. Eksistensi adalah keberadaan atau kedudukan
2. Parate eksekusi adalah wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur tanpa memiliki eksekutorial title.32 Sedangkan menurut kamus hukum parate eksekusi diartikan sebagai
30
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34. 31
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998, hal. 3. 32
(41)
pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu vonnis pengadilan.33
3. Perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, hanya saja perbedaannya disini terdapat pada adanya barang jaminan dalam perjanjian gadai, yang digunakan sebagai jaminan bahwa debitur akan melunasi hutangnya kepada kreditur. Secara umum perjanjian gadai dapat diartikan sebagai perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan kebendaan bergerak, baik kebendaan bergerak yang berwujud maupun kebendaan bergerak yang tidak berwujud.34
4. Perusahaan Umum Pegadaian adalah salah satu dari lembaga perkreditan yang berada dalam lingkungan Departemen Keuangan, sebab Perum Pegadaian adalah Badan Usaha milik Negara (BUMN), satu-satunya yang menyelenggarakan penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian, memberikan pengertian tentang pegadaian yaitu:
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan Menteri Keuangan, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
33
J.C.T Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, cetakan ke-VIII, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 120.
34
(42)
Sedangkan menurut Rachmadi Usman Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan tujuan turut melaksanakan dan menunjang kebiijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya melalui penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai dan mencegah praktik ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.35
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat analitis deskriptif. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.36 Dalam hal ini mengenai eksistensi parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Kota Medan.
Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.37 Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan
35
Ibid, hal. 121. 36
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,1994, hal. 101.
37
(43)
secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku,38 yang berkaitan dengan eksistensi parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian.
Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
2. Lokasi dan Populasi Penelitian
Lokasi tempat penelitian dilakukan pada Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian kantor cabang Medan Utama. Pengambilan sampel dari populasi penelitian dilakukan secara purposive sampling (kelayakan) sebanyak 20 orang. Dari keseluruhan populasi dipilih beberapa sampel yang diperkirakan dapat mewakili keseluruhan populasi yang ada terdiri dari responden dan informan. Adapun sampel dalam penelitian ini antara lain:
a. Pimpinan cabang Perum Pegadaian cabang Medan Utama. b. Para staf yang berkompeten
c. Masyarakat pengguna jasa Perum Pegadaian cabang Medan Utama.
38
(44)
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research), dengan rincian:
1. Penelitian Kepustakaan
Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,39 seperti hasil-hasil seminar atau penemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
39
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24.
(45)
primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum, dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.40
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan.
5. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.41
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder dan tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 14.
41
(46)
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.42
Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif sekaligus kuantitatif, karena kedua pendekatan tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.43
42
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 106.
43
(47)
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Gadai 1. Pengertian Perjanjian Gadai
Gadai berasal dari terjemahan dari kata pand atau vuistpand (bahasa Belanda), atau pledge atau pawn (bahasa Inggris), pfand atau faustpfand (bahasa Jerman). Sedangkan dalam hukum adat istilah gadai ini disebut dengan cekelan.44 Sedangkan Ter Haar menerangkan : “Di kalangan masyarakat Batak gadai itu disebut tahan, dikalangan masyarakat Jawa dipergunakan istilah tanggungan dan jonggolan, dan dikalangan masyarakat Bali dikenal istilah makantah”.45Istilah gadai diatur juga di dalam KUHPerdata Pasal 1150 gadai adalah:
suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka unsur-unsur berikut dibawah ini harus dipenuhi:
1. Gadai diberikan hanya atas barang bergerak;
44
Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 103. 45
B. Ter Haar Bzn, Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 131.
(48)
2. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan Pemberi gadai;
3. Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference);
4. gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia gadai berarti:
1. Suatu pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai batas waktunya tidak ditebus, barang menjadi hak yang memberi pinjaman.
2. Barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
3. Kredit jangka pendek dengan jaminan sekuritas yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yang bersangkutan.46
Beberapa ahli juga memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai gadai, menurut Wiryono Projodikoro gadai adalah sebagai sesuatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari siberpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu.47 Sedangkan Subekti mengatakan pandrecht adalah : “suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”.48
46
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.126. 47
Wiryono Projowikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Cetakan ke- V, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 153.
48
(49)
Dengan demikian gadai merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Dalam hal ini berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.49 Jaminan dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seolah-olah ia sebagai pemiliknya sendiri dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan jika menerima benda tersebut dengan itikad baik, yaitu mengira bahwa si debitur tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.50
Diluar negeri yaitu di Negara-negara Eropa, Inggris, Amerika dan Asia juga mengenal lembaga jaminan dengan menguasai bendanya dan lembaga-lembaga jaminan dengan tanpa menguasai bendanya.51 Jaminan dengan menguasai bendanya adalah seperti yang dikelola oleh Pawnbrokers World (Australia), Pawn Shop (USA), Hashimoto Pawnshop (Japan), dan Darky’s Pawnboker (Canada).52 Sedangkan yang tergolong lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya adalah seperti Mortagage, Chattel Mortagage dan Hire Purchase. Penggolongan dan jenis
49
Muhammad Syukron Yamin Lubis, Op. cit., hal. 14. 50
Ibid. 51
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,Cetakan ke- I, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 25.
52
Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 27.
(50)
lembaga jaminan seperti tersebut diatas dikenal hampir disemua Negara hanya saja dengan sedikit variasi di sana-sini.53
Dalam hukum adat, gadai juga dikenal dengan istilah “Jual Gadai” yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.54 Dalam jual gadai penerima gadai (kreditur) berhak untuk mengerjakan dan menikmati manfaat yang melekat pada tanah itu. Transaksi jual gadai ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :
1. Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan maka tanah menjadi milik yang membeli gadai.
2. Tanah tidak boleh ditebus selama satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai.55
Sedangkan perkataan “gadai” di dalam persepsi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian di kenal dengan istilah “Kredit gadai”. Menurut Pedoman Operasional Kantor Cabang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, Bab III Mengenai Pengelolaan Kredit Gadai, yang dimaksud dengan “Kredit Gadai” adalah:
Pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan perusahaan. Nasabah menyelesaikan pinjamannya kepada perusahaan (Pegadaian) sebagai pemberi pinjaman (kreditur), dengan cara mengembalikan uang pinjaman dan membayar sewa modalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
53
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. cit, hal. 15. 54
Muhammad Syukron Yamin Lubis, Op. cit., hal. 26. 55
Setelah keluar UU. No 5 Tahun 1960 atau yang dikenal dengan UUPA maka peraturan ini tidak berlaku lagi, dan gadai tanah tidak diperbolehkan lagi, akan tetapi pada prakteknya dalam masyarakat adat gadai tanah masih tetap berlangsung, walaupun telah diberlakukan Hukum Nasional, akan tetapi Hukum Nasional ini disingkirkan oleh Hukum Adat yang masih hidup.
(51)
Pengertian gadai yang diberikan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian tersebut diatas, mempunyai perbedaan dengan defenisi gadai pada Pasal 1150 KUHPerdata. Pengertian gadai pada Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian disebutkan mengenai adanya jangka waktu, sewa modal atau lazim dikenal dengan bunga, dan syarat-syarat lain yang telah ditetapkan oleh perusahaan sehingga pengertiannya lebih jelas dan sifatnya lebih khusus, sedangkan didalam Pasal 1150 KUHPerdata tidak ada mengatur hal yang sedemikian.56 Gadai yang berlaku dalam Perum Pegadaian berbeda dengan gadai yang terdapat dalam KUHPerdata.
Dari beberapa pengertian diatas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam gadai yaitu:
1. Adanya subjek gadai, yaitu kreditur (penerima gadai) dan debitur (pemberi gadai). 2. Adanya objek gadai, yaitu barang bergerak, baik yang berwujud maupun tidak
berwujud.
3. Adanya kewenangan debitur. 57
Jadi secara umum gadai dapat diartikan sebagai suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, yang pada umumnya tidak selalu merupakan perjanjian utang piutang dan karenanya dikatakan, bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau ia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir. Pada prinsipnya (barang) gadai dapat dipakai untuk
56
Muhammad Syukron Yamin Lubis, Op. cit., hal.29. 57
(52)
menjamin setiap prestasi tertentu.58 Dalam hal perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberian gadai adalah suatu perjanjian yang tidak memerlukan suatu bentuk formalitas bagi sahnya perjanjian pokok tersebut, maka berarti gadai juga dapat diberikan dengan cara yang sama, yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya perjanjian pokok tersebut. Dengan demikian berarti sahnya suatu pemberian gadai atau perjanjian gadai harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa:
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Perjanjian gadai dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana halnya dengan perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pemberian kredit. Perjanjian tertulis ini dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam praktek, perjanjian gadai ini dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan yang ditandatangani oleh pemberi gadai dan penerima gadai. Bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian secara sepihak. Semua
58
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 100.
(53)
tertuang dalam surat bukti kredit (SBK), hal-hal yang kosong tersebut meliputi nama, alamat, jenis barang jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit, dan tanggal jatuh tempo. SBK ini diterbitkan oleh Perum Pegadaian dan sengaja dibuat sebagai media atau piranti perikatan serta sebagai alat bukti untuk kedua belah pihak. SBK ini nantinya digunakan untuk saling memantau diantara kedua belah pihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan telah terjadi wanprestasi, dan bila ada pihak yang dirugikan telah memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan kepada pihak lain.59
SBK dalam bentuknya dibuat secara timbal balik, dimana pada halaman depannya memuat catatan penting, yaitu :
1. Perusahaan Umum Pegadaian Cabang………. 2. Nomor bunga jaminan/Nomor Kredit
3. Tanggal kredit
4. Tanggal batas/jatuh tempo 5. Taksiran
6. Uang pinjaman
7. Golongan uang pinjaman 8. Keterangan barang jaminan
9. Nama nasabah/yang dikuasakan serta alamat 10. Tarif bunga
11. Tanda lain yang dinyatakan seperti paraf Kuasa Pemutus Kredit (KPK)/Kepala Cabang, dan lain-lain.60
Sedangkan pada halaman belakang SBK terdapat isi perjanjian kredit gadai antara Perum Pegadaian dengan nasabah. Perjanjian ini diberi nama dengan “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Benda Bergerak”.
59
Muhammad Syukron Yamin Lubis, Op. cit., hal. 64. 60
(54)
Adapun isi yang terdapat di dalam SBK memuat antara lain sebagai berikut: 1. Pengakuan nasabah telah menerima penetapan besarnya taksiran jaminan, Uang
Pinjaman dan Tarif Sewa Modal dan SBK ini merupakan tanda bukti yang sah penerimaan uang pinjaman.
2. Menyatakan bahwa barang yang diserahkan sebagai jaminan adalah milik nasabah sendiri atau milik orang lain yang dikuasakan kepadanya untuk digadaikan, dan bukan berasal dari hasil kejahatan, tidak dalam objek sengketa atau sita jaminan. 3. Nasabah menyatakan telah berhutang kepada Perum Pegadaian dan berkewajiban
untuk membayar pelunasannya.
4. Perum Pegadaian akan memberikan ganti kerugian apabila barang jaminan yang berada dalam penguasaan Perum Pegadaian mengalami kerusakan atau hilang yang disebabkan oleh suatu bencana alam (force majeure) yang ditetapkan pemerintah, dan ganti rugi diberikan sebesar harga taksiran awal.
5. Nasabah dapat melakukan perpanjangan kredit, mengangsur uang pinjaman atau menambah uang pinjaman selama nilai taksiran masih memenuhi syarat.
6. Bila sampai pada tanggal jatuh tempo tidak dilakukan pelunasan atau perpanjangan kredit, maka Perum Pegadaian berhak melakukan penjualan barang jaminan melalui lelang.
7. Jika hasil penjualan lelang berlebih maka kelebihannya tersebut akan dikembalikan kepada nasabah. Dan bila hasilnya tidak mencukupi maka nasabah wajib membayar kekurangan tersebut.
(55)
8. Nasabah harus datang sendiri untuk melakukan pelunasan atau perpanjangan kredit ataupun dengan mengalihkannya kepada orang lain dengan menggunakan surat kuasa.
9. Nasabah menyatakan tunduk dan mengikuti segala peraturan yang berlaku di Perum Pegadaian sepanjang ketentuan yang menyangkut kredit gadai ini.
10. Apabila terjadi perselisihan di kemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dan jika tidak tercapai kesepakatan akan diselesaiakan melalui Pengadilan Negeri setempat.
Perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, hanya saja perbedaannya disini terdapat pada adanya barang jaminan dalam perjanjian gadai, yang digunakan sebagai jaminan bahwa debitur akan melunasi hutangnya kepada kreditur. Secara umum perjanjian gadai dapat diartikan sebagai perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan kebendaan bergerak, baik kebendaan bergerak yang berwujud maupun kebendaan bergerak yang tidak berwujud.61Dalam rangka mengamankan piutang kreditor, maka secara khusus oleh debitur kepada kreditur diserahkan suatu kebendaan bergerak sebagai jaminan pelunasan utang debitur, yang menimbulkan hak bagi kreditur untuk menahan kebendaan bergerak yang digadaikan tersebut sampai dengan pelunasan utang debitur.62 Jadi pada dasarnya perjanjian gadai akan terjadi
61
Rachmadi Usman, Loc.cit., hal. 106. 62
(56)
bila barang-barang yang digadaikan berada di bawah penguasaan kreditur (pemegang gadai) atau atas kesepakatan bersama ditunjuk seorang pihak ketiga untuk mewakilinya. Penguasaan benda gadai oleh kreditur merupakan syarat esensial bagi lahirnya gadai. Selain itu ketentuan tentang bentuk perjanjian gadai dapat dilihat dalam Pasal 1151 KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian gadai harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya”.
Dengan demikian terdapat perbandingan antara gadai yang diatur dalam KUHPerdata, Hukum Adat, dan Perum Pegadaian yaitu:
1. Persamaan
a. Sama-sama merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal balik dilapangan hukum harta kekayaan.
b. Benda perjanjian harus diserahkan kedalam kekuasaan si pemegang gadai. 2. Perbedaan
a. Gadai dalam KUHPerdata dan Perum Pegadaian merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian utang uang selaku perjanjian principle (pokok) dengan benda bergerak berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang kepada si pembawa, atas nama, atas tunjuk) selaku tanggungan/jaminan.63
Sedangkan dalam hukum adat transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri dengan tanah selaku objeknya.64
63
Bushar Muhammad, Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 116-117 64
(57)
b. Gadai dalam KUHPerdata dan Perum Pegadaian, kekuasaan pemegang/penerima gadai tidak meliputi hak memakai, memungut hasil, menyewakannya dan sebagainya.65
Sedangkan dalam hukum adat pemegang/penerima gadai dapat menguasai, mempergunakan, serta mengambil manfaat dari benda gadainya.66
c. Gadai dalam KUHPerdata dan Perum Pegadaian, pemberi gadai harus melunasi hutangnya dalam waktu yang telah ditetapkan bersama. Jika ia lalai dalam hal itu, si pemegang gadai tidak berwenang memiliki benda jaminan namun selaku kreditur, pihak terakhir ini dapat melelang benda gadai atas kekuasaan sendiri, untuk memperoleh pelunasan dari piutangnya.67
Sedangkan dalam hukum adat pembeli gadai tidak dapat memaksa penjual gadai untuk menebus objek transaksinya. Sebaliknya setiap waktu benda itu ditebus, ia harus mengembalikannya.68
Dengan demikian gadai yang akan dibahas dalam penulisan ini merupakan gadai pada Perum Pegadaian bukan gadai yang berlaku menurut KUHPerdata maupun Hukum Adat. Akan tetapi peraturan gadai yang terdapat dalam Perum Pegadaian tetap berlandaskan pada KUHPerdata.
65
Bushar Muhammad, Loc.cit. 66
Muhammad Yamin, Op. cit, hal. 11. 67
Bushar Muhammad, Loc. cit. 68
(58)
2. Sifat Umum Gadai
Dari rumusan Pasal 1150 KUHPerdata tentang gadai, dapat disimpulkan beberapa sifat umum dari gadai yaitu:
A. Gadai adalah untuk benda bergerak.
Dalam KUHPerdata benda digolongkan sebagai berikut: 1. Menurut pasal 503 KUHPerdata :
a. Benda berwujud ialah: benda yang dapat berpindah atau dipindahkan, seperti: rumah, mobil, emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain.
b. Benda tidak berwujud ialah: setiap hak, pada umumnya hak atas harta kekayaan dipandang sebagai suatu benda walaupun hak tersebut tidak berwujud jika ia merupakan bagian dari harta kekayaan, seperti: hak cipta, piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang.69
2. Menurut Pasal 504 KUHPerdata:
a. Benda bergerak, dapat dibagi menjadi:
1. Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan ( Pasal 509 KUHPerdata), seperti : kursi, meja, buku.
2. Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda bergerak (Pasal 511 KUHPerdata), seperti: hak
69
(59)
memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan, piutang-piutang.
b. Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi:
1. Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUHPerdata), seperti: tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUHPerdata), seperti: mesin-mesin yang dipasang disuatu pabrik.
3. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUHPerdata), seperti: hipotik, hak guna bangunan, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak.
Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud. Lahirnya gadai di dalam hukum jaminan menurut KUHPerdata adalah sebagai akibat adanya pembedaan benda atas benda tetap dan bergerak. Benda bergerak baik itu berwujud maupun tidak berwujud menjadi objek gadai sedangkan benda tetap menjadi objek dari hipotik.70
B. Sifat kebendaan
Sifat ini ditemukan dalam pada Pasal 528 KUHPerdata yang mengatakan “atas sesuatu kebendaan, seorang dapat mempunyai baik kedudukan berkuasa, baik hak milik, hak waris, hak pakai hasil, hak pengabdian tanah, hak gadai atau
70
(60)
hypotheek”.71 Yang dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah: hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak kebendaan yang diatur dalam KUHPerdata dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan ini dapat atas bendanya sendiri, dapat juga atas benda milik orang lain. Hak-hak ini terdiri dari:
a. Yang bersifat memberi kenikmatan atas benda milik sendiri, misalnya hak milik benda bergerak, bezit atas benda bergerak bukan tanah. b. Yang bersifat memberi kenikmatan, tetapi atas benda milik orang lain,
misalnya bezit atas benda bergerak bukan tanah, hak memungut hasil atas benda bergerak, hak pakai dan mendiami benda bergerak.
2. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan hak ini terdiri dari: a. Gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak.
b. Hipotik sebagai jaminan ialah benda-benda tetap (tidak bergerak). Sifat-sifat dari kebendaan ialah:
1. Hak kebendaan merupakan hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Hak kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti), artinya hak itu selalu mengikuti bendanya dimanapun juga
71
(61)
(ditangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.
3. Hak kebendaan itu mempunyai droit de preference (hak yang terlebih dahulu atau memberikan kedudukan diutamakan).72
Sebagai hak kebendaan, hak gadai selalu mengikuti objek atau barang-barang yang digadaikan dalam tangan siapapun berada. Pemegang gadai (pandnemer) mempunyai hak untuk menuntut kembali barang-barang yang digadaikan yang telah hilang atau dicuri orang dari tangannya dari tangan siapapun barang-barang yang digadaikan itu ditemukannya dalam jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 1152 (3) KUHPerdata :
Apabila, namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat (2), sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.
Pasal 1152 (3) KUHPerdata ini mencerminkan adanya sifat droit de suit, karena hak gadai terus mengikuti bendanya di tangan siapapun. Demikian juga di dalamnya terkandung suatu hak menggungat karena penerima gadai berhak menuntut kembali barang yang hilang tersebut.
C. Benda gadai dikuasai pemegang gadai (inbezitstelling)
Dalam rangka mengamankan piutang kreditur, maka secara khusus oleh debitur kepada kreditur diserahkan suatu kebendaan bergerak sebagai jaminan pelunasan
72
(62)
hutang debitur, yang menimbulkan hak bagi kreditur untuk menahan kebendaan bergerak yang digadaikan tersebut sampai dengan pelunasan utang debitur. Dengan demikian pada dasarnya perjanjian gadai akan terjadi bila barang-barang yang digadaikan berada dibawah penguasaan kreditur atau atas kesepakatan bersama ditunjuk seorang pihak ketiga untuk mewakilinya. Penguasaan kebendaan gadai oleh pemegang gadai tersebut merupakan syarat esensial bagi lahirnya gadai. Persyaratan ini selain ditentukan dalam Pasal 1150 KUHPerdata, juga tercantum dalam Pasal 1152 (1) dan (2) yaitu:
(1) Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
(2) Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang.
D. Penyerahan barang-barang yang digadaikan kepada kreditur dimaksudkan bukan merupakan penyerahan yuridis, bukan penyerahan yang mengakibatkan penerima gadai menjadi pemilik dan karenanya pemegang gadai dengan penyerahan tersebut tetap hanya berkedudukan sebagai pemegang saja, tidak akan pernah berdasarkan penyerahan seperti itu saja menjadi bezitter dalam arti bezit keperdataan (burgelijk bezit). Itulah sebabnya bezit disebut pandbezit.73 Hak menjual sendiri benda gadai. Pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dan memiliki kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap barang gadai. Penyebab timbulnya pelelangan ini adalah karena debitur tidak melakukan
73
(1)
mungkin diselesaikan dengan cara musyawarah sesuai dengan poin 9 dalam surat Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Barang Bergerak, yang menyatakan: apabila terjadi permasalahan dikemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Dan apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri Setempat. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa hal itu tidak menjadi penghalang bagi nasabah untuk tetap menggunakan jasa Perum Pegadaian, hal ini tidak terlepas dari banyaknya kemudahan dan keuntungan yang diperoleh oleh debitur dari Perum Pegadaian bila dibandingkan dengan bank.
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah membuat Undang-Undang tersendiri mengenai Perum Pegadaian yang di dalamnya mengatur tentang parate eksekusi di dalam perjanjian gadai, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya, dan secara tidak langsung dapat turut mengawasi jalannya peraturan tersebut, apakah sudah benar-benar diterapkan dan dijalankan dengan baik.
2. Pelaksanaan parate eksekusi dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat, agar tidak terjadi kebingungan pada pelaksanaannya, dan bisa mengubah pola pikir jika sudah masuk masa lelang maka tertutup kemungkinan bagi nasabah untuk mendapatkan barangnya kembali. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan tentang prosedur
(2)
123
pelaksanaan lelang, ataupun dengan menempelkan proses dan prosedur lelang pada papan pemberitahuan yang ada di setiap Kantor Cabang Perum Pegadaian. 3. Komunikasi yang baik antara nasabah dengan Perum Pegadaian dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya hambatan dalam pelaksanaan parate eksekusi. Untuk mengatasi hambatan ini diperlukan peran serta dari kedua belah pihak. Masyarakat diharapkan dapat lebih aktif dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, jika sekiranya merasa dirugikan dan tidak mencapai titik temu sebaiknya menggunakan jalur pengadilan. Walaupun persepsi yang berkembang di masyarakat tentang besarnya biaya, waktu yang lama dan proses yang berbelit-belit di pengadilan tidak sebanding dengan harga barang jaminan. Tetapi masyarakat terpenuhi haknya dan hal ini lah yang terpenting karena dengan terpenuhinya hak maka tercapailah tujuan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dilain sisi Perum Pegadaian juga harus lebih meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan memberikan pertanggungjawaban yang sepantasnya kepada masyarakat sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
(3)
Badrulzaman , Mariam Darus. 1987. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan
Fiducia. Cetakan IV. Bandung: Alumni.
---. 1994. Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni. Hadi, Sutrisno, 1989. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Harahap, M. Yahya. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Hartono, Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni.
HS, Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta : Sinar Grafika. --- .2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta : PT.
Grafindo Persada.
Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhammad, Bushar. 1981. Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Muljadi, Kartini. Dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Perikatan: Perikatan
Pada Umumnya. Jakarta: Raja Grafindo.
---. 2007. Seri Hukum Harta Kekayaan :
Hak Istimewa, Gadai, & Hipotek. Cetakan ke-II. Jakarta: Kencana.
Projowikoro, Wiryono. 1986. Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda. Cetakan ke- XVI. Jakarta: PT. Intermasa.
Pustaka, Balai. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rasjidi, lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke X. Bandung: Citra Aditya Bakti.
(4)
125
Salindeho, Jhon. 1994. Sistem Jaminan Kredit dalam Era Pembangunan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Satrio, J. 1993. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan .Bandung: Citra Aditya Bakti
---. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Bandung: Citra Aditya Bakti
Siamat, Dahlan. 1995. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia.
Simorangkir, J.C.T . Rudy T. Erwin. dan J.T. Prasetyo. 2004. Kamus Hukum. cetakan ke-VIII. Jakarta: Sinar Grafika.
Singarimbun, Masri dkk. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Siregar, Tampil Anshari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum. Medan: Pustaka Bangsa.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
---. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Subagyo, et al. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Subekti. 1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan ke- XVI. Jakarta: Intermasa.
---. 1998. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Sunggono, Bambang. 2002. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
(5)
Ter Haar Bzn, B. Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1980. Asas-Asas Dan
Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Tjitrosoedibio dan Subekti. 1996. Kamus Hukum. cetakan ke- XII . Jakarta: Pradnya Paramita.
Tjokroamidjojo, Bintaro dan Mustofa Adidjoyo. 1988. Teori dan Strategi
Pembangunan Nasional. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar Grafika. Yamin, Muhammad. 2004. Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat
Kecil. Medan: Pustaka Bangsa Press.
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Surat Edaran Direksi No. 48/Op1.00211/2003 tentang Lelang Barang Jaminan Keputusan Direksi Perum Pegadaian Opp.2/67/5 tentang Pedoman Operasional Kantor Cabang Perum Pegadaian.
C. Artikel, Jurnal Hukum, dan Situs Internet
Abduh, Muhammad. Juni 1999. Jurnal Ilmiah Hukum Dinamika, Bidang Ilmu Hukum BKS-PTN Wilayah Indonesia Barat,
Amarsah, Basrah. 1998. Perusahaan Umum Pegadaian sebagai Lembaga
Pembiayaan Penyedia Kredit dalam Menentukan Objek yang Sah di Kotamadia Medan. Tesis. Medan: PPS USU
Firman. 2010. Butuh Uang Tunai Cepat, Kredit KCA Solusinya. www.wordpress.com.10 Juni 2010
(6)
127
Lubis, Muhammad Syukron Yamin. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung
Jawab Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Atas Benda Jaminan. Tesis.
Medan: PPS USU.
Million, Esther. 2004. Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan
Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai. Tesis. Medan: PPS USU.
Mulhadi. 2005. Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya
Pembaharuan Hukum di Indonesia. Medan : USU Respository
Nating, Imran. 2008. Hukum Kodrat, Postivisme, Utilitarianisme, Mahzab Sejarah. www.filsafathukumuntar.multiply.com.
Portal Perum Pegadaian. 2009. Bersama Kerabat Menggapai Cita, www.pegadaian.co.id. 8 Juni 2010.
Rais, Sasli. 2007. Mengenal Lembaga Pegadaian di Indonesia. www.multiply.com. 8 Juli 2010.
Seksi Perencanaan/Pembinaan. 1982. Sejarah Organisasi Tugas Pokok dan Fungsi
Perum Pegadaian dalam Pembangunan. Jakarta: Kantor Pusat Perum Pegadaian.
Sethyon, Ketut. 2002. Pegadaian 100 Seabad Bersahabat Menapak ke Masa Depan
dengan Kegigihan Masa Lalu. Jakarta : Kantor Pusat Perum Pegadaian
Sijabat, Saudin. 2008. Pegadaian Versus Bank. www.smecda.com. 8 Juli 2010. Sirait, Ningrum Natasya. 2008. Intisari Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Kontrak
Perjanjian Arbitrase, Universitas Sumatera Utara.
Tarigan, Ermalisa. 2004. Eksekusi Barang Jaminan Dalam Penyelesaian Kredit
Macet, Tesis. Medan: PPS USU.
Wiratha, Made. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Andi.