Analisis Makna Gitaigo Dalam Cerita “Boku No Ojisan”

(1)

SKRIPSI

ANALISIS MAKNA GITAIGO DALAM CERITA

“BOKU NO OJISAN”

BOKU NO OJISAN NO HANASU NO NAKA NI

GITAIGO NO IMI NO BUNSEKI

OLEH:

MINHATUL MAULA NIM : 080722010

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN EKSTENSI SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS MAKNA GITAIGO DALAM CERITA

“BOKU NO OJISAN”

BOKU NO OJISAN NO HANASU NO NAKA NI

GITAIGO NO IMI NO BUNSEKI

OLEH:

MINHATUL MAULA NIM : 080722010

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

NIP. 19600919. 198803. 1. 001 NIP. 19580704. 1984120. 1. 001

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Unversitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN EKSTENSI SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui Oleh Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Jurusan Sastra Jepang Ketua Jurusan,

NIP. 19580704. 1984120. 1. 001

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada : Jam

Tanggal : Juli 2010 Hari :

Fakultas Sastra

NIP : 19511013 197603 1 001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D 2.

(………) Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

3. (………)

(………)


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, ridho dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Amiin.

Skripsi ini berjudul “Analisis Makna Gitaigo dalam Cerita “Boku No Ojisan”, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang – Sarjana (S1) Ekstensi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini sangat sederhana dan masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun dari uraiannya. Hal ini disebabkan keterbatasan akan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaannya dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra Jepang – Sarjana (S1) Ekstensi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S. Ph.D., selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku dosen pembimbing II yang telah mengorbankan waktu dan tenaga serta bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku dosen pembimbing I, yang dengan tulus ikhlas telah membimbing, memeriksa, memberikan pengarahan, dan telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Sastra Jepang (S1) Ekstensi selama masa perkuliahan.


(6)

5. Teristimewa kepada keluarga tercinta, Ante Sayang, Pak Etek, Uda Budi, Uda Husni, Uni Reni, Uni Dian, Uni Yani, Fadli, Rizka, Lili, Ranti, Maya, Ai yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi Sastra Jepang ini.

6. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i tahun 2010 Sastra Jepang (S1) Ekstensi yang telah membantu dan menjalin silaturrahmi serta saling membantu dalam arti yang positif selama ini.

7. Kepada temn-teman seperjuangan Leli, Vina, Reni, k’ Eny, Melan, May, Yulan, Yuni, yang telah meluangkan waktu dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jugalah penulis mengucapkan puji dan syukur, semoga kita semua yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini senantiasa mendapat ridhoNya. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Nusa dan bangsa terutama bagi penulis sendiri dimasa sekarang dan yang akan datang.

Semoga Bapak/Ibu, Saudara/I serta keluarga penulis senantiasa mendapat berkah dan perlindungan dari Allah SWT. Amin.

Medan, Juli 2010

Penulis,

080722010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..i

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………...1

1.2 Perumusan Masalah ………..4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ……….5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………..6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...………..8

1.6 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ………... 9

BAB II GITAIGO DAN CERITA BOKU NO OJISAN 2.1 Onomatope Dalam Bahasa Jepang ………...11

2.1.1Giseigo ………...13

2.1.2Gitaigo ………...13

2.1.3Giongo …...………....13

2.2 Gitaigo Dalam Cerita “Boku No Ojisan” ………....19

2.3Konsep Makna ……….………20

BAB III ANALISIS MAKNA GITAIGO DALAM CERITA “ BOKU NO OJISAN” 3.1 Zokuzoku ………26


(8)

3.3Iraira ……….28

3.4 Pekopeko ……….29

3.5 Dondon ………...31

3.6 Nikoniko ………...32

3.7 Berabera………...32

3.8 Sowasowa………33

3.9 Butsubutsu ………..34

3.10 Hakkiri ………...34

3.11 Shikkari………..35

3.12 Mojimoji………...37

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ……….38

4.2 Saran ………...40

DAFTAR PUSTAKA


(9)

gunakan tidak terlalu kaku, alangkah baiknya jika gitaigo lebih mendapat perhatian dalam perkuliahan.

ABSTRAK

Bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa memiliki keragaman tata bahasa. Misalnya, bahasa Jepang, yang juga mempunyai keragaman tata bahasa sendiri. Oleh karena itu, untuk mempermudah pemahaman tentang bahasa Jepang, yang merupakan bahasa asing, maka perlu untuk mengetahui tentang linguistik bahasa Jepang. Linguistik bahasa Jepang disebut dengan 日本語学‘Nihon go-gaku’, artinya ilmu bahasa Jepang.

Bahasa Jepang ataupun bahasa lainnya memiliki jenis-jenis kata. Salah satunya adalah kata keterangan (adverbia) yang dalam bahasa Jepang disebut Fukushi. Fukushi adalah kata yang dipakai untuk menerangkan (yougen = verba, adjektiva I dan adjektiva II), (Bunkacho dalam Sudjianto, 1996 : 72).

Fukushi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah Onomatope (giseigo, / giongo dan gitaigo). Diantara adverbia yang ada dalam Fukushi, terdapat adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara dan terdapat juga adverbia yang menyatakan suatu keadaan. Adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara disebut giseigo, sedangkan adverbia yang menyatakan suatu keadaan disebut gitaigo. Kedua istilah (giseigo dan gitaigo) ini biasa disebut onomatope.


(10)

Kosa kata onomatope ini banyak ditemukan dan digunakan dalam bahasa percakapan anak-anak maupun dalam bahasa percakapan orang dewasa. Kosa kata ini banyak juga ditemukan pada saat membaca komik, majalah, surat kabar dan karya-karya sastra. Selain itu contohnya banyak terdapat pada buku cerita “Boku No Ojisan”, diantaranya adalah

ぞくぞく、ごろごろ、イライラ、ペコペコ、どんどん、ニコニコ、

ベラベラ、ソワソワ、ブツブツ、はっきり、しっかり、もじもじ. ぞくぞくadalah menggigil karena kedinginan, takut, gugup. ごろごろadalah mengambarkan orang yang bermalas-malasan. イライラadalah menjadi jengkel, tidak tenang karena segala sesuatu tidak

berjalan dengan baik. ペコペコadalah menganggukkan kepala sebagai

tanda merendahkan diri. どんどんadalah suatu perbuatan yang

berlangsung dari satu langkah ke langkah berikutnya. ニコニコ adalah

tersenyum simpul. ベラベラadalah sangat mahir berbicara.

ソワソワadalah gugup, tidak dapat tinggal diam. ブツブツadalah

menggerutu. はっきりadalah sehat, baik, menunjukkan sikap yang baik

dan rajin.しっかりadalah menunjukkan terang, jelas. もじもじ adalah

gugup, termangu-mangu.

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, ternyata antara giongo/giseigo dan gitaigo ada memiliki kesamaan kosakata. Contohnya

ペコペコ. Pekopeko termasuk gitaigo dan giseigo. Cara untuk


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah alat pengungkapan pikiran maupun perasaan (Dedi Sutedi, 2003 : 2). Melalui bahasa, seseorang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan ataupun menyatakan apa yang dirasakannya. Untuk itu, ia harus memilih dan menggunakan kata-kata dengan makna yang dianggapnya paling tepat digunakan bagi tujuan dan sasaran yang diharapkannya. Karena makna dari tiap kata yang digunakan dalam berbahasa merupakan perwujudan dari fikiran atau perasaan yang diungkapkan, maka persoalan makna dalam penggunaan bahasa sebagai alat pengungkapan pikiran maupun perasaan , menjadi sangat penting.

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Melalui bahasa, manusia dapat mengemukakan atau menyampaikan sesuatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain. Ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada seseorang, baik secara lisan maupun secara tulisan, orang tersebut bisa manangkap apa yang kita maksud, tiada lain karena dia memahami makna yang dituangkan melalui bahasa tersebut. Jadi, fungsi suatu bahasa merupakan media untuk menyampaikan (dentatsu) suatu makna kepada seseorang baik secara lisan maupun secara tertulis. (Dedi Sutedi, 2003 : 2).


(12)

Mengingat betapa pentingnya peranan bahasa yaitu baik sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk berinteraksi, untuk beradaptasi, dan yang paling penting adalah sarana untuk memahami orang lain. Maka banyak orang yang mempelajari bahasa dari bangsa-bangsa lain atau yang lebih sering disebut dengan bahasa asing, terutama dari bangsa-bangsa yang telah maju dan mempunyai pengaruh dalam dunia internasional, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Jepang, dan lain-lain. Tujuannya tiada lain adalah untuk memahami orang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

Dewasa ini bahasa Jepang menjadi bahasa asing yang banyak diminati oleh orang Indonesia, baik pelajar, mahasiswa, atau siapa saja yang memang tertarik dengan bahasa Jepang. Dalam kepentingan selanjutnya, bahasa Jepang dipelajari sebagai ilmu bahasa yang digunakan untuk studi di Jepang atau sebagai bahasa pengantar pada perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di luar Negara Jepang.

Untuk mempermudah dan memperlancar pemahaman dan penguasaan bahasa Jepang, yang merupakan bahasa asing, maka perlu untuk memahami atau minimal mengetahui tentang linguistik bahasa Jepang. Linguistik bahasa Jepang disebut dengan 日本語学 ‘Nihon

go-gaku’, artinya ilmu bahasa Jepang. (Dedi Sutedi, 2003 : 2).

Dalam linguistik bahasa Jepang (日本語学‘Nihon go-gaku’), yang

dikaji bisa berupa kalimat, kosakata, atau bunyi ujaran, bahkan sampai pada bagaimana bahasa diperoleh, serta bagaimana sosio-kultural yang mempengaruhi masyarakat pengguna bahasa tersebut. Dalam linguistik


(13)

bahasa Jepang (Nihon go-gaku) akan melahirkan berbagai cabang linguistik, diantaranya adalah Fonetik ( 音声学 ‘onseigaku’ ), Fonologi (

音韻論 ‘ oninron’ ), Morfologi ( 形態論 ‘ keitairon’ ), Sintaksis ( 統語論

tougoron’ ), Semantik ( 意味論 ‘ imiron’ ), Pragmatik ( 御用論

‘goyouron’ ), Sosio-linguistik ( 社会言語学 ‘ shakaigengogaku ’ ) dan

lainnya. ( Dedi Sutedi, 2003 : 6 ).

Untuk memahami makna dari suatu bahasa, maka terlebih dahulu kita harus mengerti arti makna tersebut. Dalam ilmu linguistik bidang yang membahas makna biasa disebut dengan istilah semantik. Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengenai makna bahasa. Karena selain makna bahasa, dalam kehidupan kita banyak makna-makna yang tidak berkaitan dengan bahasa, melainkan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang lain, seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda kejadian alam, lambang-lambang negara, simbol-simbol budaya, simbol-simbol keagamaan dan lambang atau simbol lainnya.

Objek kajian semantik adalah makna. Makna ini, sebagai objek kajian semantik tidak dapat diamati atau diobservasi secara empiris. Berbahasa tanpa mempedulikan makna adalah sangat di luar nalar dan akal sehat.

Untuk mengenal lebih jauh tentang masyarakat Jepang, kita menggunakan bahasa sebagai media berkomunikasi. Jadi untuk memahami jalan pikiran orang Jepang salah satunya adalah dengan cara berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang. Tetapi ternyata memang


(14)

tidak mudah memahami tataran bahasa Jepang, karena banyak sekali ungkapan-ungkapan untuk menyatakan suatu tindakan atau keadaan.

Bahasa Jepang ataupun bahasa lainnya memiliki jenis-jenis kata. Salah satunya adalah kata keterangan (adverbia ) yang dalam bahasa Jepang disebut Fukushi. Fukushi adalah kata yang dipakai untuk menerangkan (yougen = verba, adjektiva I dan adjektiva II), (Bunkacho dalam Sudjianto, 1996 : 72). Fukushi terdiri dari beberapa jenis, diantarnya adalah Onomatope (giseigo, / giongo dan gitaigo). Diantara adverbia yang ada dalam Fukushi, terdapat adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara dan terdapat juga adverbia yang menyatakan suatu keadaan. Adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara disebut giseigo, sedangkan adverbia yang menyatakan suatu keadaan disebut gitaigo. Kedua istilah (giseigo dan gitaigo) ini biasa disebut onomatope.

Karena gitaigo merupakan sesuatu yang menyatakan situasi atau keadaan, pemaknaannya juga harus disesuaikan dengan keadaan atau situasi yang terjadi. Menurut hemat penulis, ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti, apa yang melatarbelakangi sehingga terciptanya gitaigo. Gitaigo ini ternyata banyak juga diungkapkan dalam berbagai kesusastraan cerita seperti novel, cerpen, dan lain-lain. Salah satunya ada banyak diungkapkan dalam cerita ”Boku No Ojisan“, seperti : ぞくぞく,

はっきり, しっかり, ごろごろ, dan lain-lain.

Karena banyaknya gitaigo digunakan dalam cerita “Boku No Ojisan“ tersebut, maka penulis tertarik untuk membahasnya dalam skripsi ini.


(15)

1.2Perumusan Masalah

Gitaigo merupakan salah satu aspek bahasa Jepang yang menarik bagi para pembelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Indonesia. Namun karena jumlahnya yang begitu banyak sementara padanan dalam bahasa Indonesia sangat terbatas, kadang-kadang gitaigo ini menjadi salah satu kendala pada saat belajar bahasa Jepang. Kemudian karena gitaigo merupakan kata yang berfungsi menerangkan kata kerja yang maknanya dipengaruhi oleh situasi atau keadaan, maka pemaknaannya menyulitkan penulis.

Maka oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas tentang gitaigo dalam bahasa Jepang. Karena penulis tertarik untuk menganalisis situasi/keadaan dibandingkan dengan bunyi/suara. Seperti contoh

ぞくぞく(zokuzoku) artinya menggigil karena dingin atau karena punya

harapan/dugaan atau karena senang, gugup, takut, dan lain-lain.

Dalam bentuk pertanyaan, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa arti dan fungsi gitaigo.

2. Berapa banyak gitaigo yang terdapat dalam buku cerita “Boku No Ojisan“.

3. Bagaimana makna gitaigo yang pemaknaannya dipengaruhi oleh situasi/keadaan yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan”.


(16)

1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasannya hanya pada analisis pemakaian gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan“. Pembahasannya difokuskan pada interpretasi makna dari gitaigo yang ada dalam cerita “Boku No Ojisan“. Tentunya sebelum pembahasan atau analisis terhadap gitaigo ini, penulis menjelaskan juga tentang konsep gitaigo, fungsi gitaigo, studi semantik, dan lain-lain.

Berbicara tentang gitaigo berarti berbicara tentang banyak aspek fukushi yang sama pentingnya seperti arti, fungsi, bentuk (struktur) dan lain-lain. Mengingat pada jangkauan penelitian dalam skripsi ini hanya membahas penelitian gitaigo dalam cerita “Boku No Ojisan”. Sebelum membahas inti permasalahan, penulis perlu juga menjelaskan pengertian serta jenis-jenis adverbial ( fukushi ) dalam bahasa Jepang. Oleh karena itu penulis membatasi permasalahan sebagai berikut :

1. Pengertian dan fungsi adverbia ( fukushi ) dalam bahasa Jepang. 2. Jenis-jenis adverbia fukushi dalam bahasa Jepang.

3. Pengertian dan fungsi dari gitaigo.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini fokusnya adalah analisis penggunaan (fukushi) gitaigo. Untuk itu, penulis menggunakan defenisi yang berhubungan dengan linguistik, terutama dalam bidang semantik. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek


(17)

kajiannya, (Abdul Chaer, 1994). Dalam tata bahasa baku kata diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata, diantaranya adalah nomina (meishi), verba (doushi), adjektiva I (keiyoushi), adjektiva II (keiyoudoushi), dan verba kata bantu (joushi), adverbia (fukushi) dan sebagainya. Adverbia dalam penelitian ini adalah jenis kata yang dapat berdiri sendiri yang berfungsi menerangkan verba, adjektiva I dan adjektiva II.

Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan adverbia gitaigo, karena hal ini berkaitan dengan tatanan linguistik yaitu semantik. Semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna kata yang menalaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna itu sendiri (Abdul Chaer, 996 : 196). Sedangkan dalam bahasa Indonesia fungsi adverbia adalah memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina, predikatif, atau kalimat. Dan dalam penggunaannya adverbia dalam bahasa Indonesia dapat mendampingi adjektiva, numerilia, atau preposisi. Sementara penggunaan adverbia dalam bahasa Jepang adalah berdampingan dengan verba, adjektiva I dan adjektiva II.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penulisan skripsi ini penulis mempergunakan kerangka teori berdasarkan pendapat dari para pakar. Menurut Koizumi, semantik ( imiron ) adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi, semantik merupakan salah satu cabang linguistic ( gengogaku ) yang mengkaji tentang makna (2003 : 103). Makna


(18)

kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada dalam satu konteks tersebut dapat juga berkenaan dengan situasinya ( Chaer : : 1994 : 200 ).

Bahasa Jepang ataupun bahasa lainnya mempunyai kelas kata, diantaranya adalah adverbia (kata keterangan). Adverbia dalam bahasa Jepang disebut fukushi. Fukushi adalah kata yang menerangkan yougen (verba, adjektiva I dan adjektiva II) dan taigen (meishi = nomina) yang menunjukkan keadaan atau menerangkan fukushi lain (Bunkacho dalam Sudjianto, 1995 : 72). Sedangkan dalam buku karya ilmiah yang berjudul Bunyi dan Kata dalam bahasa Jepang, bahwa yang dimaksud dengan fukushi adalah kata yang berdiri sendiri, tidak mengalami perubahan dan tidak dapat menjadi subjek, predikat dan pelengkap, berfungsi menerangkan yougen (Hamzon, 1997 : 27).

Kata-kata yang menyatakan keadaan suatu hal/perkara seperti kata-kata fuwafuwa, bon’yori, dan sebagainya disebut gitaigo, (Iwabuchi, 1989 : 73-74).

1.5Tujuan dan Manfaaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai Analisis Gitaigo Dalam Cerita “Boku No Ojisan“ ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam arti dan fungsi adverbia bahasa Jepang, khususnya gitaigo.


(19)

2. Untuk mengetahui berapa banyak gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan“.

3. Untuk mengetahui bagaimana makna gitaigo yang dipengaruhi oleh keadaan dan situasinya.

1.5.1 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Menambah pengetahuan di bidang gitaigo dalam bahasa Jepang. 2. Memberikan gambaran tentang penggunaan atau makna gitaigo

terhadap pembaca.

1.6Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1.6.1 Metode Penelitian

Satu hal yang dalam dunia keilmuan segera dilekatkan pada masalah sistem adalah metode. Dalam arti kata yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : methodos) adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1976 : 7).

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang


(20)

menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Metode perpustakaan juga dipakai dalam penulisan skripsi ini, yaitu untuk dapat mencari dan mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Penulis juga melihat dari karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan sebagai bahan pertimbangan. Dengan metode tersebut, peneliti akan menjelaskan keberadaan idiom yang berhubungan dengan organ tubuh manusia.

1.6.2 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek. Suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir 1988 : 63). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui Library Research (studi kepustakaan), yaitu mencari dan mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penulisan. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah sebuah buku cerita “Boku No Ojisan“ karya Kitamori.

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data tulisan. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dari buku yang berhubungan dengan gitaigo bahasa Jepang. Sejalan dengan pengumpulan


(21)

data, semua data yang terkumpul diolah sedemikian rupa, sehingga dalam penyusunan skripsi ini akan dicapai apa yang telah direncanakan. Pengolahan data ini mencakup bidang gitaigo dalam bahasa Jepang, khususnya gitaigo yang ada dalam buku cerita “Boku No Ojisan“ karya Kitamori. Jadi, dengan metode perpustakaan, metode deskriptif, serta teknik pengumpulan data dan pengolahan data, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini meskipun masih sangat sederhana.


(22)

BAB II

GITAIGO DALAM CERITA “BOKU NO OJISAN”

2.1Onomatope Dalam Bahasa Jepang

Onomatope seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan kata dari tiruan bunyi, keadaan dan tindakan. Beberapa ahli bahasa meyakini bahwa onomatope ini merupakan salah satu asal usul bahasa. Kata onomatope ini mulai diteliti sejak abad ke-4 sebelum masehi oleh Socrates (469-390). Dia mengatakan sebagai berikut :

“Tiruan bunyi (onomatope) sebagai bukti bahwa ada hubungan yang normal/physei “alamiah” antara kata dan referensinya.” (Gorys Keraf, 1985:85).

Istilah onomatope itu sendiri mulai pada abad ke-19, ahli bahasa yang pertama kali mengemukakan adalah J.G Herder. Teori onomatope ini disebut juga teori ekoik atau teori bow-bow.

J.G. Herder dalam (Gorys Keraf, 1990:3) mengatakan sebagai berikut : “Objek-objek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh obyek-obyek itu sendiri. Obyek-obyek yang dimaksud adalah bunyi-bunyi binatang atau peristiwa alam.”

Manusia berusaha meniru suara anjing, suara ayam, desis angin, debur ombak dan sebagainya. D. Whitney (1868) dalam (Gorys Keraf, 1980:3) mengatakan sebagai berikut :


(23)

“Di dalam setiap tahap pertumbuhan bahasa, banyak kata baru yang timbul dengan cara ini. Kata-kata mulai timbul pada anak-anak yang berusaha meniru bunyi kereta api, bunyi mobil, dan sebagainya.”

Manusia meniru suara binatang atau meniru peristiwa alam, sama sekali bukan berarti bahwa manusia lebih rendah dari alam sekitarnya. Akan tetapi merupakan infestasi kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan ingin menggambarkan keadaan yang terjadi di alam sekitarnya dengan sebaik-baiknya.

Stephen Ullman (Gorys Keraf, 1990) dalam penelitiannya tentang tipologi semantik mengemukakan istilah kata transparan dan kata non transparan. Adapun yang dimaksud dengan kata transparan adalah kata yang masih mencerminkan asal usulnya atau kata bermotivasi. Sedangkan kata non transparan adalah kata yang tidak mencerminkan asal usulnya atau kata yang tidak bermotivasi.

Onomatope merupakan kosa kata yang berasal dari peniruan bunyi, suara, keadaan dan tindakan. Dalam masyarakat Indonesia kata-kata yang termasuk dalam onomatope ini jumlahnya tidak begitu banyak dan kadang-kadang hanya digunakan dalam bahasa percakapan, terutama bahasa percakapan anak-anak. Sehingga para ahli bahasa Indonesia merasa enggan menggali kata-kata yang termasuk dalam onomatope.

Kosa kata onomatope ini banyak ditemukan dan digunakan dalam bahasa percakapan anak-anak maupun dalam bahasa percakapan orang dewasa. Kosa kata ini banyak juga ditemukan pada saat membaca komik,


(24)

majalah, surat kabar dan karya-karya sastra. Selain itu, kamus onomatope dalam bahasa Jepang pun dapat diperoleh dengan mudahnya.

Hiroko Fukuda dalam Sugeng P. (1995:7) mengatakan sebagai berikut : “Kata bahasa Jepang yang meniru bunyi ini merupakan bumbu bahasa, cita rasanya. Dengan kata-kata ini, bahasa Jepang lisan anda akan lebih wajar dan mengesankan. Tanpa itu semua jalan hidup ini akan terasa lurus dan menbosankan.”

Berdasarkan pernyataan di atas, maka bagi orang yang mempelajari bahasa Jepang harus menguasai kosa kata onomatope ini, walaupun jumlahnya sangat banyak. Sebab, jika tidak menguasainya, maka bahasa Jepang yang digunakan terasa kaku dan tidak wajar.

Onomatope adalah 擬音語 gion-go yang secara harfiah berarti

“sebuah kata yang meniru bunyi,” dan mimesis adalah 擬態語 gitai-go,

yang secara harfiah berarti “sebuah kata yang meniru tindakan atau keadaan.” (Hiroko Fukuda, (1997:ix).

Menurut Hamzon Situmorang, onomatope termasuk fukushi joutai, ke dalamnya termasuk ;

1. Giseigo, bahasa yang merupakan peniruan bunyi binatang.

Contoh :犬はワンワンとほえる = anjing menggonggong

wan-wan.

猫はニヤニヤと鳴く = kucing berbunyi nya-nya.

鳥はチーチと鳴く = burung berbunyi chi-chi


(25)

2. Gitaigo, bahasa yang merupakan ungkapan perasaan ketika melihat benda tersebut.

Contoh : 雷はぴかりっと輝きました = petir berkilau dengan cahaya

窓はさっと開く = jendela tiba-tiba terbuka てきぱきボールをカチーした = dengan tangkas menangkap

bola

3. Giongo, peniruan bunyi yang ditimbulkan suara alam.

Contoh : 雨がぱらぱら = hujan turun berdebar

風がヒュヒュ = angin berhembus hyu-hyu

Fukushi ialah kata yang berdiri sendiri dan tidak mengalami perubahan, kebanyakan memberikan keterangan pada yougen (用言),

walaupun demikian ada juga yang memberikan keterangan pada fukushi. Adapun yang dimaksud dengan yougen adalah kata-kata yang mengalami perubahan dan dapat menjadi predikat, terdiri dari (dôshi) 動詞,

(keiyôshi)形容詞, (keiyôdôshi) 形容動詞.

Adapun contoh kalimat yang menggunakan jenis kata fukushi yaitu : 1. ゆっくり話す

Bicara perlahan-lahan

2. もっとゆっくり話して下さい

Harap berbicara lebih perlahan-lahan

Terdapat berbagai pendapat tentang jenis-jenis fukushi. Murakami Motojiro 1986 : 93 – 96) di dalam Shoho no Kokubunpou membagi


(26)

fukushi menjadi tiga macam yaitu yaitu jootai no fukushi, teido no fukushi dan tokubetsuna iikata o yookyuu suru fukushi. Begitu juga Hirai Masao (1989 : 155 – 156) di dalam Shinkokugo Handobukku mengklasifikasikan fukushi menjadi 3 macam yaitu jootai fukushi, teido o arawasu fukushi dan nobekata o shuushoku suru fukushi (dalam Sudjianto dan Ahmad Dahidi 2004 : 166).

Uehara Takeshi menyatakan bahwa fukushi adalah kata yang menerangkan yougen, termasuk jenis kata yang berdiri sendiri (jiritsugo) dan tidak mengenal konjugasi/deklinasi. Fukushi di dalam kalimat dengan sendirinya dapat menjadi bunsetsu (klausa) yang menerangkan kata lain (Takeshi dalam Sudjianto 2004 : 72).

Menurut Hamzon Situmorang, fukushi terbagi atas tiga jenis, yaitu :

a. (状態の副詞) じょうたいのふくし= fukushi tentang

keadaan

いきな = sekonyong-konyong, tiba-tiba さっと = mendadak, tiba-tiba

じきに = secepatnya, segera

Jôtai no fukushi dapat dibagi tiga; yang menerangkan keadaan, yang menerangkan waktu, dan yang menerangkan michibiku (arahan)

Jôtai no fukushi yang menerangkan keadaan , contoh;

ずっと = terus-menerus ずっと休んでいる

Jôtai no fukushi yang menerangkan wktu, contoh;

しばらく= sudah lamaしばくまちました

Jôtai no fukushi yang menerangkan petunjuk, pengarahan, contoh;


(27)

そう = begitu そういわれたのです

Ke dalam Jôtai no fukushi ini termasuk juga peniruan bunyi-bunyi alam atau meniru bunyi binatang. Dalam bahasa Jepang disebut dengan giongo, giseigo, dan gitaigo (anomatope).

b. 程度の副詞 (ていどのふくし = fukushi yang menerangkan

limit/batas) Contoh;

いくらぶん = beberapa bagian あんまり = sangat

まったくない = sama sekali tidak ada, dsb

c. (ちじゅつふくし) = fukushi berpasangan

Contoh;

しか。。。ない(Shika….V….nai) = hanya もし。。。たら (moshi…..V…..tara) = jikalau

Secara lebih spesifik lagi giongo (kata tiruan bunyi dan suara) dan gitaigo (kata tiruan keadaan) termasuk ke dalam jôtai no fukushi yaitu terutama memberikan keterangan pada dôshi (kata kerja) dan memperlihatkan keadaan. Menurut Kindaichi Haruhiko onomatope dalam Giongo, Gitaigo Jiten (1990 : 8 – 9), bahasa Jepang terdiri dari :

a. Giongo adalah kata yang menggambarkan bunyi yang keluar, terbagi atas :

- Giongo yaitu suatu kata yang menyatakan bunyi dari benda mati.


(28)

- Giseigo yaitu suatu kata yang menyatakan suara dari makhluk hidup.

b. Gitaigo adalah kata yang menyatakan sesuatu yang tidak berbunyi tetapi secara simbolis berbunyi, terdiri atas :

- Gitaigo yaitu suatu kata yang menyatakan keadaan dari benda mati.

- Giyogo yaitu suatu kata yang menyatakan keadaan (keadaan tingkah laku) makhluk hidup.

- Gijogo yaitu suatu kata yang seolah-olah menyatakan keadaan hati (perasaan) manusia.

Orang Jepang di dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam penulisan karya sastra selalu mempergunakan giongo dan gitaigo, ini bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

Adapun onomatope bahasa Jepang itu unik, bisa ditambahi dengan kata kerja suru. Seperti ふうふうする (meniup makanan yang panas).

Menurut kamus GIONGO, GITAIGO terbitan Kadokawashoten, defenisi onomatope diklasifikasikan menjadi 4 bagian, yaitu : 1. 擬音語 (GIONGO) adalah bahasa yang meniru/mengambarkan

bunyi-bunyi dari luar. Misalnya : かちゃかちゃ (bunyi sendok alat makan

beradu, disket berputar), ざーざー (bunyi hujan deras), ちりんちりん


(29)

2. 擬声語 (GISEIGO) adalah bahasa yang meniru suara binatang atau

manusia. Misalnya: あーん(mulut yang manganga mau makan), うふふ

(rasa suka/senang kegirangan), おいおい (seruan atau panggilan, paham),

かーかー (suara burung gagak).

3. 擬態語 (GITAIGO) adalah bahasa yang mengungkapkan bunyi dari

sesuatu yang tidak mengeluarkan bunyi. Misalnya: うとうと (kondisi saat

terkantuk-kantuk)、じろじろ (mata yang sibuk lihat

sana-sini)、ぴょんぴょん (lompat/loncat langkah katak atau kelinci),

ゆっくり(pelan-pelan, perlahan-lahan).

Contoh: ごゆっくりどうぞ!(silahkan selamat beristirahat!)

もっとゆっくり話してください (bicaralah lebih pelan/perlahan-lahan)

4. 擬情語 (GIJOUGO) adalah bahasa yang mengungkapkan kondisi hati

manusia. Misalnya: うきうき(perasaan senang), うっとり(terpesona),

そわそわ (kondisi cemas, tidak tenang, lalu lalang), わくわく(penuh

harap akan dating sesuatu yang mennggembirakan/surprise).

Gitaigo dalam bahasa Jepang ternyata tidak selamanya selalu mengalami pengulangan seperti : peko-peko, doki-doki, dan lain-lain, melainkan ada juga yang tidak mengalami pengulangan. Contohnya : hakkiri, shikkari, dan lain-lain. Gitaigo adalah kata – kata yang mengungkapkan aktifitas, keadaan dan sebagainya.

Contoh:


(30)

Ame ga shitoshito furu, yang menyatakan keadaan hujan yang sedang turun.

ぺらぺら (mahir bicara)、べらべら (sangat mahir)

Ciri-ciri dari onomatope Jepang adalah :

1. Makin keras, besar, atau berat, maka konsonannya berubah. ぽたぽた→ぼたぼた

2. Ada pengulangan dan variasi selang-seling.

元気溌剌(はつらつ),とっかえひっかえ

3. Pengambilan dari nama benda, kata kerja.

2.2 Gitaigo Dalam Cerita “Boku No Ojisan”

Gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan” ada 12 macam, yaitu :

1. ぞくぞく(Zokuzoku) yaitu menggigil karena dingin, atau karena

punya harapan/dugaan atau karena senang, gugup, takut, dan lain-lain.

2. ごろごろ (Gorogoro) yaitu (1) suara atau fakta akan adanya

benda, hewan, atau orang yang besar sekali dan (jatuh) berguling-guling. Gorogoro juga dapat menunjukkan banyak benda yang berserakan. (2) bertopang dagu, membuang-buang waktu tanpa melakukan apapun, termasuk untuk melukiskan orang yang bermalas-malasan dengan posisi telentang.


(31)

3. いらいら (Iraira) yaitu menjadi jengkel, terganggu, atau tidak

tenang karena segalanya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Juga dapat menunjukkan raut muka, tindakan, atau cara berbicara seseorang. Kata ini berasal dari kata kuno ira (“duri”). Selama perang Iran-Irak tahun 1980-an, para penulis tajuk rencana secara pandai menyebutnya イライラ戦争 iraira sensô, dengan

menyingkat nama kedua Negara itu untuk mengungkapkan gangguan tentang konflik internasional tersebut.)

4. ぺこぺこ (Pekopeko) yaitu menganggukkan kepala

berulang-ulang dengan cara merendahkan diri, seperti anjing yang mengibas-ngibaskan ekor di depan tuannnya.

5. どんどん (Dondon) yaitu kata ini melukiskan tindakan yang terus

berlanjut dan kuat dari satu langkah ke langkah berikutnya, tanpa ditunda-tunda atau tanpa ragu-ragu.

6. にこにこ (Nikoniko) yaitu tertawa, (tersenyum simpul).

7. べらべら (Berabera) yaitusangat mahir.

8. そわそわ (Sowasowa) yaitu bingung, gugup, tidak dapat tinggal

diam.

9. ぶつぶつ(Butsubutsu) yaitu menggerutu.

10.はっきり(Hakkiri) yaitu terang, jelas, tidak samar-samar, tidak

salah, tidak keliru.

11.しっかり(Shikkari) yaitu (1) memiliki fondasi, struktur,


(32)

diandalkan, kokoh. Sering kali digunakan untuk melukiskan badan, jiwa, kepribadian, inteligensi, ide, dan lain-lain dari seseorang. Dapat juga melukiskan perusahaan, sumber informasi, atau banyak hal lainnya. Shikkari kadang-kadang secara tajam menyindir orang yang licik dan kikir. (3) menunjukkan perbuatan dan tingkah laku; sehat, baik, cukup, kuat, rajin. (4) jumlah yang banyak.

12.もじもじ(Mojimoji) yaitu ragu, termangu-mangu, tertegun-tegun,

gugup bergerak-gerik.

2.3 Konsep Makna

2.3.1 Pengertian Makna

Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.

Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengeni makna bahasa. Karena selain makna bahasa, dalam kehidupan kita banyak


(33)

makna-makna yang tidak berkaitan dengan bahasa., melainkan dengan tanda-tanda dan lambing-lambang lain, seperti tanda-tanda lalu lintas , tanda-tanda kejadian alam, lambing-lambang Negara, simbol-simbol budaya, simbol-simbol keagamaan dan lambang atau simbol lainnya.

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi : 1. Maksud pembicara;

2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;

3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa

atau antara

ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan

4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana,

2001: 132).

Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.

Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap


(34)

pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.

2.3.2 Aspek-aspek Makna

Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal, yaitu :

1. Pengertian (sense)

Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Mansoer Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.

2. Nilai rasa (feeling)

Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.


(35)

Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara ( dalam Mansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.

4. Maksud (intention)

Aspek maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95) merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.

Aspek-aspek makna tersebut tentunya mempunyai pengaruh terhadap jenis-jenis makna yang ada dalam semantik. Di bawah ini akan dijelaskan seperti apa keterkaitan aspek-aspek makna dalam semantik dengan jenis-jenis makna dalam semantik.

Agar dapat mengerti makna yang terkandung dalam suatu cerita yang ditulis dalam bahasa yang berbeda dengan bahasa sendiri, tentulah harus menerjemahkan bahasa tersebut terlebih dahulu. Menurut Simatupang (1999 : 2), menerjemahkan adalah mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan bentuk – bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran.


(36)

2.3.3 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat). Contoh: rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal manusia

Makna leksikal kata-kata tersebut dimuat dalam kamus. Makna gramatikal (struktur) ialah makna baru yang timbul akibat terjadinya proses gramatikal (pengimbuhan, pengulangan, pemajemukan). Contoh : berumah : mempunyai rumah.

2.3.4 Defenisi Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang.yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata dari sema itu adalah tanda linguistik. Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994 : 29) seorang bapak linguistik modern menyebutkan bahwa setiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur, yiatu : (1) yang diartikan (Perancis : signifie’, Inggris : signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis : signifiant, Inggris : signifier). Yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna suatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant, signifier) itu adalah tidak lain daripada bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa


(37)

yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna.

Kata semantik itu kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik ysng mempelajari hubungan tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang menandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti.

Semantik memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Karena bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah tak lain untuk menyampaikan suatu makna (Sutedi : 2003 : 103). Misalnya seseorang menyampaikan ide dan fikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicara bisa memahami apa yang disampaikan. Hal ini disebabkan karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan dengan baik.

Adapun makna yang akan dibahas dalam semantik adalah makna kata-kata yang berhubungan dengan benda kongkret, seperti batu, hujan, rumah, mobil, dan sebagainya. Selain itu semantik juga membahas tentang makna kata-kata seperti dalam bahasa Indonesia yaitu, dan, pada, ke, dan dalam bahasa Inggris seperti to, at of, yamh maknanya tidak jelas kalau tidak dirangkaikan dengan kata-kata lain.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semantik tidak hanya membahas kata-kata yang bermakna leksikal saja, tetapi juga membahas makna kata-kata yang tidak bermakna bila tidak dirangkaikan dengan kata


(38)

lain seperti partikel atau kata bantu, yang hanya memiliki makna gramatikal saja.

BAB III

ANALISIS MAKNA GITAIGO DALAM CERITA “BOKU NO OJISAN”

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa gitaigo banyak digunakan dalan karya sastra seperti komik, novel, dan lain-lain. Maka penulis akan membahas tentang gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan”.

Setelah penulis menguraikan referensi yang ada pada bab II, maka berikut ini penulis akan menganalisa makna gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan”.

1. ぞくぞく(Zokuzoku) yaitu menggigil karena dingin, atau karena

punya harapan/dugaan atau karena senang, gugup, takut, dan lain-lain.

ぼくと妹は、一つのへやに机を並べている。その二人の机の真中へ

んに、ものすごい大ムカデがたくさん足をひろげて、のさばりかえ

っているのだ。二十センチメートルもある大ムカデ、ぼくはいち目


(39)

“Saya dan adik (perempuan) sedang merapikan meja di salah satu ruangan. Di tengah-tengah sekitar dua meja tersebut, ada lipan yang luar biasa besar yang sedang membentangkan kakinya yang banyak, dan dengan sok memberanikan diri. Dua puluh sentimeter dari lipan tersebut, saya melihat dengan satu mata, kulit saya merinding karena takut”.

Gitaigo yang digunakan dalam kalimat di atas adalah ぞくぞく.

Penggunaan kata ぞくぞくdalam kalimat di atas sudah tepat, yaitu

menggigil karena takut, bukan karena kedinginan. Hal itu bisa terjadi karena dia baru pertama kali melihat lipan yang luar biasa besarnya, makanya pada saat pertama kali melihatnya, badannya menggigil karena takut.

2. ごろごろ (Gorogoro) yaitu (1) suara atau fakta akan adanya

benda, hewan, atau orang yang besar sekali dan (jatuh) berguling-guling. Gorogoro juga dapat menunjukkan banyak benda yang berserakan. (2) bertopang dagu, membuang-buang waktu tanpa melakukan apapun, termasuk untuk melukiskan orang yang bermalas-malasan dengan posisi telentang.

とにかくおじさんは週に八時間だけ働いている.そのため,暇はたく さんあるけれど月給はとても安いのだそうだ.それではラーメンだ け食べていても,月給では食べられないのだそうだ.それなら,もっと はたらけばいいと思うのだが,おじさんはそれをしない.アパートも


(40)

借りられないから,ぼくの家に居すわっている.つまり,居候なのだ. そして,学校へ行かないときは,いつも自分のへやでゴロゴロ

“Bagaimanapun juga, Paman hanya bekerja 8 jam dalam seminggu. Untuk itu, meskipun waktu senggangnya banyak, gajinya pun sangat rendah, Meskipun hanya makan mie, sepertinya tidak bisa juga makan dengan gaji tesebut. Oleh karena itu, saya pikir sebaiknya paman bekerja lebih lagi, tetapi Paman tidak melakukannya. Karena tidak dapat menyewa apartemen, Ia tinggal di rumah saya. Singkatnya Ia seperti parasit. Kemudian, jika Ia tidak pergi ke sekolah, selalu tidur malas-malasan di kamar nya. Benar-benar Paman yang parah”.

ねそべ

っている. こまったおじさんなのだ.

Dari paragraf di atas, dapat dilihat bahwa gitaigo yang digunakan adalah ゴロゴロ. Sesuai dengan teori diatas, pemakaian ゴロゴロ sudah

tepat. Pengertian ゴロゴロ yang cocok untuk paragraf di atas adalah

point yang kedua, karena sesuai dengan situasi dan kondisi di mana Pamannya memang tidak punya pekerjaan, dan kerjanya hanya tidur dan bermalas-malasan.

3. いらいら (Iraira) yaitu menjadi jengkel, terganggu, atau tidak

tenang karena segalanya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Juga dapat menunjukkan raut muka, tindakan, atau cara berbicara seseorang. Kata ini berasal dari kata kuno ira (“duri”). Selama


(41)

perang Iran-Irak tahun 1980-an, para penulis tajuk rencana secara pandai menyebutnya イライラ戦争 iraira sensô, dengan

menyingkat nama kedua Negara itu untuk mengungkapkan gangguan tentang konflik internasional tersebut.)

そのおじさんは、つぎの日曜の午後にあらわれた。ぼくがそっとの

ぞいていると、彼女は落着きはらって、ヨーカンを三きれ食べた。

見合をするおじょうさんなんてものは、ふつう下をうつむいて、も

じもじして、だまりこくっているはずだのに、このおじょうさんは

ヨーカンを三きれ食べたばかりでなく、いっしょにきたおばさんと

、大口あいてわらっている。いっぽう、ぼくのおじさんのほうが、

下をむいて、もじもじして、なんにもしゃべらない。のぞいている

ぼくのほうが、イライラ

“Paman pun datang minggu sore berikutnya. Saya (dengan) pelan-pelan mengintip, wanita (nya) dengan tenang menghalaudengan makan tiga potong youkan. Hal (mengenai) perjodohan Anak gadis biasanya (dengan) menundukkan muka, termangu-mangu, gugup bergerak-gerik, meskipun harus terdiam membisu, Anak wanita ini bukan hanya makan tiga potong youkan, Saya dan bibi yang datang (pun) tertawa bersama dengan mulut yang lebar. Di sisi lain dari Paman saya, dengan menundukkan muka, termangu-mangu, gugup bergerak-gerik dan tidak berbicara apapun. Saya mengintip dengan rasa jengkel”.


(42)

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah イライラ.

Penggunaan gitaigo イライラ dalam kalimat tersebut sudah benar. Karena

dilihat dari situasinya bahwa dia merasa jengkel disebabkan oleh proses perjodohan Pamannya tidak berjalan dengan lancar/tidak sesuai dengan yang ia inginkan.

4. ペコペコ(Pekopeko) yaitu menganggukkan kepala

berulang-ulang dengan cara merendahkan diri, seperti anjing yang mengibas-ngibaskan ekor di depan tuannnya.

それに失礼ながらあなたは、どうもオッチョコチョイのところがあ

りなさるから雪男くんをあずけでおくもの、どうも心配ですのじゃ

。おじさんはすっかり恐縮してもっとペコペコ

“Selain itu (karena) Anda tidak sopan, akan hal menitipkan Yuki Okun karena melakukan hal yang sangat konyol maaf menjadi khawatir. Paman benar-benar bersyukur, dan lebih mengangguk-anggukan kepala dan menundukkannya. Memang seperti itu. Sebagai pengawas, harga diri Paman rusak sama sekali. Tetapi, ini juga yang dikatakan karat yang datang dari diri sendiri”.

とあたまを下げた。

それはそうだろう。カントク者としての、おじさんの面目丸つぶれ

た。しかし、これも身から出たサビというものだ。

Gitaigo yang terdapat dalam kalimat di atas adalah ペコペコ.


(43)

dalam keadaan menganggukkan/menundukkan kepala sebagai tanda merendahkan diri karena merasa bersalah atas perbuatan yang telah dilakukan.

Selama ini mungkin banyak yang berpikiran bahwa ペコペコ

hanya digunakan untuk suara perut yang kelaparan. Ternyata ペコペコ

bukan hanya digunakan sebagai giseigo, tetapi bisa juga digunakan sebagai gitaigo sesuai dengan situasi dan keadaannya.

Sebagai tanda hormat, gerakan mengangguk (お辞儀 ojigi) sudah

mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang. Orang membungkuk untuk menyambut orang lain, untuk mengucapkan selamat berpisah, untuk menunjukkan rasa hormat, untuk memohon dan untuk meminta maaf. Karena begitu banyak pemakaiannya, maka wajarlah kalau banyak pula jenis membungkuk ini.

Pada dasarnya ada tiga kategori, tergantung pada sudut membungkuknya yaitu : 会釈 eshaku, membungkuk sedikit,

menganggukkan kepala; 敬礼 keirei, membungkuk penuh, membungkuk

penuh hormat; dan 最敬礼saikeirei, membungkuk sangat rendah,

membungkuk untuk menyembah. Makin dalam membungkuknya, makin besar rasa hormatnya.

5. どんどん (Dondon) yaitu kata ini melukiskan tindakan yang terus

berlanjut dan kuat dari satu langkah ke langkah berikutnya, tanpa ditunda-tunda atau tanpa ragu-ragu.


(44)

うすぐらかった空がどんどん

“Awan yang tebal dan hitam perlahan-lahan menjadi terang dengan indahnya. Cahaya dari kumpulan warna awan menjadi kabur. Kemudian waktu terus berjalan, hanya awan putih dan langit yang pucat terbayang di mata ku”.

明るくなってゆく。雲のバラ色の光が

うすれた。そして時がたつと、まつさおな空と白い雲だけがぼくの

目にうつるようになった。

Gitaigo yang digunakan dalam paragaraf di atas adalah どんどん.

Penggunaan gitaigo dalam paragraf di atas sudah benar. Karena sesuai dengan teori bahwa どんどん merupakan suatu keadaan/tindakan yang

berkelanjutan. Seperti dalam kalimat tersebut, bahwa awan perlahan-lahan menjadi terang, dari yang gelap menjadi terang (merupakan keadaan yang berlangsung secara berkelanjutan).

6. ニコニコ(Nikoniko) yaitu tertawa, (tersenyum simpul).

まさか人の家に客にきて、出されたものをまずいといえないだろう

。そうですか。と、おじさんはニコニコ

“Masa, apabila datang tamu ke rumah seseorang, hal yang ingin diungkapkan dikeluarkan adalah tidak akan (dapat) mengatakan hal-hal yang buruk. Begitukah? Dan, paman tersenyum simpul.

する。なんでしたら、おた


(45)

(kalau demikian) Bagaimana dengan Tamu yang jika mengambil empat boshi coca cola”.

Gitaigo yang digunakan dalam paragraf di atas adalah ニコニコ.

Penggunaan gitaigo ニコニコdalam kalimat di atas sudah benar. Karena

menurut teori, ニコニコ adalah tersenyum simpul. ニコニコ dalam

kalimat tersebut sangat cocok, karena dapat dilihat dari keadaan dan situasinya, bahwa pamannya tersenyum simpul karena tidak dapat menjawab pertanyaan temannya yang merasa heran apabila bertamu ke rumah orang Jepang tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan. Seperti misalnya : makanannya tidak enak, maka tamu tidak boleh mengungkapkan/menyatakan apa yang dirasakannya. Hal itu dilarang, karena itu adalah budaya orang Jepang, yaitu menghargai apapun yang diberikan oleh orang lain.

7. ベラベラ(Berabera) yaitu sangat mahir.

なるほど。大学の学生ですか。それなら語学も達者でしょう。ざっ

と十三か国語ほどを勉強しました。と、おじさんはうそ八百をいっ

た。ベラベラ

“Benar juga. Apakah Anda seorang mahasiswa? (kalau demikian) Anda pasti mahir dalam pelajaran bahasa. Kira-kira 23 bahasa (asing) yang sudah dipelajari. Dan paman berbohong, katanya 800

しゃべれるのは四か国語ほどですが、もちろん日本語


(46)

bahasa. Kemahiranya berbicara sseolah bisa empat bahasa (asing), tetapi tentu saja mengesampingkan bahasa Jepang”.

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah べらべら.

Penggunaan gitaigo dalam paragraf di atas sudah benar sesuai dengan teori. Bahwa べらべら adalah sangat mahir dalam berbicara. Hal ini

ditunjukkan dengan ia sangat mahir berbicara dalam empat bahasa.

8. ソワソワ(Sowasowa) yaitu bingung, gugup, tidak dapat tinggal

diam.

動作とアナウンスルで、ぼくにもだいたいのことはのみこめる。す

ると、こんどは身をのりだしてそれをながめていたおじさんが、き

ゅうにソワソワしはじめた。

“Saat penyiaran dan peragaan, saya pun (kurang lebih) memahaminya. Lalu, selanjutnya paman (yang) menjulurkan badanya dan memendang tetapi tiba-tiba Ia mulai gugup”.

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah ソワソワ.

Penggunaan gitaigoソワソワ dalam paragraf di atas sudah benar sesuai

dengan teori. Bahwa arti dari ソワソワyang cocok dalam kalimat di atas

adalah gugup. Karena dilihat dari keadaan dan situasinya bahwa pamannya merasa gugup untuk memulai acara penyiaran apabila ia menggantikan orang lain yang sedang berhalangan.


(47)

9. ブツブツ(Butsubutsu) yaitu menggerutu.

おじさんはベルトをしめるのもわすれ、なおブツブツ

“Paman(pun) lupa memasang seat belt (sabuk pengaman), dan ia masih mengerutu dan bergumam. Lalu pramugari datang, mengingatkan paman”.

とつぶやいて

いる。すると、ホステスがやってきて、おじさんに注意をした。

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah ブツブツ.

Penggunaan gitaigo ブツブツ dalam paragraf di atas sudah benar sesuai

dengan teori, bahwa ブツブツ adalah menggerutu. Hal itu dapat dilihat

dari situasi dan keadaan di mana pamannya menggerutu karena ia lupa memasang pengaman (ikat pinggang).

10.はっきり(Hakkiri) yaitu terang, jelas, tidak samar-samar, tidak

salah, tidak keliru.

それからぼくのおじさんは、ふらりと外出することもある。おじさ

んは、ごくのろのろと歩く、どこへ行こうか、目的がはっきり

“Kemudian paman pun pergi tanpa memberitahu terlebih dahulu karena Paman berjalan dengan sangat pelan. Paman pergi ke manakah? Karena tujuannya tidak jelas”.

して


(48)

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah はっきり.

Penggunaan gitaigo dalam paragraf di atas sudah benar sesuai dengan teori, bahwa はっきり adalah jelas/tidak keliru. Dalam kalimat tersebut

はっきりyang digunakan adalah dalam bentuk negatif. Hal ini dapat

dilihat dari keadaan/situasi bahwa pamannya berjalan dengan sangat pelan. Karena pamannya tidak punya tujuan yang jelas akan pergi ke mana.

スペイン語もわからないとはな。とおじさんはつぶやき、またおじ

さんのほうに首をむけて何かいおうとしたとき、おじいさんはきゅ

うにからだを起こすと、おじさんにむかって、たどたどしい、しか

しはっきり

“Bahasa spanyol pun tidak mengerti. Dan paman bergumam, kemudian paman mengarahkan bahunya pada saat akan ingin mengatakan sesuatu, badan paman tiba-tiba terbangun dan paman menghadap, terpatah-patah, tetapi dengan jelas menangkap berkata dengan bahasa Jepang”.

とききとれる日本語でこういった。

Gitaigo yang digunakan dalam paragraph di atas adalah

はっきりpenggunaan はっきりdalam kalimat tersebut sudah benar.

Karena menurut teori はっきりadalah jelas. Hal ini dapat dilihat dari

keadaan di mana paman tidak bisa berbahasa Spanyol, dan akhirnya paman mau tidak mau berbicara menggunakan bahasa Jepang.

11.しっかり(Shikkari) yaitu (1) memiliki fondasi, struktur,


(49)

diandalkan, kokoh. Sering kali digunakan untuk melukiskan badan, jiwa, kepribadian, inteligensi, ide, dan lain-lain dari seseorang. Dapat juga melukiskan perusahaan, sumber informasi, atau banyak hal lainnya. Shikkari kadang-kadang secara tajam menyindir orang yang licik dan kikir. (3) menunjukkan perbuatan dan tingkah laku; sehat, baik, cukup, kuat, rajin. (4) jumlah yang banyak.

それだからぼくは、外国へ行くまえに、まず学校の勉強をしっかり

“Oleh karena itu sebelum saya pergi keluar negeri, pertama-tama yang terpikir bahwa saya harus bersungguh-sungguh belajar (di sekolah) Bukan hanya bahasa Inggris, sebagai seorang manusia, bila tidak memiliki ketidakseimbangan pengetahuan dan pertimbangan, maka perjalanan ke luar negeri sekalipun tidak akan ada artinya, bukan?, itulah yang Saya simpulkan menyimpulkan demikian.

やろうと思う。英語ばかりでなく、ひとりの人間としての、片よら

ぬ知識と判断をもたなければ、外国旅行をしても意味はないだろう

、とぼくは結んだ。

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah しっかり.

Penggunaan gitaigo しっかり dalam paragraf di atas sudah benar sesuai

dengan teori, bahwa しっかりadalah menunjukkan perbuatan dan tingkah

laku; sehat, baik, cukup, kuat, rajin. Arti しっかりyang cocok untuk


(50)

dalam kalimat tersebut bahwa ia sedang berusaha belajar dengan rajin dan semangat supaya dapat melakukan perjalanan ke luar negeri. Dan keadaannya tersebut menunjukkan bahwa dia melakukan perbuatan dan tingkah laku yang baik/positif.

12.もじもじ(Mojimoji) yaitu ragu, termangu-mangu,

teretegun-tegun.

そのおじさんは、つぎの日曜の午後にあらわれた。ぼくがそっとの

ぞいていると、彼女は落着きはらって、ヨーカンを三きれ食べた。

見合をするおじょうさんなんてものは、ふつう下をうつむいて、も

じもじ

“Paman pun datang minggu sore berikutnya. Saya (dengan) pelan-pelan mengintip, wanita(nya) dengan tenang menghalau dengan makan tiga potong youkan. Hal mengenai perjodohan Anak gadis biasanya dengan menundukkan muka, termangu-mangu, gugup bergerak-gerik, meskipun harus terdiam membisu, Anak wanita ini bukan hanya makan tiga potong youkan, Saya dan bibi yang datang (pun) tertawa bersama dengan mulut yang lebar. Di sisi lain dari Paman saya, dengan menundukkan muka, termangu-mangu, gugup

して、だまりこくっているはずだのに、このおじょうさんは

ヨーカンを三きれ食べたばかりでなく、いっしょにきたおばさんと

、大口あいてわらっている。いっぽう、ぼくのおじさんのほうが、

下をむいて、もじもじして、なんにもしゃべらない。のぞいている


(51)

bergerak-gerik dan tidak berbicara apapun. Saya mengintip dengan rasa jengkel”.

Gitaigo yang terdapat dalam paragraf di atas adalah もじもじ.

Penggunaan gitaigo もじもじ dalam kalimat tersebut sudah benar. Karena

dilihat dari situasinya bahwa dalam proses perjodohan, sikap pamannya tertegun, gugup dan termangu-mangu karena tidak tahu mau berkata apa akibat terlalu tegang dan gugup dalam proses perjodohan.


(52)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat penulis tarik dari proses Analisis Gitaigo Dalam Cerita “Boku No Ojisan” adalah sebagai berikut :

1. Onomatope adalah kosa kata yang berasal dari peniruan bunyi, suara, keadaan dan tindakan. Secara garis besar dapat dibagi menjadi giongo, gitaigo, dan giseigo. Secara lebih spesifikasi, onomatope terdiri dari : giongo, gitaigo, giyogo, gijogo, dan giseigo.

2. Onomatope adalah 擬音語 gion-go yang secara harfiah berarti

“sebuah kata yang meniru bunyi,” dan mimesis adalah 擬態語

gitai-go, yang secara harfiah berarti “sebuah kata yang meniru tindakan atau keadaan.” Gitaigo dan giongo digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu bunyi, suara, keadaan dan tindakan sejelas-jelasnya. 3. Di dalam satu kosa kata giongo, gitaigo, dan giseigo terkadang

memiliki makna yang bermacam-macam, sehingga padanan katanya dalam bahasa Indonesia tidak tertutup kemungkinan bisa mempunyai padanan yang lebih dari satu.

4. Gitaigo yang terdapat dalam cerita “Boku No Ojisan” ada 12 macam. Yaitu


(53)

コ、ベラベラ、ソワソワ、ブツブツ、はっきり、しっかり、も

じもじ。

5. ぞくぞくada 1 kalimat, ごろごろ ada 6 kalimat, イライラ ada 1

kalimat, ペコペコ ada 1 kalimat、どんどん ada 3

kalimat、ニコニコ ada 1 kalimat、ベラベラ ada 1

kalimat、ソワソワ ada 1 kalimat、ブツブツ ada 6

kalimat、はっきりada 2 kalimat、しっかりada 2 kalimat. もじもじ

ada 1 kalimat.

6. Gitaigo tidak selamanya mengalami pengulangan seperti :

イライラ、ごろごろ. Tetapi ada juga yang tidak menngalami

pengulangan seperti :

ぽうっと、うっとり、せっせと、ぐったりdan lain-lain. Ada juga

gitaigo yang fonemnya berubah, seperti : ちやほや、

やきもき、じたばた dan lain-lain.

7. Biasanya giseigo ditulis dengan katakana, sedangkan gitaigo ditulis dengan hiragana. Tetapi sering sulit membedakan antara giseigo dan gitaigo. Oleh karena itu ada juga yang menggabungkan keduanya dan menyebutnya sebagai onomatope.

8. Selama ini mungkin banyak yang berpikiran bahwa ペコペコ hanya

digunakan untuk suara perut yang kelaparan. Ternyata ペコペコ

bukan hanya digunakan sebagai giseigo, tetapi bisa juga digunakan sebagai gitaigo sesuai dengan situasi dan keadaannya.


(54)

9. Orang Jepang di dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam penulisan karya sastra selalu menggunakan giongo dan gitaigo, ini bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

4.2 Saran

Penulismencoba untuk memberikan beberapa kata-kata saran bagi pembaca atau bagi orang yang ingin menerjemahkan suatu kalimat yang mengandung giongo, gitaigo, dan giseigo sebagai berikut :

1. Karena giongo, gitaigo dan giseigo banyak sekali jumlahnya, lalu secara konteks hubungan antara kata memiliki arti yang berbeda-beda, pada waktu mengelompokkan giongo, gitaigo, dan giseigo harus benar-benar hati-hati.

2. Ketika mengartikan makna gitaigo, seorang peneliti harus memiliki ilmu yang dalam tentang gitaigo, agar makna yang ingin disampaikan dapat dimengerti.

3. Karena penelitian ini hanya membahas tentang gitaigo, maka rasanya perlu untuk melakukan penelitian lanjutan yaitu mengenai giongo, dan giseigo.

4. Berhubung karena gitaigo ini bahasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari agar bahasa Jepang yang kita


(55)

gunakan tidak terlalu kaku, alangkah baiknya jika gitaigo lebih mendapat perhatian dalam perkuliahan.

ABSTRAK

Bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa memiliki keragaman tata bahasa. Misalnya, bahasa Jepang, yang juga mempunyai keragaman tata bahasa sendiri. Oleh karena itu, untuk mempermudah pemahaman tentang bahasa Jepang, yang merupakan bahasa asing, maka perlu untuk mengetahui tentang linguistik bahasa Jepang. Linguistik bahasa Jepang disebut dengan 日本語学‘Nihon go-gaku’, artinya ilmu bahasa Jepang.

Bahasa Jepang ataupun bahasa lainnya memiliki jenis-jenis kata. Salah satunya adalah kata keterangan (adverbia) yang dalam bahasa Jepang disebut Fukushi. Fukushi adalah kata yang dipakai untuk menerangkan (yougen = verba, adjektiva I dan adjektiva II), (Bunkacho dalam Sudjianto, 1996 : 72).

Fukushi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah Onomatope (giseigo, / giongo dan gitaigo). Diantara adverbia yang ada dalam Fukushi, terdapat adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara dan terdapat juga adverbia yang menyatakan suatu keadaan. Adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara disebut giseigo, sedangkan adverbia yang menyatakan suatu keadaan disebut gitaigo. Kedua istilah (giseigo dan gitaigo) ini biasa disebut onomatope.


(56)

Kosa kata onomatope ini banyak ditemukan dan digunakan dalam bahasa percakapan anak-anak maupun dalam bahasa percakapan orang dewasa. Kosa kata ini banyak juga ditemukan pada saat membaca komik, majalah, surat kabar dan karya-karya sastra. Selain itu contohnya banyak terdapat pada buku cerita “Boku No Ojisan”, diantaranya adalah

ぞくぞく、ごろごろ、イライラ、ペコペコ、どんどん、ニコニコ、

ベラベラ、ソワソワ、ブツブツ、はっきり、しっかり、もじもじ. ぞくぞくadalah menggigil karena kedinginan, takut, gugup. ごろごろadalah mengambarkan orang yang bermalas-malasan. イライラadalah menjadi jengkel, tidak tenang karena segala sesuatu tidak

berjalan dengan baik. ペコペコadalah menganggukkan kepala sebagai

tanda merendahkan diri. どんどんadalah suatu perbuatan yang

berlangsung dari satu langkah ke langkah berikutnya. ニコニコ adalah

tersenyum simpul. ベラベラadalah sangat mahir berbicara.

ソワソワadalah gugup, tidak dapat tinggal diam. ブツブツadalah

menggerutu. はっきりadalah sehat, baik, menunjukkan sikap yang baik

dan rajin.しっかりadalah menunjukkan terang, jelas. もじもじ adalah

gugup, termangu-mangu.

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, ternyata antara giongo/giseigo dan gitaigo ada memiliki kesamaan kosakata. Contohnya

ペコペコ. Pekopeko termasuk gitaigo dan giseigo. Cara untuk


(57)

yang ada. Apabila telah diketahui situasi atau keadaannya, maka dengan mudah dapat kita kelompokkan apakah sebagai gitaigo atau giseigo.

Orang Jepang biasa menggunakan onomatope dalam kehidupan sehari-hari bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, 1993. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa. Asano, Tsuruko, 1990. Giongo, Gitaigo Jiten.

Chaer, Abdul, 2007. Kajian Bahasa, Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fukuda, Hiroko, 1995. Menjentik, Merayap dan Mendobrak, Jakarta : Oriental. Iwabuchi, Tadasu, 1989. Nihon Bunpoo Yoogo Jiten, Tokyo : Sanseido. Keraf, Gorys, 1980. Linguistik Bandingan Historis, Jakarta : Gramedia. Kozumi Tamotsu, 1993. Gengogakunyumon, Tokyo : Daishukan Shoten. Kridalaksana Harimurti, 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mulih, Mansur, 2008. Tata Bentuk BAhasa Indonesia, Jakarta Timur : Bumi Aksara.

Situmorang, Hamzon, 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang, Medan : USU Press.


(58)

yang ada. Apabila telah diketahui situasi atau keadaannya, maka dengan mudah dapat kita kelompokkan apakah sebagai gitaigo atau giseigo.

Orang Jepang biasa menggunakan onomatope dalam kehidupan sehari-hari bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, 1993. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa. Asano, Tsuruko, 1990. Giongo, Gitaigo Jiten.

Chaer, Abdul, 2007. Kajian Bahasa, Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fukuda, Hiroko, 1995. Menjentik, Merayap dan Mendobrak, Jakarta : Oriental. Iwabuchi, Tadasu, 1989. Nihon Bunpoo Yoogo Jiten, Tokyo : Sanseido. Keraf, Gorys, 1980. Linguistik Bandingan Historis, Jakarta : Gramedia. Kozumi Tamotsu, 1993. Gengogakunyumon, Tokyo : Daishukan Shoten. Kridalaksana Harimurti, 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mulih, Mansur, 2008. Tata Bentuk BAhasa Indonesia, Jakarta Timur : Bumi Aksara.

Situmorang, Hamzon, 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang, Medan : USU Press.


(59)

Sudjianto, 2004. Pengantar Linguistk Bahasa Jepang, Bekasi Timur : Kesaint Blanc.

Sutedi, Dedi, 2003. Dasar-dasar Liguistik Bahasa Jepang, Bandung : Humaniora.

Tadao, Umesao, Nihongo Daijiten http://www.google.com/gitaigo. http://www.google.com/makna.


(1)

9. Orang Jepang di dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam penulisan karya sastra selalu menggunakan giongo dan gitaigo, ini bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

4.2 Saran

Penulismencoba untuk memberikan beberapa kata-kata saran bagi pembaca atau bagi orang yang ingin menerjemahkan suatu kalimat yang mengandung giongo, gitaigo, dan giseigo sebagai berikut :

1. Karena giongo, gitaigo dan giseigo banyak sekali jumlahnya, lalu secara konteks hubungan antara kata memiliki arti yang berbeda-beda, pada waktu mengelompokkan giongo, gitaigo, dan giseigo harus benar-benar hati-hati.

2. Ketika mengartikan makna gitaigo, seorang peneliti harus memiliki ilmu yang dalam tentang gitaigo, agar makna yang ingin disampaikan dapat dimengerti.

3. Karena penelitian ini hanya membahas tentang gitaigo, maka rasanya perlu untuk melakukan penelitian lanjutan yaitu mengenai giongo, dan giseigo.


(2)

gunakan tidak terlalu kaku, alangkah baiknya jika gitaigo lebih mendapat perhatian dalam perkuliahan.

ABSTRAK

Bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa memiliki keragaman tata bahasa. Misalnya, bahasa Jepang, yang juga mempunyai keragaman tata bahasa sendiri. Oleh karena itu, untuk mempermudah pemahaman tentang bahasa Jepang, yang merupakan bahasa asing, maka perlu untuk mengetahui tentang linguistik bahasa Jepang. Linguistik bahasa Jepang disebut dengan 日本語学‘Nihon go-gaku’, artinya ilmu bahasa Jepang.

Bahasa Jepang ataupun bahasa lainnya memiliki jenis-jenis kata. Salah satunya adalah kata keterangan (adverbia) yang dalam bahasa Jepang disebut Fukushi. Fukushi adalah kata yang dipakai untuk menerangkan (yougen = verba, adjektiva I dan adjektiva II), (Bunkacho dalam Sudjianto, 1996 : 72).

Fukushi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah Onomatope (giseigo, / giongo dan gitaigo). Diantara adverbia yang ada dalam Fukushi, terdapat adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara dan terdapat juga adverbia yang menyatakan suatu keadaan. Adverbia yang menggambarkan bunyi atau suara disebut giseigo, sedangkan adverbia yang menyatakan suatu keadaan disebut gitaigo. Kedua istilah (giseigo dan gitaigo) ini biasa disebut onomatope.


(3)

Kosa kata onomatope ini banyak ditemukan dan digunakan dalam bahasa percakapan anak-anak maupun dalam bahasa percakapan orang dewasa. Kosa kata ini banyak juga ditemukan pada saat membaca komik, majalah, surat kabar dan karya-karya sastra. Selain itu contohnya banyak terdapat pada buku cerita “Boku No Ojisan”, diantaranya adalah ぞくぞく、ごろごろ、イライラ、ペコペコ、どんどん、ニコニコ、

ベラベラ、ソワソワ、ブツブツ、はっきり、しっかり、もじもじ.

ぞくぞくadalah menggigil karena kedinginan, takut, gugup. ごろごろadalah mengambarkan orang yang bermalas-malasan. イライラadalah menjadi jengkel, tidak tenang karena segala sesuatu tidak berjalan dengan baik. ペコペコadalah menganggukkan kepala sebagai tanda merendahkan diri. どんどんadalah suatu perbuatan yang berlangsung dari satu langkah ke langkah berikutnya. ニコニコ adalah tersenyum simpul. ベラベラadalah sangat mahir berbicara. ソワソワadalah gugup, tidak dapat tinggal diam. ブツブツadalah menggerutu. はっきりadalah sehat, baik, menunjukkan sikap yang baik dan rajin.しっかりadalah menunjukkan terang, jelas. もじもじ adalah gugup, termangu-mangu.

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, ternyata antara giongo/giseigo dan gitaigo ada memiliki kesamaan kosakata. Contohnya ペコペコ. Pekopeko termasuk gitaigo dan giseigo. Cara untuk mmbedakannya adalah dengan terlebih dahulu melihat situasi dari kalimat


(4)

yang ada. Apabila telah diketahui situasi atau keadaannya, maka dengan mudah dapat kita kelompokkan apakah sebagai gitaigo atau giseigo.

Orang Jepang biasa menggunakan onomatope dalam kehidupan sehari-hari bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, 1993. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa. Asano, Tsuruko, 1990. Giongo, Gitaigo Jiten.

Chaer, Abdul, 2007. Kajian Bahasa, Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fukuda, Hiroko, 1995. Menjentik, Merayap dan Mendobrak, Jakarta : Oriental. Iwabuchi, Tadasu, 1989. Nihon Bunpoo Yoogo Jiten, Tokyo : Sanseido. Keraf, Gorys, 1980. Linguistik Bandingan Historis, Jakarta : Gramedia. Kozumi Tamotsu, 1993. Gengogakunyumon, Tokyo : Daishukan Shoten. Kridalaksana Harimurti, 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mulih, Mansur, 2008. Tata Bentuk BAhasa Indonesia, Jakarta Timur : Bumi Aksara.

Situmorang, Hamzon, 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang, Medan : USU Press.


(5)

yang ada. Apabila telah diketahui situasi atau keadaannya, maka dengan mudah dapat kita kelompokkan apakah sebagai gitaigo atau giseigo.

Orang Jepang biasa menggunakan onomatope dalam kehidupan sehari-hari bertujuan untuk dapat memberikan keadaan yang lebih jelas sehingga lawan bicara maupun pembicara benar-benar dapat membayangkan keadaan topik pembicaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, 1993. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa. Asano, Tsuruko, 1990. Giongo, Gitaigo Jiten.

Chaer, Abdul, 2007. Kajian Bahasa, Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fukuda, Hiroko, 1995. Menjentik, Merayap dan Mendobrak, Jakarta : Oriental. Iwabuchi, Tadasu, 1989. Nihon Bunpoo Yoogo Jiten, Tokyo : Sanseido. Keraf, Gorys, 1980. Linguistik Bandingan Historis, Jakarta : Gramedia. Kozumi Tamotsu, 1993. Gengogakunyumon, Tokyo : Daishukan Shoten. Kridalaksana Harimurti, 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mulih, Mansur, 2008. Tata Bentuk BAhasa Indonesia, Jakarta Timur : Bumi Aksara.

Situmorang, Hamzon, 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang, Medan : USU Press.


(6)

Sudjianto, 2004. Pengantar Linguistk Bahasa Jepang, Bekasi Timur : Kesaint Blanc.

Sutedi, Dedi, 2003. Dasar-dasar Liguistik Bahasa Jepang, Bandung : Humaniora.

Tadao, Umesao, Nihongo Daijiten http://www.google.com/gitaigo. http://www.google.com/makna.