Hubungan Jumlah Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Januari sampai Desember 2012

(1)

HUBUNGAN JUMLAH CLUSTER OF DIFFERENTIATION 4 (CD4) DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA PASIEN HIV/AIDS DI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN JANUARI SAMPAI DESEMBER 2012

Oleh:

MARINI YUSUFINA LUBIS

100100031

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

HUBUNGAN JUMLAH CLUSTER OF DIFFERENTIATION 4 (CD4) DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA PASIEN HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

JANUARI SAMPAI DESEMBER 2012

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

MARINI YUSUFINA LUBIS

100100031

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

(4)

Hubungan Jumlah Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Januari sampai Desember 2012

Nama : Marini Yusufina Lubis NIM : 100100031

Pembimbing

dr. Rita Evalina, SpA (K) (140360090)

Penguji I

DR. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes (NIP.19690609 199903 2 001)

Penguji II

dr. Flora Marlita Lubis, SpKK (NIP.19770323 200912 2 002)

Medan, 11 Januari 2014 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara


(5)

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah CD4 sehingga meningkatkan progresifitas penyakit dan menyebabkan tingginya risiko terkena infeksi oportunistik (IO). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS.

Penelitian ini bersifat analitik menggunakan desain cross sectional, dengan mengambil data rekam medik. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012. Data hasil penelitian diolah dengan uji hipotesis Chi Square.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dari 209 pasien, terdapat 191 orang memiliki infeksi oportunistik. Heteroseksual merupakan kemungkinan risiko penularan yang paling tinggi (83,3%). Demam merupakan gejala klinis yang paling dominan (29,7%). Oral kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai (53,6%). Hubungan signifikansi terlihat pada rendahnya jumlah CD4 (<200 sel/mm3) dan didapati nilai p sebesar 0,001 (CI 95%) yang menunjukkan bahwa ada hubungan jika p< 0,005.

Dari hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik.


(6)

The Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is commonly destroy and depress the body immune system. With the progression of the disease there is a fall in CD4 count, which increases the risk of opportunistic infections (OIs). This research, demonstrates the relationship between CD4 count and occurance of opportunistic infection in HIV/AIDS infected patients.

This research was made on an analytic design with cross sectional approach, using medical record files as samples. The population in this research were all patient HIV/AIDS positive aged more than 12 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan between Januari to December 2012. Research data was analyzed with Chi Square hypothesis test.

Of the 209 patients, according to hypothesis test analysis were found that 192 patients with opportunistic infections. The heteroxesual was the higgest probable risk transmission (83,3%). Fever is the predominat clinical manifestation (29,7%). Oral candidiasis was found to be the predominant OIs (53,6%). Significant relationship could be established between low CD4 count (<200 cell/mm3) and the p 0,001 (CI 95%), which the result had significant meaning if the p < 0.005.

There is a relation between CD4 count with opportunistic infection.


(7)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk ilmu yang dikaruniakan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Hubungan Jumlah Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Januari sampai Desember 2012” dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Besar harapan Penulis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, dan menjadi masukan yang berarti khususnya dalam upaya diagnosis dan menilai progresifitas dari HIV/AIDS.

Dalam penelitian dan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. dr. Rita Evalina Rusli, SpA(K), selaku Dosen Pembimbing dalam tugas Karya Tulis Ilmiah ini, atas segala kesabaran dalam proses bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.

2. dr. Flora Marlita Lubis, SpKK dan DR. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku Dosen penguji Karya Tulis Ilmiah ini, atas kritik dan saran yang membangun.

3. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah menyetujui pelaksanaan penelitian ini.

4. Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan di bagian Klinik Pusyansus VCT (Pusat Pelayanan Khusus Voluntary Counseling Test) Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, atas izin penelitian yang diberikan.

5. Seluruh dosen dan staff pengajar Program Studi Pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Ayahanda dr. Nuchsan Umar Lubis, SpA dan Ibunda dr. Arlina Yunita Marsida, SpM, terima kasih atas segala pengorbanan moril dan materil, segenap cinta, kesabaran yang luar biasa serta doa dan kasih sayang tulus ikhlas yang diberikan, semua ni tidak akan terbalas oleh Penulis sampai kapanpun.


(8)

8. dr. Putri Annisa Melia Sari, atas kritik, saran, motivasi, dan nasihat yang mendewasakan.

9. Sahabatku, Desy Handayani terima kasih atas semua semangat, teguran, doa, tawa, dan senyuman yang telah diberikan selama ini.

10.Rekan-rekan seperjuangan di PHBI FK USU, SCORE PEMA FK USU, dan TBM FK USU PEMA FK USU yang penulis cintai karena Allah.

11.Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.

Seperti kata pepatah tiada gading yang tak retak, Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah ‘azzawajalla. Sebagai manusia Penulis masih memiliki banyk kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif guna proses penyempurnaan dan perbaikan. Semoga penelitian ini pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2013 Penulis


(9)

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1. Bagi Objek Penelitian ... 3

1.4.2. Bagi Tenaga Kesehatan……… 3

1.4.3. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan ... 4

1.4.4. Bagi Peneliti ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. HIV/ AIDS ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Etiologi ... 5

2.1.3. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target ... 6

2.1.4. Transmisi Infeksi HIV ... 8

2.1.5. Patogenesis ... 8

2.1.6. Perkembangan Klinis ... 12

2.1.7. Pemeriksaan ... 14

2.1.8. Klasifikasai Hasil Pemeriksaaan ... 16

2.2. Cluster of Differentiation 4 (CD4) ... 16

2.2.1. Definisi ... 16

2.2.2. Kecenderungan HIV Menyerang Limfosit T CD4 ... 16

2.2.3. Faktor yang dapat Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan CD4 ... 17

2.3. Infeksi Oportunistik ... 17

2.3.1. Definisi ... 17

2.3.2. EFaktor-Faktor Risiko Perkembangan ... 18

2.3.3. Etiologi ... 19


(10)

3.2. Definisi Operasional ... 24

3.3. Hipotesis ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26

4.1. Jenis Penelitian ... 26

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

4.3. Populasi dan Sampel ... 26

4.3.1. Populasi ... 26

4.3.2. Sampel... 26

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

4.4.1. Alur Penelitian ………. 27

4.5. Metode Analisis Data ... 28

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………. 29

5.1. Hasil Penelitian ………..…. 29

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………..… 29

5.1.2. Karakteristik Responden ………..….. 29

5.1.3. Hasil Analisis Data ……….….... 31

5.2. Pembahasan ………...… 36

5.2.1.Hubungan Karakteristik Individu terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan... 37

5.2.1.1.Hubungan Usia terhadap Infeksi Oportunistik ... 37

5.2.1.2.Hubungan Jenis Kelamin terhadap Infeksi Oportunistik ... 38

5.2.1.3.Hubungan Pekerjaan terhadap Infeksi Oportunistik …... 39

5.2.1.4.Hubungan Kemungkinan Risiko Penularan terhadap Infeksi Oportunistik ………... 39

5.2.1.5.Hubungan Stadium terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 ………..……. 40

5.2.1.6.Hubungan Gejala Klinis terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 ………..……….... 40

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 43

6.1. Kesimpulan ………. 43

6.2. Saran ………...… 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(11)

Nomor Judul Halaman

2.1. Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko sampai Desember 2012

8

3.1. Definisi Operasional Penelitian 24

5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosiodemografi Subjek 30

5.2. Distribusi Frekuensi Gejala-Gejala Klinis 31

5.3. Distribusi Frekuensi Infeksi Oportunistik 32

5.4. Distribusi Frekuensi Prevalensi Infeksi Oportunistik 33

5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah CD4 34

5.6. Distribusi Frekuensi Stadium 34


(12)

Nomor Judul Halaman

2.1. Poin Intervensi Potensi pada Siklus Hidup HIV

7

2.2. Patogenesis HIV 9

2.3. Perjalanan Infeksi HIV 12

2.4. Gambaran Waktu Sel CD4 dan Perubahan Perkembangan Virus

14

3.1. Kerangka Konsep Penelitian 24


(13)

Lampiran 1 Lembar Hasil Kegiatan Bimbingan Proposal Penelitian Lampiran 2 Lembar Hasil Kegiatan Bimbingan KTI

Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 4 Rincian Biaya Penelitian Lampiran 5 Jadual Penelitian

Lampiran 6 Ethical Clearance Lampiran 7 Surat Izin Penelitian Lampiran 8 Data Induk


(14)

AIDS :Acquired Immuno Deficiency Syndrome

ARV :Antiretroviral

CCR2b : Chemokine reseptor R2b

CCR3 : Chemokine reseptor R3

CCR5 : Chemokine reseptor R5

CD4 :Cluster of Differentiation 4

CMV :Cytomegalovirus

CXCR4 : Chemokine reseptor R4

DNA :Deoxyribo nucleic acid

EBV :Ebstain Barr Virus

GO :Niseria gonorrhoea

gp120 :Glycoprotein 120

gp41 :Glycoprotein 41

HBV :Hepatitis B Virus

HIV :Human Immunodeficiency Virus

HLA :Human leucocyte antigen


(15)

IDU :Injected Drug User

IL-1β :Interleukin-1β

IL-2 :Interleukin-2

IRT :Ibu Rumah Tangga

IRT :Ibu Rumah Tangga

mRNA :Messenger ribonucleic acid

NF :Nuclear factor

OC :Oral Candidiasis

ODHA :Orang dengan HIV & AIDS

PCP :Pneummocystis Carinii

Pneumonia

PID :Pelvic inflammatory disease

PNS :Pegawai Negeri Sipil

PSK :Pekerja Seks Komersial

PPD :Purified protein derivative

RNA :Ribo nucleic acid

RPR :Rapid plasma reagent

TB :Tuberculosis


(16)

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah CD4 sehingga meningkatkan progresifitas penyakit dan menyebabkan tingginya risiko terkena infeksi oportunistik (IO). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS.

Penelitian ini bersifat analitik menggunakan desain cross sectional, dengan mengambil data rekam medik. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012. Data hasil penelitian diolah dengan uji hipotesis Chi Square.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dari 209 pasien, terdapat 191 orang memiliki infeksi oportunistik. Heteroseksual merupakan kemungkinan risiko penularan yang paling tinggi (83,3%). Demam merupakan gejala klinis yang paling dominan (29,7%). Oral kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai (53,6%). Hubungan signifikansi terlihat pada rendahnya jumlah CD4 (<200 sel/mm3) dan didapati nilai p sebesar 0,001 (CI 95%) yang menunjukkan bahwa ada hubungan jika p< 0,005.

Dari hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik.


(17)

The Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is commonly destroy and depress the body immune system. With the progression of the disease there is a fall in CD4 count, which increases the risk of opportunistic infections (OIs). This research, demonstrates the relationship between CD4 count and occurance of opportunistic infection in HIV/AIDS infected patients.

This research was made on an analytic design with cross sectional approach, using medical record files as samples. The population in this research were all patient HIV/AIDS positive aged more than 12 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan between Januari to December 2012. Research data was analyzed with Chi Square hypothesis test.

Of the 209 patients, according to hypothesis test analysis were found that 192 patients with opportunistic infections. The heteroxesual was the higgest probable risk transmission (83,3%). Fever is the predominat clinical manifestation (29,7%). Oral candidiasis was found to be the predominant OIs (53,6%). Significant relationship could be established between low CD4 count (<200 cell/mm3) and the p 0,001 (CI 95%), which the result had significant meaning if the p < 0.005.

There is a relation between CD4 count with opportunistic infection.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi wabah diseluruh dunia dan masalah kesehatan global dengan angka kejadian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2011 diperkirakan 34 juta penduduk dunia positif terinfeksi HIV, sekitar 1,7 juta meninggal karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan 2,5 juta merupakan kasus baru. Posisi pertama ditempati oleh Sub Sahara Afrika, diikuti oleh Association of South East Asia Nation (ASEAN) pada peringkat kedua, dan Eropa Timur serta Asia Tengah menempati peringkat ketiga (UNAIDS, 2012).

Epidemik AIDS menyebar secara cepat di Asia. Lima negara Asia dengan mayoritas terbanyak kasus infeksi HIV adalah India, Myanmar, Nepal, Thailand, dan Indonesia. Empat dari lima negara tersebut dengan epidemik terbanyak yaitu India, Myanmar, Nepal dan Thailand. Sedangkan Indonesia masih tergolong negara dengan epidemik HIV/AIDS yang terus meningkat (WHO, 2012).

Di Indonesia kasus AIDS pertama kali ditemukan pada seorang turis asing tahun 1987 di Provinsi Bali. Sampai dengan Desember 2012, HIV/AIDS tersebar di 345 dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi dan yang terakhir kali melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat. Di Sumatera Utara sendiri dari tahun 2005 sampai dengan 2012 tercatat sebanyak 6.364 kasus infeksi HIV (Depkes, 2013).

Infeksi HIV menyebabkan penurunan sistem imun progresif akibat jumlah dan fungsi sel CD4 yang berkurang. Infeksi HIV menyebabkan AIDS yaitu suatu sindrom yang ditandai penurunan jumlah sel limfosit T CD4 dan ketidakmampuan mengontrol infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik ini pada dasarnya disebabkan oleh organisme dengan kemampuan virulensi rendah, pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang baik dapat mengatasi infeksi ini secara baik dan sempurna.


(19)

Pada penderita HIV yang memiliki sistem imun buruk dan tidak bekerja secara efektif, risiko dan keparahan infeksi oportunistik akan meningkat, sehingga infeksi oportunistik merupakan penyebab tersering meningkatnya mortalitas dan morbiditas pada pasien-pasien HIV (Sharma, Dhungana, Pokhrel, Rijal, 2010).

Target utama dari HIV adalah populasi sel CD4 yang berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis, sehingga penurunan jumlah dan fungsi sel CD4 menyebabkan gangguan respons imun dominan yang progresif. Pengukuran kadar sel CD4 penderita HIV/AIDS penting dilakukan secara rutin untuk mengetahui waktu pemberian terapi antiretroviral serta pencegahan infeksi oportunistik (Taylor, Fahey, Detels, Giorgi, 1989).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa ada korelasi antara penurunan jumlah CD4 dengan kejadian infeksi oportunistik. Seperti pada tahun 2011 di Brazil tercatat bahwa ditemukan 9 dari 45 penderita HIV mem punyai kavitas di rongga mulut dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 pada daerah dengan prevalensi tinggi infeksi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas (Back-Brito et al, 2011). Di Bangkok juga tercatat selama tahun 2010, sekitar 10 dari 131 sampel darah pasien seropositif Cryptococcosis dengan jumlah CD4 <100 sel/mm3 (Pongasai, Atamasirikul, Sungkanuparph, 2010).

Berbagai infeksi oportunistik yang sering terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah toksoplasmosis, kriptokokal, pneumonia, tuberkulosis paru, infeksi virus sitomegalo, sepsis, pneumoniakistik karinii, diare kronis, kandidiasis oroesofageal dan manifestasi infeksi pada kulit (Nasronudin, 2007).

Kondisi Indonesia yang secara geografis beriklim tropis dengan tingkat kelembaban udara relatif tinggi dan secara sosio-demografis termasuk negara yang sedang berkembang membuat berbagai jenis kuman mudah berkembang biak sehingga penderita HIV/AIDS sering mengalami infeksi oportunistik yang bermacam-macam. Hal ini dikarenakan Orang dengan HIV AIDS (ODHA) cenderung lebih rentan akan infeksi, yang berhubungan dengan rendahnya jumlah


(20)

CD4. Jumlah CD4 dapat menjadi penanda yang baik untuk menilai perkembangan dari HIV dan kemungkinan infeksi oportunistik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang disebutkan diatas maka, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

a. Bagaimanakah hubungan jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan?

b. Bagaimana hubungan jumlah CD4 dengan jenis infeksi oportunistik?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui prevalensi infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Mengetahui karakteristik pasien HIV/AIDS.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.4.1. Bagi Objek Penelitian atau Masyarakat

a. Pengetahuan dan informasi tentang bagaimana hubungan jumlah CD4 dengan kejadian infeksi oportunistik.

b. Pengetahuan dan informasi agar lebih awas akan infeksi HIV dan mencari perawatan medis ketika infeksi oportunitik menjadi indikator utama dari penyakit mereka.


(21)

1.4.2. Bagi Tenaga Kesehatan

a. Meningkatkan penyuluhan pencegahan terhadap infeksi oportunistik dan komplikasi-komplikasinya yang bisa menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan HIV/AIDS.

1.4.3. Bagi RSUP.Haji Adam Malik Medan

a. Menambah informasi tentang pengaruh jumlah CD4 dengan terjadinya infeksi oportunistik pada pasien-pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan.

b. Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.4.4. Bagi Peneliti

a. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara mandiri. b. Memenuhi tugas mata kuliah Community Research Program sebagai

prasyarat untuk menyelesaikan program pendidikan Sarjana Kedokteran. c. Sebagai masukan dan rujukan untuk instansi dan mahasiswa yang akan


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Virus ini menyerang dan merusak fungsi sel-sel pertahanan tubuh, sehingga imunitas tubuh akan terus menurun secara progresif. Akibat imunitas tubuh yang melemah, terjadi kerentanan terhadap berbagai infeksi dan penyakit, walaupun infeksi tersebut dapat diatasi atau sembuh bila menyerang pasien imunitas tubuh yang baik (WHO, 2011).

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan melemahnya fungsi sistem kekebalan tubuh (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009). Sindrom ini merupakan tahap lanjutan dari infeksi HIV yaitu pada 10 sampai 15 tahun kemudian akan berkembang dan ditandai dengan perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi klinis lain yang parah (WHO, 2011).

2.1.2. Etiologi

Penyebab utama HIV/AIDS adalah virus yang disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu yang selanjutnya bereplikasi menjadi virus baru (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Preventive Services Task Force, 2011).. Virus HIV ini memiliki struktur dimana bagian luar selubung disebut envelope dan bagian dalam terdapat inti yang disebut


(23)

core. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA yang deperlukan untuk replikasi HIV yakni : reverse transcriptase, integrase dan protease (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009).

2.1.3. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target

Virus HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik) ( Asjo, Haaheim, Pattison, 2001).

Interaksi gp120 HIV dengan CD4 mengakibatkan terjadi ikatan antara HIV dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan adanya ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperntarai masuknya virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan membrane sel target. Fusi antara kedua membran memungkinkan semua partikel HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai ko-reseptor lini kedua adalah 7 (tujuh) reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC Chemokine reseptor 5 (CCR5) dan CXC chemokine reseptor 4 (CXCR4) dengan melibatkan lebih 100 protein terkait (Nasronudin, 2012).

Setelah gp120 HIV terikat pada reseptor CD4 dan ko-reseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan konformasi gp41 sehingga memungkinkan terjadi insersi pada region N-terminal hydrophobic fusion-peptide ke dalam membrane sel taret. Sehingga akibat insersi ini menghasilkan fusi kedua membrane (Nasronudin, 2012).

Genom HIV untaian ganda secara acak berintegrasi ke dalam genom sel host. Atas peran dari integrase terjadi perubahan DNA, sehingga double strand DNA yang lebih stabil dan terbentuk provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus dan menyatu


(24)

dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase, sehingga mengakibatkan provirus menjadi tidak aktif dan proses transkripsi serta translasi tidak berjalan (Nasronudin, 2012).

Pada tahap selanjutnya, enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109 sampai 1011 virus baru (Fauci, Chiffordlane, 2008).

Gambar 2.1. Poin Intervensi Potensial pada Siklus Hidup HIV Sumber: University of Washington, 2004


(25)

2.1.4. Transmisi Infeksi HIV

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama, yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi). Di Indoneia kasus HIV dan AIDS paling sering menular melalui hubungan seksual, kemudian diikuti faktor risiko yang tidak diketahui, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal, dan melalui transfusi darah (Depkes, 2013).

Tabel 2.1 : Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko, Januari sampai Desember 2012

Sumber : Depkes, 2013

2.1.5. Patogenesis Infeksi HIV

Melalui berbagi transmisi yang terjadi, virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mencapai sirkulasi sistemik. Dalam waktu 4 sampai 11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai

Faktor Risiko Persentase (%)

Heterosekual 71, 5

Injected Drug User 4, 9

Perinatal 3, 7

Homoseksual 2, 8

Biseksual 0, 5

Transfusi 0, 5


(26)

pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 sampai 2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS (Fauci, Chiffordlane, 2008).

Gambar 2.2. Patogenesis HIV

Sumber: Castillo, 2005

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4, CCR5, CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target melalui peranan glikoprotein 41 (gp41). Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam


(27)

sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Untuk mengaktifkan provirus ini memerlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. Long terminal repeats berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain, misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA (Fauci, Chiffordlane, 2008).

Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 dan mereplikasikan diri. Sel CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Setelah virus bereplikasi dan menghancurkan sel CD4, maka partikel virus baru akan mencari lagi dan menginfeksi sel CD4 yang lain (Fahey et al, 1990). Sehingga jumlah CD4 akan semakin rendah didalam tubuh. Secara progresif, sistem defensif tubuh akan menurun dan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Oleh sebab itu pemantauan jumlah CD4 pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisnya (Stein, Korvick, Vermund, 1992).

Sel limfosit T penderita secara perlahan tapi pasti akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu:


(28)

1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular.

2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia.

3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis.

4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer.

5. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.

6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik, yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi (Fauci, Chiffordlane, 2008).


(29)

Infeksi primer HIV Infeksi pada jaringan limfoid Viremia masif HIV respons imun spesifik Sitokin (IL1β, IL6,

TNFα)

Aktivasi imun

Replikasi HIV

2.1.6. Perkembangan Klinis

Setelah infeksi awal, pasien mungkin tetap seronegatif (tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif) walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Fase ini sangatlah penting karena pada fase ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window periode” (Nasronudin,2012).

Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul paling cepat 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, kadar limfosit T CD4 yang tinggi dapat terdeteksi di darah perifer (Sterling, Chaisson, 2010).

Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.

Gambar 2. 3. Perjalanan Infeksi HIV

Sumber: Nasronudin, 2012

Destruksi sistem imun


(30)

Pada fase infeksi akut, akan terjadi tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik atau laten. Pada awal fase ini, kadar limfosit T CD4 umumnya sudah kembali mendekati normal dan jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga, penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3, meskipun telah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis. Namun pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan penyakit infeksi kulit berulang. Gejala-gejala ini merupakan tanda awal munculya infeksi oportunistik.

Selanjutnya adalah fase simtomatik. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan, sehingga limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Dari perjalanan penyakit, jumlah limfosit T CD4 pasien biasanya telah turun di bawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Dan disertai pula dengan munculnya gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi yang berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS (Sterling, Chaisson, 2010).


(31)

Keterangan: Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³) HIV RNA kopi per mL plasma

Gambar 2.3. Gambaran Waktu Sel CD4 dan Perubahan Perkembangan Virus

Sumber: Bennet, 2011

2.1.7. Pemeriksaan HIV

1. Skrining HIV

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining pada pasien semau pasien di instansi kesehatan, kecuali pasien tersebut menolak. Bagi semua orang dengan faktor risiko tinggi HIV, harus diskrining minimal setahun sekali (Preventive Services Task Force, 2011).


(32)

2. Hitung Sel T CD4

Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah serokonversi, CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/μL). Di Amerika, definisi AIDS adalah CD4 <200 sel/μL, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini (Hull MW et al, 2012).

3. Viral Load (VL)

Viral load pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Dikatakan alternatif karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik, daripada darah perifer. Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Sehingga biasanya, VL berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ μL). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan risiko infeksi oportunistik berkurang (Department of Health and Human Services, 2011).

4. Pemeriksaan HIV Sekunder

Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL.

5. Temuan Histologis

Pemeriksaan secara patologi anatomi dapat memberikan gambaran infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang


(33)

normal. Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofag.

2.1.8. Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Jumlah CD4 dan Gejala Klinis

CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:

1. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan AIDS.

2. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.

3. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS. 4. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ µ L. 5. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ µ L. 6. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ µ L. (CDC, 2009).

2.2. Cluster of Differentiation 4 (CD4) 2.2.1. Definisi

Sel T CD4 adalah limfosit T yang mengekspresikan molekul protein ko-reseptor CD4 pada permukaan sel. Istilah CD berarti cluster of differentiation

yang mengacu pada suatu molekul yang dikenal oleh sekelompok (cluster) antibodi monoklonal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jalur atau stadium diferensiasi limfosit, sehingga dapat membedakan antar kelas limfosit (Bratawidjaja, Rengganis, 2010).


(34)

Yang target utama dari virus HIV adalah limfosit T CD4 karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Meskipun demikian kompleks gp120 dan reseptor CD4 tersebut masih belum memungkinkan HIV masuk ke dalam limfosit T melalui prses internalisasi. Internalisasi ke dalam limfosit T di tubuh host perlu dibantu oleh peran ko-reseptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T (Nasronudin, 2012).

2.2.3. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan CD4

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah CD4 seperti perubahan diurnal yang menunjukkan bahwa nilai terendah didapati saat pukul setengah satu siang sedangkan nilai puncak saat pukul setengah sembilan malam.Penurunan dapat terjadi juga pada penderita infeksi akut dan operasi mayor. Pemberian kortikosteroid pada penyakit akut dapat menurunkan jumlah CD4, tetapi pemakaian lama untuk penyakit kronik menunjukkan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan pada penyakit mungkin disebabkan redistribusi lekosit antara sirkulasi perifer dengan sumsum tulang, limpa,dan nodus limfoid. Jenis kelamin,usia pada orang dewasa, stress psikologi,stres fisik dan kehamilan mempunyai efek minimal terhadap jumlah CD4. Pemakaian obat antiviral dapat meningkatkan jumlah CD4 sebanyak ≥ 50 sel/mm3. Setelah pemakaian 4 sampai 8 minggu dan meningkat 50-100 sel/mm3 tiap tahunnya (WHO, 2010).

2.3. Infeksi Oportunistik 2.3.1. Definisi

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang imunokompeten (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009). Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel CD4


(35)

turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/µl menjadi kurang dari 200 sel/mm3. Penderita dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 memiliki kerentanan enam kali dalam perkembangan infeksi oportunistik dibandingkan dengan jumlah sel CD4 > 350 sel/mm3 (Ghate M et al, 2009).

Berdasarkan penelitian Hanum (2009) bahwa sistem imun penjamu merupakan faktor penting terjadinya infeksi oportunistik pada manusia. Bila terjadi kontak dengan antigen bakteri, maka diferensiai dan proliferasi sel akan terangsang untuk membentuk populasi sel T yang spesifik (sel efektor dan sel memori). Sel memori tinggal dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan menghasilkan respon yang cepat apabila terjadi paparan dengan antigen. Rusaknya sistem imun akan mempermudah terjadinya infeksi. Pada penderita HIV/AIDS, terjadi peurunan sel T CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Setelah infeksi akut, terjadi masa asimtomatik dimana penurunan jumlah CD4 secara lambat dan penurunan jumlah CD4 semakin tajam pada stadium lanjut, yang diawali oleh munculnya infeksi jamur. Pada CD4< 200 sel/mm 3 risiko infeksi oportunistik akan meningkat. Selain itu juga disebabkan faktor lain seperti lingkungan dan paparan dari bakteri atau jamur.

2.3.2. Faktor-faktor Risiko Perkembangan Infeksi Oportunstik

Dalam Journal of Crohn’s and Colitis, Rahler JF, et al. (2009) menyebutkan ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan peningkatan atau resistensi terhadap infeksi oportunistik, diantaranya yaitu :

1. Terapi imunomudulator

Imunomodulator merupakan terapi yang paling sering digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, bakteri, parasit, dan jamur. Namun, dalam waktu yang bersamaan terjadi mekanisme yang berbeda dimana obat-obat ini dapat menyebabkan timbulnya infeksi. Toruner dkk (2008) mengemukakan bahwa penggunaan kortikosteroid menyebabkan timbulnya infeksi jamur


(36)

(Candida spp.), azathioprine menyebabkan infeksi virus dan terapi anti-TNF menyebabkan infeksi jamur dan mikobakterium.

2. Paparan Patogen dan Keadaan Geografis

Paparan patogen dan keadaan geografis tertentu dapat menyebabkan penyebaran dari infeksi oportunistik meningkat. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah terpapar secara langsung oleh patogen.

3. Usia

Pada orang-orang yang berusia lanjut akan terjadi disregulasi fungsi imun yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi, kanker, dan penyakit autoimun.

4. Komorbid

Faktor-faktor komorbid seperti penyakit paru kronik, alkoholims, gangguan organik di otak, dan diabetes melitus menyebabkan infeksi oportunistik lebih mudah terjadi. Hal ini dikarenakan penyakit-penyakit tersebut menyebabkan gangguan supresi imun secara nyata.

5. Malnutrisi

Malnutrisi merupakan mayoritas penyebab penurunan fungsi imun dikarenakan meningkatnya pemakaian metabolisme berlebihan dalam waktu yang lama. Sehingga terjadi defisiensi nutrisi yang menyebabkan gangguan cell-mediated immunity, penurunan fungsi fagosit, produksi sitokin, dan sekresi antibodi, serta gangguan sistem komplemen.

2.3.3. Etiologi

Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem


(37)

Human Leucocyte Antigen (HLA) yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi karakteristik yang berbeda. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi penurunan dari sistem imun. Semakin menurun jumlah limfosit T CD4 semakin berat manifestasi infeksi oportunistik dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit T CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik (Merati, 2007). Dan infeksi oportunistik pada pengidap HIV di Indonesia, memiliki potensiasi munculnya lebih awal karena pengaruh lingkungan tempat tinggal yang sangat dekat dengan angka kejadian infeksi lain yang masih tinggi, selain akibat semakin melemahnya sistem imun yang diserang oleh virus HIV (Nasronudin, 2012).

Organisme penyebab infeksi oportunistik adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum infeksi oportunistik pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan infeksi oportunistik pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran infeksi oportunistik yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS tergantung pada prevalensi infeksi di wilayah geografis tempat tinggal pasien.

Beberapa infeksi oportunistik yang melibatkan beberapa organ, seperti yang tertera dibawah ini, yaitu :

1. Pneumonia pneumocystis jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii.

2. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi yang dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute respirasi, dapat dengan mudah


(38)

ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat.

3. Esofagitis adalah peradangan pada esofagus. Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus).

4. Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab. Termasuk beberapa diantaranya infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV.

5. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.

6. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. 7. Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan

oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin.

8. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.


(39)

9. Infeksi oportunistik lainnya. Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara (Nasronudin, 2007).

2.3.4. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik

Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV.

1. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan dengan foto toraks.

2. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah.

3. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis.

4. Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia. Pemeriksaan panggul dilakukan pada wanita, untuk menyingkirkan kemungkinan trikomoniasis.


(40)

5. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi liver.

6. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah <100/ µ L. 7. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare,

angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster (Hoffmann, Brown, 2007).


(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur

Hasil Ukur Skala

Jumlah CD 4 Jumlah CD4 awal pasien yang diperoleh melalui konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium dan tercantum dalam rekam medis

Observasi Rekam

medis 0. > 500

sel/mm3 1. 200-499 sel/mm3 2. <200

sel/mm3) (CDC,2003) Ordinal Infeksi oportunisik Infeksi yang diderita

Observasi Rekam

medis 0. Tidak ada.

(Jika tidak

Nominal

Variabel Independen Variabel Dependen


(42)

pasien HIV/AIDS berdasarkan

hasil pemeriksaan

klinik yang tercantum dalam rekam

medis, telah dikonfirmasi

melalui pemeriksaan laboratorium, dan diagnosis ditegakkan oleh dokter

terdapat IO pada pasien HIV/AIDS) 1. Ada. (Jika

terdapat IO pada pasien HIV/AIDS)

2.3. Hipotesis

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS.


(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional study, dengan observasi dan pengukuran variabel dilakukan pada satu saat tertentu.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2013 di bagian Klinik Pusyansus V (Pusat Pelayanan Khusus). Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012.

4.3.2. Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah pasien di yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah a. Kriteria Inklusi

1. Merupakan pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun yang memiliki kelengkapan data sosiodemografi, dan pemeriksaan laboratorium yang tertera dalam rekam medis di bagian Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2. Pasien positif HIV/ AIDS yang baru terdiagnosis oleh dokter dan belum


(44)

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang sedang atau telah mengonsumsi ARV sebelum data diambil. 2. Data rekam medis yang tidak lengkap.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode total sampling, dimana semua sampel akan dimabil dan dianalisis berdasarkan pemenuhannya terhadap kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari pengumpulan rekam medis pasien Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Januari sampai Desember tahun 2012.

4.4.1. Alur Penelitian

Populasi pasien positif HIV/AIDS usia > 12 tahun yang

tertera di rekm medik

Seleksi sampel penelitian data pasien sesuai kriteria inklusi dan

eksklusi

Pengolahan data yang sudah terkumpul dengan menggunakan

komputer

Analisis data

Rekapitulasi hasil analisis data dalam bentuk laporan hasil

penelitian


(45)

4.5. Metode Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya data tersebut akan diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).

Uji hipotesis penelitian ini dilakukan degan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan (α) sebesar 5 % untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara jumlah CD4 dengan terjadinya infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS, serta melihat apakah hubungan tersebut bermakna secara statistik atau tidak.


(46)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2013 di bagian Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus).

5.1.2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, jenis infeksi oportunistik, jumlah CD4, gejala-gejala klinis, stadium, dan jenis transmisi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di berikut ini.


(47)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosiodemografi Subjek

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Kelompok Usia (Tahun)

17-26 40 19,1

27-36 129 61,7

37-46 32 15,3

47-56 4 1,9

57-66 3 1,4

67-76 1 0,5

Jenis Kelamin

Pria 121 57,9

Wanita 88 42,1

Pekerjaan

IRT 70 33,5

Wiraswasta 67 32,1

Pengangguran 59 28,2

PSK 6 2,9

PNS 4 1,9

Petani 3 1,4

Kemungkinan Risiko Penularan

Perilaku Seksual

- Heteroseksual 174 83,3

- Homoseksual 24 11,5

Pemakaian tatto 10 4,8


(48)

Tabel 5.1. menunjukkan persentase dari karakteristik subjek. Kelompok usia 27-36 tahun memilki persentase paling tinggi yaitu sejumlah 129 orang (61,7%), diikuti usia 17-26 tahun sejumlah 40 orang (19,1%), usia 37-46 tahun dan sejumlah 32 orang (15,3%), usia 47-56 tahun sejumlah 4 orang (1,9%), usia 57-66 tahun sejumlah 3 orang (1,4%), dan usia 67-76 tahun berjumlah 1 orang (0,5%). Kemungkinan risiko penularan yang paling banyak terjadi adalah secara perilaku seksual, baik melalui heteroseksual yaitu sejumlah 174 orang (83,3%), dan homoseksual sejumlah 24 orang (11,5%), dan melalui cara-cara lain seperti tatto sejumlah 10 orang (4,8%) serta melalui penggunaan narkoba suntik yaitu sejumlah 1 orang (0,5%). Mayoritas pasien berjenis kelamin pria lebih yaitu sejumlah 121 orang (57,9%), sedangkan wanita sejumlah 88 orang (42,1%). Sedangkan jenis pekerjaan yang memiliki frekuensi paling dominan adalah IRT sebanyak 70 orang (33,5%), diikuti wiraswasta sebanyak 67 orang (32,1%), pengangguran sebanyak 59 orang (28,2%), PSK sebanyak 6 orang (2,9%), PNS sebanyak 4 orang (1,9%), dan petani sebanyak 3 orang (1,4%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Gejala-Gejala Klinis

Gejala Klinis Jumlah (Orang) Persentase (%)

Demam 62 29,7

Batuk 50 23,9

Malaise 45 21,5

Diare 25 12,0

Sesak 17 8,1

Gatal-gatal 8 3,8

Jaundice 2 1,0

Total 209 100

Tabel 5.2. menunjukkan bahwa dari 209 sampel penelitian, gejala yang paling sering ditemukan saat pasien pertama sekali berkunjug adalah demam sejumlah 62 orang (29,7%), diikuti oleh batuk sejumlah 50 orang (23,9%), malaise sejumlah 45


(49)

orang (21,5%), diare sejumlah 25 orang (12%), sesak sejumlah 17 orang (8,1%), gatal-gatal sejumlah 8 orang (3,8%), dan jaundice sejumlah 2 orang (1%).

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Infeksi Oportunistik

Infeksi Oportunistik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Oral Candidiasis 112 53,6

Tuberculosis 47 22,5

Pneumocystis Carinii Pneumonia 17 8,1

Hepatitis B 5 2,4

Herpes Simplex 5 2.4

Toxoplasmosis 4 1,9

Tidak ada 19 9,1

Total 209 100

Tabel 5.3. menunjukkan bahwa spectrum infeksi oportunistik yang dominan terlihat adalah Oral Candidiasis sejumlah 112 orang (53,6%), diikuti oleh Tuberculosis sejumlah 47 orang (22,5%), Pneumocystis Carinii Pneumonia sejumlah 17 orang (8,1%), Hepatitis B dan Herpes Simplex masing-masing sejumlah 5 orang (2,4%), Toxoplasmosis sejumlah 4 orang (1,9%), dan tidak ada sejumlah 19 orang (9,1%).

5.1.3. Hasil Analisis Data

a. Prevalensi Penderita Infeksi Oportunistik

Pada penelitian ini, variabel dependen atau infeksi oportunistik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pasien ada infeksi oportunistik dan kelompok pasien tidak ada infeksi oportunistik. Jumlah pasien dalam masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(50)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Prevalensi Infeksi Oportunistik

Infeksi

Oportunistik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Ada 192 91,9

Tidak Ada 17 8,1

Total 209 100

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa dari 209 orang sampel penelitian, ditemukan infeksi oportunistik pada 192 orang (91,9%) dan sebanyak 17 orang (8,1%) tidak ditemukan infeksi oportunistik.

b. Prevalensi

Dari 209 orang pasien sampel penelitian, dilakukan pengelompokan jumlah CD4 pasien.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah CD4

Jumlah CD4

(Sel/mm3) Jumlah (Orang) Persentase (%)

>500 12 5,7

200-499 66 31,6

<200 131 62,7

Total 209 100

Tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 12 orang (5,7%) pasien dengan CD4> 500 sel/mm3, 66 orang (31,6%) dengan CD4 200- 499 sel/mm3, dan 131 orang (62,7%) dengan CD4 <200 sel/mm3.


(51)

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Stadium

Stadium Jumlah (Orang) Persentase (%)

I 12 5,7

II 14 6,7

III 137 65,6

IV 46 22,0

Total 209 100

Tabel 5.6. menunjukkan distribusi frekuensi stadium. Mayoritas pasien berada pada stadium III yaitu sejumlah 137 orang (65,6%), stadium IV sejumlah 46 orang (22,0%), stadium II sejumlah 14 orang (6,7%), dan stadium I sejumlah 12 orang (5,7%).


(52)

c. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.7. Hubungan antara Jumlah CD4 dengan Infeksi Oportunistik

Jumlah CD4 (sel/mm3)

Total

<200 200-500 >500

Ada 126 59 7 192

Tidak Ada 5 7 5 17

Total 131 66 12 209

X2= 21,865 , p= 0,001, df = 2

Tabel 5.6. menunjukkan bahwa dari 192 orang sampel pasien, terdapat infeksi oprtunistik dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 sejumlah 126 orang, jumlah CD4 200-500 sel/mm3 sejumlah 59 orang dan jumlah CD4 >500 sel/mm3 sejumlah 7 orang. Sementara dari 17 orang sampel pasien, pasien yang tidak terdapat infeksi oportunistik dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 sejumlah 5 orang, jumlah CD4 200-499 sel/mm3 sejumlah 7 orang dan jumlah CD4 >500 sel/mm3 sejumlah 5 orang. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5 %), diperoleh nilai p (p value) adalah p 0,001 (p< 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS.

Perbandingan antara jumlah CD4 > 500 sel/mm3 dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 dengan interval kepercayaan 95% (6,79-132,55) diperoleh nilai rasio prevalen (RP) pada p 0,001 sebesar 30. Pada nilai p 0,082 diperoleh rasio prevalen sebesar 2,87 dengan membandingan jumlah CD4 > 500 sel/mm3 dan jumlah CD4 200-499 sel/mm3 pada interval kepercayaan 95% (0,88-9,4). Rasio prevalen yang lebih besar dari 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan


(53)

variabel dependen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini jumlah CD4 merupakan faktor risiko terjadinya infeksi oportunistik.

5.2. Pembahasan

Infeksi oportunistik merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien HIV sejak epidemik HIV terjadi (Kanabus et al, 2006). Infeksi oportunistik ini terjadi akibat defisiensi imun sehingga jumlah CD4 menjadi rendah dan menyebabkan individu lebih rentan terkena infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Ghate M et al pada tahun 2009, menunjukkan bahwa pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 memiliki kerentanan enam kali dalam perkembangan infeksi oportunistik dibandingkan dengan jumlah sel CD4 > 350 sel/mm3 dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah CD4 yang rendah menyebabkan individu lebih rentan terkena infeksi oportunistik.

Hanum (2009) menyatakan bahwa sistem imun penjamu merupakan faktor penting terjadinya infeksi oportunistik pada manusia. Bila terjadi kontak dengan antigen bakteri, maka diferensiai dan proliferasi sel akan terangsang untuk membentuk populasi sel T yang spesifik (sel efektor dan sel memori). Sel memori tinggal dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan menghasilkan respon yang cepat apabila terjadi paparan dengan antigen. Rusaknya sistem imun akan mempermudah terjadinya infeksi. Pada penderita HIV/AIDS, terjadi peurunan sel T CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Setelah infeksi akut, terjadi masa asimtomatik dimana penurunan jumlah CD4 secara lambat dan penurunan jumlah CD4 semakin tajam pada stadium lanjut, yang diawali oleh munculnya infeksi jamur. Pada CD4< 200 sel/mm 3 risiko infeksi oportunistik akan meningkat. Selain itu juga disebabkan faktor lain seperti lingkungan dan paparan dari bakteri atau jamur.


(54)

5.2.1. Hubungan Karakteristik Individu terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

5.2.1.1. Hubungan Usia terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara usia dengan infeksi oportunistik pasien HIV/AIDS didapatkan kelompok usia 27-36 tahun merupakan kelompok umur terbanyak, yaitu sebanyak 123 orang (95,7%) yang ada infeksi oportunstik dan sebanyak 6 orang (4,7%) yang tidak ada infeksi oportunistik. Sedangkan usia 17-26 tahun terdapat 33 orang ( 82,5%) yang ada infeksi oportunistik dan 7 orang (17,5%) yang tidak ada infeksi oportunistik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa variabel usia tidak bermakna secara statistik terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS yaitu sebesar p 0,12 (p> 0,05).

Stover (2010) menyatakan bahwa kelompok umur dewasa (>24 tahun) merupakan mayoritas kelompok usia kasus HIV/AIDS dan Knussen (2010) umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap infeksi yang terjadi pada pasien HIV. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya usia seseorang tidak berarti perilakunya bertambah buruk, namun perilaku seksual remaja dan seks pra nikah yang menunjukkan peningkatan yang sangat besar beberapa tahun belakangan ini. Sehingga pada saat seseorang terdiagnosis HIV, maka perilaku seksual orang tersebut sudah menyimpang sejak beberapa tahun yang lalu. Namun secara imunologis semakin bertambahnya usia (proses aging) maka fungsi dari sistem kekebalan tubuh tentu akan semakin menurun sehingga infeksi lebih mudah terjadi dan berdampak lebih parah.Penelitian yang dilakukan Lesourd (1999) dengan membandingkan pasien dengan usia 30 tahun dan 78 tahun menunjukkan bahwa pada pasien usia 78 tahun jumlah limfosit T menurun sebanyak 55% demikian juga dengan faktor-faktor imunologis yang lain seperti sitokin dan interferon.


(55)

5.2.1.2. Hubungan Jenis Kelamin terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan infeksi oportunistik pasien HIV/AIDS ditemukan dari 209 orang pasien, 57,9% merupakan pria, sedangkan 42,1% merupakan wanita. Penelitian sama yang dilakukan oleh Sharma et al., (2012) juga menunjukkan bahwa 80% pasien merupakan pria, dan 20% merupakan wanita. Hasil dari penelitian lain yang dilakukan oleh Vinay et al., (2012) di India menyebutkan bahwa kelompok usia produktif yaitu kelompok usia 21-40 tahun menduduki posisi tertinggi penderita infeksi oportunistik. Salah satu penyebabnya adalah perubahan pola transmisi yang semakin lama semakin cepat terjadi pada usia yang lebih muda sehingga manifestasinya juga terlihat lebih cepat.

Berdasarkan hasil uji statistik untuk melihat perbedaan proporsi antara pasien HIV/AIDS pria dan wanita yang terinfeksi oportunistik, ditemukan bahwa variabel jenis kelamin tidak memberikan kemaknaan dengan nilai p 0,145 (p> 0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meditz et al (2011), bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin pria dan wanita. Pria lebih banyak dikarenakan pria juga memiliki kemungkinan mendapatkan infeksi dua kali melalui perilaku seksual yang berisiko dan pengunaan jarum suntik.

5.2.1.3. Hubungan Pekerjaan terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Pasien yang terinfeksi HIV lebih banyak berasal dari kalangan ibu rumah tangga (33,5%) dibandingkan pekerjaan lainnya dikarenakan kontak penularan secara seksual melalui pasangan suami istri merupakan kemungkinan paling sering terjadi. Hal serupa juga dipaparkan oleh Vinay et al., (2012), bahwa 80% ibu rumah tangga terinfeksi oleh HIV.

Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa variabel pekerjaan tidak memberikan kontribusi yang bermakna secara statistik terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS dengan nilai p 0,195 (p> 0,05). Meskipun hasil


(56)

analisis statistik menunjukkan hasil yang tidak bermakna, tetapi pekerjaan seharusnya berhubungan dengan terjadinya koinfeksi. Widoyono (2008) juga memaparkan hal sama yaitu status pekerjaan seseorang berpengaruh pada kesehatan individu.

Selain itu, pekerjaan berdasarkan status perkawinan (ibu rumah tangga) dalam penelitian ini menunjukkan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Boileau (2009), menyebutkan bahwa status perkawinan akan menentukan seorang wanita untuk menderita HIV positif baik dengan infeksi oportunistik maupun tidak.

5.2.1.4. Hubungan Kemungkinan Risiko Penularan terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Penyebaran penularan HIV terjadi akibat faktor-faktor sosiohistorikal dan sosiokultral, termasuk lokasi geografis, struktur sosial lokal, keyakinan budaya dan kegiatan akan mempengaruhi perilaku berisiko HIV. Misalnya seks pra nikah, penggunaan kondom, dan penggunaan narkoba suntik. Pada penelitian ini, perilaku seksual baik secara heteroseksual maupun homoseksual merupakan kemungkinan pola penularan paling tinggi (94,8%). Hal yang sama juga diungkapkan oleh National Surveillance UNAIDS (2011) bahwa 85,69% kemungkinan pola risiko penularan terjadi melalui perilaku seksual.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p 0,004 ( p<0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel ini. Pola transmisi yang terjadi menunjukkan bahwa peranan jenis kelamin mempengaruhi penyebaran HIV dan infeksi oportunistik yang muncul.


(57)

5.2.1.5. Hubungan Stadium terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Stadium klinis WHO sangat berhubungan jumlah CD4. Semakin tinggi stadium klinis WHO maka penurunan jumlah CD4 juga semakin signifikan. Hasil uji analisis pada penelitian ini menunjukkan hubungan kemaknaan dengan nilai p 0,001 (p< 0,05). Hal sama juga terlihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prabhavanthi et al., (2013) yang menyebutan bahwa stadium III dan IV memilki bukti supresi imun yang lebih berat sehingga saat pasien datang ditemukan gejala klinis yang lebih berat sesuai tingginya stadium klinis. Gejala klinis yang paling sering muncul berupa gejala akibat infeksi oportunistik, misalnya leukoplakia pada rongga mulut dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3. Pada penelitian ini stadium yang paling sering ditemukan adalah stadium III (65,6%) dan diikuti stadium IV (22%), yang menunjukkan buruknya kondisi klinis pasien saat datang berobat.

5.2.1.6. Hubungan Gejala Klinis terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan

Gejala klinis sendiri, gejala yang timbul biasanya lebih dari satu gejala. Namun demam merupakan gejala yang paling sering ditemukan (29,7%), diikuti oleh batuk (23,9%) dan malaise (21,5%). Anant et al., (2012) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa demam merupakan gejala yang paling sering muncul (82,2%).

Table 5.3. menunjukkan prevalensi infeksi oportunistik yang paling sering terjadi di daerah lokasi penelitian. Oral Candidiasis (OC) merupakan infeksi oportunistik mukokutaneus tersering yang terjadi pada pasien HIV dan juga sebagai penanda kondisi imunosupresi. Prevalensi OC sangat tinggi pada penelitian ini (53,6%). Biasanya tingginya insideni OC terutama terjadi pada jumlah CD4 yang rendah (<200 sel/mm3). Penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty (2008) juga menunjukkan hal yang sama yaitu terdapat prevalensi OC yang tinggi di India yaitu sebesar 88%.


(58)

Tuberculosis merupakan IO terbanyak kedua dalam penelitian ini yaitu 22,5 % dan hal sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakuakan oleh Anant et al., (2012) yang menjunjukkan prevalensi yang juga cukup tinggi yaitu 52,3%. Hal ini dikarenakan TB masih merupakan endemis di beberapa negara berkembang seperti India dan Indonesia. Selain secara epidemiologis, keadaan geografis, iklim, dan keadaan sosioekonomi dimana pasien itu tinggal, pada pasien HIV, TB secara cepat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas dan kejadian Multi Drug Resistance (MDR).

Kejadian PCP biasanya terjadi pada tingkat infeksi HIV lanjut dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3. Pada penelitian ini, prevalensi PCP sekitar 8,1% dan lebih rendah dibandingkan dprevalensi pada penelitian yang dilakukan oleh Anant et al., (2012) yaitu sebesar 14,2%. Namun kedua nilai ini dapat membuktikan bahwa PCP merupakan IO yang juga sering terjadi.

Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) dan Hepatitis B Virus (HBV) juga ditemukan pada penelitian ini yaitu masing-masing 2,4%. Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase penelitian yang dilakukan oleh Vinay et al., (2012) yaitu 12% dan 8%. Sedangkan diagnosis Toxoplasmosis ditemukan hanya 4 kasus, berdasarkan hasil CT Scan otak.

Berdasarkan uji statistik, diperoleh kemaknaan antara jenis infeksi oportunistik dengan jumlah CD4 sehingga diperoleh nilai p 0,011 (p< 0,05). Secara nyata terlihat bahwa dengan jumlah CD4 tertentu maka jenis infeksi oportunistik yang muncul juga beragam. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat distribusi sampel yang homogen sehingga tidak terlihat dinamika sampel dari aspek jenis infeksi oportunistik.

Dalam penelitian ini, lebih dari setengah pasien yang mendapatkan infeksi oportunistik memiliki jumlah CD4< 200sel/mm3 yaitu 91,9% kasus. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Mahajan A et al., (2008) dan Teja VD et al., (2007) yaitu 66,3% pasien.


(59)

Pada penelitian ini terdapat hubungan antara kedua variabel jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik (p = 0,001 CI 95%), dengan rasio prevalen yang sangat tinggi yaitu 30 dan 2,87. Yang bermakna bahwa seseorang dengan CD4 yang rendah memilki risiko terkena infeksi oportunistik sebesar 30 kali dan 3 kali.


(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang terjadi akibat jumlah CD4 yang rendah (< 200 sel/mm3) sehingga seseorang akan lebih rentan terhadap infeksi. Pada pasien infeksi HIV tahap lanjut , penyebab utama mortalitas dan morbiditas pasien adalah infeksi oportunistik. Prevalensi infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 192 orang, dan prevalensi penderita tanpa infeksi oportunistik sebanyak 17 orang.

Terdapat 12 orang (5,7%) pasien dengan jumlah CD4> 500 sel/mm3, 66 orang (32,5%) dengan jumlah CD4 200-499 sel/mm3, dan 131 orang (62,7%) dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3. Transmisi yang paling tinggi terjadi secara heteroseksual yaitu sekitar 83,3%.Gejala klinis yang paling sering muncul adalah demam yaitu 29,7 %. Stadium yang paling dominan muncul adalah stadium III yaitu 65,6 %. Ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik (p = 0,001). Rasio prevalen yang lebih besar dari 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yairu 30 dan 3. Oleh karena itu, pada penelitian ini jumlah CD4 merupakan faktor risiko terjadinya infeksi oportunistik. Oral Candidiasis merupakan mayoritas infeksi oportunistik yaitu 53,6% dan memiliki signifikansi dengan rendahnya jumlah CD4 (<200 sel/mm3). Secara keseluruhan, insidensi infeksi oportunistik meningkat pada kelompok usia lanjut, pria, dan pasien-pasien dengan jumlah CD4 yang rendah.


(61)

6.2. Saran

1. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan Lain

Pola infeksi infeksi oportunistik pada daerah tertentu dapat menjadi petunjuk untuk memaksimalkan fasilitas kesehatan dan perobatan bagi pasien.

2. Bagi Pasien/ Masyarakat

Infeksi oportunistik menjadi faktor risiko yang menunjukkan terjadinya suatu proses penurunan sistem imun tubuh, oleh karena itu pasien diharapkan lebih waspada akan gejala dan tanda yang muncul.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian lanjutan ataupun penelitian yang tidak berdasarkan rekam medis yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan langsung dari tubuh pasien (pemeriksaan mikrobiologi standar).


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Asjö B., Haaheim L.R., Pattison J.R., 2001. Human Immunodeficiency Virus (HIV). A Practical Guide to Clinical Virology Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. England: 213-218

Astari L., Sawitri, Safitri Y.E., Hinda P.S., 2009. Viral Load pada Infeksi HIV. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 21(1).1.

Back-Brito GN, El Ackhar VNR, Querido SMR, dos Santos SSF, Jorge AOC, Reis ASM et al., 2011. Staphylococcus SPP, Enterobacteriaceae and Pseudomonadaceae oral isolates from Brazilian HIV-Positive patients. Correlation with CD4 Cell Counts and Viral Load. J Arch Oral Biol. 56:1041-1046

Bennett, Nicholas John., 2011. HIV Disease. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#showall.[Accesed 23 April 2013].

Bratawidjaja G.K., Rengganis I.,2010. Sel-Sel Sistem Imun Spesifik. Dalam: Imunologi Dasar Bab. 5. Edisi IX. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 143.

Center for Disease Control and Prevention, 2009. Epidemiology of HIV Infection Through. Available from:

http://www/cdc.gov/hiv/topics/surveillance/resources/slides/general/general.pdf. [Accessed 23 April 2013]

Center for Disease Control, 2003. Revision of CDC Surveillance Case Definition for Aqcuired Immunodeficiency Syndrome. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). 36 Available from:

http://www/cdc.gov/hiv/topics/surveillance/resources/slides/general/general.pdf. [Accessed 23 April 2013]


(63)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan IV Tahun 2012 di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penceghan Lingkungan, 1- 93..

Department of Health and Human Services, 2011. Guidelines for The Use of Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. 1-174. Available from:

http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/AdultandAdolescentGL.pdf.[Accessed May 16, 2013]

Fahey J.L., Taylor J.M., Detels R., Hofmann B., Melmed R., Nishanian P., et al., 1990. The Prognostic Value of Cellular and Serologic Markers in Infection with Human Immunodeficiency Virus Tyoe 1. N. Engl J. Med; 322: 166-172.

Fauci A.S., Chiffordlane H., 2008. Human immunodeficiency virus disease, AIDS and related disorders. In : Lango D.L., Kasper D.L., Jameson J.L., Fauci A.S., Hauser S.L., Loscalzo J., editors, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed, Vol. I, New York : McGraw Hill; p.1137-1203.

Ghate M, Deshpande S, Tripathy S, Nene M, Gedam P, Godbole S et al., 2009. Incidence of Common Opportunistic infections in HIV-infected individuals in Pune, India: analysis by stages of immunosuppression represented by CD4 counts. Int Journal Infectious Disease. (13): 1-8

Hoffmann C.J., Brown T.T., 2007. Thyroid Function Abnormalities in HIV-Infected Patients. Clin Infect Dis;45(4):488-94

Hull MW, Rollet K, Odueyungbo A, Saeed S, Potter M, Cox J, et al., 2012. Factors Associated With Discordance Between Absolute CD4 Cell Count and CD4 Cell Percentage in Patients Coinfected With HIV and Hepatitis C Virus. Clinical Infectious Disease. June 2012;54(12):1798-1805

Kashou AH, Agarwal A, 2011. Oxidants and Antioxidants in The Pathogenesis of HIV/AIDS. The Open Reproductive Science Journal. 2011;3: 154-161

Lubis, Zaki Dinul, 2012. Gambaran Karakteristik Individu dan Faktor Risiko terhadap Terjadinya Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV/AIDS di Rumah


(1)

Jenis Kelamin * Transmisi Crosstabulation

Transmisi Total

Heteroseksual Jarum Suntik Tatto Homoseksual

Jenis Kelamin

Pria Count 91 1 8 21 121

% within Jenis Kelamin 75.2% 0.8% 6.6% 17.4% 100.0%

Wanita Count 83 0 2 3 88

% within Jenis Kelamin 94.3% 0.0% 2.3% 3.4% 100.0%

Total Count 174 1 10 24 209

% within Jenis Kelamin 83.3% 0.5% 4.8% 11.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 13.596a 3 .004 Likelihood Ratio 15.563 3 .001 N of Valid Cases 209

a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .42.


(2)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 3.844a 6 .698

Likelihood Ratio 4.563 6 .601

N of Valid Cases 209

a. 4 cells (28.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .84.


(3)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 3.979a 12 .984 Likelihood Ratio 6.052 12 .913 N of Valid Cases 209

a. 10 cells (47.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .11.


(4)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 32.281a 30 .355 Likelihood Ratio 30.469 30 .442 N of Valid Cases 209

a. 31 cells (73.8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .01.


(5)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 10.978a 6 .089

Likelihood Ratio 9.903 6 .129

N of Valid Cases 209

a. 7 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .16.

Prevalensi Infeksi Oportunistik * Jumlah CD4 Crosstabulation

Jumlah CD4 Total <200 200-499 >500

Prevalensi Infeksi Oportunistik

TB Count 28 16 3 47


(6)

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 67.0% 29.5% 3.6% 100.0% PCP

Count 12 5 0 17

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 70.6% 29.4% 0.0% 100.0% TOXO

Count 4 0 0 4

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 100.0% 0.0% 0.0% 100.0% HBV

Count 3 2 0 5

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 60.0% 40.0% 0.0% 100.0% HSV

Count 4 1 0 5

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 80.0% 20.0% 0.0% 100.0% Tidak Ada

Count 5 9 5 19

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 26.3% 47.4% 26.3% 100.0% Total

Count 131 66 12 209

% within Prevalensi Infeksi Oportunistik 62.7% 31.6% 5.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 25.814a 12 .011 Likelihood Ratio 23.184 12 .026 N of Valid Cases 209

a. 12 cells (57.1%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .23.