Transmisi Infeksi HIV Patogenesis Infeksi HIV

2.1.4. Transmisi Infeksi HIV

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama, yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak selama mengandung, persalinan, dan menyusui, secara transeksual homoseksual maupun heteroseksual, dan secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi. Di Indoneia kasus HIV dan AIDS paling sering menular melalui hubungan seksual, kemudian diikuti faktor risiko yang tidak diketahui, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal, dan melalui transfusi darah Depkes, 2013. Tabel 2.1 : Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko, Januari sampai Desember 2012 Sumber : Depkes, 2013

2.1.5. Patogenesis Infeksi HIV

Melalui berbagi transmisi yang terjadi, virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mencapai sirkulasi sistemik. Dalam waktu 4 sampai 11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai Faktor Risiko Persentase Heterosekual 71, 5 Injected Drug User 4, 9 Perinatal 3, 7 Homoseksual 2, 8 Biseksual 0, 5 Transfusi 0, 5 Tidak Diketahui 16, 5 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 sampai 2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS Fauci, Chiffordlane, 2008. Gambar 2.2. Patogenesis HIV Sumber: Castillo, 2005 Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4, CCR5, CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target melalui peranan glikoprotein 41 gp41. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA ssRNA. Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Untuk mengaktifkan provirus ini memerlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR Long terminal repeats yang mengapit gen-gen tersebut. Long terminal repeats berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain, misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA Fauci, Chiffordlane, 2008. Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 dan mereplikasikan diri. Sel CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Setelah virus bereplikasi dan menghancurkan sel CD4, maka partikel virus baru akan mencari lagi dan menginfeksi sel CD4 yang lain Fahey et al, 1990. Sehingga jumlah CD4 akan semakin rendah didalam tubuh. Secara progresif, sistem defensif tubuh akan menurun dan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Oleh sebab itu pemantauan jumlah CD4 pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisnya Stein, Korvick, Vermund, 1992. Sel limfosit T penderita secara perlahan tapi pasti akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu: 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD 1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular. 2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia. 3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis. 4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer. 5. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. 6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200mm 3 menjadi 200mm 3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik, yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi Fauci, Chiffordlane, 2008. 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD Infeksi primer HIV Infeksi pada jaringan limfoid Viremia masif HIV respons imun spesifik Sitokin IL1 β, IL6, TNF α Aktivasi imun Replikasi HIV

2.1.6. Perkembangan Klinis