Proteksi Input
Proteksi Input
Liberalisasi perdagangan dan keterbuka- an pasar telah merasuk dalam pasar input pertanian, khususnya pupuk dan pestisida. Pada kondisi demikian secara teoritis harga pu- puk dan pestisida domestik akan sama dengan harga di pasar internasional. Namun demikian, karena sistem pemasaran dan distribusi dari input pertanian tersebut belum sepenuhnya efisien menyebabkan adanya distorsi pasar. Hal ini terlihat dari fakta bahwa secara umum petani (hortikultura) membayar input tradable lebih mahal dari yang seharusnya dibayar (harga di pasar internasional). Fenomena terse- but terindikasikan oleh besarnya nilai Nominal
Protection Coefficient on Input (NPCI) lebih merah di desa irigasi teknis di Kediri pada MH besar dari satu (Tabel 4).
harus membayar 11 persen lebih mahal, namun Bawang Merah. Untuk usahatani bawang
pada MK I dan MK II di desa yang sama dan di merah di Indramayu dan Majalengka, petani
desa tadah hujan pada MK I petani membayar 2 membayar sekitar 8–11 persen tradable input
– 5 persen lebih murah dari harga yang lebih mahal dari yang seharusnya dibayar
seharusnya dibayar (Tabel 4). Diantara jenis (Tabel 4). Relatif tingginya NPCI pada MH dan
pupuk yang digunakan, tranfer input tertinggi MK II pada usahatani bawang merah di Indra-
yang harus ditanggung petani cabai merah di mayu diduga akibat tingginya permintaan peng-
Kediri adalah pupuk NPK, diikuti oleh pupuk gunaan input terutama pupuk urea, hal ini ber-
KCL, ZA dan urea. Apabila dilihat antar musim, pengaruh terhadap harga input di tingkat petani.
pola konsisten terlihat bahwa petani cabai merah di Kediri pada MK I relatif membayar
Apabila dirinci menurut jenis input menun- input yang lebih rendah dibanding pada MH dan jukkan bahwa secara umum petani bawang
MK II, seperti halnya petani bawang merah di merah di Indramayu dan Majalengka membayar
Indramayu dan Majalengka, Hal ini erat masing-masing jenis input (pupuk) di MK I
kaitannya dengan tingginya nilai tukar rupiah sedikit lebih rendah dibanding pada MH dan MK
terhadap dolar Amerika pada MK I.
II. (Tabel 4). Fenomena ini selain disebabkan oleh tingginya permintaan pada MH yang
Cabai Keriting. Nilai NPCI untuk usaha- menyebabkan harga relatif lebih tinggi, juga
tani cabai keriting di Kabupaten Agam berkisar disebabkan pada MK I besaran nilai tukar rupiah
antara 1,18–1,27, hal ini mengindikasikan pada periode MK I yang tinggi terhadap dolar.
bahwa petani cabai keriting di Agam membayar antara 18– 37 persen tradable input lebih mahal
Untuk input bibit, petani bawang merah di dari yang seharusnya (harga di pasar interna- Indramayu dan Majalengka membayar harga
sional). Untuk usahatani cabai keriting, desa bibit sama dengan harga di pasar internasional.
irigasi teknis memiliki nilai NPCI tertinggi, Sedangkan untuk input pupuk kimia secara
sementara petani cabai keriting di tipe desa keseluruhan, petani bawang merah di Indrama-
lainnya hanya membayar 18 – 22 persen lebih yu dan Majalengka membayar harga sekitar 7 –
mahal dari harga di pasar internasional.
87 persen lebih mahal dari harga di pasar internasional, dengan urutan jenis pupuk yang
Data pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan dibayar lebih tinggi masing-masing adalah NPK,
koefisien dan nilai input transfer menurut jenis KCL, ZA, urea, dan SP-36, walaupun demikian
input. Terlihat bahwa petani cabai keriting di khusus untuk pupuk SP-36 petani bawang
Agam secara umum membayar pupuk NPK merah di Indramayu dan di Majalengka pada
paling tinggi dibanding jenis pupuk lainnya. Nilai MK I petani membayar lebih rendah masing-
transfer input untuk jenis pupuk NPK berkisar masing 7 dan 2 persen dari harga yang seha-
antara Rp 20 ribu sampai Rp 272 ribu. rusnya dibayar (Tabel 4). Untuk jenis pupuk
Sedangkan untuk total pupuk kimia besaran NPK secara umum petani bawang merah di
transfer input tersebut sekitar Rp 218 ribu Indramayu dan Majalengka membayar sekitar
sampai Rp 884 ribu.
36–87 persen lebih mahal dari yang seha- Tomat. Untuk usahatani tomat di Kabupa- rusnya.
ten Agam, nilai NPCI bervariasi menurut desa Cabai Merah. Untuk usahatani cabai
dan musim dengan besaran nilai antar 1,11 – merah di Kabupaten Kediri, petani membayar
1,37. Petani di desa tadah hujan pada MK I tradable input antara 12 – 26 persen lebih
membayar tradable input 11 persen lebih tinggi mahal dari harga yang seharusnya petani bayar
dari yang seharusnya, sementara petani di desa (Tabel 4). NPCI sebesar 1,12 terjadi di desa
irigasi sederhana pada MK II harus membayar dengan irigasi baik pada MK I, sementara NPCI
37 persen lebih mahal dari harga input di pasar sebesar 1,26 terjadi di desa tadah hujan pada
internasional. Rentannya usahatani tomat terha- MH. Apabila dirinci menurut jenis input, untuk
dap serangan hama penyakit mendorong petani pupuk Urea petani harus membayar 4 – 24 lebih
menggunakan input pupuk dan pestisida lebih mahal dari yang seharusnya, kecuali di desa
tinggi (permintaan tinggi), sehingga mengakibat- iriga teknis dan tadah hujan pada MK I, petani
kan harga lebih tinggi, dan hal ini diduga turut membayar 1 dan 3 persen lebih rendah dari
menentukan besaran biaya tradable input yang harga internasional. Untuk SP-36 petani cabai
harus dibayar petani pada musim tertentu.
Melon. Variasi besaran nilai NPCI relatif kecil pada usahatani melon di Kabupaten Ngawi. Dalam hal ini petani melon membayar tradable input sebesar 11 – 23 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya (harga di pasar internasional). Secara relatif desa-desa contoh penelitian di Kabupaten Ngawi memiliki aksesibilitas wilayah yang relatif baik dan dekat dengan pusat perekonomian (ibukota kabupa- ten). Hal ini diduga menjadi salah satu pendu- kung efisiennya distribusi dan pemasaran input (pupuk) sampai di tingkat petani, oleh karena- nya perbedaan antara harga input di pasar internasional dan harga yang dibayar petani relatif kecil.
Apabila dirinci menurut jenis input, data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk jenis pupuk NPK, petani melon di Ngawi membayar
48 – 84 persen lebih mahal dibanding harga di pasar dunia. Namun untuk jenis pupuk TSP/SP-
36, petani membayar 1 – 14 persen lebih murah dari yang seharusnya. Sejalan dengan itu, besaran nilai transfer input yang diterima petani melon untuk total pupuk kimia berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 3,6 juta.
Dari besaran nilai NPCI di Tabel 4 untuk usahatani hortikultura di lokasi penelitian secara umum terlihat pola yang konsisten bahwa (1) besaran NPCI bervariasi menurut lokasi desa, musim, dan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan, (2) ada kecenderungan pada komoditas dan desa yang sama, besaran nilai NPCI pada musim hujan (MH) lebih tinggi dari pada musim lainnya, dan (3) dibandingkan antarwilayah dan antar komoditas, secara relatif petani melon di Kabupaten Ngawi membayar tradable input relatif lebih murah dibanding petani hortikultura di lokasi penelitian yang lain.
Hasil analisis menunjukkan bahwa petani mengalami disinsentif karena petani hortikultura di daerah penelitian harus membayar harga input lebih mahal dari yang seharusnya. Struk- tur pasar input khususnya pupuk yang cende- rung bersifat oligopolistik dengan peran PT PUSRI sebagai holding company produsen dan distributor pupuk masih sangat dominan. Hal ini menyebabkan petani berada pada posisi lemah.